Halaman

Jumat, 24 Agustus 2012

PRINSIF -PRINSIF DALAM MENDIDIK ANAK

 http://albayan.co.uk/id/article.aspx?id=94

 
Orang tua bijak adalah orang tua yang mentarbiyah dan merawat anaknya sejak dini dengan harapan agar ia dapat menikmati bakti dan kebaikan anaknya di usia senja.
Banyak contoh tarbiyah sukses yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya.  Di antara contoh yang paling baik dan kami rekomendasikan bagi orang tua unuk menggali prinsip-prinsip ideal dalam menerapkan tarbiyah adalah wasiat-wasiat Luqman al Hakim kepada putranya.
Sebuah wasiat mulia yang memiliki nilai sangat tinggi di sisi Allah, hingga Allah mengabadikannya dalam kitab teragung yang diterima oleh umat manusia. Nilainya semakin tinggi karena yang member wasiat tersebut bukan orang biasa, tetapi orang yang telah disaksikan Allah kebijaksanaannya. Kesaksian ini menjadi yang paling besar, karena berasal Allah yang Maha Bijaksana.
Allah menjadikan namanya sebagai nama bagi surah yang memuat wasiat-wasiat ini dan dibaca oleh jutaan orang dari setiap generasi umat ini. Agar hal itu menjadi manhaj dalam menunaikan tanggung-jawab yang dipikulkan kepada mereka berupa penyiapan generasi masa depan yang akan mengambil alih estafet khilafah di atas permukaan bumi.
Kajian kami mengenai wasiat ini bukanlah penjelasan, karena hal itu telah dilakukan oleh para ahli tafsir, semoga Allah melipatgandakan pahala mereka. Tetapi kajian ini hanya upaya untuk mengangkat beberapa kaedah atau prinsip yang menjadi landasan utama wasiat tersebut.
Bagi kami, prinsip-prinsip ini tidak kurang urgensinya dari penjelasan tentang wasiat itu sendiri, bahkan bisa jadi lebih urgen. Kesimpulan ini lahir dari keyakinan kami bahwa tarbiyah yang sukses bukan sekadar wasiat dan nasehat yang tidak dibangun di atas suatu landasan, hanya sekadar warisan yang diterima secara turun-temurun. Tetapi hendaknya wasiat itu dibangun di atas sebuah landasan yang benar dan dijalani orang tua dalam mendidik anak-anaknya sejak usia dini, agar tarbiyah tersebut membuahkan hasil, sejalan dengan perubahan dan kemajuan zaman yang menambah perlunya wasiat lain yang lebih cocok. Agar mereka mampu hidup di zamannya dengan berdaya guna, dan menunaikan tugas khilafah yang menjadi  tujuan ia diciptakan.
Dengan semua pertimbangan itu perlu kiranya mengemukakan kaedah-kaedah yang mengikat, mengarahkan, serta menyingkap wasiat ini. Agar orang tua memahami hikmah yang terdapat dalam wasiat Luqman lalu meletakkannya pada tempat dan waktu yang tepat supaya mencapai tujuan yang diharapkan dari proses tarbiyah. Sebuah ungkapan mengatakan: "hikmah adalah meletakkan sesuatu pada waktu dan tempat yang tepat."
Prinsip-prinsip tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, komitmen orang tua untuk senantiasa menasehati dan mengarahkan anaknya saat masih dalam asuhannya, khususnya pada fase awal perkembangannya yang merupakan usia paling siap untuk memperoleh nilai-nilai tarbiyah. Pada usia inilah sentuhan pertama diletakkan untuk meembentuk kepribadiannya.
Tarbiyah yang sukses bukan hanya sekadar pandangan sesaat atau pertemuan-pertemuan singkat lalu orang tua berharap hasil yang maksimal. Tarbiyah merupakan proses yang panjang dan memerlukan interaksi yang intensif. Di dalamnya, orang tua bertemu dengan anak-anaknya untuk melihat kondisi sebelumnya dan memperbaiki kekeliruan dan meluruskan penyimpangan. Dan melihat kepada kondisinya saat ini, serta  memandang masa depannya untuk membangun pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang mulia sesuai dengan kebutuhan anak-anaknya.
Inilah yang disebutkan oleh Allah Ta'ala tentang Luqman:
{وَإذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ}
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. (QS. Luqman: 13)

Kalimat ya'izhuhu merupakan jumlah fi'liyah (kalimat yang dimulai dengan kata kerja, pent.).  Kalimat tersebut mengindikasikan sebuah proses dan pembaruan yang berkesinambungan. Karena Luqman rutin memberikan wasiat dan nasehat tersebut kepada putranya setiap saat sesuai kondisinya. Para ahli tafsir telah menyebutkan sebagian di antara majelis-majelis ini dalam kitab-kitab mereka. 
 Kedua, wasiat Luqman lahir dari hikmah, tidak muncul secara serampangan. Wasiat tersebut berangkat dari ilmu dan pengalaman.
Allah berfirman:
{وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْـحِكْمَةَ}
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman. (QS. Luqman: 12)

Anda melihat pada ayat-ayat wasiat tersebut, Allah menjadikan hikmah sebagai mukaddimah sebelum menyebutkan wasiat-wasiat Luqman. Tentu hal itu merupakan mukaddimah yang diperlukan dari orang tua, sebelum mereka memasuki area tarbiyah.
Orang tua harus terlebih dahulu menyelami sumber-sumber pengetahuan yang tersedia untuk mengambil asas-asas tarbiyah yang sukses. Yaitu sumber-sumber yang pada era ini telah banyak ragamnya, misalnya; pelatihan, buku, konsultasi para ahli di bidangnya, pengalaman orang lain, dan lain-lain.
Ketiga,  menggunakan banyak cara untuk meyakinkan. Tidak menjadikan taujihat (pengarahan, pent.)  yang disampaikan kepada anak-anak sebatas perintah yang tidak disertai alasan. Tetapi seharusnya dibarengi dengan hal yang memiliki daya tarik untuk berkomitmen dengannya.
Di antara cara-cara tersebut adalah memberikan alasan suatu perintah atau menjelaskan sebab-sebab buruknya kemungkaran dan besarnya bahayanya. Memperindah kebajikan dan menyebutkan keutamaannya. Menghubungkan taujihat tersebut dengan kehidupan akhirat, kecintaan, dan keridhaan Allah, serta muraqabah (pengawasan) dan hisab (perhitungan) Allah.
Berikut ini beberapa contohnya.
a.       Mengemukakan alasan suatu perintah dengan penjelasan sebab-sebabnya. Pada saat Luqman memerintahkan anaknya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ia menyebutkan alasannya dan menyatakan:
{حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ}
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. (QS. Luqman: 14)
 
Mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah, melahirkan, lalu menyusuinya selama dua tahun. Semua pengorbanan itu tentunya harus dibalas dengan kebaikan.
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إلَيَّ الْـمَصِيرُ}
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
 
b.      Menjelek-jelekkan kemungkaran dan menyatakan bahayanya yang besar. Saat Luqman melarang anaknya dari kesyirikan, ia menjelaskan bahayanya. Luqman menyatakan:
{يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman: 13)
 
