Halaman

Sabtu, 26 Maret 2011

MENYIKAPI KHILAFIYAH

Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah”.

Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)

Macam-macam Khilaf

Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.

1. Ikhtilaf tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.

2. Ikhtilaf tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.

3. Ikhtilaf afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)

Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama

Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.

Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:

1. Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء" artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.
(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Sikap Kita terhadap Perselisihan yang Ada

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah. Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:

1. Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.
2. Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka. (Lihat Kitabul 'Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu)

Bolehkah Mengingkari Pihak Lain dalam Permasalahan yang Sifatnya Khilafiyah?

Ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, masalah-masalah khilafiyah dan masalah-masalah ijtihadiyah.
Masalah khilafiyah lebih umum sifatnya daripada masalah ijtihadiyah. Karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur`an, hadits, atau ijma’. Permasalahan khilafiyah yang seperti ini harus diingkari.
Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah yang memang tidak ada nash atau dalil dalam permasalahan tersebut. Dalam masalah ijtihadiyah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala dia mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, maka yang menyelisihinya tidak boleh mencela.
Sebagai misal dalam masalah khilafiyah -untuk membedakan antara keduanya- adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini salah karena bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Al-Irwa` no. 1839)
Ini dinamakan masalah khilafiyah.
Adapun contoh masalah ijtihadiyah seperti bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari ruku’, di mana tidak ada nash yang sharih (jelas) yang menunjukkan posisi tangan setelah ruku’. Wallahu a’lam.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan: “Ucapan mereka (sebagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiyah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Karena pengingkaran adakalanya tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, atau amalan. Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah menyebar maka wajib untuk diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkaran tidak secara langsung, namun menjelaskan lemahnya pendapat ini dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran. Adapun masalah amalan jika ia menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran. Bagaimana seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas batalnya keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah, meskipun keputusan tadi telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?! Adapun bila dalam suatu permasalahan tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijma’ dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam hal ini, (maka benar) tidak boleh diingkari orang yang mengamalkannya, baik dia seorang mujtahid atau yang mengikutinya….” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)
Permasalahan ijtihadiyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapapun besarnya permasalahan. Karena jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai, tidak punya kekuatan dan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang empuk bagi para musuh Islam. Sebagian orang tidak memerhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama dijadikan dasar untuk memberikan loyalitas karenanya atau memusuhi yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini akan memicu berbagai kerusakan dan kebencian yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya. Hendaklah semboyan kita dalam permasalahan seperti ini adalah berlapang dada, yang mana salafus shalih berlapang dada padanya. Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah. (Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf dan Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah)

Dianjurkan untuk Keluar dari Lingkup Perselisihan
Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogianya dijadikan pegangan yaitu:
يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ
“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”
Puncak yang dicapai dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, maka perkara sunnah ditinggalkan.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan rencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya, di mana banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam dikhawatirkan akan punya anggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan nantinya mereka bisa murtad dari agama karenanya.
Demikian pula sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhumengingkari Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di saat ia shalat dengan tetap seperti ketika bermukim (tidak qashar) dalam bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan tidak meng-qashar dan mengikuti khalifah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu sejak dahulu ulama telah sepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh perempuan.
Kemudian yang perlu diperhatikan, dalam perkara yang diperselisihkan keharamannya maka jalan keluarnya adalah dengan meninggalkannya. Sedangkan perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya maka jalan keluarnya adalah dengan dikerjakan.
Namun tingkatan untuk dianjurkan keluar dari area khilaf berbeda-beda sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi. Jika dalil yang menyelisihi lemah maka tidak dianggap, terlebih jika menjaga kaidah ini (karena dalil yang lemah) bisa menyampaikan kepada meninggalkan sunnah yang telah kuat.
Sebagai misal, bila ada yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam shalat menjadikan batal shalatnya. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam permasalahan ini.
Kemudian juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai karena menjaga kaidah ini kita menyelisihi ijma’. Jadi untuk bisa dijalankan kaidah tadi adalah dengan melihat kuatnya dalil orang yang khilafnya teranggap. Adapun bila khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil maka tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya di bawah orang yang diselisihinya. (Diringkas dari Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah karya Ali Ahmad An-Nadawi dari hal. 336-342)

Adab yang harus Diperhatikan untuk Mengobati Perselisihan yang Terjadi di Antara Ahlus Sunnah
Pertama: Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif. Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kedua: Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
Ketiga: Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.
Hal ini bisa terwujudkan dengan:
1. Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
2. Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
3. Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
4. Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
5. Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
6. Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
7. Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil)

Contoh Penerapan Adabul Khilaf di Masa Salaf

Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiyallahu ‘anhu salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.
Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat Zaid radhiyallahu ‘anhu mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya. Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid radhiyallahu ‘anhu menciumnya, seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”
Ketika Zaid radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)

Penutup
Telah terang atas kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya. Hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=724

Selasa, 15 Maret 2011

MENGHENINGKAN CIPTA

Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan berdiri sambil diam selama satu menit misalnya dalam rangka menghormati para pahlawan? Pada saat dimulai suatu acara tertentu orang-orang berdiri sambil diam selama satu menit dalam rangka berkabung atau menghormati arwah para pahlawan”.

ج4: ما يفعله بعض الناس من الوقوف زمنا مع الصمت تحية للشهداء أو الوجهاء أو تشريفا وتكريما لأرواحهم وحدادا عليهم – من المنكرات والبدع المحدثة التي لم تكن في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ولا في عهد أصحابه ولا السلف الصالح، ولا تتفق مع آداب التوحيد وإخلاص التعظيم لله،

Jawaban Lajnah ad Daimah (komisi Fatwa di Saudi Arabia),

“Apa yang dilakukan oleh sebagian orang berupa berdiri sambil diam beberapa waktu lamanya dalam rangka menghormati arwah pahlawan atau para tokoh demikian pula dalam rangka memuliakan dan menghormati arwah para pahlawan atau berkabung atas meninggalnya mereka merupakan kemungkaran dan bid’ah yang diada-adakan, tidak ada di zaman Nabi, tidak pula di zaman para sahabat dan salaf shalih secara umum. Perbuatan tersebut juga tidak sejalan dengan tauhid [memurnikan ibadah untuk Allah,pent] dan prinsip seorang muslim untuk tidak mengagungkan sesuatu selain Allah.

بل اتبع فيها بعض جهلة المسلمين بدينهم من ابتدعها من الكفار وقلدوهم في عاداتهم القبيحة وغلوهم في رؤسائهم ووجهائهم أحياء وأمواتا، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن التشبه بهم.

Perbuatan tersebut hanyalah perilaku kaum muslimin yang tidak paham dengan ajaran agamanya. Mereka mengikuti dan membebek orang-orang kafir yang mengada-adakan perbuatan tersebut. Mereka mengekor orang kafir dalam kebiasaan orang kafir yang jelek-jelek dan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) orang-orang kafir terhadap tokoh dan pimpinannya baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk menyerupai orang-orang kafir.

والذي عرف في الإسلام من حقوق أهله: الدعاء لأموات المسلمين والصدقة عنهم وذكر محاسنهم والكف عن مساويهم.. إلى كثير من الآداب التي بينها الإسلام وحث المسلم على مراعاتها مع إخوانه أحياء وأمواتا، وليس منها الوقوف حدادا مع الصمت تحية للشهداء أو الوجهاء، بل هذا مما تأباه أصول الإسلام.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Yang dikenal dalam ajaran Islam terkait dengan hak sesama muslim yang telah meninggal dunia adalah mendoakan mereka, bersedekah atas nama mereka, selalu mengenang hal-hal positif yang mereka miliki, tidak membicarakan kejelekan mereka dan berbagai adab lain yang dijelaskan oleh Islam dan Islam mendorong seorang muslim untuk melakukan hal-hal tersebut terhadap saudara-saudaranya sesama muslim baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dunia.

Bukanlah termasuk adab yang diajarkan oleh Islam berdiri sambil diam dalam rangka berkabung dan menghormati arwah para pahlawan atau para tokoh. Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam”.

Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selakuk ketua, Abdurrazaq Afifi selaku wakil ketua dan Abdullah bin Ghadayan serta Abdullah bin Qa’ud selaku anggota.

Demikianlah Fatwa Lajnah Daimah no fatwa 1674 pada pertanyaan no empat. Fatwa ini kami jumpai di Fatwa Lajnah Daimah 2/214-215 terbitan Dar Balansiah Riyadh KSA, cetakan ketiga tahun 1421H atau 2000M.

MENYIKAPI PAJAK

Perbedaan Antara Zakat dengan Pajak dan Syarat Diperbolehkannya Memungut Pajak

السؤال: ما الفرق بين الزكاة والضرائب ، وهل يجوز فرض هذه الضرائب؟ وهل يجب دفعها؟

Pertanyaan, “Apa perbedaan antara zakat dengan pajak? Apakah negara diperbolehkan untuk mewajibkan zakat atas rakyatnya? Apakah rakyat berkewajiban untuk membayar zakat?”

الجواب :
الحمد لله
الزكاة ركن من أركان الإسلام ، فرضها الله تعالى على المسلمين الأغنياء تحقيقاً لنوع من التكافل الاجتماعي ، والتعاون والقيام بالمصالح العامة كالجهاد في سبيل الله

Jawaban, “Zakat adalah salah satu rukun Islam yang Allah wajibkan atas kaum muslimin yang kaya sebagai salah satu bentuk solidaritas sosial dan tolong menolong untuk mewujudkan kepentingan banyak orang semisal jihad di jalan Allah.

