Halaman

Minggu, 04 November 2012

HUKUM BEDAH DAN OTOPSI JENAZAH MUSLIM




Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia agar bisa mendeteksi setiap organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit serta mengobatinya sedini mungkin atau untuk tujuan lainnya adalah dengan membedah jasad mayat manusia. Apakah ini dibolehkan dalam pandangan syara’ ataukah tidak ? Karena praktek ini dilakukan hampir di semua fakultas kedokteran maka dengan memohon taufiq kepada Alloh Ta’ala, saya turunkan pembahasan ini dengan mengacu pada tulisan Lajnah Hai’ah Kibarul Ulama’ Arab Saudi dengan beberapa tambahan.
Tulisan ini saya bagi menjadi beberapa pokok pembahasan :
  • Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati
  • Macam-macam tujuan membedah jenazah
  • Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang masih dalam perut
  • Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa
  • Hukum otopsi jenazah untuk tujuan belajar ilmu kedokteran
  • Hukum membongkar kuburan seorang muslim
Allahumma, tunjukanlah kepada kami jalan yang Engkau ridloi dan jauhkanlah kami dari jalan yang Engkau murkai.

Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati

Termasuk sesuatu yang sangat jelas hukumnya dalam syariat islam adalah kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati. Maka tidak boleh membunuh, melukai dan menyakitinya serta tidak boleh mematahkan tulang atau mencincang tubuhnya setelah dia meninggal. Banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, diantaranya :
1. Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal ia didalamnya dan Alloh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
(QS. An Nisa’ : 93)
2. Dari Ibnu Umar berkata :
“Rosululloh bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada TuhanYang Berhak disembah kecuali Alloh dan Muhamad adalah utusan Nya, mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Maka apabila mereka melaksanakannya niscaya akan terjada darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam dan hisab mereka pada Alloh.”
(HR. Bukhori 1/70, Muslim 22)
3.
Dari Abdulloh bin Mas’ud berkata :
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Alloh dan saya adalah utusannya kecuali dengan karena tiga perkara : 1. Orang yang membunuh maka diqishos, 2. Orang yang pernah menikah lalu berzina, 3. Orang yang murtad dari agama (islam) dan meninggalkan jamaah.”
(HR. Bukhori Muslim)
4.
Dari Aisyah berkata :
“Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mu’min yang sudah meninggal seperti mematahkan tulangnya saat dia masih hidup.”
(HR. Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu Hibban 776, Baihaqi 4/58, Ahmad 6/58 dengan sanad shohih, lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 295)
Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari : “Hadits ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang mu’min setelah dia meninggal sama sebagaimana tatkala dia masih hidup.”