Ia juga menjelaskan kepada putranya akibat buruk mengangkat suara tanpa ada hajat keperluan.
{وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْـحَمِيرِ}
Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 19)
 
c.       Memperindah kebajikan dan menyebutkan keutamaannya. Tatkala Luqman menyuruh putranya bersabar dalam memikul beban perbaikan dan perubahan, serta memerangi kerusakan dan para perusak, ia menyebutkan kepadanya sisi kebaikan perilaku ini dan bahwa hal ini merupakan karakter ulul azmi. Ia menyatakan:
{وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ}
Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
 
d.      Menghubungkan nasehat-nasehatnya dengan dimensi kehidupan akhirat. Saat Luqman mewasiatkan kepada putranya untuk bersyukur kepada Allah sebagai Pemberi utama nikmat dan karunia, kemudian berterima kasih kepada kedua orang tua sebagai perantara penyampai nikmat itu, ia membarenginya dengan kehidupan akhirat.
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إلَيَّ الْـمَصِيرُ}
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
 
e.      Menghubungkan nasehat-nasehatnya  dengan kontrol dan hisab Allab. Pada saat ia meminta putranya mendampingi orang tuanya dengan cara yang baik, meskipun mereka berupaya keras menyeretnya kepada kesyirikan dan bersungguh-sungguh mengembalikannya dari agamanya, ia menghubungkannya dengan kontrol dan hisab Allah Subhanah
{وَإن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إلَيَّ ثُمَّ إلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ 15
يَا بُنَيَّ إنَّهَا إن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ
أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ}
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Luqman: 15-16)
 
f.        Mengikat nasehat dengan kecintaan dan keridhaan Allah. Tatkala ia melarang putranya dari fenomena kesombongan ia membarenginya dengan kecintaan dan keridhaan Allah.
{وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ}
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman: 18).

Keempat, wasiat yang berusaha membangun pribadi yang seimbang antara sikap ekstrim dan sikap tidak peduli. Tidak cenderung kepada salah satu dan meninggalkan yang lain, sehingga tidak ada ketaatan pada orang tua dalam ajakannya melakukan syirik. Tetapi pada saat yang sama, ia tidak memutus hubungan dengannya, sebagai upaya menjaga kebaikannya saat si anak masih kecil.
{وَإن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا}
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman: 15)
 
Kalau ia berjalan, maka jalannya sedang-sedang, antara cepat dan lambat, atau antara berjalan dengan gaya sombong dengan gaya malas.
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ}
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan. (QS. Luqman: 19)

Jika berbicara, ia merendahkan suara dan tidak membesarkannya lebih dari kebutuhan pendengar.
{وَاغْضُضْ مِن صَوْتِك}
Dan lunakkanlah suaramu.

Kata“min”dalam ayat tersebut merupakan min tab’idh (yang menunjukkan sebagian, pent.). Karena kadang-kadang kita perlu membesarkan suara akibat jauhnya jarak pendengar atau karena lemahnya pendengarannya.
Jika ia berbuat kebaikan, ia memasukkan nilai-nilai dakwah ke dalamnya,
{يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ}
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. (QS. Luqman: 17)
 
Tarbiyah dengan qudwah (teladan) yang baik sebelum nasehat yang baik, praktek sebelum teori, akhlak yang baik sebelum ucapan yang baik, perbaikan diri sendiri sebelum perbaikan anak-anak, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang ahli hikmah kepada murabbi (pendidik, pent.) bagi anak-anaknya:
(وليكن أول ما تبدأ به من إصلاح بنيك إصلاح نفسك، فإن أعينهم معقودة بعينك،
فالحسن عندهم ما استحسنتَ والقبيح عندهم ما استقبحتَ)
Hendaknya yang pertama-tama anda lakukan dalam memperbaiki anak anda adalah memperbaiki diri anda sendiri. Karena mata mereka terikat dengan mata anda. Yang baik bagi mereka adalah apa yang anda pandang baik, dan yang buruk bagi mereka adalah apa yang anda pandang buruk.

Dalam kisah Luqman, Allah memulai wasiat-wasiat-Nya dengan dua hal.
Pertama, Allah menyebutnya sebagai hikmah, ini berarti ilmu dan aplikasi ilmu sesuai kemampuan.
Kedua, Allah menasehati Luqman, sebelum ia menasehati putranya. Allah juga menyuruh dan melarangnya sebelum ia menyuruh dan melarang putranya. Mengajaknya bersyukur atas suatu nikmat sebelum ia mengajak putranya bersyukur.
{وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْـحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
وَمَن كَفَرَ فَإنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
Semua itu dilakukan agar ia lebih dahulu mengaplikasikan wasiat-wasiat tersebut sehingga ia menjadi teladan, dan ajakannya sejalan dengan pelaksanaannya. Sehingga ia lebih ditaati dan diteladani. Dalam sebuah kata mutiara disebutkan:
(حال رجل في ألف رجل خير من قول ألف رجل لرجل)
Kondisi satu orang di antara seribu orang lebih baik pernyataan seribu orang kepada satu orang.
 
Kelima, pengarahan memperhatikan skala prioritas sesuai dengan ketentuan syariat. Mendahulukan yang perlu didahulukan dan menunda yang perlu ditunda. Hak Allah berupa tauhid dan ibadah yang ikhlas semata kepada-Nya didahulukan atas hak taat kepada kedua orang tua.
Lantaran itu, Luqman mendahulukan hak Allah Ta’ala dan menyatakan:
{يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman: 13)
 
Lalu dibarengi dengan hak orang tua:
{وَوَصَّيْنَا الإنسَانَ بِوَالِدَيْهِ}
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. (QS. Luqman: 14)
 
Kemudian dipertegas lagi dengan firman-Nya:
{وَإن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا}
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (QS. Luqman: 15)

Syukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat berupa terwujudnya sarana pembinaan lebih didahulukan atas syukur kepada kedua orang tua yang melakukan pembinaan.
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ}
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.

Perbaikan pribadi lebih didahulukan atas perbaikan masyarakat. Dalam rangka itu, ia mewasiatkan kepada putranya untuk menegakkan shalat yang merupakan sarana utama memperbaiki pribadi sebelum berwasiat kepadanya untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar yang merupakan sarana utama memperbaiki masyarakat.
{يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْـمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْـمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
إنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ}
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
 
Keenam, pengarahan hendaknya tidak lebih dominan melarang keburukan daripada mengenalkan kebaikan. Tidak melarang kemungkaran kecuali sebanding dengan menyeru kepada kebaikan. Tidak melarang akhlak yang buruk kecuali sebanding dengan menyeru kepada akhlak yang baik. Bukan tarbiyah negative, yang hanya melarang keburukan lalu meninggalkan ajakan kepada kebaikan.
Tarbiyah adalah peningkatan. Barangsiapa merasa cukup dengan mencegah keburukan, melarang kemungkaran, dan menakut-nakuti kejelekan, lalu kita tidak melihatnya memperkenalkan kebaikan, melakukan amar makruf, dan memotivasi akhlak mulia, maka ia pada hakekatnya hanya meruntuhkan dan tidak membangun. Padahal tarbiyah yang sukses adalah tarbiyah yang meliputi kegiatan meruntuhkan dan membangun, atau mengosongkan dan mengisi, atau menyucikan dan menumbuhkan. Yaitu menghilangkan dan meruntuhkan akhlak yang buruk dan membangun akhlak yang baik.
Di sinilah kita dapati Luqman menggambungkan antara dua peran tersebut. Pada saat ia melarang syirik dan fenomena kesombongan, ini merupakan tindakan meruntuhkan keburukan. Pada saat yang bersamaan ia juga menyeru kepada taat kepada kedua orang tua, menegakkan shalat dan memperbaiki masyarakat. Ini merupakan upaya menumbuhkan akhlak yang mulia.
Ketujuh, pengarahan dibangun di atas tawaran solusi, diagnosa penyakit dan pemberian resep. Yaitu mengungkap fenomena penyimpangan yang merupakan indikasi dan tanda keburukan. Lalu memberi usulan resep sebagai solusinya, berupa fenomena kebaikan yang mengantar kepada terwujudnya akhlak mulia. Mari kita perhatikan ungkapan Luqman dalam mendiagnosa penyakit dari fenomena yang tampak. Ia berkata:
{وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ}
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman: 18)
 