وقد قرنها الله تعالى بالصلاة في أكثر من آية ، وهو مما يؤكد على أهميتها ، وقد ثبت وجوبها بالكتاب والسنة والإجماع .

Allah menggandengkan kewajiban zakat dengan kewajiban shalat dalam banyak ayat. Hal ini menunjukkan betapa urgennya zakat. Dalil wajibnya zakat adalah al Qur’an, sunnah dan ijma.

أما الضرائب التي تقررها الدولة وتفرضها على الناس ، فلا علاقة لها بما فرضه الله عليهم من زكاة المال .

Sedangkan pajak yang ditetapkan dan diwajibkan negara atas rakyatnya itu sama sekali tidak memiliki hubungan dengan zakat mal yang Allah wajibkan.

والضرائب من حيث الجملة : هي التزامات مالية تفرضها الدولة على الناس ، لتنفق منها في المصالح العامة ، كالمواصلات ، والصحة ، والتعليم ، ونحو ذلك .

Secara umum, pajak adalah kewajiban finansial yang diwajibkan negara atas rakyatnya. Sebagian uang pajak yang terkumpul akan digunakan untuk kepentingan umum semacam membangun sarana transportasi, kesehatan, pendidikan dll.

فالضرائب من وضع الناس وأنظمتهم ، لم يشرعها الله تعالى ، وأما الزكاة فهي شريعة ربانية ، وعبادة من أعظم عبادات الإسلام .

Pajak adalah kewajiban dan aturan buatan manusia yang tidak pernah Allah syariatkan. Sedangkan zakat adalah aturan Allah dan salah satu ibadah agung yang ada dalam Islam.

وبعض الناس لا يخرج زكاة ماله اكتفاء بالضريبة التي يدفعها للدولة ، وهذا غير جائز، فالضرائب شيء ، والزكاة شيء آخر .

Sebagian orang tidak mau membayar zakat dengan alasan karena telah merasa cukup dengan membayar pajak kepada negara. Inilah adalah alasan yang tidak bisa dibenarkan karena pajak dan zakat adalah dua hal yang berbeda.

قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء” :لا يجوز أن تحتسب الضرائب التي يدفعها أصحاب الأموال على أموالهم من زكاة ما تجب فيه الزكاة منها ، بل يجب أن يخرج الزكاة المفروضة ويصرفها في مصارفها الشرعية ، التي نص عليها سبحانه وتعالى بقوله : إنَِّماَ الصَّدقَاَت للِفْقُرَاَءِ واَلمْسَاَكيِن الآية” انتهى .فتاوى اللجنة الدائمة9/285

Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mengatakan, “Tidak diperbolehkan menilai pajak yang yang dibayarkan seseorang sebagai bagian dari zakat atas harta yang wajib dizakati. Wajib membayar zakat secara khusus dan menyalurkannya pada sasaran yang telah ditetapkan oleh syariat sebagaimana yang telah Allah firmankan yang artinya, “Zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin…” (QS at Taubah:60)” [Fatawa al Lajnah al Daimah 9/285).

والأصل في فرض الضرائب على الناس أنه محرم ، بل من كبائر الذنوب ، ومتوعد فاعله أنه لن يدخل الجنة ، وقد جاء في السنة النبوية ما يدل على أن الضريبة أعظم إثما من الزنا ، وقد سبق بيان ذلك في جواب السؤال رقم 39461

Pada asalnya mewajibkan pajak atas rakyat hukumnya haram bahkan termasuk dosa besar. Pelakunya terancam untuk tidak masuk surga. Dalam hadits disebutkan bahwa pemungut pajak itu dosanya lebih besar dari pada dosa zina.

وقد يجوز في حالات استثنائية أن تفرض الدولة ضرائب على الناس ، وفق شروط معينة ، منها:

Dalam kondisi darurat negara diperbolehkan untuk mewajibkan pajak atas rakyatnya asal memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1- أن تكون عادلة , بحيث توزع على الناس بالعدل , فلا ترهق بها طائفة دون طائفة ، بل تكون على الأغنياء ، كل شخص على حسب غناه ، ولا يجوز أن تفرض على الفقراء ، ولا أن يسوى فيها بين الفقراء والأغنياء .

Pertama, hendaknya adil artinya kewajiban membayar pajak didistribusikan di antara rakyat dengan adil, tidak hanya dibebankan pada kelompok orang kaya tertentu. Pajak hanya boleh dibebankan atas orang-orang kaya, masing-masing orang sesuai dengan tingkat kekayaannya. Tidak boleh membebankan pajak atas fakir miskin. Tidak boleh membebankan pajak atas semua orang, baik kaya ataupun miskin.

2- أن يكون بيت المال وهو ما يسمى حاليا بخزينة الدولة فارغا , أما إذا كانت الدولة غنية بمواردها , فلا يجوز فرض تلك الضرائب على الناس ، وهي حينئذ من المكوس المحرمة، والتي تعد من كبائر الذنوب

Kedua, hendaknya baitul mal yang pada era sekarang disebut kas negara dalam kondisi kosong. Sehingga jika kas negara berlimpah ruah dikarenakan sumber pendapatan negara yang lain maka tidak boleh mewajibkan pajak atas rakyat. Pajak dalam kondisi kas negara berlimpah itu dinilai sebagai pajak yang haram bahkan tergolong dosa besar.

3- أن يكون ذلك في حالات استثنائية لمواجهة ضرورة ما ، ولا يجوز أن يكون ذلك نظاماً مستمرا في جميع الأوقات .

Ketiga, pajak hanya diwajibkan atas rakyat dalam kondisi tertentu ketika menghadapi permasalahan yang sangat mendesak. Tidak boleh menjadikan pajak sebagai aturan yang bersifat terus menerus pada semua waktu.

جاء في “الموسوعة الفقهية” ( 247 / 8) أن من موارد بيت المال :
“الضَّراَئبِ المْوُظََّفةَ علَىَ الرَّعيَِّة لمِصَلْحَتَهِمِ , سوَاَءٌ أكَاَن ذلَكِ للِجْهِاَد أمَ لغِيَرْهِ , ولَا تضُرْبَ علَيَهْمِْ إَّلا إذاَ لمَ يكَنُ فيِ بيَتْ المْاَل ماَ يكَفْيِ لذِلَكِ , وكَاَنَ
لضِرَوُرةَ , وإَلَِّا كاَنتَ موَرْدِاً غيَرْ شرَعْيٍِّ” انتهى

Dalam al Mausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah jilid 8 halaman 247 disebutkan, “Di antara sumber baitul mal adalah pajak yang dibebankan atas rakyat demi kepentingan mereka baik untuk jihad ataupun yang lainnya. Namun pajak tidaklah diwajibkan atas rakyat kecuali jika dalam baitul mal tidak terdapat dana yang mencukupi untuk keperluan tersebut. Demikian pula pajak itu diwajibkan dalam kondisi darurat. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka pajak itu menjadi sumber kas negara yang tidak dibenarkan oleh syariat”.

وموارد بيت مال المسلمين المالية المباحة والمشروعة كثيرة جدا ، قد سبق ذكرها في جواب السؤال رقم138115

Sumber pendapatan kas negara muslim yang diperbolehkan oleh syariat itu banyak sekali.

فلو عمل بها المسلمون لأغناهم الله تعالى ، ولما احتاجوا إلى فرض الضرائب ، إلا في حالات نادرة جدا

Andai kaum muslimin mau memanfaatkan sumber-sumber tersebut tentu Allah akan mencukupi kebutuhan mereka sehingga negara tidak perlu mewajibkan pajak kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak yang ini tentu sangat langka terjadi.

4- أن تنفق في المصالح الحقيقية للأمة ، فلا ينفق منها شيء في معصية الله ، أو في غير مصلحة ، كالأموال التي تنفق على الممثلين والفنانين واللاعبين.

Keempat, dana hasil pajak tersebut dibelanjakan oleh negara dalam hal-hal yang bermanfaat secara real bagi rakyat, tidak ada yang dipergunakan untuk maksiat atau untuk perkara yang tidak mendatangkan manfaat semisal dana yang dikeluarkan negara untuk kepentingan artis, seniman atau pemain sepak bola.

قال الشيخ ابن جبرين رحمه الله :
“في دفع الضرائب التي تفرضها الحكومات كضريبة المبيعات ، وضريبة الأرباح ، وضريبة المصانع ، والضرائب على العمال ونحوهم ، وهي محل اجتهاد

Syeikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Tentang hukum membayar pajak yang diwajibkan oleh pemerintah semisal pajak barang (baca: Ppn), pajak atas keuntungan bisnis, pajak pabrik, pajak atas karyawan dll itu perlu mendapatkan rincian hukum.

فإن كانت الدولة تجمع الضرائب عوضاً عن الزكاة المفروضة على التجار ونحوهم لزم دفعها ،

Jika negara mengumpulkan dana pajak sebagai ganti dari zakat yang diwajibkan atas pedagang atau semisalnya maka harus membayarkannya.