Macam-macam tujuan membedah jenazah

Dilihat dari tujuannya praktek bedah dan otopsi mayat ada beberapa macam. Namun yang paling sering dilakukan ada tiga macam, yaitu :
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
    Untuk keperluan ini seorang dokter melakukan otopsi jenazah. Apakah memang dia meninggal karena tindakan kriminalitas atau karena mati biasa, kalau memang karena tindakan kriminalitas maka akan dicari tanda-tanda yang memungkinkan akan bisa mengungkap siapa pelakunya. Namun jika meninggal dengan cara yang wajar maka berarti tidak perlu dicari pelakunya atau kalau mungkin sudak ditangkap pihak kepolisian bisa segera di bebaskan.
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian secara umum
    Dengan otopsi ini seorang dokter bisa mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian pasien, sehingga kalau memang ini adalah sebuah wabah dan dikhawatirkan terjangkit pada masyarakat lainnya bisa segera dilakukan tindakan preventif agar tidak menyebar.
  • Otopsi untuk keperluan praktek ilmu kedokteran.
    Otopsi ini diperlukan mahasiswa fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia. Ini sangat diperlukan sekali agar bisa mengetahui adanya penyakit pada organ tubuh tertentu secara tepat.
    Dan masih banyak tujuan-tujuan lain.
Secara umum hukum dari masalah ini berangkat dari apakah otopsi jenazah seorang muslim itu memang terpaksa harus dilakukan ? karena pada dasarnya tidak boleh melukai, mematahkan tulang dan lainnya dari jasad seorang muslim berdasarkan hadits Aisyahdiatas terkecuali kalau memang dalam keadaan dlorurot harus melakukan itu maka boleh dilakukan berdasarkan firman Alloh Ta’ala tentang makanan yang haram dimakan :
“Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”
(QS. Al Baqoroh : 173)
juga berdasarkan sebuah kaidah fiqh yang masyhur bahwasannya keadaan dlorurot (terpaksa) itu bisa menghalalkan sesuatu yang haram.
Namun untuk memprediksikan apakah ini sudah dalam keadaan dlorurot ataukah belum sering terjadi perbedaan pandangan diantara para ulama’ yang menjadikan merekapun berselisih dalam hukumnya. Untuk lebih jelasnya, kita bahas satu persatu permasalahan yang ada :
Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang dikandungnya.
Apabila ada ibu meningal dunia dalam keadaan mengandung sedangkan bayi yang dikandungnya masih hidup, para ulama berselisih apakah harus di bedah perut ibu atau bagaimana?
Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. (Lihat Syarah Mukhtashor Kholil Syaikh Ahmad Dirdir dan Al Inshof Imam Al Mardawi 2/556, Kasyaful Qina’ 2/130).
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu yang masih belum jelas.
Rosululloh bersabda : “Mematahkan tulang orang mu’min yang telah meninggal sama seperti mematahkan tulang seorang mu’min yang masih hidup.” Juga karena Rosululloh melarang untuk mencincang mayat.
Namun Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’ Malikiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya. (Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab Imam Nawawi 5/301, Al Muhalla 5/166) Dan ini adalah madzhab yang Rojih insya Alloh.
Berkata Syaikh Rosyid Ridlo menanggapi madzhab Imam Malik dan Ahmad :
“Berdalil dengan hadits Aisyah untuk membiarkan bayi yang masih hidup dalam perut ibu sampai meninggal adalah sesuatu yang aneh bila ditinjau dari dua segi :
  • Bahwasannya membedah perut tidak akan mematahkan tulangnya.
  • Bahwasannya hidupnya janin apabila telah sempurna bentuknya lalu dikeluarkan dengan jalur oprasi bedah. Hal ini sering terjadi. Dari sini ada dua hal yang bertentangan antara menyelamatkan nyawa bayi itu ataukah menjaga kehormatan sang ibu untuk tidak dilakukan pembedahan dan mematahkan tulangnya ? tidak diragukan lagi bahwa kemungkinan pertana itulah yang lebih rajih. Ditambah lagi bahwasannya pembedahan perut sang ibu untuk tujuan ini bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi bedah tersebut.”
Berkata Syaikh Al Albani :
“Apa yang dipilih oleh Syaikh Rosyid Ridlo adalah madzhab Syafi’iyah sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, dan beliau mengatakan bahwa ini adalah madzhab Abu Hanifah dan jumhur ulama’ juga madzhab Ibnu Hazm dan ini adalah sesuatu yang benar Insya Alloh.”
(Lihat Ahkamul Janaiz hal : 297)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Al Muhalla :
“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”

Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa

Jika ada seseorang dalam keadaan sangat kelaparan yang mana kalau tidak makan akan meninggal dunia lalu dia tidak menemukan apa-apa kecuali daging mayat manusia, maka para ulama’ berselisih pendapat apakah boleh baginya memakan dagingnya ataukah tidak ?
Berkata Imam Nawawi :
“Boleh memakan daging manusia yang tidak ma’shum,(1) semacam orang kafir harbi,(2) orang murtad, pezina muhshon dan lainnya. Adapun orang yang terjaga kehormatannya seperti mayat muslim, kafir dzimmi atau musta’man (3) maka haram memakan daging mereka. Terkecuali kalau memang tidak mendapatkan apa-apa kecuali daging mayat manusia yang ma’shum maka dibolehkan memakan dagingnya.”
(Lihat Roudlotut Tholibin 2/284 dengan ringkas)
Berkata Syaikh Ahmad Dirdir :
“Tidak boleh bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakan daging manusia meskipun mayat itu orang kafir. Namun Imam Ibnu Arafah membolehkannya.”
(Lihat Syarah Kabir Ala Mukhtashor Al Kholil 1/)
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Ulama’ madzhab Hambali mengharamkan memakan daging manusia yang ma’shum karena kehormatannya meskipun dalam keadaan terpaksa, namun boleh memakan daging mayat orang kafir harbi dan orang murtad karena keduanya tidak memiliki kehormatan baik dia temukan dalam keadaan sudah meninggal atau dia membunuhnya terlebih dahulu. Imam Syafi’I dan sebagian Hanafiyah berkata : “boleh memakan daging manusia ma’shum.” Dan pendapat inilah yang lebih benar karena kehormatan orang yang masih hidup lebih utama daripada kehormatan yang telah meninggal.”
(Al Mughni 11/79 dengan ringkas dan lihat pula Al Inshof oleh Al Mardawi 10/376)
Berkata Imam Ibnu Hazm :
“Semua yang diharamkan baik berupa makanan ataupun minuman seperti babi, binatang buruan di daerah haram, bangkai, darah, daging binatang buas, khomer dan lainnya kalau dalam keadaan terpaksa menjadi halal untuk memakannya selain daging manusia, maka tidak boleh memakannya baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak karena kewajiban terhadap mayat adalah menguburnya yang berarti haram diperlakukan dengan selainnya.”
(Al Muhalla 5/426)

