Halaman

Sabtu, 27 November 2010

Adab Berbicara
Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kemaluannya) maka aku menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).
Menjaga Lisan
Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR. Bukhari)
Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain: "Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).
Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah." (HR. Al-Bukhari).
Sedikit Bicara Lebih Utama
Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang me-luncur bak air mengalir akan mengha-nyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda artinya,
…"Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, 'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.'
Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar
Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :

"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya." Dalam riwayat lain disebutkan:

"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya." (HR. Muslim).
Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor
Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor." (HR. Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.
Melaknat atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahima-hullah berkata, 'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:

"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya." (HR. Bukhari). Sebab seorang pembunuh memutus-kan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat."
Jangan Senang Berdebat Meski Benar
Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna. Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpe-ngaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat Tafsir Sa'di, 5/24, surat Kahfi: 22)
Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akh-laknya." (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat manusia.
Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau:

"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).
Merendahkan Suara Ketika Berbicara
Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.'
Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya:
"Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS. Luqman: 19).
(HAMBA ALLAH)

Kamis, 25 November 2010

[Benarkah Islam Akan Terbagi Menjadi 73 Aliran?]
-------------
Apakah Islam itu terbagi atas berbagai macam aliran? Katanya nanti di akhir zaman Islam akan terbagi atas 73 aliran agama, apa benar? Kalau misalnya ada berbagai macam agama, aliran agama apa yang akan atau yang diridhoi oleh Allah?
-------------
Jawaban:
-----------

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du.

Rasulullah saw memang pernah bersabda bahwa umatnya akan terpecah jadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu yaitu ahlu shunnah wal jama'ah. Hadits itu memang benar adanya dan shahih. Namun Rasulullah SAW tidak pernah menyebutkan identitas dan nama-nama ke-72 golongan yang beliau sebutkan itu. Beliau hanya menyebutkan kriteria atau sifat-sifat satu golongan yang selamat yaitu mereka yang berpegang teguh pada sunnahnya (manhajnya )dan sunnah (manhaj) para pengikutnya. Sehingga memang masih tersisa pertanyaan buat kita, siapakah atau kelompok manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW itu?

Namun sebagai pengantar latar belakang sejarah, usia umat Islam ini sudah mencapai 1400-an tahun dan hingga hari ini Islam dipeluk oleh tidak kurang 1,5 milyar manusia. Bila kita telusuri sejarah, maka jumlah kelompok, organisasi, jamaah, paham, mazhab, aliran dan apapun jenisnya sungguh sangat banyak, tidak terbatas pada angka 73 saja. Lagi pula tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah yang dimaksud oleh beliau sebagai 'firqah' yang jumlahnya 73 itu bentuknya jamaah, organisasi, paham, aliran, kelompok, tanzim, atau mazhab?

Sedangkan satu firqah yang oleh beliau dikatakan sebagai satu-satunya yang selamat yaitu ahlus-sunnah wal jamaah' dalam konteks pemahaman yang disepakati adalah sebuah pemahaman aqidah/tauhid. Bukan mazhab fiqih, bukan nama organisasi, bukan nama kelompok, bukan nama jamaah atau lainnya. Namun bila kita telusuri paham aqidah di luar ahlus-sunnah wal jamaah, kita mendapati bahwa paham-paham itu jumlahnya jauh melebihi angka 72 buah, apalagi bila dihitung sejak zaman nabi hingga hari ini di mana umat Islam telah tersebar luas dari Maroko sampai Merauke, maka jumlahnya mencapai jutaan bahkan puluhan juta paham/aliran.

Karena itu dari pada mengurusi atau mencari-cari siapakah yang dimaksud 72 firqah yang sesat itu, lebih baik kita berkonsentrasi agar kita bisa dimasukkan dalam kriteria satu firqah yang selamat yaitu Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Caranya dengan mempelajari sunnah beliau SAW dari segala sisi dan aspek kehidupan seperti aqidah, syariah, akhlaq, sosial, politik, hukum, ekonomi dan lain-lainnya.

Juga tidak lupa kita mengikuti pula apa yang telah disunnahkan oleh para khalifah beliau dan para ulama yang mewarisi kenabian. Dan selama Rasulullah SAW tidak memerintahkan kita untuk menelusuri ke-72 firqah itu, buat apa capek-capek dan bersibuk-sibuk mencari 'kambing hitam'. Toh bila kita 'menunjuk hidung' kelompok tertentu, belum tentu mereka mau menerimannya. Kalaupun ketika kita mempelajari suatu aliran atau jamaah lalu kita mendapati ada hal-hal yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi, bukan berarti kita boleh terburu-buru memasukkannya ke dalam kelompok 72 firqah yang sesat. Yang lebih baik justru kita melakukan ta'lim, pelurusan, penyesuaian dengan cara yang terbaik, terbuka, rendah hati dan dengan niat yang bersih hanya mencari ridha Allah.

Wallahu a'lam bishshawab.
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

Ahmad Sarwat, Lc.

-------------
[Berobat Alternatif : Ilmu Totok Darah, Bolehkah?]
-------------
Assalamu'alaikum
Pak Ustad, saya menderita alergi terhadap semua daging termasuk telor, kemudian ada teman yang menyarankan untuk berobat ke alternatif (tabib) dengan cara pengobatan totok darah seperti yang telah dilakukan sbb:

Tabib tsb sambil menanyakan apa sakitnya seraya ambil kapas kemudian dicelupkan kedalam air putih yang ditaruh di piring kecil dan diusapkan diperut saya, Tabib bilang ini darah kotor. Kemudian dengan telunjuk jarinya di ditotolkan atau ditotok-totokkan tanpa ada rasa sakit sedikitpun dikulit perut saya yang sudah dibasahi tsb, dan berbekas merah kehitaman seperti darah. selanjutnya bekas darah tsb di saput dengan kapas. dan ternyata alergi saya sembuh sampai sekarang.

Yang ingin saya tanyakan Pak Ustad apakah cara pengobatan seperti itu termasuk pengobatan yang dibenarkan oleh aqidah?

Terima kasih atas jawabannya. Wasalam
-------------
Jawab:
-------------
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.

Ilmu totok aliran darah memang ada dan ditemukan di negeri cina. Totok darah sebagai bagian dari ilmu kesehatan memiliki kelebihan jauh di luar kemampuan ilmu kedokteran medis barat.

Zahirnya, ilmu totok aliran darah ini tidak terkait dengan kuatan ghaib apa pun. Semata-mata mempelajari jalur aliran darah pada seluruh tubuh manusia dan dilakukan penotokan pada simpul-simpul tertentu untuk pengobatan. Dan ternyata banyak sekali pengaruh aliran darah dan simpul-simpulnya dalam masalah penyakit manusia.

Artinya pada dasarnya ilmu ini bagian dari pengetahuan yang bersifat ilmiyah dan bisa dipelajari secara logis dan bisa dipertanggung-jawabkan secara nalar.

Namun kalau pelaku menotokan juga menggunakan jin atau makhluq ghaib lainnya dalam prakteknya, maka sebenarnya tidak ada kaitannya dengan ilmu totok darah itu sendiri. Yang harus dipersalahkan adalah kelakuan yang bersangkutan yang meminta bantuan jin dalam prakteknya.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
[Dasar Hukum Bai'at]
-------------
Assalamu'alaikum ustadz
Saya ingin bertanya kepada ustadz, bagaimana hukumnya bai'at itu sendiri, terus apakah ada dasarnya di dalam islam, dan apakah pada zaman sekarang masih ada bai'at? Kalau masih diperbolehkan, kepada siapa? Afwan kalau panjang, tapi mohon diberi pemahaman sejelas-jelasnya. Jazakumullahu khoir

Wassalamu'alaikum
-------------
Jawaban:
-------------
Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du

Secara bahasa bai'at bermakna janji untuk taat dan juga bermakna kesepakatan dalam jual beli.

Sedangkan makna bai'at secara istilah sebagaimana yang dituliskan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya adalah janji untuk mentaati. Sehingga seorang yang berbai'at kepada seorang pemimpin seolah-olah berjanji unuk menyerahkan urusannya kepadanya dan tidak menentangnya dalam segala sesuatu. Termasuk mentaatinya atas beban yang dipikulkan dipundaknya baik dalam keadaan suka maupun duka. Seseorang membai'at pemimpinnya adalah menyalami tangannya sebagai penguat janjinya seperti akad yang dilakukan oleh seorang penjual dan pembeli sehingga bai'at itu identik dengan bersalaman tangan. (Lihat muqaddimah Ibn Khaldun halaman 209)

a. Bai'at dalam Al-Qur'an dan AS-Sunnah

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an sebagai berikut:

"Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka rangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (al-Fath: 10)

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah Bai'atur Ridwan yaitu bai'at yang terjadi pada perjanjian Hudaibiyah.

Di dalam nadis nabawi disebutkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Majasya' ketika ditanya untuk apa kami dibai'at, beliau s.a.w menjawab untuk Islam dan jihad (HR Bukhari Muslim)

b. Hakikat Bai'at

Bai'at itu adalah sebuah akad yang bersifat saling ridha dan boleh memilih, tidak boleh diiringi penekanan atau pemaksaan. Bai'at adalah kesepakatan antara kedua belah pihak. Pihak pertama adalah Ahlul hilli Wal 'Aqdi (semacam majelis syuro, senat, parlemen dan sejenisnya) dan pihak kedua adalah orang yang dipilih menjadi imam, yaitu orang yang memenuhi syarat-syarat dan dipilih oleh Ahlul Hilli Wal 'Aqdi.