وإن كانت تجمع ضرائب زائدة عن الزكاة ، ولكن بيت المال بحاجة إلى تمويل للمصالح الضرورية كالمدارس ، والقناطر ، والمساجد ، وخدام الدولة جاز دفعها ، ولم يجز كتمانها

Jika negara mengumpulkan dana pajak dan pajak tersebut lain dengan zakat namun baitul mal memang membutuhkan suntikan dana untuk pembangunan berbagai sarana vital semisal membangun sekolah, jembatan, masjid dan PNS maka membayar pajak hukumnya boleh sehingga tidak boleh menutup-nutupi adanya harta yang wajib dipajaki.

أما إن كانت الدولة تأخذ ضرائب على المواطنين غير الزكاة ، وتعبث بها في إسراف وفساد ، ولهو وسهو وحرام ، ولا تصرفها في مصارفها الشرعية كأهل الزكاة ، فإنه يجوز كتمان المال أو الأرباح حتى لا يدفع لهم مالا حراماً ، فيساعدهم على فعل المحرمات ، فقد قال تعالى : (ولَا تعَاَونَوُا علَىَ الْإثِمْ واَلعْدُوْاَن)ِ” انتهى

Namun jika negara membebani penduduk dengan pajak dan itu bukan zakat dan setelah terkumpul dana pajak tersebut digunakan untuk fora-foya, untuk dikorupsi, main-main dan kelalaian (baca:hal-hal yang haram) dan tidak membelanjakannya pada sasaran yang diperintahkan syariat semisal orang-orang yang berhak mendapatkan zakat maka diperbolehkan menyembunyikan harta atau keuntungan yang terkena pajak sehingga kita tidak menyerahkan uang haram kepada negara yang akan mempergunakannya untuk melakukan hal-hal yang haram. Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS al Maidah:2)”.

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
“كل شيء يؤخذ بلا حق فهو من الضرائب ، وهو محرم ، ولا يحل للإنسان أن يأخذ مال أخيه بغير حق ، كما قال النبي عليه الصلاة والسلام: إذا بعت من أخيك ثمرا فأصابته جائحة ، فلا يحل لك أن تأخذ منه شيئا ، بم تأكل مال أخيك بغير حق ؟

Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Segala harta yang diambil tanpa alasan yang bisa dibenarkan adalah bagian dari pajak yang hukumnya haram. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil harta saudaranya sesama muslim tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebagaimana sabda Nabi tentang jual beli dengan sistem ijon, “Jika anda jual buah-buahan dengan sistem ijon dengan saudaramu lalu buah-buahan tersebut terkena penyakit sehingga gagal panen maka anda tidak boleh mengambil uang yang telah diserahkan sedikit pun. Dengan alasan apa anda memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan?”.

ولكن على المسلم السمع والطاعة ، وأن يسمع لولاة الأمور ويطيع ولاة الأمور ، وإذا طلبوا مالا على هذه الأشياء سلمه لهم ، ثم إن كان له حق فسيجده أمامه – يعني يوم القيامة -، وإن لم يكن له حق بأن كان الذي أخذ منه على وجه العدل فليس له حق ،

Namun seorang muslim berkewajiban untuk mendengar dan mematuhi aturan pemerintah. Jika pemerintah meminta sejumlah uang (baca:pajak) atas benda-benda ini maka seorang muslim akan membayarkannya. Jika uang tersebut adalah hak rakyat maka rakyat akan mendapati gantinya pada hari Kiamat. Jika rakyat tidak memiliki hak atas harta tersebut karena pajak telah ditetapkan secara adil maka rakyat tersebut tentu tidak memiliki hak (baca: ganti pahala pada hari Kiamat) atas harta tadi.

والمهم أن الواجب علينا السمع والطاعة من ولاة الأمور ، قال النبي عليه الصلاة والسلام :اسمع وأطع وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك ولا يجوز أن نتخذ من مثل هذه الأمور وسيلة إلى القدح في ولاة الأمور وسبهم في المجالس وما أشبه ذلك ، ولنصبر ، وما لا ندركه من الدنيا ندركه في الآخرة” انتهى .
“لقاء الباب المفتوح( 12 / 65 ) .

Ringkasnya menjadi kewajiban kita untuk mendengar dan patuh dengan aturan pemerintah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dengarkan dan patuhilah aturan penguasa, meski penguasa tersebut memukuli punggungmu dan merampas hartamu”. Tidak boleh menjadikan permasalah pajak atau masalah lain yang semisal sebagai sarana untuk mencela pemerintah dan mencaci maki pemerintah di berbagai forum dan semisalnya. Hendaknya kita bersabar. Harta dunia yang tidak kita dapatkan di dunia pasti akan kita dapatkan pada hari Kiamat nanti” (Liqa’ al Bab al Maftuh 12/65).

Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/130920
atau islamqa.com/ar/ref/102157/pdf/dl dengan beberapa perubahan.

QUNUT SUBUH

Tanya:
Assalamu’alaikum Wr Wb
Apakah Rasul baca doa qunut bila shalat shubuh sepanjang hayat? Kapan beliau berqunut? Mohon penjelasan dengan dasar hadits shahih lengkap!

P. Mul 0274 782xxxx

Jawab:

Pertanyaan senada pernah dilayangkan kepada Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau ditanya,

“Apakah disyariatkan menggunakan doa qunut witir (yaitu allahummahdini fiman hadaita …) pada rakaat terakhir shalat shubuh?!”

Jawaban beliau,

“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.

Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,

“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).

Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,

“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”

(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).

Membelanjakan Harta Tanpa Izin Suami

Tanya:
“Assalamu’alaikum. Ustadz, dosakah isteri yang secara diam-diam membantu keluarganya dengan menggunakan uang hasil kerjanya sendiri karena suami kurang memperhatikan orang tua istri?” 08526814xxxx

Jawab:
Wa’alaikumus salam

عَنْ أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ عَطَاءً قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – - أَوْ قَالَ عَطَاءٌ أَشْهَدُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ ، فَظَنَّ أَنَّهُ لَمْ يُسْمِعِ النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ ، وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ ، فَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ تُلْقِى الْقُرْطَ وَالْخَاتَمَ ، وَبِلاَلٌ يَأْخُذُ فِى طَرَفِ ثَوْبِهِ .

Dari Ayyub, aku mendengar Atha’ berkata bahwa dia mendengar Ibnu ‘Abbas bercerita, “Aku bersaksi bahwa Nabi pergi ditemani Bilal saat shalat ‘Ied. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengira bahwa para wanita tidak mendengar khutbah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nasehati mereka secara khusus dan Nabi perintahkan mereka supaya bersedekah. Para wanita pun melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke arah kain yang dibentangkan oleh Bilal dan Bilal memegang ujung kainnya” (HR Bukhari no 98 dan Muslim no 884).
Hadits di atas adalah dalil yang sangat tegas menunjukkan bahwa seorang istri boleh menyedekahkan harta pribadinya meski tanpa sepengetahuan dan seizin suaminya. Dalam hadits di atas tidak dijumpai penjelasan bahwa para wanita tersebut pergi dan meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu ketika Nabi memerintahkan mereka untuk bersedekah.

عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ – رضى الله عنها – أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَعْتَقَتْ وَلِيدَةً وَلَمْ تَسْتَأْذِنِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُهَا الَّذِى يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ قَالَتْ أَشَعَرْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّى أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِى قَالَ « أَوَفَعَلْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِيهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لأَجْرِكِ »

Dari Kuraib, bekas budak dari Ibnu ‘Abbas sesungguhnya Maimunah binti al Harits pernah bercerita kepada Ibnu ‘Abbas bahwa dia memerdekakan budak perempuannya tanpa meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu. Pada saat hari giliran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menginap di rumah istrinya, Maimunah barulah Maimunah berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah kau tahu bahwa aku telah memerdekakan budak perempuan yang kumiliki?”. Komentar Nabi, “Benarkah kau telah melakukannya?”. “Ya”, jawab Maimunah. Sabda Nabi, “Jika kau berikan budak perempuan tersebut kepada pamanmu tentu pahalanya lebih besar” (HR Bukhari no 2452 dan Muslim no 999).
Dalam hadits ini, Nabi tidak menyalahkan perbuatan istrinya, Maimunah yang menginfakkan harta pribadinya tanpa sepengetahuan dan seizin beliau. Andai hal ini terlarang tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menegurnya.

عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « أَنْفِقِى وَلاَ تُحْصِى فَيُحْصِىَ اللَّهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعِى فَيُوعِىَ اللَّهُ عَلَيْكِ »

Dari Asma’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya, “Berinfaklah dan jangan dihitung-hitung (sehingga engkau merasa sudah banyak berinfak dan pada akhirnya kau berhenti berinfak). Jika demikian maka Allah akan perhitungan denganmu dalam anugrahNya dan jangan kau simpan kelebihan hartanya sehingga Allah akan menyimpan (baca: menahan) anugrahNya kepadamu” (HR Bukhari no 2451 dan Muslim no 1029).
Dalam hadits ini Nabi memerintahkan Asma untuk banyak-banyak berinfak dan Nabi tidak memerintahkannya untuk minta izin terlebih dahulu kepada suaminya yaitu az Zubair. Andai itu sebuah keharusan tentu Nabi akan memerintahkannya.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَجُوزُ لاِمْرَأَةٍ أَمْرٌ فِى مَالِهَا إِذَا مَلَكَ زَوْجُهَا عِصْمَتَهَا ».