Hukum otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran

Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Alloh telah menetapkan beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rosululloh. Diantara kaedah tersebut adalah
“Apabila berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling banyak maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di lakukan yang paling ringan mafsadahnya”
(Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 45-48)
Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindakan kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah menular sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar banyak mengandung manfaat untuk ummat.
Semua ini kalau bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih kuat masalahatnya sehingga bisa dihukumi boleh ataukah tidak ?
Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka prektek bedah semacam ini diperbolehkan. Wallahu A’lam
Jika ada yang bertanya : Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja ?
Jawab : Ada perbedaan yang sangat tajam antara organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam belajar kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini di Abhats Haiah Fatwa Kibarul Ulama’ hal :48-67)
Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah yang lebih selamat. Berkata Syaikh Al Albani disela-sela ucapan beliau tentang keharaman membongkar kuburan muslim :
“Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas kedokteran yaitu : “Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan bahan penelitian kedokteran ?
Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim namun boleh terhadap lainnya.
(Ahkamul Janaiz hal : 299)
Ada baiknya kita turunkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama’ no 47 tanggal 20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.
Jawab :
Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu :
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
  • Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
  • Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran
Setelah di bahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majlis memutuskan sebagai berikut :
Untuk masalah pertama dan kedua, majlis berpendapat tentang diperbolehkannya untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan mayat yang di otopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak.
Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis, maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam AhmadAbu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh bersabda :
“Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”
Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum, maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut harus Cuma dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum. Wallahul Muwaffiq.

Faedah :

Karena sedikit ada keterkaitan dengan masalah ini, maka kita bahas juga masalah :

Hukum membongkar kuburan muslim

Hadits Aisyah diatas menunjukkan keharaman membongkar kuburan seorang muslim karena akan bisa memecahkan tulangnya. (Lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 298)
Berkata Imam Nawawi :
“Tidak boleh membongkar kuburan muslim tanpa ada sebab syar’I. Dan dibolehkan kalau ada ada sebab syari seperti kalau mayat dalam kuburan itu sudah hancur dan berubah menjadi tanah. Kalau memang sudah demikian boleh mengubur orang lain di situ juga boleh menanam tanaman atau membangun bangunan atau lainnya jika sudah tidak lagi terdapat tulang belulang mayat disitu. Dan untuk menentukan hal ini tergantung pada daerah masing-masing.”
(Al Majmu’ :5/303)
Berkata Syaikh Al Albani :
“Dengan ini dapat diketahui haramnya perbuatan yang dilakukan sebagian pemerintah muslim yang mana mereka membongkar kuburan muslim untuk dijadikan perumahan atau lainnya.”
(Ahkamul Janaiz hal : 198)
Namun jika kuburan itu kuburan orang-orang kafir maka sama sekali tidak dilarang membongkar kuburan mereka, karena mereka sama sekali tidak punya kehormatan, berdasarkan mafhum mukholafah dari hadits Aisyah tersebut diatas. Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik yang sangat panjang yang intinya :
“Tatkala Rosululloh datang ke kota madinah, beliau memerintahakn untk membangun masjid dan beliau mendapatkan tanah wakaf dari Bani Najjar yang didalamnya ada kuburan orang-orang musyrik maka Rosululloh memerintahkan untuk membongkar kuburan itu dan meratakannya.”
(HR. Bukhori Muslim)
Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar :
“Dalam hadits ini terdapat hukum dibolehkannya mengelola tanah kuburan yang didapat lewat hibah atau jual beli, juga boleh membongkar kuburan tua apabila tidak ada kehormatannya juga dibolehkan sholat di bekas kuburan orang-orang musyrik setelah dibongkar dan dikeluarkan isinya juga dibolehkan membangun masjid ditanah tersebut.”
Wallahu A’lam
_______________________________________
  • (1) Ma’shum disini berarti orang yang terjaga harta, jiwa dan kehormatannya, dalam artian tidak boleh dibunuh, dirampas hartanya kecuali dengan haknya. Mereka adalah orang islam dan orang kafir yang tidak memerangi ummat islam. (Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 56)
  • (2) Yaitu orang-orang kafir yang memerangi ummat islam, mereka boleh dibunuh dimanapun berada sebagaimana firman Nya : “Dan bunuhlah mereka dimanapun kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqoroh : 191)
  • (3) Yaitu orang kafir yang hidup di negri muslim, mereka tunduk dan patuh kepada pemerintah muslim dan membayar jizyah, sebagaimana firman Alloh surat At Taubah : 29
    Kafir Musta’man adalah orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan daro orang islam. Keduanya haram dibunuh dan di rampas hartanya.
  • Jumat, 24 Agustus 2012