Semua itu mengindikasikan bahwa pelakunya ditimpa penyakit sombong. Kemudian kita perhatikan lagi saat ia memberikan solusi, sarana dan resep agar sembuh dari penyakit tersebut dan memperoleh hasil sebaliknya. Ia berkata:
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ}
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.

Sebagaimana berjalan dengan gaya sombong, memalingkan muka dan membesarkan suara sebagai upaya menonjolkan diri dan menarik perhatian, semuanya  merupakan indikasi atau sarana kesombongan, maka sederhana dalam berjalan dan melunakkan suara merupakan sarana menggapai sifat tawadhu' sekaligus menjadi indikasinya.
Kedelapan, menggunakan berbagai media pembelajaran yang memungkinkan dan dapat mendekatkan makna demi memahamkan isi arahan. Khususnya bagi anak-anak yang masih memerlukan penggambaran dan benda-benda nyata yang tidak asing lagi bagi mereka dalam belajar pengetahuan, dan memahami isi lebih diperlukan bagi anak daripada pengetahuan teoritis.
Luqman telah menggunakan berbagai media dalam mengajarkan wasiat ini, seperti; menggunakan amtsal (perumpamaan), kata-kata kiasan, dan tasybih (analogi).
Di antaranya, ia menyatakan:
{يَا بُنَيَّ إنَّهَا إن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ
أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ}
Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Luqman: 16)
 
Juga menyatakan:                                                          
{وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ}
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong). (QS. Luqman: 18)

Ibn Katsir mengatakan, "Sha'r pada mulanya adalah penyakit yang menimpa leher atau kepala unta hingga lehernya hancur, lalu orang yang sombong diserupakan dengannya."
Luqman juga mengatakan:
{وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْـحَمِير}
Dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 19)
 
Contoh gambaran yang digunakan Luqman dalam menasehati putranya adalah khardal (biji sawi), shakhrah (batu besar), tasha'ur (memalingkan muka), dan suara keledai. Semuanya merupakan hal nyata dan tidak asing pada zamannya.
Tidak diragukan lagi bahwa kemajuan modern, revolusi teknologi dan peradaban kontemporer telah menghasilkan sangat banyak media yang dapat digunakan untuk mendekatkan pemahaman dan menerangkan isi nasehat kepada benak anak-anak.
Kesembilan, wasiat komprehensif, meliputi segala yang diperlukan anak didik dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Yang dapat menjadikan setiap individu dari mereka menjadi saleh  secara pribadi dan muslih (agen perubahan) bagi orang lain. Melakukan dan menyerukan kebaikan, komitmen dengan nilai-nilai kebaikan, serta berusaha mewujudkannya. Mengenal hak-hak Allah, hak-hak pribadi dan orang lain, khususnya hak orang yang berbuat baik kepadanya.
Ia berusaha memperbaiki hubungan pribadinya kepada Allah dengan tauhid yang tulus dan pengamalan syariat, juga memperbaiki kondisi pribadinya dengan komitmen memegang akhlak yang mulia dan meninggalkan akhlak yang buruk. Memperbaiki kondisinya di tengah keluarga dengan berbuat baik kepada orang tua, memperbaiki kondisinya di tengah masyarakat dengan menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar.
Kesepuluh, hendaknya wasiat-wasiat itu lahir dari kecintaan orang tau kepada anak-anak dan semangatnya memperbaiki mereka.
Mungkin anda bisa rasakan hal ini dalam panggilan Luqman kepada putranya. Ia tidak memanggil mereka dengan namanya, tapi dengan kata “Ya Bunayya” (wahai anandaku). Dia mengulang-ulangi kata tersebut dalam kebanyakan wasiatnya.
Kata ini dapat menghilangkan jarak dan mendekatkan hati, mengeluarkan semua nilai-nilai kasih sayang. Anak-anak pun dapat merasakan kehangatan orang tua. Kata-kata yang menjadikan mereka lebih banyak menerima dan mengamalkan wasiat-wasiat orang tuanya.
Adakah ungkapan yang lebih indah dari panggilan seorang ayah kepada putranya daripada ungkapan yang menggambarkan hubungan yang erat antara keduanya?
Anak dapat merasakan bahwa hak hubungan yang kuat inilah yang mendorong orang tuanya memberikan pesan-pesan yang membawa kemaslahatan bagi agama dan akhiratnya, masa kini dan yang akan datang, cepat ataupun lambat.
 
Epilog
Setelah mengkaji wasiat-wasiat ini, kita dapat memahami dan melihat bahwa di antara karakteristik tarbiyah sukses yang digambarkan al-Qur'an dan diabadikan hingga akhir zaman, dijadikannya sebagai buah hikmah yang diberikan Allah kepada hambanya Luqman, dan dijadikannya sebagai prinsip bagi orang tua dalam mendidik anaknya adalah tarbiyah yang di dalamnya orang tua selalu menasehati dan mengarahkan anak-anaknya. Ia selalu bertolak dari pengetahuan dan pengalaman, disertai dengan hal-hal yang memberi daya tarik untuk selalu komitmen dengannya.
Ia menggabungkan antara upaya melarang keburukan dengan pengenalan terhadap kebaikan, memberikan alternatif pilihan, mendiagnosa penyakit, dan memberi resepnya.
Memulai dengan qudwah yang baik sebelum nasehat yang baik. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan menimbangnya dengan timbangan syariat.
Menggunakan semua media yang memungkinkan untuk mendekatkan makna dan menerangkan pemahaman.
Berusaha untuk membangun kepribadian yang seimbang, mencakup segala yang diperlukan oleh setiap pribadi dalam kehidupan sosial dan individu. Lahir dari cinta dan semangat orang tua untuk  memperbaiki anak-anaknya.
Sejauh mana komitmen orang tua dengan manhaj yang diajarkan oleh wasiat ini, sejauh itu pula kesuksesan mereka dalam menjalankan tarbiyah. Kegembiraan dan kebahagiaan mereka dengan menikmati hasilnya pada anak-anak mereka yang merupakan harta milik yang paling berharga dalam hidupnya. Yaitu harapan bakti dan kebahagiaan dari mereka saat usia telah senja. Dan peninggalan paling berharga setelah wafatnya berupa kenangan yang tak terlupakan dan pahala yang tak terputus.
Dalam suatu hadits, Nabi bersabda:
«إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به
أو ولد صالح يدعو له»
Apabila anak keturunan Adam telah wafat, maka putuslah amalannya kecuali tiga; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang senantiasa mendoakannya.[1]

Sungguh tepat sabda Rasulullah saat menyatakan:
«ما نحل والد ولده نحلاً أفضل من أدب حسن»
Tiada pemberian yang lebih baik diberikan oleh orang tua kepada anaknya daripada etika yang baik.[2]
 
Maksudnya adalah hadiah yang paling baik yang diberikan orang tua kepada anaknya adalah memperbaiki akhlaknya. #**

 

[1] Diriwayatkan oleh Muslim.
[2] Ahmad, al-Musnad.