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bagi seorang perempuan yang bersuami untuk membelanjakan harta pribadinya (tanpa seizin suaminya)” (HR Abu Daud no 3546, Nasai no 3756, Ibnu Majah no 2388 dan dinilai al Albani sebagai hadits hasan shahih).
Hadits ini kita kompromikan dengan hadits-hadits di atas dengan kita katakan bahwa di antara bentuk pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah jika seorang istri ingin membelanjakan harta pribadinya untuk membeli sesuatu atau berinfak hendaknya bercerita kepada suaminya terlebih dahulu. Inilah adab yang hendaknya dimiliki oleh seorang istri dan itulah yang terbaik.
Berdasarkan uraian di atas maka ibu boleh membantu orang tua dengan harta pribadi ibu meski dengan cara diam-diam dan tanpa sepengetahuan suami namun lebih baik jika ibu bercerita kepada suami tentang apa yang ibu lakukan.

Senin, 07 Maret 2011

HUKUM MEMBAWA HP MASUK WC YANG ADA PROGRAM AL-QUR'AN NYA

Pertanyaan:

Assalamualaikum. Afwan ustadz mau tanya. Bagaimana hukumnya membawa masuk hp di WC yang di dalam programnya ada tulisan qur’annya. Tapi bukan di backgroundnya (walpaper,-red) tapi dalam file. Atau adakah fatwa ulama’ yg membolehkan membawa Mushaf dalam WC. Tapi disimpan dalam kantung celana atau baju. Jazakallahu khair atas jawabannya ustadz.

Jawaban:
wa’alaikumussalam warahmatullaahi wa barakatuh.
Baarakallaahu fiyka akhi Shabir.

Membawa mushaf Al qur’an ke dalam WC tidak dibolehkan. Sebab, mushaf al Qur’an memilki kehormatan dan kedudukan yang agung, sehingga tidak selayaknya dibawa serta ke dalam tempat-tempat semacam itu. Sikap seperti ini dalam rangka mengamalkan ayat Allah :

“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).

Adapun membawa hp yang di dalamnya terdapat program al Qur’an maka hal itu dibolehkan.

Pertanyaan yang senada telah pernah ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah. Pertanyaan dan jawaban beliau dimuat dalam buku Fatwa Rukun Islam Syaikh Utsaimin pada halaman 212.

Untuk lebih jelasnya kami cantumkan teks pertanyaan dan jawaban beliau.
Pertanyaan : Apa hukumnya masuk ke dalam WC sambil membawa kertas nama Allah?

Jawaban beliu: Boleh masuk ke dalam WC bersama kertas bertuliskan nama Allah selama kertas tersebut tersimpan di dalam saku dan tidak nampak. Bahkan hendaknya diusahakan ditutupi dan dan disembunyikan. Karena nama-nama orang terkadang tidak terlepas dari nama -nama Allah, seperti Abdullah, Abdul Aziz dan semacamnya.

(sumber jawaban : fatwa Rukun Islam syaikh Utsaimin Hal :212).

Minggu, 06 Maret 2011

NASEHAT UNTUK PARA PENGAKU2 SALAFY

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas baginda Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga dan segenap pengikutnya hingga hari akhir kelak.

Dalam banyak Ayat dan Hadits, Allah Ta'ala dan Rasul-Nya menegaskan pada
kita, bahwa orang beriman itu bersaudara. Bersaudara dalam arti saling mencintai, menghormati, membela dan sebagainya. Perumpamaan mereka, ibarat satu bangunan kokoh yang saling melengkapi. Atau seolah satu tubuh yang sempurna. Jika satu anggotanya didera sakit, maka yang lain akan larut merasakannya. Dan ini merupakan hakikat ukhuwah yang diserukan Islam. Hingga wajar jika kemudian menjadi satu ketetapan hukum asal dalam agama ini. Bahwa orang yang beriman itu bersaudara dengan segala konsekwensinya.

Olehnya, haram bagi seseorang melanggar tapal batas dari konsekwensi persaudaraan itu, kecuali jika ia datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Bukan berdasarkan dugaan atau prasangka. Misalnya mengghibah, hajr (boikot), mencela mereka dan selainnya. Sebab, hukum asal dari perbuatan-perbuatan ini adalah haram. Bahkan, termasuk dosa besar yang membinasakan. Dimana seorang muslim tidak boleh keluar darinya melainkan dengan dalil dan argumentasi yang kuat pula.

Di sinilah letak persoalan yang kita hadapi. Kadang kita terlalu cepat dan tergesa untuk keluar dari hukum asal ini. Tidak ada upaya dari dalam diri untuk tabayyun dan klarifikasi atas prasangka terhadap saudara muslim kita. Terlalu sering kita begitu percaya pada kabar burung dari orang yang kita anggap tsiqoh –terpercaya-. Padahal, merupakan perkara aksiomatik dalam kaidah agama kita, bahwa dugaan yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan dalil-dalil yang sharih. "Cukuplah seorang dikatakan pendusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar". (HR. Imam Muslim).

Jika demikian halnya, maka dapat dipastikan bahwa saat itu kita telah terseret dalam kegelapan zalim yang menakutkan. Tergelincir dalam kubangan kerugian yang memiriskan. Sebab ancaman "kebangkrutan" amal shalih di akhirat telah menanti di depan mata. Sungguh, orang yang paling rugi, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, adalah orang yang bangkrut amal kebajikannya pada hari kiamat lantaran perlakuan lalim atas saudara muslimnya sendiri.

Bahkan, lebih celaka lagi, tidak jarang kita malah nekat berdusta atas kehormatan dan harga diri saudara kita. Atas nama membela sunnah, katanya. Dan kelancangan ini kita lakukan kala kita tidak lagi menemukan cela untuk menjatuhkan palu vonis atas saudara agar tersemat padanya gelar ahli bid'ah, sururi, hizbi atau gelar-gelar buruk lainnya. Hmm, sekali lagi atas nama agama, katanya. Bohong yang semestinya boleh untuk menciptakan lahirnya kedamaian di antara kaum muslimin, justru kita manfaatkan untuk menghembuskan keresahan dalam barisan mereka. Memecah belah persatuan. Serta membuat musuh bersorak gembira dan merasa terwakili untuk urusan itu. Padahal, Mungkin saja kita sendiri yang justru terjebak pada apa yang kita peringatkan tersebut. Imam Abu Ishaq al-Jurjani berkata: "Cukuplah kedustaan itu sebagai bid'ah".[i]

Duh, kenikmatan apa sebenarnya yang dirasakan mereka yang gemar berbohong atas harga diri saudaranya. Kepuasan macam apa yang mereka dapatkan kala menjadikan kehormatan saudaranya sebagai bahan olok-olokan dan tertawaan di majelis-majelis mereka. Sungguh, kecerobohan mereka itu sama dengan menyantap bangkai daging saudaranya mentah-mentah. Padahal, mestinya ia merasa sedih kala mendapatkan kesalahan pada diri saudara muslimnya. Imam al-Syafi'i berkata: ”Tidak pernah sekali-pun aku mendebat seseorang lalu aku senang jika ia kalah". (Shahih, riwayat Ibnu Hibban). Tidakkah mereka itu takut, bahwa orang yang ia zalimi dan ghibahi bakal menuntut haknya di hari kiamat nanti? Duhai, kemana gerangan rasa takut itu??

Imam Ibnu Shalah meriwayatkan, tatkala Ibnu Abi Hatim menguraikan kitabnya, al-Jarh Wa al-Ta'dil di depan khalayak, dikabarkan padanya ucapan Yahya bin Ma'in: "Sungguh kita sedang mencela (mengkritik) orang-orang yang mungkin saja telah mendiami tempat-tempat mereka di dalam surga sejak dua ratus tahun lalu". Ibnu Abi Hatim tertegun. Kemudian menangis pilu. Kedua tangannya gemetar, hingga lembaran-lembaran yang ada dalam genggamannya berserakan jatuh.[ii]

Ya, boleh jadi orang yang selalu kita cela, kita ghibah, dan rendahkan telah menapaki istana-istana mereka di surga. Mungkin saja orang yang kita anggap (baca: tuduh) sesat atau menyimpang telah meraih derajat tinggi di sisi Allah Ta'ala. Yakni, derajat mulia yang mereka gapai bukan hanya lantaran amal shalih mereka semata. Bahkan, mungkin dari "sumbangan" amal kebaikan yang kita persembahkan secara percuma kepada mereka akibat tuduhan kita yang tidak mendasar.

Bersikaplah seperti ulama salaf kita. Sebenarnya, mereka memiliki udzur untuk kemudian dibolehkan baginya membeberkan cela dan keburukan orang lain (perawi hadits). Sebab, kedudukannya sebagai pengawal al-sunnah menuntut demikian. Disamping demi mashlahat dan kebaikan bagi agama. Akan tetapi, masih saja mereka khawatir, jangan sampai perbuatan mereka itu menjadi bumerang bagi dirinya di hari kemudian. Karena mereka sadar, bahwa pada dasarnya, apa yang mereka kerjakan itu adalah terlarang. Dan keliru dalam menyikapinya bakal berujung penyesalan abadi.