Bila seluruh anggota Ahli Hilli Wal 'Aqdi sepakat untuk memilih seseorang dan meyakini terpenuhinya syarat-syarat pada diri orang itu maka mereka akan membai'at orang tersebut. Bila orang itu menyetujui pembai'atan dirinya dan sudah di bai'at maka wajiblah seluruh umat untuk masuk kedalam bai'at itu dan mentaatinya. Namun bila orang tadi tidak menerima dirinya diangkat menjadi imam maka harus dicarikan orang lain, ia tidak boleh dipaksa.

Para fuqaha sepakat bahwa seorang imam itu baru resmi menduduki jabatanya manakala telah disepakati oleh seorang anggota Ahlul Hilli Wal 'Aqdi baik yang ada di pusat maupun di daerah. Dalilnya adalah perkataan Umar bin Khatab r.a, "Orang yang membai'at seorang imam tanpa bermusyawarah dengan seluruh umat Islam maka bai'atnya tidak syah".

c. Hukum Taklifi

Hukum bai'at itu berbeda sesuai dengan orangnya. Ahlul Hilli Wal 'Aqdi diwajibkan untuk membai'at orang yang mereka pilih menjadi pemimpin, yaitu orang-orang yang sudah memenuhi syarat-syarat secara syariah. Sedangkan khalayak umum pada dasarnya juga wajib untuk membai'at sang pemimpin sebagai kewajiban Ahlul Hilli Wal 'Aqdi. Dasarnya adalah sabda Nabi:

"Siapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada bai'at seorang imam maka matinya mati jahiliyah".(HR Muslim)

Namun menurut pandangan mazhab di kalangan al-Malikiyah, cukuplah bagi orang kebanyakan untuk meyakini dalam hati bahwa dirinya berada di bawah kepemimipinan imam yang dibai'at, dan bahwa dirinya terikat untuk mentaatinya. (Lihat Ibn Abidin 1/368, as Syarhul Kabir 4/298, Minhajuth Thalibin 4/173).

Dari sisi imam yang dibai'at, wajiblah dia menerima bai'at itu bila telah diputuskan manakala tidak adanya orang lain yang sebanding dengannya dalam hal persyaratan. Namun bila ada orang-orang lain yang juga memenuhi syarat seperti dirinya maka menerima bai'at baginya hanyalah fardu kifayah.

d. Teknis Bai'at

Cara berbai'at adalah dengan ucapan yang disampaikan oleh masing-masing anggota Ahlul Hilli Wal 'Aqdi kepada seseorang yang dipilih menjadi khalifah dengan contoh lafaz sebagai berikut,

"Kami membai'atmu untuk menegakkan keadilan dan segala kewajiban imamah."

Secara hukum fiqih sebenarnya tidak disyaratkan harus dengan menyalaminya meskipun bai'at di zaman Rasulullah dan kaumnya bai'at dengan menggunakan jabatan tangan, namun bai'atun nisa' tidak dengan tangan (tidak bersalaman).

Wallahu a'lam bishshawab.
-------------
[Bisa Melihat Jin Atau Syetan]
-------------
Pak Ustadz, saya sering menonton tayangan-tayangan alam gaib, jin, arwah dan sebagainya pada berbagai program TV swasta dan saya banyak mendengar bahwa ada orang yang bisa melihat jin atau syetan. Padahal saya pernah membaca dalam Al-Qur'an bahwa kita tidak mungkin bisa melihat jin atau syetan. Oleh karena itu saya mohon penjelasan mengenai hal ini menurut Al-Qur'an dan Hadits.
Wassalam.
-------------
Jawaban:
-------------
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Jin adalah makhluq yang ghaib yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. Kecuali bila dia melakukan penjelmaan menyerupai makhluk lainnya. Misalnya dia menyerupai binatang antara lain seperti yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits shahih adalah menjadi ular, anjing atau binatang lainnya.

Penjelamaan ini tentunya atas izin Allah SWT juga dan bukan semata-mata jin punya kemampuan untuk berubah wujud. Yaitu Allah SWT telah mengizinkan bila mereka mengucapkan lafaz tertentu akan terjadi penjelmaan itu. Selain itu penjelmaan mereka sangat tidak sempurna sehingga tidak pernah bisa utuh dan baik. Sehingga sering kita mendengar ada 'roh gentayangan' tanpa kepala atau gosong sebelah. Sebenarnya itu adalah jin yang sedang menakuti manusia dan dia tidak mampu menjelma dengan meniru secara benar dan sempurna.

Keadaannya itu berlawanan dengan kemampuan para malaikat yang suci, dimana ketika mereka menjelma atau mewujudkan diri menjadi bentuk lain, hasil sangat sempurna. Misalnya ketika menjadi seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW dan para shahabat dalam menerangkan rukun iman, rukun Islam dan ihsan serta hari qiyamat. Digambarkan bahwa malaikat itu berbaju sangat putih, berambut sangat hitam dan tidak ada tanda-tanda habis melakukan perjalanan jauh.

Begitu juga malaikat yang menjelma di hadapan Maryam dan meniupkan ruh ke dalam rahimnya sehingga menjadi bayi nabi Isa.

Atau ingatlah ketika para para wanita pembesar negeri Mesir memotong tangan mereka lantaran takjub melihat kerupawanan nabi Yusuf. Saat itu komentar yang terlontar dari mulut mereka adalah bahwa dia bukan manusia tapi malaikat. Artinya, mereka punya pemahaman bahwa yang namanya malaikat itu kalau mewujudkan diri dalam bentuk manusia pastilah sangat sempurna.

Sebaliknya, jin tidak mampu melakukannya sehingga kalaupun dipaksakan, maka hasilnya tidak sempurna.

Namun ada sebagian orang yang dirasuki jin dan dibuat matanya mampu melihat jin yang lain. Ini bukan kelebihan atau keutamaan, tetapi umumnya justru merupakan siksaan dan bentuk intimidasi dari jin sendiri untuk mengganggu dan kerusak akiqah manusia. Dan cara yang mereka lakukan bisa macam-macam.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
[Benarkah Nabi Isa Masih Hidup?]
-------------
Saya pernah membaca buku tentang sejarah di mana Nabi Isa a.s. sekarang ini berada. Buku tersebut menjelaskan bahwa Nabi Isa a.s. masih hidup dan berada di langit ke tujuh. Tetapi saya juga pernah membaca buku yang menjalaskan bahwa Nabi Isa a.s. telah meninggal dunia seperti halnya manusia pada umumnya yang mengalami kematian terlebih dahulu dan akan dibangkitkan kembali setelah hari kiamat. Demikian pertanyaan saya atas penjelasannya saya ucapakan terima kasih.
-------------
Jawaban:
-------------

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, washshalatu wassalamu 'ala Rasulillah, Waba'du.

Di antara tanda-tanda datangnya hari kiamat kubro adalah turunnya Nabi Isa a.s. Beliau akan menjadi muslimin atau bagian dari umat Islam, menghancurkan salib dan menghancurkan berhala. Karena risalah yang beliau bawa adalah risalah yang bersumber dari Allah juga. Namun turunnya beliau bukan sebagai nabi lagi karena setelah diangkatnya Rasulullah SAW sebagai nabi terakhir, maka tidak ada lagi nabi yang turun ke bumi dengan membawa risalah dari langit. Karena itu Nabi Isa kedudukannya bukan sebagai Nabi lagi, tapi bagian dari umat Islam ini, berkitab suci Al-Quran, mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat menghadap ka'bah, puasa Ramadhan, berhaji ke Mekkah dan menjalankan syariat Islam yang kita terapkan saat itu.

Semua keterangan itu kita dapatkan dari hadits-hatis Rasulullah yang sampai kepada kita, antara lain:
-------------
Hadits pertama,
-------------
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Demi Yang jiwaku di tangan-Nya, nyaris akan turun kepada kalian putera Maryam (Nabi Isa a.s.) menjadi hakim yang adil, menghancurkan salib dan membunuh babi dan memungut jizyah dan memenuhi harta... (HR Muslim dalam kitab Iman bab turunnya Isa)
-------------
Hadits kedua,
-------------
Dari Jabir bin Abdillah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Akan tetap ada dari umatku yang berjuang dalam haq dan eksis terus hingga hari kiamat. Kemudian Nabi Isa bin Maryam turun. Lalu pemimpin umat Islam saat iu berkata kepada Nabi Isa, "Kemarilah dan jadilah imam dalam shalat kami". Namun Nabi Isa menjawab, "Tidak, kalian menjadi peminpin di antara kalian sendiri. Sebagai bentuk pemuliaan Allah atas umat ini".
-------------
Hadits ketiga,
-------------
Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Isa masih tetap tinggal di bumi hingga terbunuhnya Dajjal selama 40 tahun, lalu Allah mewafatkannya dan dishalatkan jenazahnya oleh umat Islam. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hiban, Al-Hakim dan dishahihkan oleh az-Zahabi).
-------------
Selain dari hadits, juga ada keterangan dari Al-Quran tentang hal ini. Diantaranya firman Allah SWT berikut ini,
-------------
"dan karena ucapan mereka, "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah ", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa. Tetapi, Allah telah mengangkat 'Isa kepada-Nya . Dan adalah Allah Maha Perkasa gi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti 'Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka." (QS An-Nisaa: 157-159)
-------------
Ibnu katsir berkata bahwa maksud dari ayat-ayat ini adalah untuk memperkuat ketidakbenaran apa yang dinyatakan oleh orang-orang Yahudi bahwasanya mereka telah membunuh Nabi Isa a.s. dan menyalibnya serta menjelaskan kebodohan orang-orang Nashroni yang mau menerima pernyataan tersebut dari mereka. Maka Allah menjelaskan hakikat yang sebenarnya bahwa hal tersebut tidak terjadi. Allah hanya menyerupakan bagi mereka, maka mereka membunuh orang yang menyerupai Nabi Isa sedangkan mereka tidak dapat membedakannya kemudian Nabi Isa diangkat, dan dia masih ada dan hidup dan akan turun sebelum hari kiamat sebagaimana dijelaskan oleh hadis-hadis yang mutawatir. (Tafsir Ibnu tsir 2/415)
-------------
Untuk lebih jelasnya Anda dapat membaca buku Asyrotus-Saa'ah (Tanda-tanda kiamat) karangan Yusuf bin Abdulloh bin Yusuf Al Wabil serta An-Nihayah Fil Fitan Wal malahim (Ending Atas Fitnah dan Huru-hara) karya Ibnu Katsir.
-------------
Wallahu a'lam bishshawab.
Belenggu-belenggu Hizbiyah
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari

Halaman satu dari dua tulisan
KATA PENGANTAR
"Quyud Hizbiyah", itulah judul asal dari tulisan di bawah ini, yang kemudian diterjemahkan menjadi "Belenggu-Belenggu Hizbiyah". Dinukil dan diterjemahkan dari sebuah kitab, yang nilai ilmiahnya sangat berbobot, berjudul : "Ad-Da'wah Ilallah Baina At-Tajammu' Al-Hizbi wa At-Ta'awun As-Syar'i" di susun oleh seorang ulama muda terkemuka (murid dari Syaikh Muhaddits zaman ini, Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah) bernama Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari.
Diterjemahkan oleh A.Faiz (dari sub judul Quyud Hizbiyah), agar hendaknya wawasan pembaca tentang da'wah Islamiyah menjadi lebih terbuka, dan dimuatnya tulisan ini di ML assunnah karena berhubungan dengan ilmu dan tentunya dengan ijin dari penerjemah.
BELENGGU-BELENGGU HIZBIYAH
Seorang Imam tsiqah, Ayub As-Sakhtiyaniy pernah berkata : "Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain" (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya (1/153).
Justru karena inilah, maka kaum hizbiyun (aktifis fanatik terhadap golongan) melarang pengikut-pengikutnya untuk menimba ilmu dari orang-orang selain golongan atau simpatisannya. Kalaupun sikap mereka menjadi lunak, namun mereka akan memberikan kelonggaran dengan banyak syarat serta ikatan-ikatan yang njelimet, supaya akal-akal pikiran para pengikutnya tetap tertutup bila mendengar hal-hal yang bertentangan dengan jalan mereka atau mendengar bantahan terhadap bid'ah mereka.
Dengan cara ini, sesungguhnya mereka telah mengambil uswah kaum tarekat sufi dan mengambil qudwah pada khurafatnya hubungan antara seorang "syaikh (sufi) dengan pengikutnya". Manakala persyaratan seorang syaikh atas pengikutnya yang pernah di contohkan oleh Rasulullah SAW tentang wajibnya taat melaksanakan "Baiat Islamiyyah yang menjadi keharusan ?" (Al-Muntaqa An-Nafis min Tablis Iblis, hal 250). Di sana ada ta'liq sebagai berikut : "Persis seperti itulah, dengan segala bentuk dan bentukannya apa yang diperbuat oleh kaum Hizbiyun (aktifis golongan yang fanatik) pada abad sekarang ini berupa pengambilan ikrar, ikatan janji (bai'at-pen) dan lain-lain yang itu jelas-jelas merupakan hal batil).
Imam As-Suyuthi rahimahullah (di dalam kitab Al-Hawiy Lil Fatwa (1/253) pernah di tanya tentang seorang sufi yang telah berba'iat kepada seorang syaikh, tetapi kemudian ia memilih syaikh lain untuk diba'iatnya : "Adakah kewajiban yang mengikat itu, bai'at yang pertama atau yang kedua..?.
Maka beliau -rahimahullah- menjawab : "Tidak ada yang mengikatnya, baik bai'at yang pertama maupun bai'at yang kedua (di dalam kitab Al-Minhah Al-Muhammadiyah Fi Bayan Al-Aqaid As-Salafiyyah Lis Syuqairi, terdapat penjelasan panjang lebar tentang penetapan-penetapan bid'ah dan bathilnya bai'at-bai'at semacam ini). Dan yang demikian itu tidak ada asal-usulnya (jadi pernyataan sebagian tentang apa yang menjadikan mereka terhimpun dalam sebuah tandzim hizbi bahwa sesungguhnya itu adalah : "Ikrar atau bai'at khusus dan lain-lain adalah hal-hal yang tidak ada asal-usulnya dan tidak ada benarnya sama sekali).
Semua ikatan-ikatan dan persyaratan-persyaratan itu adalah bathil, tidak ada asal-usulnya sama sekali dari Al-Qur'an maupun AS-Sunnah.
"Setiap persyaratan yang tidak ada terdapat dalam kitabullah, maka persyaratan itu bathil, sekalipun berjumlah seratus persyaratan"
(Seperti telah shahih dari Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain, sedang lafadz diatas adalah lafadz Ibnu Majah (2521) dari "Aisyah radhiyallu 'anha).
Belenggu-belenggu Hizbiyah yang memprihatinkan di antaranya ialah :
Sikap memperkecil arti pentingnya ilmu Syar'i
Ilmu adalah sesuatu, sedangkan kalam adalah sesuatu yang lain. As-Salafushalih adalah ahli ilmu yang bermanfa'at, sedangkan "Al-Khalaf" adalah ahli kalam yang kalamnya berhamburan.
Ilmu salaf sedikit bilangannya, tapi berkah dan pekat, sedangkan ilmu kaum "khalaf", banyak jumlah kata-katanya tetapi sedikit faedahnya.
Umat Islam adalah umat ilmu dan amal, maka ilmunya adalah dalil, petunjuk dan akar.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Dan katakanlah : "Wahai Rabbku, tambahkanlah padaku ilmu" (Thaha : 114)
"Dan tidaklah memahaminya melainkan orang-orang yang berilmu" (Al-Ankabut : 43)
"Katakanlah : "Apakah sama orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu". (Az-Zummar : 9).
"Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat". (Al-Mujadalah : 11).
Anda tidak bisa mengingkari adanya orang yang meremehkan persoalan mencari ilmu, dengan alasan : yang penting memahami realitas, da'wah ilallah (da'wah kepada Allah) dan bergerak menerjuni medan ..... tapi ingat, dengan apakah ia memahami realitas.... untuk maksud apakah ia berda'wah ...? dan dengan apakah ia bergerak...?
Suatu teori memang mempunyai kedudukan tersendiri... tetapi teori itu bukanlah ilmu. Pidato berapi-api terkadang memang membangkitkan... tetapi itu tidak membentuk bangunan. Dan daya khayal yang cepat memang mengagumkan... tetapi ia akan cepat pula hilang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfa'at kepada manusia, maka ia tetap di bumi". (Ar-Ra'du :17).
(Al-Harakah Al-Islamiyah Al-Mu'ashirah hal : 16, Lis Syaikh 'A-idl Al-Qorny).
Belenggu-belenggu (Hizbiyah) ini sebagaimana telah dijelaskan di muka, mempunyai tokoh-tokoh pendahulunya, dan alangkah buruknya tokoh pendahulu itu, yaitu kaum sufi.
Ibnul Jauzi dalam "Talbisu Iblis" (dalam Al-Muntaqa An-Nafis Min Tablis Iblis, ada komentar sebagai berikut : Betapa persisnya hari ini dan hari kemarin, ternyata banyak dikalangan aktifis hizbiyah dewasa ini yang melakukan tindakan yang lebih fatal dari tindakan ini (kaum sufi) -naudzubillah-sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan suatu kebaikan). Telah meriwayatkan tentang perkataan Abu Abdillah bin Khafif sebagai berikut :
"Bersibuk dirilah kamu mempelajari ilmu dan jangan terperdaya oleh omongan orang-orang sufi. Sesungguhnya aku dulu pernah menyembunyikan tintaku di saku bajuku, dan pernah menyembunyikan kertas dilipatan celanaku. Dulu aku pernah secara sembunyi-sembunyi pergi menuju ahlul ilmi, tetapi jika mereka (kaum sufi -pen) memergokiku, mereka akan menentangku, seraya berkata : "Kamu tidak akan beruntung".
Kemudian berkembanglah belenggu semacam ini, hingga di zaman sekarang bentuk yang ditonjolkan dan dibuahkan oleh kelompok-kelompok hizbiyah menjadi beraneka ragam.
Diantara beberapa perkara yang paling berbahaya yang ditonjolkan oleh para penyeru hizbiyah ialah adanya istilah baru (seperti) : ULAMA HARAKAH, ULAMA AL-WAQI' (Ulama yang paham realitas), MUFAKKIR (pemikir), manusia haraki dan ... hingga mereka menghempaskan dan mengisolir umat ini dari para ulamanya yang hakiki yaitu ULAMA SYARI'AH.
Peristilahan ini mirip sekali dengan peristilahan kaum sufi, yaitu ada 'ALIM terhadap SYARI'AT dan ada 'ALIM TERHADAP HAKIKAT.
Kemiripan itu dilihat dari beberapa segi, diantaranya :
• Pengisolasian manusia dari para ulama syari'ah (ulama hakiki -pen).
• Klaim bahwa ada ilmu yang tidak bisa dicapai serta dipahami oleh para ulama syari'at.
Padahal, peristilahan baru tersebut hanyalah hasil rekaan para kaum haraki, perasaan-perasaan dan segala apa yang tercetus dari benak-benak mereka berupa teori-teori, gambaran-gambaran serta pandangan-pandangan tentang masa depan, yang menyebabkan akal pikiran para pengikutnya menjadi bingung, tanpa pernah bisa sampai memahaminya, hingga bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menerima.
Mereka (orang-orang hizbiyah) mengatakan : ada orang 'ALIM terhadap HARAKAH, dan ada orang 'ALIM terhadap SYARI'AH.
Maka para ulama harakah bangkit menerjuni medan amal Islami, tetapi dengan menjauhkan para ULAMA SYARI'AH, seperti Al-'Alamah Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhaddist Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan seluruh ulama syariah yang adil lainnya, dengan dalih bahwa para ulama tersebut tidak mengerti REALITAS, dan alasan-alasan lain berupa syubhat yang mereka tanamkan kepada benak para pemuda.
Itulah kejahatan besar, memisahkan da'wah dari para ulamanya yang hakiki, ulama pembawa Al-Kitab was Sunnah. Mereka lenyapkan keagungan ilmu dan keagungan ulama pembawa syari'at. Mereka letakkan lingkaran-lingkaran syetan di atas harakah, di atas aktifis harakah dan di atas barang-barang dagangan (ilmu-ilmu bawaan) mereka yang terbentuk dari susunan angan-angan, perasaan dan teori-teori mereka.
Oleh karena itu jika anda katakan kepada mereka (bahwa) Al-'Alamah Bin Baz berkata : ........., maka mereka akan menjawab : "Dia tidak tahu Realitas". Juga jika anda katakan (bahwa) As-Syaikh Al Muhaddist Nashiruddin Al-Albani berkata : ......., mereka pun akan menjawab : "Dia tidak tahu Politik".
Sampai akhirnya terjadi bahwa apa yang disebut ulama harakah dan aktifis harakah itulah yang dinamakan tokoh-tokoh da'wah dan penanggung jawab pelaksananya. Sedangkan para ulama syari'ah hanya berfungsi sebagai pengikut yang tidak perlu didengar (kata-katanya).
Anda hampir-hampir tidak akan menemukan satu kelompok hizbi pun melainkan ia pasti telah menetapkan satu manhaj haraki tersendiri baginya. Dan hampir tidak ada satu masalahpun baik itu masalah I'TIQADIYAH maupun masalah AMALIYAH, akan diputuskan sebelum masalah tersebut dinyatakan sejalan dengan "REALITAS HARAKI" yang dipaparkannya sesuai dengan alur pemikiran tentang masa depan. Akhirnya muncullah masalah-masalah tersebut ke permukaan dengan terpolesi hiasan angan-angan, sangkaan-sangkaan (zhan), dan gambaran-gambaran mereka belaka.
Selanjutnya seorang anggota hizbiyah yang telah mengental akan segera menyambutnya, kemudian melontarkannya dengan kekuatan dan tekanan ke dalam benak serta otak para pengikutnya. (Jadi mereka taqlid terahadap syaikh-syaikh mereka tanpa ber-itiba' kepada dalil atau yang semisalnya, maka mereka melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh syaikhnya...... Hal ini dikatakan oleh Ibnul Jauzi dalam Tablis Iblis hal : 495).
Celakalah orang yang sampai berani menuntut dalil atau memberikan kritik dengan ayat dan hadits, dalam upaya memulai hidup baru berdasarkan pemahaman salaf....., tak pelak ia di hadapan teman-temannya akan menjadi seperti seekor unta yang terserang borok.
Halaman satu dari dua tulisan
Belenggu-belenggu Hizbiyah
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari

Halaman dua dari dua tulisan
Wahai Kaum Muslimin
Sungguh, kini manusia telah dipisahkan dari hubungan dengan ulama Al-Kitab was Sunnah, telah dipisahkan dari pergaulannya bersama dhahirnya syari'ah dengan cara-cara dan sarana-sarana bid'ah yang coraknya bermacam-macam sesuai dengan perubahan zaman.
Oleh karena itu hendaklah anda berpegang kepada para ULAMA SYARI'AH dan para pengkaji ILMU SYAR'I, yang menjadi pembela-pembela Al-Kitab was Sunnah dari segenap bid'ah dan noda. Hendaknya anda duduk dan mengitari mereka untuk mendengarkan perkataan mereka. Ingatlah akan firman Allah Ta'ala.
"Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabb-Nya, kemudian dia berpaling daripadanya". (Al-Kahfi : 57).
(At-Thali'ah Fi Bara'ati Ahlis Sunnah Lil'utaibi, hal : 30, 32 dengan sedikit perubahan).
Demikianlah, bahwa hizbiyah mempunyai cara-cara dan sepak terjang bid'ah yang tidak pernah dilakukan para SALAF. Hal demikian teranggap sebagai penghambat ilmu dan sebab terbesar bagi terpecah belahnya jama'ah. Karena betapa banyaknya tali persatuan Islam telah menjadi berantakan, dan betapa banyaknya kaum muslimin menjadi lengah karenanya. (Hailah Tholibi Ilmi, No. 65 Li As-Syaikh Bakar Abu Zaid).
Semua itu merupakan salah satu penyakit TA'ASHUB (berfanatik golongan).
Bahwa sesungguhnya menelaah (mempelajari) bermacam-macam arah pandang (wijhatun nadhar), kemudian membanding-bandingkan satu dengan lainnya, akan memberikan kesiapan dan kemampuan kepada seseorang untuk instrospeksi, memberikan nasihat-nasihat, melakukan pembetulan dan pelurusan. (Dari Muqaddimah Umar Ubaid Hasanah dalam kitab Fiqhud Da'wah 1/8 Kitabul Ummah).
Namun hal-hal serupa ini justru telah hilang di kalangan para ahzab (golongan-golongan), orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi terserak di lembah-lembah dan di bukit-bukit.
Satu lagi bentuk belengu hizbiyah yang nampak nyata ialah : SIRRIYYAH (KERAHASIAAN)
Sesungguhnya telah menjadi jelas berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwa ; Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang ITIBA' sedangkan Ahlul Bid'ah ialah orang-orang yang mengada-ngadakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada dan tanpa ada sandarannya.
Oleh sebab itulah mereka (ahlul bid'ah) merahasiakan bid'ah mereka. Sementara itu Ahlus Sunnah tidak pernah menyembunyikan madzhab mereka. Kalimat-kalimatnya jelas, madzhabnya masyhur, dan akibat baiknya terkembali kepada mereka. (Al-Muntaqa An-Nafis min Tablis Iblis, hal : 40).
Imam Ahmad di dalam "Az-Zuhdi" hal : 45. dan Ad-Darimi dalam "Sunannya" (1/19) telah meriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau berkata : "Apabila kamu melihat ada sekelompok orang (kaum) saling berbisik-bisik tentang sesuatu mengenai agamanya, tanpa (melibatkan) orang umum, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka sedang membangun kesesatan".
Khabar di atas disebutkan pula oleh Ibnul Jauzi dalam Tablis Iblis. Kemudian dalam Al-muntaqa An Nafis (hal.89), saya memberikan komentar sebagai berikut. "Agama kita (segala puji bagi Allah) adalah jelas lagi nyata, tiada yang tersembunyi, tersimpan, dan terrahasiakan. Maka sesungguhnya apa yang dilakukan oleh kaum hizbiyun berupa hal demikian (sembunyi-sembunyi/berahasia-rahasian -pen), adalah satu pintu kesesatan, wal-iyadzubillah ta'ala.
Namun betapa mengherankannya ketika mereka berdalil tentang sirriyah (kerahasian) yang mereka klaim itu, dengan dalil-dalil Al-Qur'an atau As-Sunnah. Ternyata ketika diteliti dan diperhatikan, tidak ada sedikitpun di antara dalil-dalil itu yang bisa diterima.
Diantara dalil-dalil tersebut adalah :
Menyembunyikannya Ibrahim 'alaihis salam, tentang penghancuran patung-patung sebagaimana tersebut dalam surat Al-Anbiya 62-63.
Menyembunyikannya seorang mukmin dari kalangan keluarga Fir'aun akan keimanannya, seperti tersebut dalam surat Ghafir : 28-29.
Dan kisah-kisah lain tentang orang-orang terdahulu yang termuat di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka juga berdalil tentang keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada periode Makkah, dengan segala sirriyah yang meliputi da'wahnya.
Begitu pula berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Jadikanlah kitman (bersembunyi) sebagai alat bantu untuk mensukseskan apa yang menjadi kebutuhanmu".
Sebagai jawaban atas istidlal-istidlal (argumentasi) di atas, ialah bahwa semua dalil-dalil ini selain dalil yang terakhir, terjadi sebagai berikut :
• Manakala kaum muslimin dalam keadaan tertindas (mustadl'afin) dan dalam keadaan mereka takut jika men-jahar-kan (berterang-terangan) Islam. Di samping itu sesungguhnya "Sebagian besar keadaan bersembunyinya kaum muslim, tetap dalam keadaan tegak berpegang kepada perintah-perintah yang diterimanya dari wahyu". (As-Sirriyatu wa Atsaruha Fi Ada'i L-mahami 'L-askariyyah Lis Syaikh Muhammad Abu Rahim).
• Atau manakala seorang da'i dalam keadaan tidak mampu mengatakan bahwa dirinya seorang muslim.
Adapun hadits yang terakhir (bila hadits itu bisa diterima keshahihannya, maka di dalamnya masih mengandung unsur pertentangan, jadi persoalannya masih perlu dikaji lebih lanjut), maka sebenarnya tidalah tepat kalau ditempatkan sehubungan dengan permasalahan ini, sebab didalamnya ada satu penggal hadits bagian akhir yang dihilangkan, dan itulah justru yang menjadi tujuan sirriyyah (yang dimaksud oleh penggalan hadits yang pertama) yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
"....Sesungguhnya setiap yang mendapatkan nikmat niscaya ada yang dengki padanya".
Penggalan terakhir ini memberi penjelasan tentang sisi sebenarnya yang di-istidlal-kan dengan hadits di atas, yaitu bahwa hadits tersebut dengan menyembunyikan (merahasiakan) ni'mat dan tidak menceritakannya, sebab dikhawatirkan akan dijahili oleh orang yang dengki, ini telah melahirkan sebuah jalan bagi terobek-robeknya umat dengan melalui dua sisi :
Sisi dari pihak penguasa yang menyeleweng yang memiliki aturan-aturan sesat, yakni para oknum yang mengkhawatirkan kursi serta kedudukannya. Pihak ini dengan tangan besinya tentu akan membabat siapapun, bukan saja kepada orang-orang yang memastikan dirinya berkecimpung dan menerjuni dunia sirriyyah, tetapi juga kepada orang-orang yang pada sangkaan mereka punya unsur sirriyah.
Bersama pihak kaum muslimin sendiri, akan terdapat jurang pemisah yang dalam di antara mereka, sebab mereka akan (saling) menyembunyikan apa-apa yang justru tidak boleh disembunyikan, mereka akan saling merahasiakan apa-apa yang sebenarnya tidak boleh dirahasiakan ..."
Akibatnya jiwa-jiwa manusia menjadi terdzalimi, dari hati-hati orang pun menjadi hitam pekat...
Kedua sisi perkara di atas, (mestinya) wajib dijauhi oleh para da'i sebab : 'Da'wah sudah di kumandangkan, prinsip-prinsipnya bertebaran terdapat di dalam kitab abadi yaitu : Al-Qur'an Al-karim, Sunnah Nabawiyah nan suci, dan di dalam kitab-kitab serta berjilid-jilid buku yang isinya sarat dengan ajaran Islam, kitab-kitab itu telah menjadi milik semua orang.
Berdasarkan ini, saya tidak melihat adanya alasan bagi harakah Islamiyah untuk meredam da'wah terang-terangan dengan anggapan bahwasanya masih dalam marhalah (tahapan) SIRRIYYAH periode pertama, bahkan justru mungkin untuk dikatakan : Bahwa sesungguhnya MARHALAH SIRRIYATUD DA'WAH (kerahasian da'wah) telah habis sama sekali, sampai suatu ketika Allah membinasakan bumi ini beserta seluruh apa yang ada di atasnya, sebab agama ini telah dikumandangkan dan telah sempurna, habislah sudah menyembunyikan agama ini. (Al-Manhaj Al-Haraki lis-sirah An-Nabawiyah (1/33) Li Al-Ghadban, bandingkan pula dengan kitab Atsarat wa Saqathah ....hal : 33 Li Zuhair Salim).
Bagi pengamat sejarah masa lalu, apalagi sejarah masa kini, tentu ia akan melihat bahwa kapan saja di situ ditemukan KETERTUTUPAN dan KERAHASIAAN, maka di sana pasti akan merajalela penyelewengan-penyelewengan syar'i.... Kapan saja ditemukan KETERSEMBUNYIAN dan KITMAN (tersimpan), maka disana pasti akan dikuasai rasa takut dan rasa aman pun akan lenyap.
Dinul Islam, dengan segala keluhuran, kesucian dan kejernihannya... berada diatas semuanya ini. Tak ada tempat di dalam Islam untuk menyembunyikan hakikat, menyembunyikan thariqah (cara) dan menyembunyikan maslak (jalan/manhaj).
Sesungguhnya da'wah menuju SIRRIYYAH tidak terbatas hanya untuk menghadapi musuh-musuh da'wah yang menyusup dibawah nama kemaslahatan memenuhi seluruh rongga-rongga da'wah. Untuk selanjutnya menjadi celah bagi terdahulukannya sikap-sikap loyal (terhadap masing-masing da'wah sirriyyah -pen) dan terjauhkannya dari rasa cukup untuk menyerahkan perwalian kepada kekuasaan AHLUL HALLI WAL 'AQDI (yakni para ulama dan tokoh-tokoh yang mewakili seluruh umat Islam untuk mengurusi persoalan mereka, termasuk urusan ba'iat -pen).
Dan adalah yang akan menjadi korban pertama bagi da'wah sirriyyah justru para pendukung amal Islami sendiri, bukan musuh-musuhnya.
Semestinya tidaklah boleh lepas dari benak kita apa yang bakal ada dalam da'wah sirriyah berupa tipu daya, penyelewengan fikrah dan penyimpangan aqidah.
Sebab da'wah semacam itu pasti akan menempuh perjalanan melalui lorong-lorong gelap, hingga tidak ada satu celah pun yang terbuka bagi upaya pembetulan, dialog dan evaluasi hail-hasilnya, (itu semua) hanya karena dalih : demi PEMELIHARAAN EKSITENSI, SIRRIYAH (kerahasiaan). (Setiap kerja (amal Islam) yang mencirikan watak rahasia serta berbau gerakan bawah tanah, apabila disangka bahwa hal itu hebat dan cerdik, dan bahwa musuh-musuhnya tidak bakal bisa melacak kegiatan tersebut dengan seluruh unsur-unsurnya, maka berarti ia berada dalam kelalaian. Sesungguhnya lorong-lorong kerahasiaan yang gelap merupakan lorong-lorong yang tepat guna menumbuhkan benih-benih yang aneh dan majhul. Dan tepat untuk kerja gelap di bawah tanah, Fi An-Naqd Adz-Dzati, hal : 41 oleh Khalis Jalby), dan security (Nadhrat Fi Masirah Al-Amal Al-Islami, dengan perubahan. hal : 38-39).
Marilah kita renungkan bersama sabda Nabi kita Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, semoga Allah memelihara anda :
"SUNGGUH TELAH AKU TINGGALKAN KAMU DI ATAS (HUJJAH) PUTIH BERSERI,
YANG MALAM HARINYA SEPERTI SIANG HARINYA;
TIDAK AKAN MENYELEWENG DARINYA KECUALI ORANG YANG BINASA"
(Hadits Hasan, telah saya takhrij dalam Arba'iy Ad-Da'wah wad Du'at, No 6 Nasyr Daar Ibnil Qayyim-Dammam)
[Apakah Islam Itu Mengajarkan Teroris]
-------------
Assalamu'alaikum wr.wb
pa, ustad akhir-akhir ini indonesia banyak isu boom via telpon dan banyak orang yang menyangka kalau pelakunya adalah islam yang saya mau tanyakan " APAKAH ISLAM ITU MENGAJARKAN TERORIS " mohon menjelasannya terima kasih.
-------------
Jawab:
-------------
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.