Kamis, 23 Agustus 2012

BUKTI KESESATAN SYI'AH

BUKTI NYATA KEPALSUAN SYI'AH OLEH. HANIN MAZAYA Ternyata sejarah menyimpan bukti-bukti bahwa madzhab Syi’ah –yang ada hari ini– bukanlah madzhab yang dianut oleh Nabi dan Ahlul Bait. Apa saja bukti-bukti itu? Silahkan baca selengkapnya... Ulama Syi’ah selalu membuat klaim bahwa madzhab mereka adalah warisan dari keluarga Nabi. Kita banyak mendengar klaim seperti ini di mana-mana, khususnya ditujukan bagi muslim yang awam. Awam di sini bukan sekedar awam dalam artian tidak berpendidikan atau tidak terpelajar, tetapi awam dalam pemahaman Islam, termasuk kalangan awam yang saya maksud adalah kalangan intelektual yang berpendidikan tinggi hingga menyelesaikan jenjang pasca sarjana, barangkali juga diberi gelar profesor. Tetapi dalam masalah pemahaman agama sangat awam, bahkan banyak dari pemilik gelar –satu gelar ataupun lebih– yang belum dapat membaca Al-Qur’an dengan benar. Banyak orang awam terpesona oleh cerita-cerita yang enak didengar tentang madzhab Ahlul Bait, begitu juga cerita tentang penderitaan Ahlul Bait dan cerita-cerita lainnya. Mereka terpengaruh oleh cerita-cerita Syi’ah tanpa bisa melacak asal usul cerita-cerita itu, tanpa bisa memilah apakah cerita itu benar adanya atau hanya sekedar dongeng tanpa ada faktanya. Di satu sisi kita kasihan melihat orang-orang awam yang tertipu, tetapi di sisi lain kita bisa memaklumi bahwa orang awam tidak dapat melacak asal usul periwayatan sebuah cerita. Karena untuk melacak kebenaran sebuah cerita bukan hal yang mudah bagi orang awam, begitu juga memanipulasi cerita tidak mudah dilakukan oleh orang awam. Tetapi jika kita melihat lagi sejarah dengan teliti, kita akan menemukan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan banyak klaim yang dibuat oleh Syi’ah. Hingga akhirnya kita bertanya-tanya tentang kebenaran klaim Syi’ah. Dan yang lebih mengherankan lagi, Syi’ah tetap saja tidak bergeming dan tetap bersikeras memegang teguh klaimnya yang telah dibantah oleh sejarah. Yang disebut klaim bisa jadi hanya kesimpulan dari beberapa fakta yang bisa saja keliru, namun mestinya jika klaim itu bertabrakan dengan satu bukti nyata dan sejarah yang benar-benar terjadi, mestinya mereka yang mencari kebenaran akan meninjau kembali pemikiran sebelumnya yang keliru. Tetapi berbeda bagi ulama Syi’ah, karena ada beberapa ulama Syi’ah berusaha menutupi peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan madzhab Syi’ah, atau seperti kata Abbas Al-Qummi: “Dapat melemahkan akidah orang banyak, yang bisa kita temukan dalam kitab Ma’rifatul Imam, karya Sayyid Muhammad Husein Al Huseini: “Temanku –Ayatullah Sayyid Shadruddin Al-Jaza’iri– menceritakan; Pada suatu hari dia berada di rumah Ayatullah Sayyid Muhsin Al-Amin Al-Amili di Syam, kebetulan Tsiqatul Muhadditsin Abbas Al-Qummi juga ada di sana. Lalu terjadilah dialog antara Abbas Al-Qummi dan Muhsin Al-Amin. Abbas Al-Qummi bertanya kepada Muhsin Al-Amin: “Mengapa anda menyebutkan baiat imam Ali Zainal Abidin kepada Yazid bin Muawiyah, –semoga dia dan ayahnya dikutuk dan masuk neraka– dalam kitab A’yanu As-Syi’ah?” Muhsin Al-Amin menjawab: “Kitab A’yanu As-Syi’ah adalah kitab sejarah, karena telah terbukti dalam sejarah bahwa ketika Muslim bin Uqbah menyerang kota Madinah, membunuh dan merampok serta memperbolehkan kehormatan selama tiga hari atas perintah Yazid, melakukan kejahatan yang tidak mampu ditulis oleh pena, imam As-Sajjad telah berbaiat pada Yazid karena kepentingan mendesak, dan karena taqiyah untuk menjaga diri dan bani Hasyim. Baiat ini adalah seperti baiat Ali pada Abu Bakar setelah enam bulan dari wafatnya Nabi, setelah syahidnya Fatimah.” Abbas Al-Qummi mengatakan: “Tidak boleh menyebutkan kejadian ini meskipun benar terjadi, karena dapat melemahkan akidah orang banyak, dan kita harus selalu menyebutkan kejadian yang tidak betentangan dengan akidah orang banyak.” Muhsin Al-Amin menjawab: “Saya tidak tahu, mana kejadian sejarah yang ada manfaat di dalamnya dan mana yang tidak ada manfaatnya, hendaknya anda mengingatkan saya pada kejadian yang tidak ada manfaatnya, saya tidak akan menuliskannya.” Selain berusaha “menghapus” peristiwa itu dari buku-buku Syi’ah, ulama Syi’ah juga menebarkan keraguan seputar peristiwa-peristiwa yang tidak sejalan dengan kepentingan Syi’ah dan “melemahkan akidah orang”, seperti Ali Al-Milani yang mencoba meragukan peristiwa Abu Bakar diperintahkan oleh Nabi untuk menjadi imam shalat. Dia mencoba menguji peristiwa itu melalui metode penelitian hadits ala Syi’ah. Namun itu tidak banyak berguna karena peristiwa itu tercantum dalam kitab Shahih Bukhari, yang dianggap shahih oleh kaum muslimin. Jika peristiwa itu diragukan, maka sudah semestinya peristiwa lainnya yang tercantum dalam Shahih Bukhari juga ikut diragukan, seperti peristiwa Saqifah, dan peristiwa Nabi yang menyerahkan bendera perang kepada Ali pada perang Khaibar. Juga hadits tentang