Banyak muatan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas. Sebab kadang kita lupa, bahwa sikap wara' dan takut kepada Allah Ta'ala termasuk syarat yang harus wujud dalam perkara mengkritik saudara kita. Ini-pun jika memang mengharuskan kita untuk mengkritik. Pasalnya, dalam banyak keadaan, saat melontarkan kritik atas orang lain, kita kadang tidak jeli memisahkan antara ghirah terhadap agama dan intishar ala nafs –karena tendensi pribadi-. Kendati lisan kita dengan fasihnya mengulang-ulang, ini semua semata-mata atas nama agama dan al-sunnah.

Padahal, lubuk hati kita parau membisikkan, berlaku adillah!! Tidak sedikit kritik kita sebenarnya dilatari kepentingan pribadi, hasad dan dengki. Makanya kritik yang kita bidikkan itu tidak lagi berjalan di atas dalil dan manhaj tawazun (keadilan). Dan inilah yang banyak disedihkan oleh para ulama kita. Perselisihan dan saling melecehkan yang lahir lantaran desakan hawa nafsu dan informasi dusta tanpa upaya klarifikasi.

Bahkan kita selalu berusaha menampik bisikan itu. Lalu mengais-ngais dalih bahwa hal ini-pun telah ada dan dilakukan para salaf. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian agama dan sunnah. Akan tetapi kita lupa, atau mungkin pura-pura tidak tahu, sikap tegas mereka itu tegak di atas landasan akhlak, wara', takut dan sikap kehati-hatian. Bukan serampangan dan membabi buta seperti yang kita lakukan. Hingga kerap kita bersemangat mengaplikasikan satu sisi dari sikap para salaf, kemudian mengabaikan sisi lain yang barangkali lebih urgen. Kita hanya pandai melihat sikap tegas ulama salaf dalam mengkritik, namun jahil dalam menilik kelemah-lembutan, tabayyun dan sikap wara' mereka.

Makanya al-Hafidz al-Dzahabi mengingatkan: "Membincangkan para perawi butuh sikap wara' yang sempurna serta terlepas dari belitan hawa nafsu dan kecendrungan diri".[iii] Duh, nasehat ini beliau persembahkan kepada para ulama kibar dalam masalah jarh wa al-ta'dil, yang sekali lagi, memiliki udzur untuk "membongkar" kejelekan orang lain. Maka bagaimana dengan mereka yang "baru kemarin" belajar agama, kemudian tergesa memposisikan dirinya sejajar dengan ulama-ulama tersebut?? Atau, bahkan lebih "lancang" dari mereka? Sungguh, satu ketergesaan yang amat berbahaya. Allah Ta'ala berfirman: "Sukakah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya". (Qs: al-Hujurat : 12). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Setiap muslim atas muslim yang lain haram darah, harta dan kehormatannya". (HR. Imam Muslim).

Ketahuilah, sikap berlebihan dalam memberi kritik itu, kendati kita berada pada posisi yang dibolehkan untuknya, bisa menjadi aib dan merubuhkan muru'ah pelakunya sendiri. Karenanya, sebagian salaf justru balik mengkritik para ahli jarh (kritik) yang melampaui batas. Contohnya Imam Ali bin al-Madini, seperti dipaparkan oleh Imam al-Mizzi,[iv] beliau tidak menerima perkataan Abu Nu'aim (al-Fadl bin Dukain) dan Affan (Ibnu Muslim) kendati keduanya tergolong orang jujur –bahkan termasuk jajaran punggawa ahli hadits-, lantaran keduanya tidak pernah meninggalkan seorang perawi-pun melainkan ia berbicara tentang kejelekannya.
Karenanya, kembali pada contoh kehidupan para salaf merupakan keharusan yang menuntut. Dalam segala sisi kehidupan mereka. Termasuk diantaranya metode dalam mengkritik dan memberi nasehat pada saudara mereka. Dan hati-hati dari melampaui batas dalam urusan ini. Sebab, pembatas antara hukum asal dan kebolehan padanya sangat tipis. Tipis sekali. "Dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allah adalah besar". (Qs: al-Nuur:15). Wallahu a'lam. (AbRh).

[i] . Ahwaal al-Rijal, 22. Program al-Maktabah asy-Syamilah, vol. 3.3

[ii] . Uluum al-Hadits, hal: 350-351.

[iii] . al-Muuqidzah, hal 82.

[iv] . Tahzib al-Kamal 20/168, Program al-Maktabah al-Syamilah, vol 3.3.

Kamis, 03 Maret 2011

FATWA ULAMA BESAR SAUDI TENTANG MAULID

Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

"Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]

Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai Nabi-Shollallahu ‘alaihi wasallam-? Cinta kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mengikuti syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syariat beliau, dengan anggapan hal tersebut bisa mendekatkan diri kepada Allah atau suatu bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk !!

Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .

* Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (mantan mufti di sebuah negeri Timur Tengah), ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .

Syaikh bin Baaz-rahimahullah- menjawab, "Tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, karena hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , para Khalifah Ar-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah, paling sempurna cintanya kepada Nabi dan ittiba’-nya (keteladanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.

Telah shahih (sebuah hadits) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Beliau juga bersabda, "Wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah ia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat." [Abu Dawud (4617), At-Tirmidziy (2676), dan Ibnu Majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami' (2546)]

Jadi, dalam dua hadits yang mulia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya ." (QS. Al-Hasyr :7).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS.An-Nur :63).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.Al-Ahzab :21).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS.Al-Maidah :3).

Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahwa Allah -Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk umat ini, dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada umatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakangan ini membuat-buat perkara baru dalam syariat Allah apa yang tidak diridhoi Allah, dengan sangkaan hal tersebut bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahaya yang sangat besar, termasuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang bisa mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah sampaikan kepada umatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ, وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan atas umatnya apa yang ia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka." [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1844)]

Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah Nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- akan jelaskan kepada umatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan, maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari Islam sedikit pun juga, bahkan dia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahayanya oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut di atas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at:

أََمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat." [HR.Muslim Shohih-nya (867)]

Demikian fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah-, Anda bisa lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikhbin Baz (1/183), dan Al-Bida’ wal Muhdatsat (hal 619-621).

* Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga ditanya, "Apa hukum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-?

Syaikh bin Baaz menjawab, "Amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia, menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka dengan sesuatu yang bisa melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap waktu, karena adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.

Allah -Ta’ala-berfirman,

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS.Al-Maidah : 104).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl :125).

Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para da’i (penyeru) di antara mereka,

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An-Nisa’: 61-63); dan ayat-ayat lain.

Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwah dan memberikan nasihat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasihat dan bimbingan ini semakin dianjurkan ketika ada tuntutan kepadanya, seperti khutbah Jum’at dan hari Ied, karena warid (datang)-nya hal tersebut dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .Demikian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." [HR.Muslim (49)]

Adapun pada hari maulid, maka di dalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat, bimbingan, pembacaan kisah maulid, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pantas untuk (melakukan) hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahwa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Demikian pula halnya para sahabat, mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah (5591), dan Al-Bida' wa Al-Muhdatsat wa ma laa Ashla lahu (628-630)]

Jadi, maulid bukanlah sarana syar’i dalam beribadah dan mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi ia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan . Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.

Ulama’ bermadzhab Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.

BIOGRAFI SYAIKH ROBI'

1) Biografi Syaikh Rabi’ Bin Hadi ‘Umair Al Madkhali

Penulis: Syaikh Khalid bin Dhahwi Adz Dzufairi

Nama dan Nasab Beliau

Beliau adalah Asy Syaikh Al ‘Allamah Al Muhaddits Rabi’ bin Hadi bin Muhammad ‘Umair Al Madkhali, berasal dari suku Al Madakhilah yang terkenal di Jazan, sebuah daerah di sebelah selatan Kerajaan Arab Saudi. Suku ini termasuk keluarga Bani Syubail, sedangkan Syubail adalah anak keturunan Yasyjub bin Qahthan.

Kelahiran Beliau

Syaikh Rabi’ dilahirkan di desa Al Jaradiyah, sebuah desa kecil di sebelah barat kota Shamithah sejauh kurang lebih tiga kilometer dan sekarang telah terhubungkan dengan kota tersebut. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 1351 H. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih berumur sekitar satu setengah tahun, beliau tumbuh berkembang di pangkuan sang ibu—semoga Allah Ta’ala merahmatinya. Sang ibu membimbing dan mendidik beliau dengan sebaik-baiknya, mengajarkan kepada beliau akhlak yang terpuji, berupa kejujuran maupun sifat amanah, juga memotivasi putranya untuk menunaikan shalat dan meminta beliau menepati penunaian ibadah tersebut. Selain pengasuhan ibunya, beliau diawasi dan dibimbing pula oleh pamannya (dari pihak ayah).

Perkembangan Keilmuan

Ketika Syaikh Rabi’ berusia delapan tahun, beliau masuk sekolah yang ada di desanya. Di sekolah tersebut beliau belajar membaca dan menulis. Termasuk guru yang membimbing beliau dalam belajar menulis adalah Asy Syaikh Syaiban Al ‘Uraisyi, Al Qadhi Ahmad bin Muhammad Jabir Al Madkhali dan dari seseorang yang bernama Muhammad bin Husain Makki yang berasal dari kota Shibya’. Syaikh Rabi’ mempelajari Al Qur`an di bawah bimbingan Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Jabir Al Madkhali disamping belajar ilmu tauhid dan tajwid.