    PRINSIF -PRINSIF DALAM MENDIDIK ANAK

     http://albayan.co.uk/id/article.aspx?id=94

     
    Orang tua bijak adalah orang tua yang mentarbiyah dan merawat anaknya sejak dini dengan harapan agar ia dapat menikmati bakti dan kebaikan anaknya di usia senja.
    Banyak contoh tarbiyah sukses yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya.  Di antara contoh yang paling baik dan kami rekomendasikan bagi orang tua unuk menggali prinsip-prinsip ideal dalam menerapkan tarbiyah adalah wasiat-wasiat Luqman al Hakim kepada putranya.
    Sebuah wasiat mulia yang memiliki nilai sangat tinggi di sisi Allah, hingga Allah mengabadikannya dalam kitab teragung yang diterima oleh umat manusia. Nilainya semakin tinggi karena yang member wasiat tersebut bukan orang biasa, tetapi orang yang telah disaksikan Allah kebijaksanaannya. Kesaksian ini menjadi yang paling besar, karena berasal Allah yang Maha Bijaksana.
    Allah menjadikan namanya sebagai nama bagi surah yang memuat wasiat-wasiat ini dan dibaca oleh jutaan orang dari setiap generasi umat ini. Agar hal itu menjadi manhaj dalam menunaikan tanggung-jawab yang dipikulkan kepada mereka berupa penyiapan generasi masa depan yang akan mengambil alih estafet khilafah di atas permukaan bumi.
    Kajian kami mengenai wasiat ini bukanlah penjelasan, karena hal itu telah dilakukan oleh para ahli tafsir, semoga Allah melipatgandakan pahala mereka. Tetapi kajian ini hanya upaya untuk mengangkat beberapa kaedah atau prinsip yang menjadi landasan utama wasiat tersebut.
    Bagi kami, prinsip-prinsip ini tidak kurang urgensinya dari penjelasan tentang wasiat itu sendiri, bahkan bisa jadi lebih urgen. Kesimpulan ini lahir dari keyakinan kami bahwa tarbiyah yang sukses bukan sekadar wasiat dan nasehat yang tidak dibangun di atas suatu landasan, hanya sekadar warisan yang diterima secara turun-temurun. Tetapi hendaknya wasiat itu dibangun di atas sebuah landasan yang benar dan dijalani orang tua dalam mendidik anak-anaknya sejak usia dini, agar tarbiyah tersebut membuahkan hasil, sejalan dengan perubahan dan kemajuan zaman yang menambah perlunya wasiat lain yang lebih cocok. Agar mereka mampu hidup di zamannya dengan berdaya guna, dan menunaikan tugas khilafah yang menjadi  tujuan ia diciptakan.
    Dengan semua pertimbangan itu perlu kiranya mengemukakan kaedah-kaedah yang mengikat, mengarahkan, serta menyingkap wasiat ini. Agar orang tua memahami hikmah yang terdapat dalam wasiat Luqman lalu meletakkannya pada tempat dan waktu yang tepat supaya mencapai tujuan yang diharapkan dari proses tarbiyah. Sebuah ungkapan mengatakan: "hikmah adalah meletakkan sesuatu pada waktu dan tempat yang tepat."
    Prinsip-prinsip tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
    Pertama, komitmen orang tua untuk senantiasa menasehati dan mengarahkan anaknya saat masih dalam asuhannya, khususnya pada fase awal perkembangannya yang merupakan usia paling siap untuk memperoleh nilai-nilai tarbiyah. Pada usia inilah sentuhan pertama diletakkan untuk meembentuk kepribadiannya.
    Tarbiyah yang sukses bukan hanya sekadar pandangan sesaat atau pertemuan-pertemuan singkat lalu orang tua berharap hasil yang maksimal. Tarbiyah merupakan proses yang panjang dan memerlukan interaksi yang intensif. Di dalamnya, orang tua bertemu dengan anak-anaknya untuk melihat kondisi sebelumnya dan memperbaiki kekeliruan dan meluruskan penyimpangan. Dan melihat kepada kondisinya saat ini, serta  memandang masa depannya untuk membangun pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang mulia sesuai dengan kebutuhan anak-anaknya.
    Inilah yang disebutkan oleh Allah Ta'ala tentang Luqman:
    {وَإذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ}
    Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. (QS. Luqman: 13)