“Islam mengajarkan terorisme”, inilah pernyataan yang sangat ingin diharapkan berkembang di tengah informasi global oleh musuh-musuh Islam pasca serangkaian bom yang sengaja mereka ledakkan sendiri. Sebaliknya, justru Islam mengajarkan perdamaian, toleransi, keadilan, kasih sayang, cinta kepada sesama manusia, menghargai wanita, menghormati orang tua serta mengasihi fakir miskin. Peradaban mana pun di dunia ini perlu berterima kasih kepada sejarah Islam yang telah mencontohkan langsung bagaimana semua nilai luhur itu pernah dilakukan semasa Islam memimpin dunia.

Kini, saat barat sedang diberi kesempatan mendominasi dunia dan gagal total menjadi teladan manusia, mereka melancarkan propanda makar terhadap Islam. Kampanye citra buruk terhadap Islam dijadikan upaya perlawanan terakhir setelah melihat perkembangan Islam yang terasa mulai berkembang kembali dengan sangat pesat di berbagai negeri, termasuk di jantung Eropa dan Amerika. Rupanya musuh-musuh Allah SWT sudah kehabiasan akal untuk secara kesatria bersaing secara sehat dengan cahaya agama Islam, sehingga mereka sudah masuk ke dalam upaya-upaya keji dan fitnah tanpa dasar demi membendung arus balik Islam yang amat dahsyat di dunia.

Sudah tak terhitung jumlah gereja yang bangkrut lalu dilego dan akhirnya malah menjadi islamic center. Kalau fenomena ini dibiarkan saja, bisa jadi ketakutan kebangkitan Islam dari Eropa benar-benar terjadi. Sebagaimana janji Rasulullah SAW bahwa dua pusat kekuatan barat akan jatuh ke tangan Islam. Yang pertama sudah terjadi, yaitu di masa kekuasaan Sultan Muhammad Al-Fatih, dengan jatuhnya Constantinopel ke tangan Islam yang kini menjadi Istambul. Sedangkan kota kedua adalah Roma atau Vatikan yang hingga hari ini masih belum terjadi namun pasti terjadi.