kedudukan Nabi Muhammad dan Ali yang dinyatakan bagai Nabi Musa dan Nabi Harun. Akhirnya orang awam banyak yang tidak mengetahui –atau meragukan– peristiwa-peristiwa penting yang bertentangan dengan kepentingan penyebaran Syi’ah, hingga akhirnya peristiwa-peristiwa itu tidak dijadikan data dalam proses menarik kesimpulan. Dan akhirnya kesimpulan itu bisa jadi benar secara urutan logika, tetapi karena ada data yang tidak diikutkan –atau premis yang tidak valid– maka kesimpulannya menjadi keliru. Sejarah keluarga Nabi Pada makalah singkat ini kami akan membuktikan kepada pembaca, seputar sejarah keluarga Nabi yang disepakati oleh para sejarawan baik Sunni maupun Syi’ah, yang akan membuktikan bahwa para Ahlul Bait tidak pernah menganut ajaran yang dianut dan diyakini oleh kaum Syi’ah hari ini. Seluruh sejarawan baik dari pihak Syi’ah maupun Sunni mengakui bahwa Ahlul Bait Nabi tinggal bermukim di kota Madinah, di tengah-tengah penganut madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagian Khalifah yang berkuasa menginginkan mereka agar pindah ke kota lain, tetapi mereka tetap ingin tinggal di kota Madinah. Meskipun Musa Al-Kazhim akhirnya pindah ke Iraq atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid, tinggal sebagai tamu dinasti Abbasiyah hingga meninggal dunia di Baghdad pada tahun 183 hijriyah, dan dikubur di Baghdad, hari ini daerah di sekitar kuburnya disebut dengan Kazhimiyah, karena kuburannya ada di sana. Begitu pula Ali Ar-Ridha dipanggil oleh Al-Ma’mun untuk dijadikan putra mahkota yang akan menggantikan jabatannya sebagai khalifah, akhirnya Ali pergi ke Khurasan dan meninggal dunia pada tahun 203 Hijriyah, dan dimakamkan di kota Masyhad. Bagitu juga Ali Al-Hadi meninggalkan kota Madinah, tetapi tidak menuju kufah dan malah tinggal di Samarra’, karena memenuhi panggilan Khalifah Al-Mutawakkil, dan meninggal dunia pada tahun 254 hijriyah, meninggalkan dua orang anak yang bernama Hasan dan Ja’far. Hasan menjadi imam kesebelas bagi Syi’ah sementara Ja’far dijuluki oleh Syi’ah dengan julukan Ja’far Al-Kadzab (si pendusta) karena dia menyangkal keberadaan anak Hasan Al-Askari yang diyakini keberadaannya oleh Syi’ah, yang mana dengan itu dia membongkar kepalsuan ajaran Syi’ah. Dengan ini bisa dipahami bahwa keberadaan para imam Ahlul Bait di luar kota Madinah adalah dalam waktu yang sangat singkat, dan semua itu di luar keinginan mereka sendiri, karena memenuhi panggilan khalifah yang berkuasa saat itu. Di sini muncul beberapa pertanyaan yang logis alias masuk akal tentang madzhab yang dianut oleh keluarga Nabi nan suci. Bukan hanya pertanyaan, tapi bukti-bukti nyata bagi mereka yang mempergunakan akal sehatnya untuk berpikir, yang tidak dapat dibantah oleh Syi’ah baik di masa lalu atau saat ini (jika ada pembaca yang dapat membantah saya persilahkan, tapi saya tidak menjanjikan imbalan): Di antara bukti-bukti yang menunjukkan adanya pemalsuan sejarah bahwa para imam adalah bermadzhab Syi’ah: Ali berada di bawah ketaatan para khulafa Rasyidin yang menjabat khalifah sebelumnya, jika memang madzhab Ali berbeda dengan para khalifah sebelumnya –seperti yang diklaim oleh Syi’ah– sudah pasti Ali akan keluar dari Madinah yang penduduknya tidak mau berbaiat kepadanya, dan pergi ke negeri Islam lainnya, apalagi negeri yang belum lama masuk dalam Islam seperti Iraq dan Persia, yang mana penduduk negeri itu baru masuk Islam dan haus akan kebenaran, jika memang Ali benar-benar dihalangi untuk menduduki jabatan yang menjadi haknya pasti mereka akan menolongnya, tetapi yang terjadi adalah Ali tidak keluar dari Madinah, baru keluar dari Madinah setelah dibaiat menjadi khalifah. Begitu juga peristiwa perdamaian antara Hasan dan Muawiyah, sudah semestinya Hasan tidak menyerahkan jabatan imamah kepada Muawiyah, jika memang imamah adalah jabatan yang sama seperti kenabian –seperti yang diyakini Syi’ah, lihat dalam kitab Ashlu Syi’ah wa Ushuluha juga kitab Aqaidul Imamiyah–, sudah semestinya Hasan berjuang sampai tetes darah terakhir, apalagi ribuan tentara siap untuk mendukungnya dalam menumpas Muawiyah. Bukannya menumpas Muawiyah, Hasan malah menyerahkan jabatan yang menjadi amanat ilahi –sebagaimana kenabian– kepada musuh yang telah memerangi ayahnya. Para imam setelah imam Ali tidak pernah memberontak kepada khalifah yang adil, kecuali imam Husein yang syahid di Karbala, meskipun demikian beliau memberontak karena kezhaliman Yazid, bukan karena Husein yang menginginkan untuk menjadi imam, meskipun dia adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah saat itu. Maka kita simak saat Zaid bin Ali berdialog dengan Muhammad Al-Baqir mengenai apakah untuk menjadi seorang imam disyaratkan untuk memberontak, sedangkan Zaid meyakini hal itu, yaitu untuk menjadi imam seseorang harus memberontak pada khalifah. Muhammad Al-Baqir membantah hal itu dengan menyatakan jika syarat yang ditetapkan oleh Zaid benar maka ayah