    Kalimat ya'izhuhu merupakan jumlah fi'liyah (kalimat yang dimulai dengan kata kerja, pent.).  Kalimat tersebut mengindikasikan sebuah proses dan pembaruan yang berkesinambungan. Karena Luqman rutin memberikan wasiat dan nasehat tersebut kepada putranya setiap saat sesuai kondisinya. Para ahli tafsir telah menyebutkan sebagian di antara majelis-majelis ini dalam kitab-kitab mereka. 
     Kedua, wasiat Luqman lahir dari hikmah, tidak muncul secara serampangan. Wasiat tersebut berangkat dari ilmu dan pengalaman.
    Allah berfirman:
    {وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْـحِكْمَةَ}
    Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman. (QS. Luqman: 12)

    Anda melihat pada ayat-ayat wasiat tersebut, Allah menjadikan hikmah sebagai mukaddimah sebelum menyebutkan wasiat-wasiat Luqman. Tentu hal itu merupakan mukaddimah yang diperlukan dari orang tua, sebelum mereka memasuki area tarbiyah.
    Orang tua harus terlebih dahulu menyelami sumber-sumber pengetahuan yang tersedia untuk mengambil asas-asas tarbiyah yang sukses. Yaitu sumber-sumber yang pada era ini telah banyak ragamnya, misalnya; pelatihan, buku, konsultasi para ahli di bidangnya, pengalaman orang lain, dan lain-lain.
    Ketiga,  menggunakan banyak cara untuk meyakinkan. Tidak menjadikan taujihat (pengarahan, pent.)  yang disampaikan kepada anak-anak sebatas perintah yang tidak disertai alasan. Tetapi seharusnya dibarengi dengan hal yang memiliki daya tarik untuk berkomitmen dengannya.
    Di antara cara-cara tersebut adalah memberikan alasan suatu perintah atau menjelaskan sebab-sebab buruknya kemungkaran dan besarnya bahayanya. Memperindah kebajikan dan menyebutkan keutamaannya. Menghubungkan taujihat tersebut dengan kehidupan akhirat, kecintaan, dan keridhaan Allah, serta muraqabah (pengawasan) dan hisab (perhitungan) Allah.
    Berikut ini beberapa contohnya.
    a.       Mengemukakan alasan suatu perintah dengan penjelasan sebab-sebabnya. Pada saat Luqman memerintahkan anaknya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ia menyebutkan alasannya dan menyatakan:
    {حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ}
    Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. (QS. Luqman: 14)
     
    Mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah, melahirkan, lalu menyusuinya selama dua tahun. Semua pengorbanan itu tentunya harus dibalas dengan kebaikan.
    {أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إلَيَّ الْـمَصِيرُ}
    Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
     
    b.      Menjelek-jelekkan kemungkaran dan menyatakan bahayanya yang besar. Saat Luqman melarang anaknya dari kesyirikan, ia menjelaskan bahayanya. Luqman menyatakan:
    {يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
    Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman: 13)
     
    Ia juga menjelaskan kepada putranya akibat buruk mengangkat suara tanpa ada hajat keperluan.
    {وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْـحَمِيرِ}
    Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 19)
     
    c.       Memperindah kebajikan dan menyebutkan keutamaannya. Tatkala Luqman menyuruh putranya bersabar dalam memikul beban perbaikan dan perubahan, serta memerangi kerusakan dan para perusak, ia menyebutkan kepadanya sisi kebaikan perilaku ini dan bahwa hal ini merupakan karakter ulul azmi. Ia menyatakan:
    {وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ}
    Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
     
    d.      Menghubungkan nasehat-nasehatnya dengan dimensi kehidupan akhirat. Saat Luqman mewasiatkan kepada putranya untuk bersyukur kepada Allah sebagai Pemberi utama nikmat dan karunia, kemudian berterima kasih kepada kedua orang tua sebagai perantara penyampai nikmat itu, ia membarenginya dengan kehidupan akhirat.
    {أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إلَيَّ الْـمَصِيرُ}
    Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
     
    e.      Menghubungkan nasehat-nasehatnya  dengan kontrol dan hisab Allab. Pada saat ia meminta putranya mendampingi orang tuanya dengan cara yang baik, meskipun mereka berupaya keras menyeretnya kepada kesyirikan dan bersungguh-sungguh mengembalikannya dari agamanya, ia menghubungkannya dengan kontrol dan hisab Allah Subhanah
    {وَإن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
    فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إلَيَّ ثُمَّ إلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ 15
    يَا بُنَيَّ إنَّهَا إن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ
    أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ}
    Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Luqman: 15-16)
     
    f.        Mengikat nasehat dengan kecintaan dan keridhaan Allah. Tatkala ia melarang putranya dari fenomena kesombongan ia membarenginya dengan kecintaan dan keridhaan Allah.
    {وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ}
    Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman: 18).