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang negeri manakah yang akan dikuasai lebih dahulu, Constantinopel atau Roma?. Beliau SAW menjawab,”Negeri Heraklius lebih dahulu”. (HR. Ahmad dengan sanad Shahih).

Negeri Heraklius maksudnya adalah Contantinopel yang dibebaskan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada 29 Mei 1453.

Ketakutan barat atas kebangkitan Islam memang sangat beralasan, meski pun banyka juga dari umat Islam sendiri di negeri ini masih kurang yakin atas itu. Samuel Huntington dalam karyanya “The Class Of Civilization” secara sangat kentara menggambarkan rasa takut barat kepada dunia Islam. Ketakutan itu tentu saja berbentuk kebangkitan Islam di jantung negeri mereka sendiri, baik dengan serangan militer maupun dengan masuknya orang-orang barat sendiri secara sadar ke dalam agama Islam.

Literatur Islam sendiri memang banyak menyebutkan kembalinya Islam pada puncak kejayaannya.

Dari Tamim Ad-Daary bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sungguh Islam ini akan berkuasa hingga batas wilayah malam dan siang”. (HR. Ahmad dan Thabarany)

Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah mengumpulkan bumi untukku hingga aku bisa melihat bagian Timur dan Baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai seluruh dunia. Dan aku dianugerahkan 2 harta yang berlimpah : Emas dan Perak”. (HR. Muslim 2889, Abu Daud 4252, Tirmizy 2203 dan Ibnu Majah 3952)

Meski sebenarnya, menurut pengamatan Dr. yusuf Al-Qaradawi, kebangkitan Islam di barat untuk masa kini cenderung bukan dengan pedang dan serangan militer, melainkan dengan tersebar luasnya informasi tentang ajaran Islam dan semakin terbuktinya ajaran Islam sebagai ajaran yang benar-benar dari dari Tuhan, bersih dari pemalsuan pemuka agama, suci dari khurafat dan tahayyul serta selalu berhasil menjadikan setiap peradaban yang dimasukinya menjadi jauh lebih maju dan kuat. Lalu berbebondong-bondonglah bangsa barat yang selama ini tertipu dan dibodohi oleh pemuka dua agama sebelum Islam, yahudi dan nasrani, bisa merasakan masuk Islam setelah 15 abad berada pada posisi yang tidak menguntungkan.

Kerjasama antar inteljen barat dan kekuatan `siluman` militer mereka dalam meledakkan bom di Indonesia tidak lain hanyalah upaya membuat citra Islam menjadi buruk. Dan karena itu, harapan mereka untuk membendung arus islamisasi di Eropa dan Amerika bisa berjalan mulus. Untuk lebih lengkapnya sandiwara itu, sangat masuk akal bila mereka memanfaatkan Usamah, Azhari, Amrozi dan orang-orang Islam lainnya sebagai pelaku terorisme itu. Yang jelas, melihat teknologinya, semua bom itu mustahil bisa diledakkan kecuali oleh militer tingkat tinggi atau kerjsama inteljen tingkat tinggi. Tidak mungkin bahan bakunya bisa dibeli di toko kimia pinggir jalan, apalagi hanya pakai karbit. Bangsa kita ini hanya baru bisa bikin petasan, sedangkan C-4 itu hanya ada di barat sana.

Namun rupanya Allah SWT punya kehendak lain, justru pasca terjadi pengeboman, situs-situs keislaman semakin laris dikunjungi orang barat yang penasaran ingin tahu ajaran Islam. Alih-alih meninggalkan Islam, justru antrian masuk Islam semakin panjang saja di sana. Sebab Islam jadi semakin populer setelah difitnah sana sini, termasuk oleh Bush dan komplotannya yang telah meratakan Iraq dengan tanah tanpa pernah berhasil membuktikan tuduhannya.

Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS. At-Taubah : 32)

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab.
BAHAYA LIDAH

Lidah adalah altar sebuah lapangan di dalam kebaikan dan keburukan.Orang yang melepaskannya serta tidak menjaganya dengan kendali ajaran syari’at akan digiring oleh syetan menuju jalan-jalan kebinasaan lalu dijerumuskan ke dalam Neraka.Kesempurnaan adalah menahan diri secara mutlak dari ucapan-ucapan sampah dan tidak berbicara atau mengeluarkan ucapan selain untuk kebaikan.
Bahaya yang ditimbulkan oleh lisan amatlah besar karena lidah itu tiada bertulang sehingga kadang sangat sulit dikendalikan.Amatlah banyak manusia di zaman kita sekarang ini yang terkena musibah lisan yang sudah merupakan bumbu dan santapan bagi majlis-majlis mereka.Berbicara dusta, main gosip,ghibah,debat kusir,memperbincangkan kebatilan,bertengkar,membangga-banggakan diri,menyindir orang,mencaci maki, membongkar rahasia orang,mengobral ucapan-ucapan rendahan dan lain sebagainya.
Orang yang sudah terbiasa dengan kemaksiatan lidah maka biasanya akan dengan mudah dan cepat melontarkan kata-kata yang tidak baik tanpa memikirkan dan menyeleksi terlebih dahulu.Padahal dalam sebuah hadits shahih Nabi saw telah mengabarkan kepada kita bahwa ada orang yang masuk Neraka hanya akibat ulah lisannya.Beliau bersabda:
وَهَلْ يَكُبُ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ اَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Dan ada orang-orang yang dipanggang wajahnya atau lehernya (perawi ragu) diatas api Neraka, tidak lain hanya karena hasil dari perbuatan lisannya.”
Oleh karena itu kita harus mengekangnya dengan kekang ajaran syari’at sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوُمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيرًْا اَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah berkata yang baik atau diam.”
Maka selayaknya bagi kita untuk menjaga lisan, sebab jika malapetaka lisan sebagaimana yang telah disebutkan di atas sudah menjadi urat nadi dan kebiasaan seorang hamba, akan sulit baginya untuk menahan diri dari perbuatan itu kecuali bagi orang yang dirahmati Allah.
Dan kita akan meningkatkan kewaspadaan manakala menyadari bahwa bahaya lidah ini justeru terkadang terasa manis dan mengasyikkan, ditambah adanya kecenderungan hawa nafsu manusia yang sering mendorong ke arah kemungkaran lidah tersebut.Kita memohon kepada Allah semoga menyelamatkan kita dari bahaya ini.
Ada diantara manusia yang mampu bersikap begitu wara’ dan zuhud, tidak sudi mengenakan sutera, tidak mau duduk diatas permadani, tidak minum dengan gelas-gelas mewah dan menahan dari kesenangan duniawi, namun tidak mampu menahan diri dari sembarangan berbicara termasuk yang tergolong dosa besar,seperti ghibah(menggunjing), namimah (adu domba), membongkar aib orang dan lain-lain.Demikian pula halnya membicarakan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits Nabi dengan menafsirkan semaunya tanpa dilandasi ilmu.
Dalam pembahasan ini akan kami ketengahkan tiga kemaksiatan lisan secara lebih khusus lagi yaitu ghibah, namimah dan mencela orang yang telah meninggal, mengingat banyak kita jumpai orang yang terjerumus didalamnya, semoga Allah swt melindungi kita dari perbuatan-perbuatan tersebut.
1. Ghibah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:

أََتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ, قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ: اَفَرَأَيْتَ اِنْ كَانَ فِي أََخِيْ مَا اَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ,وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)

Artinya, ”Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para shahabat menjawab,”Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”Lalu Nabi bersabda, ”Yaitu menyebutkan saudaramu tentang apa-apa yang tidak ia sukai.” Ditanyakan,”Lalu bagaimana pendapat Anda jika memang benar ada padanya?” Jawab Nabi, ”Jika itu memang benar apa adanya maka itulah yang dinamakan dengan ghibah, dan jika apa yang engkau sebutkan itu tidak benar maka engkau telah menuduhnya dengan kebohongan.”(HR Muslim).

Dalam surat al Hujurat ayat 12 Allah swt telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.

Maka secara lebih tegas lagi Rasulullah ketika ditanya tentang muslim yang paling utama beliau menjawab dengan sabdanya yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim yaitu manakala saudaranya sesama muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya maka dialah muslim yang paling utama.
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِساَنِهِ وَيَدِهِ (متفق عليه)

“Yaitu orang tidak pernah berbuat jahat kepada sesama muslim dengan lisan dan tangannya.”

Dari keumuman larangan ghibah ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan, itupun karena pada hakekatnya ia bukan ghibah walau secara lahirnya memang menyabutkan kejelekan orang lain.Ghibah-ghibah tersebut semata-mata untuk tujuan baik atau karena didorong oleh keadaan yang memaksa harus mengutarakan hal tersebut.

Diantara ghibah yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
-Untuk mengadukan penganiayaan orang ke hadapan hakim.
-Minta tolong kepada seseorang untuk menasehati orang yang berbuat kemungkaran.
-Dalam rangka minta fatwa agar dapat bersikap secara baik dan benar terhadap keburukan orang lain.
-Bertujuan menasehati orang agar jangan sampai ikut melakukan kejahatan yang pernah dilakukan oleh seseorang.
-Terhadap orang yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan maka menyebutkannya bukan masuk kategori ghibah.
-Menyebut sifat atau julukan tertentu agar orang mengenal atau tahu orang yang dimaksudkan, misalnya si fulan yang buta, bisu,tuli.Terkadang gelar tersebut dipakai untuk orang yang terkenal dan ada diantaranya yang ahli dalam hadits seperti al-A’masy.