mereka berdua “Ali bin Husain” bukanlah imam karena dia tidak memberontak kepada Yazid dan tidak mengajak orang lain untuk memberontak. Peristiwa baiat Ali bin Husein terhadap Yazid disebutkan oleh Muhsin Al-Amin dalam A’yanus Syi’ah. Juga bagaimana para keluarga Nabi tetap tinggal di tengah-tengah Ahlus Sunnah jika memang mereka bermadzhab Syi’ah –seperti klaim Syi’ah selama ini–, mengapa mereka tidak tinggal di wilayah yang banyak terdapat orang yang mencintai mereka dari golongan Rafidhah dan Ghulat seperti di Kufah maupun Khurasan, apalagi saat mereka tinggal di Madinah mereka tidak luput dari pengawasan Bani Abbasiyah yang saat itu menguasai pemerintahan. Berbeda ketika mereka menyebar di negeri lain. Semua Ahlul Bait yang memberontak kepada khalifah tidak ada yang bermadzhab Syi’ah Rafidhah, mereka memberontak karena alasan politik, bukan karena alasan madzhab, sedangkan Ahlul Bait yang berhasil mendirikan negara tidak ada dari mereka yang menerapkan madzhab Syi’ah, seperti: Ahlul Bait yang bermadzhab Sunni, dan berhasil mendirikan negara adalah: Idris bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, pendiri dinasti Adarisah di Maghrib, bahkan Idris bin Hasan adalah penyebab utama dari menyebarnya madzhab maliki di Maroko, semua itu karena imam Malik tidak mengakui keabsahan baiat Abu Ja’far Al-Manshur yang telah berbaiat sebelumnya kepada Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan nama An-Nafsu Az-Zakiyyah, maka dia berpendapat bahwa Abu Ja’far masih terikat baiat dengan Muhammad bin Hasan, imam Malik disiksa karena pendapatnya itu, dan dia tidak menarik ucapannya. Baiat kepada Muhammad dilakukan secara rahasia, di antara yang berbaiat adalah saudara-saudaranya, ayahnya, Abu Ja’far Al-Manshur, Abul Abbas dan Ja’far As-Shadiq yang dianggap oleh Syi’ah sebagai imam ke enam, juga banyak tokoh Ahlul Bait lainnya. Asyraf Makkah yang merupakan keturunan Imam Husein, yang memerintah Makkah beberapa abad yang lalu. Begitu juga Asyraf Madinah yang merupakan keturunan Hasan, yang memerintah kota Madinah. Begitu juga Ahlul Bait yang bermadzhab Zaidi, walaupun mereka bermadzhab Zaidi tapi mereka tidak terpengaruh oleh ajaran Rafidhah, mereka hanya menganggap Ali lebih utama dibanding Abu Bakar dan Umar, mereka juga mensyaratkan bahwa yang lebih mulia dan utama harus menjabat khalifah, namun mereka juga mencintai seluruh sahabat Nabi, yang dalam sejarah dikenal dengan istilah Syi’ah sebagai sikap politik, bukan sebagai madzhab. Ahlul Bait penganut madzhab Zaidi yang berhasil mendirikan negara dan tidak terpengaruh madzhab Rafidhah: Muhammad bin Yusuf Al-Ukhaidhir, dia adalah Muhammad bin Yusuf bin Ibrahim bin Musa Al-Jaun bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, pendiri pemerintahan Ukhaidhiri di wilayah Yamamah, begitu juga anak keturunannya, Muhammad adalah orang yang datang dari Hijaz ke Yamamah dan mendirikan negara di sana pada tahun 252 H/866 M. Begitu juga Husein bin Qasim Ar-Rassi, pendiri pemerintahan Alawiyah di Sha’dah dan Shan’a, Yaman, pada tahun 280 H. Ayahnya yang bernama Qasim Ar-Rassi adalah penulis kitab “Bantahan terhadap kaum Rafidhah”, yang telah dicetak. An-Nashir lil Haqq Al-Hasan yang dijuluki Al-Athrusy karena pendengarannya kurang baik, pendiri negara Alawiyyin di Dailam, yang mengajarkan Islam kepada penduduk Jil dan Dailam yang kekuasaannya mencapai Thabaristan, berhasil membebaskan Amil dan masuk ke kota Jalus pada tahun 301 H, tetap memimpin pemerintahan hingga wafat tahun 304 H. dia meninggalkan warisan ilmiyah yang banyak, yang tidak memuat ajaran Rafidhah sedikitpun, di antaranya adalah kitab Al-Bisat, yang ditahqiq oleh Abdul Karim Jadban, diterbitkan pertama kali pada tahun 1997 oleh Dar Turats di Sha’dah. Sedangkan banyak dari Ahlul Bait sendiri yang termasuk ulama Ahlus Sunnah, di antaranya adalah kebanyakan dari 11 imam, –karena imam yang ke-12 sebenarnya tidak pernah ada– seperti Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-Shadiq, Musa Al-Kazhim dan Ahlul Bait lainnya. Begitu juga Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin Abdullah bin Yazid bin Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Muththalibi As-Syafi’i, beliau adalah imam salah satu dari empat madzhab dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang memiliki hubungan erat dengan keluarga Nabi, karena dia adalah keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, sama seperti Nabi Muhammad yang juga keturunan Abdi Manaf, sedangkan keluarga Muththalib juga termasuk Ahlul Bait yang tidak boleh menerima sedekah, seperti pendapat jumhur ulama. Al-Qur’an memuat kisah Nabi Isa yang menolak klaim kaum Nasrani terhadap dirinya, menyatakan bahwa Nabi Isa bukanlah Tuhan yang layak disembah. Kita perlu meneliti lebih dalam sebelum meyakini sesuatu. Jika madzhab Syi’ah bukanlah madzhab Ahlul Bait seperti diklaim oleh Syi'ah, lalu madzhab siapa? Sumber : syiahindonesia