    Keempat, wasiat yang berusaha membangun pribadi yang seimbang antara sikap ekstrim dan sikap tidak peduli. Tidak cenderung kepada salah satu dan meninggalkan yang lain, sehingga tidak ada ketaatan pada orang tua dalam ajakannya melakukan syirik. Tetapi pada saat yang sama, ia tidak memutus hubungan dengannya, sebagai upaya menjaga kebaikannya saat si anak masih kecil.
    {وَإن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا}
    Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman: 15)
     
    Kalau ia berjalan, maka jalannya sedang-sedang, antara cepat dan lambat, atau antara berjalan dengan gaya sombong dengan gaya malas.
    {وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ}
    Dan sederhanalah kamu dalam berjalan. (QS. Luqman: 19)

    Jika berbicara, ia merendahkan suara dan tidak membesarkannya lebih dari kebutuhan pendengar.
    {وَاغْضُضْ مِن صَوْتِك}
    Dan lunakkanlah suaramu.

    Kata“min”dalam ayat tersebut merupakan min tab’idh (yang menunjukkan sebagian, pent.). Karena kadang-kadang kita perlu membesarkan suara akibat jauhnya jarak pendengar atau karena lemahnya pendengarannya.
    Jika ia berbuat kebaikan, ia memasukkan nilai-nilai dakwah ke dalamnya,
    {يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ}
    Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. (QS. Luqman: 17)
     
    Tarbiyah dengan qudwah (teladan) yang baik sebelum nasehat yang baik, praktek sebelum teori, akhlak yang baik sebelum ucapan yang baik, perbaikan diri sendiri sebelum perbaikan anak-anak, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang ahli hikmah kepada murabbi (pendidik, pent.) bagi anak-anaknya:
    (وليكن أول ما تبدأ به من إصلاح بنيك إصلاح نفسك، فإن أعينهم معقودة بعينك،
    فالحسن عندهم ما استحسنتَ والقبيح عندهم ما استقبحتَ)
    Hendaknya yang pertama-tama anda lakukan dalam memperbaiki anak anda adalah memperbaiki diri anda sendiri. Karena mata mereka terikat dengan mata anda. Yang baik bagi mereka adalah apa yang anda pandang baik, dan yang buruk bagi mereka adalah apa yang anda pandang buruk.

    Dalam kisah Luqman, Allah memulai wasiat-wasiat-Nya dengan dua hal.
    Pertama, Allah menyebutnya sebagai hikmah, ini berarti ilmu dan aplikasi ilmu sesuai kemampuan.
    Kedua, Allah menasehati Luqman, sebelum ia menasehati putranya. Allah juga menyuruh dan melarangnya sebelum ia menyuruh dan melarang putranya. Mengajaknya bersyukur atas suatu nikmat sebelum ia mengajak putranya bersyukur.
    {وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْـحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
    وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
    Semua itu dilakukan agar ia lebih dahulu mengaplikasikan wasiat-wasiat tersebut sehingga ia menjadi teladan, dan ajakannya sejalan dengan pelaksanaannya. Sehingga ia lebih ditaati dan diteladani. Dalam sebuah kata mutiara disebutkan:
    (حال رجل في ألف رجل خير من قول ألف رجل لرجل)
    Kondisi satu orang di antara seribu orang lebih baik pernyataan seribu orang kepada satu orang.
     
    Kelima, pengarahan memperhatikan skala prioritas sesuai dengan ketentuan syariat. Mendahulukan yang perlu didahulukan dan menunda yang perlu ditunda. Hak Allah berupa tauhid dan ibadah yang ikhlas semata kepada-Nya didahulukan atas hak taat kepada kedua orang tua.
    Lantaran itu, Luqman mendahulukan hak Allah Ta’ala dan menyatakan:
    {يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
    Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman: 13)
     
    Lalu dibarengi dengan hak orang tua:
    {وَوَصَّيْنَا الإنسَانَ بِوَالِدَيْهِ}
    Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. (QS. Luqman: 14)
     
    Kemudian dipertegas lagi dengan firman-Nya:
    {وَإن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا}
    Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (QS. Luqman: 15)

    Syukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat berupa terwujudnya sarana pembinaan lebih didahulukan atas syukur kepada kedua orang tua yang melakukan pembinaan.
    {أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ}
    Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.