Setelah lulus, beliau melanjutkan studi ke Madrasah As Salafiyyah di kota Shamithah. Termasuk guru beliau di madrasah tersebut adalah Asy Syaikh Al ‘Alim Al Faqih Nashir Khalufah Thayyasy Mubaraki rahimahullâh, seorang ‘alim kenamaan yang termasuk salah satu murid besar Asy Syaikh Al Qar’awi rahimahullâh. Di bawah bimbingannya, Syaikh Rabi’ mempelajari kitab Bulughul Maram dan Nuzhatun Nazhar karya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâhu Ta’âlâ.

Kemudian beliau belajar di Ma’had Al ‘Ilmi di Shamithah kepada sejumlah ulama terkemuka, yang paling terkenal adalah Asy Syaikh Al ‘Allamah Al Masyhur Hafizh bin Ahmad Al Hakami rahimahullâhu Ta’ala dan saudaranya Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Ahmad Al Hakami, juga kepada Asy Syaikh Al ‘Allamah Al Muhaddits Ahmad bin Yahya An Najmi rahimahullâh. Di ma’had tersebut beliau belajar aqidah kepada Asy Syaikh Al ’Allamah Doktor Muhammad Amman bin ‘Ali Al Jami. Demikian pula kepada Asy Syaikh Al Faqih Muhammad Shaghir Khamisi, beliau mempelajari ilmu fiqih dengan kitab Zâdul Mustaqni’ dan kepada beberapa orang lagi selain mereka, di mana Syaikh mempelajari ilmu bahasa Arab, adab, ilmu Balaghah dan ilmu ‘Arudh (cabang-cabang ilmu bahasa Arab-pent.)

Tahun 1380 H seusai ujian penentuan akhir, beliau lulus dari Ma’had Al-‘Ilmi di kota Shamithah dan di awal tahun 1381 H beliau masuk ke Fakultas Syari’ah di Riyadh selama beberapa waktu lamanya, sekitar satu bulan, satu setengah atau dua bulan saja. Ketika Universitas Islam Madinah berdiri, beliau pindah ke sana dan bergabung di Fakultas Syari’ah. Beliau belajar di Universitas tersebut selama empat tahun dan lulus darinya pada tahun 1384 H dengan predikat cumlaude.

Di antara guru-guru beliau di Universitas Islam Madinah adalah:

- Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi, Samahatusy Syaikh Al ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullâhu Ta’âlâ, kepada beliau Syaikh Rabi’ mempelajari Aqidah Thahawiyah.

- Fadlilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani, mempelajari bidang ilmu hadits dan sanad.

- Fadlilatusy Syaikh Al ‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, mempelajari ilmu fiqih tiga tahun lamanya dengan kitab Bidayatul Mujtahid.

- Fadlilatusy Syaikh Al ‘Allamah Al Hafizh Al Mufassir Al Muhaddits Al Ushuli An Nahwi wal Lughawi Al Faqih Al Bari’ Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, penulis tafsir Adhwaul Bayan, kepada beliau Syaikh Rabi’ mempelajari ilmu tafsir dan ushul fiqih selama empat tahun.

- Asy Syaikh Shalih Al ‘Iraqi, belajar aqidah.

- Asy Syaikh Al Muhaddits ‘Abdul Ghafar Hasan Al Hindi, belajar ilmu hadits dan mushthalah.

Setelah lulus, beliau menjadi dosen di almamater beliau di Universitas Islam Madinah selama beberapa waktu, kemudian beliau melanjutkan studi ke tingkat pasca sarjana dan berhasil meraih gelar master di bidang ilmu hadits dari Universitas Al Malik ‘Abdul ‘Aziz cabang Makkah pada tahun 1397 H dengan disertasi beliau yang terkenal, berjudul Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni. Pada tahun 1400 H beliau berhasil menyelesaikan program doktornya di Universitas yang sama, dengan predikat cum laude setelah beliau menyelesaikan tahqiq (penelitian, komentar –pent.) atas kitab An Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash Shalah, karya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâhu Ta’âlâ.

Syaikh Rabi’ kemudian kembali ke Universitas Islam Madinah dan menjadi dosen di Fakultas Hadits. Beliau mengajar ilmu hadits dengan segala bentuk dan cabangnya, serta berkali-kali menjadi ketua jurusan Qismus Sunnah pada program pasca sarjana dan sekarang beliau menjabat sebagai dosen tinggi. Semoga Allah menganugrahkan kepada beliau kenikmatan berupa kesehatan dan penjagaan dalam beramal kebaikan.

Sifat dan Akhlaq Beliau

Syaikh Rabi’ hafizhahullâhu Ta’âlâ memiliki keistimewaan berupa sifat sangat rendah hati di hadapan saudara-saudaranya, murid-muridnya maupun kepada para tamunya. Beliau seorang yang sangat sederhana dalam hal tempat tinggal, pakaian maupun kendaraan, beliau tidak menyukai kemewahan dalam semua urusan ini.

Beliau adalah seorang yang selalu ceria, berseri-seri wajahnya dan sangat ramah, membuat teman duduk beliau tidak merasa bosan dengan kata-kata beliau. Majelis beliau senantiasa dipenuhi dengan pembacaan hadits dan Sunnah serta tahdzir (peringatan-pent.) dari kebid’ahan dan para pelakunya, sehingga orang yang belum mengenal beliau akan menyangka bahwa tidak ada lagi kesibukan beliau selain hal tersebut.

Syaikh Rabi’ sangat mencintai salafiyyin penuntut ilmu, beliau menghormati dan memuliakan mereka. Beliau berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sesuai kemampuan beliau, baik dengan diri sendiri maupun dengan harta. Rumah beliau selalu terbuka untuk para penuntut ilmu, sampai-sampai hampir tidak pernah beliau menyantap sarapan pagi makan siang maupun makan malam sendirian, karena selalu saja ada pelajar yang mengunjungi beliau. Beliau menanyakan keadaan mereka dan membantu mereka.

Syaikh Rabi’ termasuk ulama yang sangat bersemangat menyeru kepada Al Kitab dan As Sunnah serta aqidah salaf, penuh semangat dalam mendakwahkannya dan beliau adalah pedang Sunnah dan akidah salaf yang amat tajam, yang amat sedikit bandingannya di masa sekarang. Beliau adalah pembela sunnah dan kehormatan salafus shalih di zaman kita ini, siang dan malam, secara rahasia maupun terang-terangan yang tidak terpengaruh oleh celaan orang-orang yang suka mencela.

Karya-karya Beliau

Syaikh Rabi’ memiliki sejumlah karya tulis—Alhamdulillâh—beliau hafizhahullâh telah membicarakan berbagai bab yang sangat dibutuhkan secara proporsional, terlebih khusus lagi dalam membantah para pelaku bid’ah dan para pengikut hawa nafsu di zaman yang penuh dengan para perusak namun sedikit orang yang berbuat ishlah (perbaikan, pent.) Di antara karya beliau:

1. Bainal Imamain Muslim wad Daruquthni, sejilid besar dan ini merupakan tesis beliau untuk meraih gelar master.

2. An Nukat ‘ala Kitab Ibni Ash Shalah, telah dicetak dalam dua juz dan ini merupakan disertasi program doktoral beliau.

3. Tahqiq Kitab Al Madkhal ila Ash Shahih lil Hakim, juz pertama telah dicetak.

4. Tahqiq Kitab At Tawassul wal Wasilah lil Imam Ibni Taimiyyah, dalam satu jilid.

5. Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql.

6. Manhaj Ahlis Sunnah fî Naqdir Rijâl wal Kutub wat Thawâif.

7. Taqsimul Hadits ila Shahih wa Hasan wa Dha’if baina Waqi’il Muhadditsin wa Mughalithatil Muta’ashibin, sebuah bantahan terhadap ‘Abdul Fatah Abu Ghuddah dan Muhammad ‘Awamah.

8. Kasyfu Mauqifi Al Ghazali minas Sunnah wa Ahliha.

9. Shaddu ‘Udwanil Mulhidin wa Hukmul Isti’anah bi Ghairil Muslimin.

10. Makânatu Ahlil Hadits.

11. Manhajul Imam Muslim fî Tartibi Shahihihi.

12. Ahlul Hadits Hum Ath Thaifah Al Manshurah An Najiyah Hiwar ma’a Salman Al ‘Audah.

13. Mudzakarah fil Hadits An Nabawi.

14. Adhwa’ Islamiyyah ‘ala ‘Aqidah Sayyid Quthb wa Fikrihi.

15. Matha’inu Sayyid Quthb fii Ashhabi Rasulillahi shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam.

16. Al ‘Awashim mimma fî Kutubi Sayyid Quthb minal Qawashim.

17. Al Haddul Fashil bainal Haq wal Bathil hiwar ma’a Bakr Abi Zaid.

18. Mujazafâtul Hiddâd.

19. Al Mahajjatul Baidha’ fii Himâyatis Sunnah Al Gharra’.

20. Jamâ’ah Wâhidah Lâ Jamâ’ât wa Shirâthun Wahidun Lâ ‘Asyarât, hiwar ma’a ‘Abdirrahman ‘Abdil Khaliq.

21. An Nashrul Aziiz ‘ala Ar Raddil Wajiiz.

22. At Ta’ashshub Adz Dzamim wa Atsaruhu, yang dikumpulkan oleh Salim Al ‘Ajmi.

23. Bayânul Fasâdil Mi’yar, Hiwar ma’a Hizbi Mustatir.

24. At Tankîl bimâ fî Taudhihil Milyibâri minal Abâthîl.

25. Dahdhu Abâthîl Musa Ad Duwaisy.

26. Izhâqu Abâthiil ‘Abdil Lathif Basymîl.

27. Inqidhladlusy Syihb As Salafiyyah ‘ala Aukaar ‘Adnan Al Khalafiyyah.

28. An Nashihah Hiyal Mas’uliyyah Al Musytarakah fil ‘Amal Ad Da’wi, diterbitkan di majalah At Tau’iyyah Al Islamiyyah

29. Al Kitab was Sunnah Atsaruhuma wa makânatuhuma wadh Dharurah ilaihima fî Iqâmatit Ta’lîmi fî Madârisinâ, artikel majalah Al Jami’ah Al Islamiyyah, edisi 16.

