Halaman

Rabu, 31 Agustus 2011

KETIKA HILAL TERHALANG OLEH AWAN

Telah diketahui bahwa jika hilal terhalangi oleh awan, kabut atau semisalnya setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 29 dari bulan Sya’ban, maka digenapkanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan pendapat yang paling benar adalah tidak bolehnya shiyam/puasa pada keesokan harinya.

Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])

Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

…. æóáÇó ÊõÞóÏøöãõæÇ ÇáÔøóåúÑó ÍóÊøóì ÊóÑóæåõ Ëõãøó ÕõæãõæÇ ÍóÊìøó ÊóÑóæåõ ÝóÅöäú ÍóÇáó Ïõæäóåõ ÛõãóÇãóÉñ ÝóÃóÊöãøõæÇ ÇáúÚöÏøóÉó ËóáÇóËöíúäó Ëõãøó ÃóÝúØöÑõæÇ¡ æóÇáÔøóåúÑõ ÊöÓúÚñ æó ÚöÔúÑõæäó [ÑæÇå ÃÈæ ÏÇæÏ æ ÇáÊÑãÐí æÇáäÓÇÆí¡ ÞÇá ÇáÃáÈÇäí : ÕÍíÍ]

Artinya:

“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])

Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

…Ëõãøó íóÕõæãõ áöÑõÄúíóÉö ÑóãóÖóÇäó ÝóÅöäú Ûõãøó Úóáóíúåö ÚóÏøó ËóáÇóËöíúäó íóæúãðÇ Ëõãøó ÕóÇãó. (ÑæÇå ÃÈæ ÏÇææÏ æÕÍÍå ÇáÃáÈÇäí Ýí ÕÍíÍ Óää ÃÈí ÏÇæÏ)

Artinya :

“… kemudian beliau bershaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung (atau yang semisalnya) maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian bershaum (setelahnya) ([3])

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ‘ulama, sebagaimana perkataan At-Tirmidzi rahimahullah: “sesungguhnya beramal dengan cara seperti ini (menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) adalah amalan para Shahabat dan Tabi’i) .

Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarhul Mumti’ (ketika membantah pendapat wajibnya ash-shaum dalam keadaan hilal terhalangi oleh mendung atau semisalnya) dan beliau berkata :

” Wajibnya Ash-shaum dalam keadaan seperti itu adalah dengan alasan ihtiyath (hati-hati) atau berdasarkan dugaan belaka bukan di atas suatu keyakinan dan kepastian, hanya dikarenakan adanya kemungkinan munculnya hilal, hanya saja tidak terlihat karena terhalang oleh mendung atau semisalnya.

Mereka juga berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar” :

ÝóßóÇäó ÇöÈúäõ ÚõãóÑó c ÅöÐóÇ ßóÇäó ÔóÚúÈóÇäõ ÊöÓúÚðÇ æóÚöÔúÑöíäó äóÙóÑó áóåõ ÝóÅöäú ÑõÆöíó ÝóÐóÇßó æóÅöäú áóãú íõÑó æóáóãú íóÍõáú Ïõæúäó ãóäúÙóÑöåö ÓóÍóÇÈñ æóáÇó ÞóÊóÑóÉò ÃóÕúÈóÍó ãõÝúØöÑðÇ ÝóÅöäú ÍóÇáó Ïõæúäó ãóäúÙóÑöåö ÓóÍóÇÈñ Ãóæú ÞóÊóÑóÉõ ÃóÕúÈóÍó ÕóÇÆöãÇð [ÑæÇå ÃÈæ ÏÇæÏ æÕÍÍå ÇáÃáÈÇäí]

Artinya :

“Dahulu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma jika bulan Sya’ban sudah masuk hari ke-29 maka beliau berusaha melihat hilal. Bila tampak maka beliau shaum dan jika tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan atau semisalnya maka beliau belum menjalankan shaum. Apabila tidak tampak dikarenakan terhalangi oleh awan atau semisalnya maka keesokan harinya beliau melakukan shaum.” ([4])

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah) menjawabnya dari beberapa sisi, sebagai berikut :

1. ­­Al Ihtiyath (berhati-hati) hanyalah dilakukan dalam perkara yang hukum asalnya wajib, adapun bila hukum asalnya tidak wajib, maka tidak berlaku sikap al-ihtiyath padanya. ([5])

2. Al-Imam Ahmad rahimahullah ([6]) dan selainnya menyatakan bahwa sesuatu yang berlandaskan sikap al-ihtiyath bukan hal yang bersifat lazim (wajib) hukumnya, tetapi dalam rangka wara’ atau sesuatu yang hukumnya bersifat mustahab. Sebab jika seseorang bershaum dalam rangka ber-ihtiyath dan mewajibkan dirinya untuk itu, justru telah keluar dari sikap al-ihtiyath itu sendiri, karena hal itu menjadikan orang yang tidak bershaum terkenai dosa. Seharusnya dengan sikap al-ihtiyath tersebut orang lain tidak terjatuh dalam dosa karena meninggalkannya.