    Perbaikan pribadi lebih didahulukan atas perbaikan masyarakat. Dalam rangka itu, ia mewasiatkan kepada putranya untuk menegakkan shalat yang merupakan sarana utama memperbaiki pribadi sebelum berwasiat kepadanya untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar yang merupakan sarana utama memperbaiki masyarakat.
    {يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
    إنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ}
    Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
     
    Keenam, pengarahan hendaknya tidak lebih dominan melarang keburukan daripada mengenalkan kebaikan. Tidak melarang kemungkaran kecuali sebanding dengan menyeru kepada kebaikan. Tidak melarang akhlak yang buruk kecuali sebanding dengan menyeru kepada akhlak yang baik. Bukan tarbiyah negative, yang hanya melarang keburukan lalu meninggalkan ajakan kepada kebaikan.
    Tarbiyah adalah peningkatan. Barangsiapa merasa cukup dengan mencegah keburukan, melarang kemungkaran, dan menakut-nakuti kejelekan, lalu kita tidak melihatnya memperkenalkan kebaikan, melakukan amar makruf, dan memotivasi akhlak mulia, maka ia pada hakekatnya hanya meruntuhkan dan tidak membangun. Padahal tarbiyah yang sukses adalah tarbiyah yang meliputi kegiatan meruntuhkan dan membangun, atau mengosongkan dan mengisi, atau menyucikan dan menumbuhkan. Yaitu menghilangkan dan meruntuhkan akhlak yang buruk dan membangun akhlak yang baik.
    Di sinilah kita dapati Luqman menggambungkan antara dua peran tersebut. Pada saat ia melarang syirik dan fenomena kesombongan, ini merupakan tindakan meruntuhkan keburukan. Pada saat yang bersamaan ia juga menyeru kepada taat kepada kedua orang tua, menegakkan shalat dan memperbaiki masyarakat. Ini merupakan upaya menumbuhkan akhlak yang mulia.
    Ketujuh, pengarahan dibangun di atas tawaran solusi, diagnosa penyakit dan pemberian resep. Yaitu mengungkap fenomena penyimpangan yang merupakan indikasi dan tanda keburukan. Lalu memberi usulan resep sebagai solusinya, berupa fenomena kebaikan yang mengantar kepada terwujudnya akhlak mulia. Mari kita perhatikan ungkapan Luqman dalam mendiagnosa penyakit dari fenomena yang tampak. Ia berkata:
    {وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ}
    Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman: 18)
     
    Semua itu mengindikasikan bahwa pelakunya ditimpa penyakit sombong. Kemudian kita perhatikan lagi saat ia memberikan solusi, sarana dan resep agar sembuh dari penyakit tersebut dan memperoleh hasil sebaliknya. Ia berkata:
    {وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ}
    Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.

    Sebagaimana berjalan dengan gaya sombong, memalingkan muka dan membesarkan suara sebagai upaya menonjolkan diri dan menarik perhatian, semuanya  merupakan indikasi atau sarana kesombongan, maka sederhana dalam berjalan dan melunakkan suara merupakan sarana menggapai sifat tawadhu' sekaligus menjadi indikasinya.
    Kedelapan, menggunakan berbagai media pembelajaran yang memungkinkan dan dapat mendekatkan makna demi memahamkan isi arahan. Khususnya bagi anak-anak yang masih memerlukan penggambaran dan benda-benda nyata yang tidak asing lagi bagi mereka dalam belajar pengetahuan, dan memahami isi lebih diperlukan bagi anak daripada pengetahuan teoritis.
    Luqman telah menggunakan berbagai media dalam mengajarkan wasiat ini, seperti; menggunakan amtsal (perumpamaan), kata-kata kiasan, dan tasybih (analogi).
    Di antaranya, ia menyatakan:
    {يَا بُنَيَّ إنَّهَا إن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ
    أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ}
    Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Luqman: 16)
     
    Juga menyatakan:                                                          
    {وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ}
    Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong). (QS. Luqman: 18)

    Ibn Katsir mengatakan, "Sha'r pada mulanya adalah penyakit yang menimpa leher atau kepala unta hingga lehernya hancur, lalu orang yang sombong diserupakan dengannya."
    Luqman juga mengatakan:
    {وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْـحَمِير}
    Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 19)
     