30. Hukmul Islam fî man Sabba Rasulallah au Tha’ana fî Syumuli Risâlatihi, artikel koran Al Qabas Al Kuwaitiyyah edisi 8576 tahun 9/5/1997.

Syaikh Rabi’ memiliki karya tulis lain di luar apa yang telah disebutkan di sini. Kita memohon kepada Allah agar memberikan pertolongan-Nya untuk menyempurnakan usaha-usaha kebaikan yang beliau lakukan dan semoga Allah memberikan taufiq kepada beliau kepada perkara-perkara yang dicintai dan diridhai-Nya, Dia-lah penolong semua itu dan maha mampu atasnya.

(Dinukil dari Mauqi’ Asy Syaikh Rabi’ hafizhahullâh dengan sedikit perubahan)

KARATERISTIK AHLU SUNNAH WAL JAMAAH 2

Keenam belas , sebelum menetapkan hukum atau membuat kesimpulan dalam suatu masalah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah terlebih dahulu mengumpulkan seluruh nash yang berkaitan dengan masalah tersebut dan mengembalikan nash yang mutasyabih ‘samar-samar’ kepada yang muhkam ‘jelas’, sehingga sampai kepada yang haq dalam permasalahan, dan berbeda dengan ahlul bid’ah wal ahwa` yang membangun suatu hukum atau kesimpulan di atas sebagian nash dan membuang atau melupakan nash yang lain, dan kadang mencari dalil setelah membuat kesimpulan terlebih dahulu, serta menyenangi hal-hal yang mutasyabih.
Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman,
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)nya, ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur`an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” [ Ali ‘Imran: 7 ]
Selain itu, dalam hadits ‘Aisyah riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ
“Kalau kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa-apa yang mutasyabih darinya (Al-Qur`an) maka mereka itulah yang disebut oleh Allah (dalam ayat di atas-pent.), maka berhati-hatilah.”
Ketujuh belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang menjaga prinsip amanah dan sikap adil pada segala perkara.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu), apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [ An-Nisa`: 58 ]
Allah Rabbul ‘Izzah juga berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” [ Al-Ahzab: 72 ]
Allah memerintahkan pula untuk bersikap adil dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” [ An-Nahl: 90 ]
Lalu dalam Tanzil-Nya yang maha agung,
“Dan apabila kalian berkata, hendaklah kalian berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu).” [ Al-An’am: 152 ]
Kemudian dalam kalam-Nya yang maha mulia,
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [ Al-Ma`idah: 8 ]
Selanjutnya, Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah hawa nafsu mendorong kalian untuk tidak berlaku adil.” [ An-Nisa`: 135 ]
Kedelapan belas , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah kepada al-ittiba’ ‘perbuatan mencontoh, mengikuti’ kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan menjauhi al-ibtida’ ‘perkara baru/bid’ah dalam agama’.
Hal tersebut karena agama ini telah disempurnakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian.” [ Al-Ma`idah: 3 ]
Berkata Imam Malik rahimahullah, “Siapa yang membuat, dalam Islam, suatu bid’ah yang ia anggap baik, maka ia telah menyangka (Nabi) Muhammad berkhianat dalam menyampaikan risalah (Islam-pent.), karena Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian,’ maka apa yang tidak merupakan agama pada hari itu, tidaklah sebagai agama pada hari ini.”
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang ia ketahui bagi mereka, dan memperingatkan kepada mereka untuk berhati-hati dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka.” (diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)
Bid’ah adalah perkara yang berbahaya. Karena itulah, telah datang nash-nash dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan bahaya bid’ah dan ancaman bagi pelaku bid’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [ Al-Jatsiyah: 18 ]
Kemudian, dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Siapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini (baca: agama kami) apa-apa yang tidak termasuk darinya (perkara kami), maka ia tertolak.” Dan dalam suatu riwayat Muslim , “Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak dibangun di atas perkara kami, maka ia tertolak.”
Lalu, dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
الْمَدِيْنَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عَيْرٍ إِلَى ثَوْرٍ فَمْنْ أَحْدَثَ فِيْهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا.
“ Kota Madinah adalah (negeri) haram antara ‘Air sampai ke Tsaur (‘Air dan Tsaur adalah nama dua gunung-pent.). Siapa yang membuat perkara baru di dalamnya atau awa muhditsan/muhdatsan[1] maka atasnya laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak menerima dari dia sedikit pun.”
Bid’ah itu lebih berbahaya dari maksiat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Sesungguhnya ahli bid’ah lebih jelek dari ahli maksiat yang memperturutkan syahwat menurut As-Sunnah dan ijma’.” Lihat Majmu’ Fatawa jilid 20 hal. 103.
Kesembilan belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidaklah menjatuhkan vonis kepada seseorang atau suatu kelompok dengan bentuk hukum kafir, fasiq, ahli bid’ah atau menyimpang, kecuali berdasarkan argumen yang jelas dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [ Al-Hujurat: 6 ]
Allah Jalla Jalaluhu juga berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [ Al-Isra`: 36 ]
Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan pula,
“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.’.” [ Al-A’raf: 33 ]
Selanjutnya, Allah Jalla Kibriya`uhu menegaskan,
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih.” [ An-Nahl: 116-117 ]
Dalam hadits Ibnu ‘Umar riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam mengingatkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka (kalimat) tersebut telah ditanggung oleh salah seorang dari keduanya. Kalau memang seperti yang dia ucapkan, (maka tidak apa-apa), kalau tidak, maka (kalimat) itu akan kembali kepadanya.”
Kemudian, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يُهْوَى بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغُرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kepastian apa yang ada di dalam kalimat itu, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”
Kedua puluh , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah mujaddid ‘pembaharu’ bagi umat dalam urusan agama mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
إَنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mengutus kepada umat ini, setiap seratus tahun, orang yang menjadi mujaddid ‘pembaharu’ bagi umat ini pada agamanya.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daudno. 4291 dari Abu Hurairah)
Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersungguh-sungguh dalam beramal untuk menghidupkan tuntunan-tuntunan agama yang telah dianggap ghurbah ‘asing’ oleh kebanyakan manusia dan memperbaharui apa yang sudah hilang dari tanda-tanda tuntunan agama tersebut.
Kalau kita memperhatikan para mujaddid dalam sejarah Islam, kita akan mendapati bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah , seperti ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah, imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘iy, dan Ahmad), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, dan selain mereka dari ahlul ‘ilmi dan iman sampai zaman kita ini seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albany rahimahumullahu Ta’ala.
Kedua puluh satu , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah ahlul jihad yang berjihad di jalan Allah dengan seluruh makna jihad, baik itu jihadun nafs ‘jihad dalam memperbaiki diri sendiri’, jihadusy syaithan ‘jihad melawan syaithan’, jihadul kuffar ‘jihad melawan kaum kafir’ maupun jihadul munafiqin ‘jihad menghadapi kaum Munafik’.
Dalil-dalil tentang jihad beserta jenis-jenis dan keutamaannya sangatlah banyak dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam . Tetapi, setiap jenis dari jihad tersebut -khususnya jihadul kuffar ‘jihad melawan kaum kafir’- di kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memiliki syarat-syarat, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang detail dan terperinci. Berbeda dengan ahlul bid’ah wal ahwa` yang tidak memahami makna jihad dan tidak mengerti syarat-syarat, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan jihad sehingga lahirlah berbagai macam kerusakan dan pelanggaran syariat. Wallahul Musta’an.
Kedua puluh dua , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang paling banyak dan paling besar perhatiannya terhadap urusan-urusan kaum muslimin.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah berusaha menolong, menunaikan hak-hak, dan mewujudkan segala kebaikan kaum muslimin, serta menghilangkan dan menjauhkan kesulitan, kezhaliman, dan segala kejelekan yang menimpa kaum muslimin. Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ar-Rauf Ar-Rahim,
“Dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” [ At-Taubah: 71 ]
Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma,
مَثْلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang dan kelemahlembutan mereka adalah seperti tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh, seluruh tubuh ikut merasakan panas dan demam.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Lalu, sebagaimana sabda beliau yang lain dari hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu,
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا
“Orang-orang beriman dengan orang beriman yang lain adalah seperti bangunan, saling menguatkan antara satu dengan yang lain.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Kedua puluh tiga , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk mempersatukan kalimat kaum muslimin di atas kebenaran (Al-Qur`an dan Sunnah) dan menghilangkan sebab-sebab pertentangan dan perpecahan di antara mereka karena mereka tahu bahwasanya persatuan itu adalah rahmat sedangkan perselisihan dan perpecahan adalah adzab.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali(agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai .” [ Ali ‘Imran: 103 ]
Allah Jalla Sya`nuhu juga menegaskan,
“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” [ Al-An’am: 153 ]
Allah Rabbul ‘Izzah menyatakan pula,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.” [ Al-An’am: 159 ]
Selain itu, Allah menjadikan perpecahan sebagai ciri kaum musyrikin dalam firman-Nya,
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [ Ar-Rum: 31-32 ]