2. Namimah

Firman Allah swt menjelaskan tentang namimah,
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, (QS. 68:10-12)

Namimah atau mengadu domba mendapat kecaman yang sangat keras melalui sabda Nabi saw yang menjelaskan bahwa pelakuknya akan masuk Neraka.Dari Hudzaifah ra ia berkata,”Rasulullah saw telah bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ (متفق عليه)

“Tidak akan masuk Surga seorang nammam (tukang adu domba).” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Selain diancam dengan jaminan masuk Neraka pelaku namimah juga mendapatkan tambahan siksa berupa adzab kubur (sebelum akhirnya disiksa di Neraka), sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Abbas ra bahwa suatu ketika Rasulullah melewati dua kubur yang kedua penghuninya sedang disiksa,beliau menjelaskan bahwa kedua orang teersebut disiksa hanya gara-gara sesuatu yang (mungkin) dianggap sepele.Beliau bersabda,

أََمَّا اَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِيْ باِالنَّمِيْمَةِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ لاَ يَسْتَبْرِئُ مِنْ بَوْلِهِ (متفق عليه)

“Adapun salah satunya maka dia disiksa dengan sebab biasa mengadu domba, sementara yang lainnya karena tidak menjaga dari (percikan) air kencingnya.”

3. Mencaci Orang yang Telah Mati.

Dari Aisyah Radhiallaahu anhu ,Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ تَسُبُّ اْلأَمْوَاتَ فَإِنَهُمْ قَدْ اَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوْا

“Janganlah kalian mencaci maki orang yang telah mati, karena mereka telah berangkat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.” (HR. Ahmad,al-Bukhari dan an-Nasai).

Dalam riwayat lain oleh Ibnu Abbas beliau juga bersabda,
لاَ تَسُبُّوْا أَمْوَاتَنَا فَتُؤْذُوْا أَحْيَائَنَا

“Janganlah kalian mencaci maki orang yang telah mati diantara kita, karena hal itu akan membuat sakit (menyinggung) yang masih hidup.”

Dan sebaliknya Allah akan memberi ampunan kepada siapa saja yang mengetahui aib seorang mayit lalu menyembunyikannya.Aslam Abu Rafi bekas budak Nabi saw meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Barang siapa memandikan mayit lalu ia menyembunyikan aibnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepadanya sebanyak empat puluh kali.” (riwayat al-Hakim, dengan mangatakan shahih berdasar persyaratan Muslim)

Untuk lebih menegaskan masalah ini alangkah baiknya jika kita perhatikan ucapan Ibnu as-Samak seorang ulama kenamaan di masanya,beliau menegaskan, ”Selayaknya engkau tidak mengomentari (mencaci) saudaramu yang telah mati karena tiga alasan:

Pertama, bisa jadi engkau menyangkanya berbuat sesuatu (keburukan) yang ternyata sama buruknya dengan yang engkau lakukan.

Kedua,bisa jadi engkau mengejeknya padahal ia telah memberikan kebaikan kepadamu (dengan mencaci atau mengejek, karena orang yang mencaci orang lain pada hakekatnya memberikan kebaikan kepada yang dicaci, red).Imam Abu Dawud di dalam Kitabul Adab dan Imam at-Tirmidzi di dalam Kitabul Janaiz menyebutkan hadits dari Mu’wiyah bin Hisyam, dari Imran bin Anas al Makki, dari Atha’ bin Umar ra secara marfu’ Nabi saw bersabda,

“Sebutlah kebaikan-kebaikan orang yang telah mati diantara kalian dan tahanlah lidahmu dari menyebutkan kejelekan-kejelekannya.”

Ketiga, jika ternyata mayit yang dicaci ternyata ahli Surga maka engkau telah berdosa.Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dengan sanadnya sendiri,

“Janganlah kalian menyebut-nyebut orang yang telah mati diantara kalian selain kebaikannya.Karena kalau ia ahli Surga maka engkau telah berbuat dosa, dan kalau ia ahli Neraka maka cukup bagi mereka apa yang mereka peroleh.”
[Apakah Ramalan Bintang (Zodiac) Boleh Dipelajari Dan Dipercaya?]
-------------
Ustadz, Mau nanya nih, saya suka lihat saudara sepupu saya sering melihat tayangan ramalan bintang di atau di majalah remaja. Pertanyaannya : apakah ramalan bintang itu ilmu yang boleh dipelajari atau diharamkan islam?
-------------
Jawab:
-------------
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Hukum ramalan itu haram sebab mengandung unsur syirik di dalamnya. Bahkan ada sebuah dalil yang menyebutkan bahwa saking haramnya, hingga sekedar bertanya kepada peramal tanpa percaya pun sudah syirik.

Sehingga urusan ramalan bintang yang sumbernya adalah mitologi yunani memang bukan masalah sepele. Sayangnya, ramalan syirik seperti itu masih saja ada menghiasi majalah dan koran, bahkan sekarang sudah masuk ke dunia yang lebih canggih seperti SMS dan internet. Kami yakin mereka melakukannya bukan karena semata-mara percaya, melainkan hanya sekedar having fun.

Hanya saja masalahnya, kalau ada keterangan yang menyebutkan bahwa sekedar mendatangi peramal saja sudah dianggap syirik meski tidak percaya, maka kasusnya sama saja. Sekedar membaca-baca dan bermain dengan ramalan bintang itu sudah dianggap syirik.

Karena itu, janganlah membeli majalah, koran atau media apapun yang ada ramalan bintangnya, sebab sedikit banyak kita punya andil atas media yang syirik itu, sekecil apapun.

Ramalan zodiak itu sebenarnya bersumber dari mitos yunani yang dahulu disuplai oleh syetan. Budaya yunani kuno itu menerima kabar dari syaithan dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu)

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam)

Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (HR. Abu Dawud)

Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
[Antara Akal Dan Syariat]
-------------
Assalamu'alaikum wr wb.
Ustadz yang saya hormati, saya masih bingung bagaimana sesungguhnya islam memposisikan akal thd syariat,apakah diperbolehnkan dlm islam meninggalkan syariat ketika ada syariat yang tdk dpt diterima secara logika, hal ini banyak saya temui pd ijtihad ulama sekarang yang cendrung didominasi oleh pemikiran akal bukan dari syariat,lalu apakah ketika ada ketetapan syariat yang bersifat opsional kita diperbolehkan memilih yang terringan. Jazakallah khairan atas seluruh jawaban yang diberikan.
Wassalamu'alaikum wr.wb
-------------
Jawaban:
-------------
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Akal itu sangat dihargai dalam hukum syariat, yaitu sebagai sebuah sistem dalam rangka memahami maksud Allah SWT dan Rasulullah SAW yang tertuang di dalam Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah. Tanpa logika berpikir yang benar, syariat Islam tidak bisa dilaksanakan dengan baik.

Maka kita tidak bisa membuat dikhotomi antara syariah dengan akal, sebab tidak mungkin ada syariah kalau tidak dipahami dengan akal. Syariah dan akal adalah bagian yang tidak terpisahkan.

Demikian juga dengan akal, tidak mungkin bisa memberikan manfaat apapun tanpa dasar-dasar sumber hukum dari syariah. Manusia tidak mungkin dengan akalnya bisa menciptakan sistem kehidupan yang baik tanpa diberikan wayhu berupa syariat. Akal tanpa syariah adalah sebuah ketersesatan.

Peran dan fungsi akal bukan untuk menyaingi Al-Quran Al-Kariem dan Sunnah. Sehingga bila ada dalil yang dianggap tidak sesuai akal, bukan berarti akal yang harus dimenangkan dan dalil itu ditinggalkan. Justru akal itu harus digunakan untuk memahami dalil tersebut dengan baik, cermat, kritis dan logis. Dan tentu saja tanpa meninggalkan esensi dari dalil tersebut.

Ruang lingkup akal sendiri sebenarnya sangat luas. Bahkan banyak di dalamnya yang masih sangat nisbi. Paling tidak, tidak semua yang dikatakan logis itu pasti eksak. Sehingga bila kita mengatakan bahwa ada syariat yang bertentangan dengan akal, maka yang harus dipastikan adalah : akal yang mana ? atau logika yang mana ? Dan apa standar yang digunakan oleh sebuah logika sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan syariat ? Maka akal tidak bisa dijadikan standar kebenaran bila tidak didampingin syariah.

Sedangkan di sisi lain, antara dalil nash dengan hukum syariat punya hubungan yang khusus. Ada sekian banyak dalil, baik dari Al-Quran Al-Kariem maupun dari sunnah. Namun setiap dalil ini masih butuh untuk diuraikan secara sistematis sehingga menghasilkan produk akhir dari syariah, yaitu berupa kesimpulan hukum tiap permasalahan.