Adapun riwayat Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma di atas tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hujjah bagi mereka yang mewajibkan shaum pada hari ke-30 Sya’ban yang pada malam harinya terhalangi oleh mendung. Karena Ibnu ‘Umar melakukannya hanya dalam rangka menjalankan suatu perkara yang bersifat mustahab bukan wajib. Bila beliau melakukannya karena wajib, niscaya akan memerintahkan orang lain, dan ternyata keluarga beliau sendiri pun tidak beliau perintahkan untuk bershaum pada hari itu. ([7])

Footnote :
[1] Taudhiul Ahkam jilid 3 hal. 131-132.

[2] Lihat Shahih Sunan Abi Dawud : Kitabush Shiyam hadits no. 2327; dan Al-Irwa` jilid 4 hal. 5.

[3] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no. 2322, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2325.

[4] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no.2317. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 903. Lihat pula Shahih Sunan Abi Dawud no.2320.

[5] Maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya kewajiban ash-shaum kecuali telah terlihat al-hilal. Apabila al-hilal telah terlihat, baru berubah hukum asal tersebut : yang sebelumnya tidak wajib bershaum berubah menjadi wajib.

[6] Perhatian! : Telah dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya shiyam pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.” Syaikhul Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya Al-Imam Ahmad“. Dalam kitab Al-Furu‘ : “Saya tidak mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan : “Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau haram.“ (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal. 132-133).

Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah.

[7] Lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim yang sangat berfaidah tentang masalah ini dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 2 hal.74 dan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa‘ jilid 4 hal. 10.

(Dikutip dari artikel berjudul “Hukum Ash-Shaum Pada Hari Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi Oleh Mendung Atau Semisalnya”. Url sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=224)

hisab dalam al-qur'an

Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Qur’an tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah
Pengetahuan
1/8/2011 | 02 Ramadhan 1432 H | Hits: 2.919
Oleh: Prof. Dr. Thomas Djamaluddin


dakwatuna.com -Diskusi soal penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah seringkali terfokus pada pemaknaan rukyat dan pengambilan dalil dari banyak hadits. Minim sekali pengambilan dalil dari Al-Quran dalam hal operasionalisasi penentuan awal bulan tersebut, karena memang Al-Quran tidak secara eksplisit mengungkapkan tata caranya seperti dalam hadits. Ya, kalau sekadar menggunakan ilmu tafsir yang selama ini digunakan oleh para ulama, kita sulit menemukan isyarat operasionalisasi penentuan awal bulan qamariyah di dalam Al-Quran. Tetapi, marilah kita gunakan alat bantu astronomi untuk memahami ayat-ayat Allah di dalam Al-Quran dan di alam. Kita akan mendapatkan isyarat yang jelas dan lengkap tata cara penentuan awal bulan itu di dalam Al-Quran. Memang bukan pada satu rangkaian ayat, tetapi dalam kaidah memahami Al-Quran, satu ayat Al-Quran bisa dijelaskan dengan ayat-ayat lainnya.

Dengan pemahaman astronomi yang baik, kita bisa menemukan isyarat yang runtut dan jelas soal penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Berikut ini ayat-ayat pokok yang menuntun menemukan isyarat itu yang dipandu pemahaman ayat-ayat kauniyah dengan astronomi:

1. Kapan kita diwajibkan berpuasa? Allah memerintahkan bila menyaksikan syahru (month, bulan kalender) Ramadhan berpuasalah.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah.” (QS 2:185)

Lalu bagaimana menentukan datangnya bulan (syahru) tersebut? Al-Quran tidak secara langsung menjelaskannya. Tetapi beberapa ayat berikut menuntun menguak isyarat yang jelas tata cara penentuan syahru tersebut, dengan dipandu pemahaman astronomi akan ayat-ayat kauniyah tentang perilaku bulan dan matahari.

2. Apa sih batasan syahru itu? Syahru itu hanya ada 12, demikian ketentuan Allah. Secara astronomi, 12 bulan adalah satu tahun.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS 9:36).

3. Lalu bagaimana menentukan masing-masing syahru dalam satu tahun? Bilangan tahun diketahui dari keberulangan tempat kedudukan bulan di orbitnya (manzilah-manzilah), yaitu 12 kali siklus fase bulan. Keteraturan keberulangan manzilah-manzilah itu yang digunakan untuk perhitungan tahun, setelah 12 kali berulang. Dengan demikian, kita pun bisa menghitungnya.

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٥﴾

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. 10:5).

4. Lalu, apa tanda-tanda manzilah-manzilah yang mudah dikenali manusia? Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua.

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ﴿٣٩﴾

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua.” (QS 36:39).

5. Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal syahru? Manzilah awal adalah hilal, bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Purnama walau paling terang tidak mungkin dijadikan manzilah awal karena tidak jelas titik awalnya. Hilal itu bukan hanya untuk awal Ramadhan (seperti disebut pada ayat-ayat sebelumnya, di QS 2:183 – 188) dan akhirnya (awal Syawal), tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah haji pada bulan Zulhijah.

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji.” (QS 2:189).

Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah(termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.

Apakah ada alternatif lain menentukan awal bulan, yaitu sekadar hisab bulan wujud di atas ufuk (wujudul hilal)? Saya tidak menemukan ayat yang tegas yang dapat menjelaskan soal wujudul hilal tersebut. Ada yang berpendapat isyarat wujudul hilal itu ada di dalam QS 36:40.

لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۚ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿٤٠﴾

“Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS 36:40).

Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat Maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada.

Ayat tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, karena pada akhir ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun. Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak ada yang diam.

Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.

Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitungan) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum berkembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.