BUKTI KESESATAN SYI'AH

BUKTI NYATA KEPALSUAN SYI'AH OLEH. HANIN MAZAYA Ternyata sejarah menyimpan bukti-bukti bahwa madzhab Syi’ah –yang ada hari ini– bukanlah madzhab yang dianut oleh Nabi dan Ahlul Bait. Apa saja bukti-bukti itu? Silahkan baca selengkapnya... Ulama Syi’ah selalu membuat klaim bahwa madzhab mereka adalah warisan dari keluarga Nabi. Kita banyak mendengar klaim seperti ini di mana-mana, khususnya ditujukan bagi muslim yang awam. Awam di sini bukan sekedar awam dalam artian tidak berpendidikan atau tidak terpelajar, tetapi awam dalam pemahaman Islam, termasuk kalangan awam yang saya maksud adalah kalangan intelektual yang berpendidikan tinggi hingga menyelesaikan jenjang pasca sarjana, barangkali juga diberi gelar profesor. Tetapi dalam masalah pemahaman agama sangat awam, bahkan banyak dari pemilik gelar –satu gelar ataupun lebih– yang belum dapat membaca Al-Qur’an dengan benar. Banyak orang awam terpesona oleh cerita-cerita yang enak didengar tentang madzhab Ahlul Bait, begitu juga cerita tentang penderitaan Ahlul Bait dan cerita-cerita lainnya. Mereka terpengaruh oleh cerita-cerita Syi’ah tanpa bisa melacak asal usul cerita-cerita itu, tanpa bisa memilah apakah cerita itu benar adanya atau hanya sekedar dongeng tanpa ada faktanya. Di satu sisi kita kasihan melihat orang-orang awam yang tertipu, tetapi di sisi lain kita bisa memaklumi bahwa orang awam tidak dapat melacak asal usul periwayatan sebuah cerita. Karena untuk melacak kebenaran sebuah cerita bukan hal yang mudah bagi orang awam, begitu juga memanipulasi cerita tidak mudah dilakukan oleh orang awam. Tetapi jika kita melihat lagi sejarah dengan teliti, kita akan menemukan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan banyak klaim yang dibuat oleh Syi’ah. Hingga akhirnya kita bertanya-tanya tentang kebenaran klaim Syi’ah. Dan yang lebih mengherankan lagi, Syi’ah tetap saja tidak bergeming dan tetap bersikeras memegang teguh klaimnya yang telah dibantah oleh sejarah. Yang disebut klaim bisa jadi hanya kesimpulan dari beberapa fakta yang bisa saja keliru, namun mestinya jika klaim itu bertabrakan dengan satu bukti nyata dan sejarah yang benar-benar terjadi, mestinya mereka yang mencari kebenaran akan meninjau kembali pemikiran sebelumnya yang keliru. Tetapi berbeda bagi ulama Syi’ah, karena ada beberapa ulama Syi’ah berusaha menutupi peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan madzhab Syi’ah, atau seperti kata Abbas Al-Qummi: “Dapat melemahkan akidah orang banyak, yang bisa kita temukan dalam kitab Ma’rifatul Imam, karya Sayyid Muhammad Husein Al Huseini: “Temanku –Ayatullah Sayyid Shadruddin Al-Jaza’iri– menceritakan; Pada suatu hari dia berada di rumah Ayatullah Sayyid Muhsin Al-Amin Al-Amili di Syam, kebetulan Tsiqatul Muhadditsin Abbas Al-Qummi juga ada di sana. Lalu terjadilah dialog antara Abbas Al-Qummi dan Muhsin Al-Amin. Abbas Al-Qummi bertanya kepada Muhsin Al-Amin: “Mengapa anda menyebutkan baiat imam Ali Zainal Abidin kepada Yazid bin Muawiyah, –semoga dia dan ayahnya dikutuk dan masuk neraka– dalam kitab A’yanu As-Syi’ah?” Muhsin Al-Amin menjawab: “Kitab A’yanu As-Syi’ah adalah kitab sejarah, karena telah terbukti dalam sejarah bahwa ketika Muslim bin Uqbah menyerang kota Madinah, membunuh dan merampok serta memperbolehkan kehormatan selama tiga hari atas perintah Yazid, melakukan kejahatan yang tidak mampu ditulis oleh pena, imam As-Sajjad telah berbaiat pada Yazid karena kepentingan mendesak, dan karena taqiyah untuk menjaga diri dan bani Hasyim. Baiat ini adalah seperti baiat Ali pada Abu Bakar setelah enam bulan dari wafatnya Nabi, setelah syahidnya Fatimah.” Abbas Al-Qummi mengatakan: “Tidak boleh menyebutkan kejadian ini meskipun benar terjadi, karena dapat melemahkan akidah orang banyak, dan kita harus selalu menyebutkan kejadian yang tidak betentangan dengan akidah orang banyak.” Muhsin Al-Amin menjawab: “Saya tidak tahu, mana kejadian sejarah yang ada manfaat di dalamnya dan mana yang tidak ada manfaatnya, hendaknya anda mengingatkan saya pada kejadian yang tidak ada manfaatnya, saya tidak akan menuliskannya.” Selain berusaha “menghapus” peristiwa itu dari buku-buku Syi’ah, ulama Syi’ah juga menebarkan keraguan seputar peristiwa-peristiwa yang tidak sejalan dengan kepentingan Syi’ah dan “melemahkan akidah orang”, seperti Ali Al-Milani yang mencoba meragukan peristiwa Abu Bakar diperintahkan oleh Nabi untuk menjadi imam shalat. Dia mencoba menguji peristiwa itu melalui metode penelitian hadits ala Syi’ah. Namun itu tidak banyak berguna karena peristiwa itu tercantum dalam kitab Shahih Bukhari, yang dianggap shahih oleh kaum muslimin. Jika peristiwa itu diragukan, maka sudah semestinya peristiwa lainnya yang tercantum dalam Shahih Bukhari juga ikut diragukan, seperti peristiwa Saqifah, dan peristiwa Nabi yang menyerahkan bendera perang kepada Ali pada perang Khaibar. Juga hadits tentang kedudukan Nabi Muhammad dan Ali yang dinyatakan bagai Nabi Musa dan Nabi Harun. Akhirnya orang awam banyak yang tidak mengetahui –atau meragukan– peristiwa-peristiwa penting yang bertentangan dengan kepentingan penyebaran Syi’ah, hingga akhirnya peristiwa-peristiwa itu tidak dijadikan data dalam proses menarik kesimpulan. Dan akhirnya kesimpulan itu bisa jadi benar secara urutan logika, tetapi karena ada data yang tidak diikutkan –atau premis yang tidak valid– maka kesimpulannya menjadi keliru. Sejarah keluarga Nabi Pada makalah singkat ini kami akan membuktikan kepada pembaca, seputar sejarah keluarga Nabi yang disepakati oleh para sejarawan baik Sunni maupun Syi’ah, yang akan membuktikan bahwa para Ahlul Bait tidak pernah menganut ajaran yang dianut dan diyakini oleh kaum Syi’ah hari ini. Seluruh sejarawan baik dari pihak Syi’ah maupun Sunni mengakui bahwa Ahlul Bait Nabi tinggal bermukim di kota Madinah, di tengah-tengah penganut madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagian Khalifah yang berkuasa menginginkan mereka agar pindah ke kota lain, tetapi mereka tetap ingin tinggal di kota Madinah. Meskipun Musa Al-Kazhim akhirnya pindah ke Iraq atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid, tinggal sebagai tamu dinasti Abbasiyah hingga meninggal dunia di Baghdad pada tahun 183 hijriyah, dan dikubur di Baghdad, hari ini daerah di sekitar kuburnya disebut dengan Kazhimiyah, karena kuburannya ada di sana. Begitu pula Ali Ar-Ridha dipanggil oleh Al-Ma’mun untuk dijadikan putra mahkota yang akan menggantikan jabatannya sebagai khalifah, akhirnya Ali pergi ke Khurasan dan meninggal dunia pada tahun 203 Hijriyah, dan dimakamkan di kota Masyhad. Bagitu juga Ali Al-Hadi meninggalkan kota Madinah, tetapi tidak menuju kufah dan malah tinggal di Samarra’, karena memenuhi panggilan Khalifah Al-Mutawakkil, dan meninggal dunia pada tahun 254 hijriyah, meninggalkan dua orang anak yang bernama Hasan dan Ja’far. Hasan menjadi imam kesebelas bagi Syi’ah sementara Ja’far dijuluki oleh Syi’ah dengan julukan Ja’far Al-Kadzab (si pendusta) karena dia menyangkal keberadaan anak Hasan Al-Askari yang diyakini keberadaannya oleh Syi’ah, yang mana dengan itu dia membongkar kepalsuan ajaran Syi’ah. Dengan ini bisa dipahami bahwa keberadaan para imam Ahlul Bait di luar kota Madinah adalah dalam waktu yang sangat singkat, dan semua itu di luar keinginan mereka sendiri, karena memenuhi panggilan khalifah yang berkuasa saat itu. Di