    Contoh gambaran yang digunakan Luqman dalam menasehati putranya adalah khardal (biji sawi), shakhrah (batu besar), tasha'ur (memalingkan muka), dan suara keledai. Semuanya merupakan hal nyata dan tidak asing pada zamannya.
    Tidak diragukan lagi bahwa kemajuan modern, revolusi teknologi dan peradaban kontemporer telah menghasilkan sangat banyak media yang dapat digunakan untuk mendekatkan pemahaman dan menerangkan isi nasehat kepada benak anak-anak.
    Kesembilan, wasiat komprehensif, meliputi segala yang diperlukan anak didik dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Yang dapat menjadikan setiap individu dari mereka menjadi saleh  secara pribadi dan muslih (agen perubahan) bagi orang lain. Melakukan dan menyerukan kebaikan, komitmen dengan nilai-nilai kebaikan, serta berusaha mewujudkannya. Mengenal hak-hak Allah, hak-hak pribadi dan orang lain, khususnya hak orang yang berbuat baik kepadanya.
    Ia berusaha memperbaiki hubungan pribadinya kepada Allah dengan tauhid yang tulus dan pengamalan syariat, juga memperbaiki kondisi pribadinya dengan komitmen memegang akhlak yang mulia dan meninggalkan akhlak yang buruk. Memperbaiki kondisinya di tengah keluarga dengan berbuat baik kepada orang tua, memperbaiki kondisinya di tengah masyarakat dengan menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar.
    Kesepuluh, hendaknya wasiat-wasiat itu lahir dari kecintaan orang tau kepada anak-anak dan semangatnya memperbaiki mereka.
    Mungkin anda bisa rasakan hal ini dalam panggilan Luqman kepada putranya. Ia tidak memanggil mereka dengan namanya, tapi dengan kata “Ya Bunayya” (wahai anandaku). Dia mengulang-ulangi kata tersebut dalam kebanyakan wasiatnya.
    Kata ini dapat menghilangkan jarak dan mendekatkan hati, mengeluarkan semua nilai-nilai kasih sayang. Anak-anak pun dapat merasakan kehangatan orang tua. Kata-kata yang menjadikan mereka lebih banyak menerima dan mengamalkan wasiat-wasiat orang tuanya.
    Adakah ungkapan yang lebih indah dari panggilan seorang ayah kepada putranya daripada ungkapan yang menggambarkan hubungan yang erat antara keduanya?
    Anak dapat merasakan bahwa hak hubungan yang kuat inilah yang mendorong orang tuanya memberikan pesan-pesan yang membawa kemaslahatan bagi agama dan akhiratnya, masa kini dan yang akan datang, cepat ataupun lambat.
     
    Epilog
    Setelah mengkaji wasiat-wasiat ini, kita dapat memahami dan melihat bahwa di antara karakteristik tarbiyah sukses yang digambarkan al-Qur'an dan diabadikan hingga akhir zaman, dijadikannya sebagai buah hikmah yang diberikan Allah kepada hambanya Luqman, dan dijadikannya sebagai prinsip bagi orang tua dalam mendidik anaknya adalah tarbiyah yang di dalamnya orang tua selalu menasehati dan mengarahkan anak-anaknya. Ia selalu bertolak dari pengetahuan dan pengalaman, disertai dengan hal-hal yang memberi daya tarik untuk selalu komitmen dengannya.
    Ia menggabungkan antara upaya melarang keburukan dengan pengenalan terhadap kebaikan, memberikan alternatif pilihan, mendiagnosa penyakit, dan memberi resepnya.
    Memulai dengan qudwah yang baik sebelum nasehat yang baik. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan menimbangnya dengan timbangan syariat.
    Menggunakan semua media yang memungkinkan untuk mendekatkan makna dan menerangkan pemahaman.
    Berusaha untuk membangun kepribadian yang seimbang, mencakup segala yang diperlukan oleh setiap pribadi dalam kehidupan sosial dan individu. Lahir dari cinta dan semangat orang tua untuk  memperbaiki anak-anaknya.
    Sejauh mana komitmen orang tua dengan manhaj yang diajarkan oleh wasiat ini, sejauh itu pula kesuksesan mereka dalam menjalankan tarbiyah. Kegembiraan dan kebahagiaan mereka dengan menikmati hasilnya pada anak-anak mereka yang merupakan harta milik yang paling berharga dalam hidupnya. Yaitu harapan bakti dan kebahagiaan dari mereka saat usia telah senja. Dan peninggalan paling berharga setelah wafatnya berupa kenangan yang tak terlupakan dan pahala yang tak terputus.
    Dalam suatu hadits, Nabi bersabda:
    «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به
    أو ولد صالح يدعو له»
    Apabila anak keturunan Adam telah wafat, maka putuslah amalannya kecuali tiga; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.[1]

    Sungguh tepat sabda Rasulullah saat menyatakan:
    «ما نحل والد ولده نحلاً أفضل من أدب حسن»
    Tiada pemberian yang lebih baik diberikan oleh orang tua kepada anaknya daripada etika yang baik.[2]
     
    Maksudnya adalah hadiah yang paling baik yang diberikan orang tua kepada anaknya adalah memperbaiki akhlaknya. #**

     

    [1] Diriwayatkan oleh Muslim.
    [2] Ahmad, al-Musnad.