Perpecahan juga tercela dalam syariat seluruh para nabi dan rasul, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dia telah mensyariatkan kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah padanya.” [ Asy-Syu’ara: 13 ]
Kedua puluh empat , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah wasathiyah ‘pertengahan’ antara dua kutub: kutub ekstrim dan kutub menyepelekan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali (perkataan) yang benar.” [ An-Nisa`: 171 ]
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,
“Katakanlah, ‘Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian.’.” [ Al-Ma`idah: 77 ]
Kemudian, dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam menegaskan,
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian ithra` ‘ melampaui batas dalam memuji ’ kepadaku sebagaimana orang-orang Nashara ithra` terhadap ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam juga mengingatkan,
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian dari ghuluw ‘ ekstrim ’ dalam agama karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/215, 347, Ibnu Abi Syaibah 3/248, An-Nasa`i 5/268 dan dalam Al-Kubra 2/435, Ibnu Majah no. 3029, Ibnul Jarud no. 473, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 2/180-181, Al-Mahamily dalam Amali -nya no. 33, Al-Faqihy dalam Tarikh Makkah 4/288, Abu Ya’la 4/316 no. 2427, 4/357 no. 2472, Ibnu Khuzaimah no. 2867, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3871, Al-Hakim 1/637, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 10/30-31, Ath-Thabarany 12/no. 12747, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/223, dan Ibnu Hazm dalam Hajjatul Wada’ no. 139 dan Al-Muhalla 7/133. Dishahihkan oleh An-Nawawy, Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Al-Albany rahimahumullah. Lihat Ash-Shahihah no. 1283 dan Zhilalul Jannah no. 98)
Lalu, dalam hadits Ibnu Mas’ud riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda sebanyak tiga kali,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah al-mutanaththi’ ‘orang yang berlebihan dalam ucapan dan perkataannya’.”
Selanjutnya, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا فَقَالُوْا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَا أَنَا فَإِنِّيْ أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا. وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ. وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكَنِّيْ أَصُوْمُ وُأُفْطِرُ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.
“Datang tiga orang ke rumah para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Tatkala dikabari (tentang ibadah itu), mereka menganggapnya sedikit. Mereka pun berkata, ‘Di mana kita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni untuknya yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya.’ Berkatalah salah seorang dari mereka, ‘Adapun saya, saya akan shalat lail selama-lamanya.’ Berkata pula yang lain, ‘Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka.’ Lalu berkata yang lain, ‘Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selama-lamanya.’ Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata, ‘Kaliankah yang berkata begini dan begini? Demi Allah! Sesungguhnya aku yang paling memiliki rasa takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi perempuan. Barangsiapa yang tidak senang terhadap sunnahku maka tidaklah termasuk dariku .’ .” (Muttafaqun ‘alaihi)
Wasathiyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan ciri mereka dalam menampakkan kebenaran yang selalu berada di antara kutub ekstrim dan kutub menyepelekan. Hal tersebut diterapkan dalam banyak permasalahan, yakni dalam masalah al-asma` wa ash-shifat ‘nama dan sifat Allah Ta’ala’, takdir, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , pemuliaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, karamah para wali, politik, kedudukan akal, penerapan hudud ‘hukum-hukum syariat’, pengkafiran, sikap terhadap penguasa, baiat, jihad, kecintaan kepada Ahlul Bait, dan lain-lain. Seluruh pembahasan masalah ini tidak bisa dimuat dalam tulisan ringkas kali ini. Wallahul muwaffiq.
Kedua puluh lima , Ahlus Sunnah Wal Jamaah juga mempunyai perhatian khusus terhadap tazkiyatun nufus ‘pensucian dan pembersihan diri’.
llah ‘Azza wa Jalla berfirman menunjukkan pentingnya tazkiyatun nufus ini dalam firman-Nya,
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,dan bulan apabila mengiringinya,dan siang apabila menampakkannya,dan malam apabila menutupinya,dan langit serta pembinaannya,dan bumi serta penghamparannya,dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” [ Asy-Syams: 1-10 ]
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” [ Al-Jumu’ah: 2 ]
Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersungguh-sungguh dalam memperbaiki lahir dan bathin mereka. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan sunnah-sunnah sesudah menunaikan kewajiban-kewajiban. Mereka bersemangat untuk menunaikan shalat-shalat wajib, zakat, puasa bulan ramadhan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu, sebagaimana mereka bersegera dan berlomba-lomba untuk melaksanakan amal-amal shalih berupa memperbanyak dzikir, sunnah-sunnah, sedekah dan ibadah-ibadah yang lainnya. (Lihat Tazkiyatun Nufus Li Ibni Taimiyah tahqiq Doktor Muhammad Sa’id Al-Qahthany)
Kedua puluh enam , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tegak melakukan amar ma’ruf ‘mengajak kepada kebaikan’ dan nahi mungkar ‘mencegah dari kemungkaran’ berdasarkan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang diterangkan oleh Al-Qur`an dan Sunnah.
Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala,
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [ Ali ‘Imran: 104 ]
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” [ Ali ‘Imran: 110 ]
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [ Al-Ma`idah: 78-79 ]
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلِإيْمَانِ
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Kalau ia tidak sanggup, dengan lisannya. Kalau ia tidak sanggup, dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Diriwayatkan oleh Muslimdari Abu Sa’id Al-Khudry)
Kedua puluh tujuh , Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bahwasanya kebaikan kaum muslimin berkaitan dengan dua perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, karena Allah mengutus Rasul-Nya untuk memperbaiki manusia dengan dua hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” [ At-Taubah: 33 ]
Berkata ahli tafsir, “Al-huda yaitu ilmu yang bermanfaat dan dinul haq yaitu amal shalih.”
Dua hal tersebut adalah syarat terealisasinya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [ An-Nur: 55 ]
Kedua puluh delapan , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah tegak di atas manhaj tashfiyah dan tarbiyah.
Tashfiyah yaitu memurnikan segala perkara agama dari hal-hal yang mengotori agama tersebut yang tidak ada hubungannya dengan agama walaupun dianggap sebagai bagian dari agama, baik menambah, mengurangi atau mengada-adakan, yang perbuatan ini berasal dari orang-orang kuffar ‘musyrikin’, ahlul kitab, atau selain dari mereka, maupun dari kaum muslimin, khususnya ahlul bid’ah dan ahlul ahwa`, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah, manhaj-manhaj ilmu dan amalan, khutbah, karangan, dan lain-lain.
Adapun tarbiyah adalah mendidik umat di atas Islam yang suci dan bersih, sebagaimana apa yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam .
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan Rabbmu agungkanlah,dan pakaianmu bersihkanlah,dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah.” [ Al-Muddatstsir: 3-5 ]
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam juga bersabda,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ، وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُوْنَ عِنْدَهَا وَيَنُوْطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا : ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ا جْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. قَالَ : اللهُ أَكْبَرُ –وَفِيْ رِوَايَةٍ : سُبْحَانَ اللهِ- لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَمَا قَالَ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى : اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ.
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ke Hunain dan ketika itu, kami baru saja meninggalkan kekafiran, dan orang-orang musyrikin memiliki pohon bidara yang mereka i’tikaf di sekitar pohon itu dan menggantungkan senjata-senjata mereka, yang pohon tersebut disebut (dinamakan) Dzatu Anwath. Kami melewati pohon tersebut kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzata Anwath sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bertakbir -dalam riwayat yang lain bertasbih-, ‘Sungguh benar-benar kalian akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kalian sebagaimana permintaan Bani Israil kepada Musa, Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:(?) ‘Buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang jahil.’.’.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzy. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah no. 76)
Kedua puluh sembilan , di antara dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah kepada makarimal akhlaq ‘kemulian akhlak’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung.” [ Al-Qalam: 4 ]
Allah Jalla wa ‘ Ala juga berfirman,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya .” [ Ali ‘Imran: 103 ]
Lalu, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya.”
Kemudian, dalam Musnad Imam Ahmad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda,
إَنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Saya hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Penutup
Demikian karakteristik manhaj dan dakwah Salafiyah, dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah , dakwah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam dan shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik sampai hari kiamat. Perlu diketahui pula oleh para pembaca bahwa apa yang tertulis di atas hanya sekadar ringkasan dan gambaran singkat tentang dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah . Sebenarnya, setiap poin yang telah kami sebutkan membutuhkan uraian yang lebih meluas. Wallahul musta’an.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin. Wallahu Ta’ala A’lam.
[1] Kalau dibaca muhditsan maka artinya "melindungi suatu bid’ah" dan kalau dibaca muhdatsan artinya "melindungi orang yang menganut/membuat bid’ah" .