sini muncul beberapa pertanyaan yang logis alias masuk akal tentang madzhab yang dianut oleh keluarga Nabi nan suci. Bukan hanya pertanyaan, tapi bukti-bukti nyata bagi mereka yang mempergunakan akal sehatnya untuk berpikir, yang tidak dapat dibantah oleh Syi’ah baik di masa lalu atau saat ini (jika ada pembaca yang dapat membantah saya persilahkan, tapi saya tidak menjanjikan imbalan): Di antara bukti-bukti yang menunjukkan adanya pemalsuan sejarah bahwa para imam adalah bermadzhab Syi’ah: Ali berada di bawah ketaatan para khulafa Rasyidin yang menjabat khalifah sebelumnya, jika memang madzhab Ali berbeda dengan para khalifah sebelumnya –seperti yang diklaim oleh Syi’ah– sudah pasti Ali akan keluar dari Madinah yang penduduknya tidak mau berbaiat kepadanya, dan pergi ke negeri Islam lainnya, apalagi negeri yang belum lama masuk dalam Islam seperti Iraq dan Persia, yang mana penduduk negeri itu baru masuk Islam dan haus akan kebenaran, jika memang Ali benar-benar dihalangi untuk menduduki jabatan yang menjadi haknya pasti mereka akan menolongnya, tetapi yang terjadi adalah Ali tidak keluar dari Madinah, baru keluar dari Madinah setelah dibaiat menjadi khalifah. Begitu juga peristiwa perdamaian antara Hasan dan Muawiyah, sudah semestinya Hasan tidak menyerahkan jabatan imamah kepada Muawiyah, jika memang imamah adalah jabatan yang sama seperti kenabian –seperti yang diyakini Syi’ah, lihat dalam kitab Ashlu Syi’ah wa Ushuluha juga kitab Aqaidul Imamiyah–, sudah semestinya Hasan berjuang sampai tetes darah terakhir, apalagi ribuan tentara siap untuk mendukungnya dalam menumpas Muawiyah. Bukannya menumpas Muawiyah, Hasan malah menyerahkan jabatan yang menjadi amanat ilahi –sebagaimana kenabian– kepada musuh yang telah memerangi ayahnya. Para imam setelah imam Ali tidak pernah memberontak kepada khalifah yang adil, kecuali imam Husein yang syahid di Karbala, meskipun demikian beliau memberontak karena kezhaliman Yazid, bukan karena Husein yang menginginkan untuk menjadi imam, meskipun dia adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah saat itu. Maka kita simak saat Zaid bin Ali berdialog dengan Muhammad Al-Baqir mengenai apakah untuk menjadi seorang imam disyaratkan untuk memberontak, sedangkan Zaid meyakini hal itu, yaitu untuk menjadi imam seseorang harus memberontak pada khalifah. Muhammad Al-Baqir membantah hal itu dengan menyatakan jika syarat yang ditetapkan oleh Zaid benar maka ayah mereka berdua “Ali bin Husain” bukanlah imam karena dia tidak memberontak kepada Yazid dan tidak mengajak orang lain untuk memberontak. Peristiwa baiat Ali bin Husein terhadap Yazid disebutkan oleh Muhsin Al-Amin dalam A’yanus Syi’ah. Juga bagaimana para keluarga Nabi tetap tinggal di tengah-tengah Ahlus Sunnah jika memang mereka bermadzhab Syi’ah –seperti klaim Syi’ah selama ini–, mengapa mereka tidak tinggal di wilayah yang banyak terdapat orang yang mencintai mereka dari golongan Rafidhah dan Ghulat seperti di Kufah maupun Khurasan, apalagi saat mereka tinggal di Madinah mereka tidak luput dari pengawasan Bani Abbasiyah yang saat itu menguasai pemerintahan. Berbeda ketika mereka menyebar di negeri lain. Semua Ahlul Bait yang memberontak kepada khalifah tidak ada yang bermadzhab Syi’ah Rafidhah, mereka memberontak karena alasan politik, bukan karena alasan madzhab, sedangkan Ahlul Bait yang berhasil mendirikan negara tidak ada dari mereka yang menerapkan madzhab Syi’ah, seperti: Ahlul Bait yang bermadzhab Sunni, dan berhasil mendirikan negara adalah: Idris bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, pendiri dinasti Adarisah di Maghrib, bahkan Idris bin Hasan adalah penyebab utama dari menyebarnya madzhab maliki di Maroko, semua itu karena imam Malik tidak mengakui keabsahan baiat Abu Ja’far Al-Manshur yang telah berbaiat sebelumnya kepada Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan nama An-Nafsu Az-Zakiyyah, maka dia berpendapat bahwa Abu Ja’far masih terikat baiat dengan Muhammad bin Hasan, imam Malik disiksa karena pendapatnya itu, dan dia tidak menarik ucapannya. Baiat kepada Muhammad dilakukan secara rahasia, di antara yang berbaiat adalah saudara-saudaranya, ayahnya, Abu Ja’far Al-Manshur, Abul Abbas dan Ja’far As-Shadiq yang dianggap oleh Syi’ah sebagai imam ke enam, juga banyak tokoh Ahlul Bait lainnya. Asyraf Makkah yang merupakan keturunan Imam Husein, yang memerintah Makkah beberapa abad yang lalu. Begitu juga Asyraf Madinah yang merupakan keturunan Hasan, yang memerintah kota Madinah. Begitu juga Ahlul Bait yang bermadzhab Zaidi, walaupun mereka bermadzhab Zaidi tapi mereka tidak terpengaruh oleh ajaran Rafidhah, mereka hanya menganggap Ali lebih utama dibanding Abu Bakar dan Umar, mereka juga mensyaratkan bahwa yang lebih mulia dan utama harus menjabat khalifah, namun mereka juga mencintai seluruh sahabat Nabi, yang dalam sejarah dikenal dengan istilah Syi’ah sebagai sikap politik, bukan sebagai madzhab. Ahlul Bait penganut madzhab Zaidi yang berhasil mendirikan negara dan tidak terpengaruh madzhab Rafidhah: Muhammad bin Yusuf Al-Ukhaidhir, dia adalah Muhammad bin Yusuf bin Ibrahim bin Musa Al-Jaun bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, pendiri pemerintahan Ukhaidhiri di wilayah Yamamah, begitu juga anak keturunannya, Muhammad adalah orang yang datang dari Hijaz ke Yamamah dan mendirikan negara di sana pada tahun 252 H/866 M. Begitu juga Husein bin Qasim Ar-Rassi, pendiri pemerintahan Alawiyah di Sha’dah dan Shan’a, Yaman, pada tahun 280 H. Ayahnya yang bernama Qasim Ar-Rassi adalah penulis kitab “Bantahan terhadap kaum Rafidhah”, yang telah dicetak. An-Nashir lil Haqq Al-Hasan yang dijuluki Al-Athrusy karena pendengarannya kurang baik, pendiri negara Alawiyyin di Dailam, yang mengajarkan Islam kepada penduduk Jil dan Dailam yang kekuasaannya mencapai Thabaristan, berhasil membebaskan Amil dan masuk ke kota Jalus pada tahun 301 H, tetap memimpin pemerintahan hingga wafat tahun 304 H. dia meninggalkan warisan ilmiyah yang banyak, yang tidak memuat ajaran Rafidhah sedikitpun, di antaranya adalah kitab Al-Bisat, yang ditahqiq oleh Abdul Karim Jadban, diterbitkan pertama kali pada tahun 1997 oleh Dar Turats di Sha’dah. Sedangkan banyak dari Ahlul Bait sendiri yang termasuk ulama Ahlus Sunnah, di antaranya adalah kebanyakan dari 11 imam, –karena imam yang ke-12 sebenarnya tidak pernah ada– seperti Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far As-Shadiq, Musa Al-Kazhim dan Ahlul Bait lainnya. Begitu juga Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin Abdullah bin Yazid bin Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay Al-Muththalibi As-Syafi’i, beliau adalah imam salah satu dari empat madzhab dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang memiliki hubungan erat dengan keluarga Nabi, karena dia adalah keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, sama seperti Nabi Muhammad yang juga keturunan Abdi Manaf, sedangkan keluarga Muththalib juga termasuk Ahlul Bait yang tidak boleh menerima sedekah, seperti pendapat jumhur ulama. Al-Qur’an memuat kisah Nabi Isa yang menolak klaim kaum Nasrani terhadap dirinya, menyatakan bahwa Nabi Isa bukanlah Tuhan yang layak disembah. Kita perlu meneliti lebih dalam sebelum meyakini sesuatu. Jika madzhab Syi’ah bukanlah madzhab Ahlul Bait seperti diklaim oleh Syi'ah, lalu madzhab siapa? Sumber : syiahindonesia