Maka bisa saja ada sebuah dalil yang isinya bertentangan dengan hukum syariah, lantaran dalil ini dianggap menyendiri dibandingkan dalil lain yang berbeda isinya, atau karena dalil ini kurang kuat sanadnya, atau karena dalil ini tidak ada konsiderannya secara langsung permasalahan yang dibicarakan. Untuk sampai kepada kesimpulan yang baik, dibutuhkan peran akal dalam melakukan pertimbangan, memilih dan menentukan hasil akhir dari sekian banyak dalil yang bertebaran. Dalil tanpa dipahami dengan metodologi yang menggunakan akal tidak akan seimbang.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW
Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dalam masalah ke-2 ini, kami tunjukkan sejumlah hadits-hadits shahih, tentang ancaman yang sangat berat dan adzab yang sangat mengerikan kepada para pendusta dan pemalsu hadits atas Nabi SAW.
Hadits-hadist tersebut ialah :
........... "Man kadzaba a'laiya muta'ammidan palyatabawwa maq'adahu minannaar".
Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW "Barang siapa yang berdusta atasku (yakni atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/36) dan Muslim (1/8) dll)
Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang membuat-buat perkataan atas (nama)ku yang (sama sekali) tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (No. 34) dan Imam Ahmad bin Hambal (2/321))
Artinya : Dari Salamah bin Akwa, ia berkata. Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : "Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
(Hadits shahih riwayat Imam Bukhari (1/35) dll, hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (4/47) dengan lafadz yang sama dengan hadits No. 1,4,5,6 & 8)
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan lagi (4/50) dengan lafadz.
Artinya : "Tidak seorangpun yang berkata atas (nama)ku dengan batil, atau (ia mengucapkan) apa saja (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, melainkan tempat duduknya di neraka".
Sanad ini shahih atas syarat Bukhari dan Muslim.
Artinya : Dari Anas bin Malik, ia berkata. Sesungguhnya yang mencegahku menceritakan hadist yang banyak kepada kamu, (ialah) karena Rasulullah SAW telah bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta atasku (yakni atas namaku), maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
Hadits shahih dikeluarkan oleh Bukhari (1/35) dan Muslim (1/7) dll.
Artinya : Dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata. Aku bertanya kepada Zubair bin 'Awwam : "Mengapakah aku tidak pernah mendengar engkau menceritakan (hadits) dari Rasulullah SAW sebagaimana aku mendengar Ibnu Mas'ud dan si fulan dan si fulan..? Jawabnya : Adapun aku tidak pernah berpisah dari Rasulullah sejak aku (masuk) Islam, akan tetapi aku telah mendengar dari beliau satu kalimat, beliau bersabda : "Barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
Hadits shahih, dikeluarkan Bukhari (1/35), Abu dawud (No. 3651) dan Ibnu Majah (No. 36 dan ini lafadznya) dll.
Dua riwayat di atas dari dua orang sahabat besar Anas bin Malik dan Zubair bin 'Awwam, menunjukkan betapa sangat hati-hatinya para sahabat radliyallahu 'anhum dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW.
Artinya : Dari Abdullah bin Amr, ia berkata. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : "Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari (4/145) dan Tirmidzi (4/147 di Kitab Ilmu) dan Ahmad (2/159), 202 & 214) dll.
Sabda Nabi SAW. " Ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan", yakni tidak berdosa selama itu baik menurut Syara'.
Berkata Imam Malik. "Yang dikehendaki boleh menceritakan tentang mereka (Bani Israil) ialah dari urusan yang baik, adapun apa-apa yang telah diketahui dustanya tidak boleh". Demikian juga keterangan Imam Syafi'iy, hampir sama. (baca Al-Fathul Bari 7/309 syarah Bukhari).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa cerita-cerita tentang Bani Israil itu ada tiga macam :
Yang telah diketahui kebenaran dan kesahihannya oleh Syara' dari perkara-perkara yang baik. Maka inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW diatas.
Yang telah diketahui kebatilan dan kedustaannya oleh Syara'. Maka tidak boleh kita ceritakan, kecuali untuk menjelaskan kebatilan dan dustanya.
Yang tidak atau belum diketahui benar dan dustanya. Maka tidak boleh kita imani atau dustai, dan menceritakannya-pun tidak ada faedah sama sekali. (baca Tafsir Ibnu Katsir 1/4).
Artinya : Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata. telah bersabda Rasulullah SAW. "Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku.! Karena, sesungguhnya barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia memasuki neraka".
Hadist shahih, riwayat Bukhari (1/35), Muslim (1/7), Tirmidzi (4/142 Kitabul Ilmi), Ibnu Majah (No. 3) dan Ahmad.
Artinya : Dari Mughirah (bin Syu'bah) radliyallahu 'anhu, ia berkata, Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : "Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah sama berdusta kepada orang lain (selainku), maka barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka".
Hadist shahih riwayat Bukhari (2/81), Muslim (1/8) dan Ahmad (4/252).
Artinya : Dari Watsilah bin Asqa', ia berkata. telah bersabda Rasulullah SAW. "Sesungguhnya dari sebesar-besar dusta adalah, seorang menda'wahkan/mengaku (berbapak) kepada yang bukan bapaknya (yakni menasabkan diri kepada orang lain yang bukan bapaknya), atau (ia mengatakan) telah diperlihatkan kepada matanya apa yang (sebenarnya) matanya tidak pernah melihat (yakni ia mengaku telah bermimpi dan melihat sesuatu tetapi sebenarnya bohong).
Dalam riwayat yang lain di jelaskan, atau (ia mengatakan), telah diperlihatkan kepada kedua matanya dalam tidur mimpi) apa yang tidak dilihat oleh kedua matanya (yakni ia mengaku telah bermimpi sesuatu padahal dusta), atau ia mengatakan atas (nama) Rasulullah SAW apa yang beliau tidak pernah sabdakan".
Hadits shahih, riwayat Bukhari (4/157) dan Ahmad (4/106) dan riwayat yang kedua, dari jalannya.
Artinya : Dari Abi Bakar bin Salim dari bapaknya (yaitu Salim bin Abdullah bin Umar) dari kakeknya (yaitu Abdullah bin Umar), ia berkata. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda. "Sesungguhnya orang yang berdusta atas (nama)ku akan dibangunkan untuknya satu rumah di neraka". Hadist shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal di musnadnya (2/22, 103 & 144) dan sanadnya shahih atas syarat Bukahri dan Muslim.
TAKHRIJUL HADITS
Hadits "man kadzaba a'laiya" dan yang semakna dengannya tentang ancaman berdusta atas Rasullah SAW, derajadnya MUTAWATIR. Telah diriwayatkan oleh berpuluh-puluh sahabat, sehingga dikatakan sampai dua ratus orang sahabat meriwayatkannya. Dan tidak satupun hadits mutawatir yang derajadnya lebih tinggi dari hadits "man kadzaba a'laiya".
(baca : Syarah Muslim (1/68) An-Nawawi, Fathul Bari (1/213) Ibnu Hajar. Tuhfatul Ahwadziy syarah tirmidzi (7/418-420).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits di atas memberikan beberapa faedah yang menunjukan :
Nabi SAW sering menyampaikan dan mengulang-ulang sabdanya tersebut.
Perhatian yang besar para sahabat dalam memelihara, dan menjaga betul-betul sabda Nabi SAW dan segala sesuatu yang disandarkan orang kepada beliau SAW. Sehingga mereka saling berpesan dan berwasiat dan meriwayatkannya sesama mereka. Kemudian mereka menyampaikannya kepada Tabi'in dan Tabi'in menyampaikannya kepada Atba'ut Tabi'in dan seterusnya tercatat dan terpelihara dengan baik dan rapi di dewan-dewan Imam-imam Sunnah. Sehingga sepanjang pemeriksaan saya -hampir-hampir- tidak ada satupun Imam dari Imam-imam ahli hadits melainkan meriwayatkannya di kitab-kitab hadits mereka. Dari Amirul Mu'minin fil hadits Al-Imam Bukhari sampai Imam Ibnul Jauzi radiiyallahu 'anhum wa jazaahumullahu 'anil Islam khairan.
Ketinggian derajadnya dalam kesahihan dan kemutawatirannya dan mencapai tingkat teratas dalam martabat hadits-hadits mutawatir.
Kebesaran maknanya yang meliputi beberapa faedah dan sejumlah qaidah dan menutup pintu kerusakan-kerusakan yang besar dalam Agama ini, disebabkan berdusta atas nama Nabi SAW.
LUGHOTUL HADITS
Sabda Nabi Saw : ....palyatabawaa... = hendaklah ia mengambil
Artinya : Maka hendaklah ia mengambil untuk dirinya satu tempat tinggal (yakni di neraka). Dikatakan : Seorang mengambil tempat, (yakni) apabila ia mengambilnya sebagai tempat tinggalnya (tempat menetap atau rumahnya). Maka sabda Nabi SAW. "Hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". bentuk perintah yang maknanya kabar, atau bermakna mengancam, atau maknanya mengejek dan marah, atau mendo'akan pelakunya yakni semoga Allah menempatkannya di neraka".
(Al-Fath 1/211 dan syarah Muslim 1/68).
Saya berpandangan : Bahwa tempat tinggal yang dimaksud telah dijelaskan di hadits nomor 10, yaitu Allah SWT telah disediakan untuknya satu rumah di neraka. Wallahu 'Alam.
SYARAH HADITS
Menurut Imam Nawawi (rahimahullahu) hadits ini meliputi beberapa faedah dan sejumlah qawaa'id, diantaranya :
Ketetapan tentang qa'idah dusta bagi Ahlus Sunnah. (akan datang penjelasannya).
Sangat besar pengharaman dusta atas nama beliau SAW, dan merupakan kekejian dan kebinasaan yang sangat besar.
Tidak ada perbedaan tentang haramnya berdusta atas nama Nabi SAW baik dalam masalah-masalah ahkam (hukum-hukum) atau bukan, seperti ; tarhib dan nasehat-nasehat dan lain-lain. Maka semuanya itu adalah haram dan sebesar besar dosa besar dan seburuk-buruk perbuatan menurut ijma' kaum muslimin.
Haram meriwayatkan hadits maudlu'/palsu atas orang yang telah mengetahui kemaudlu'annya atau berat sangkaan bahwa hadits tersebut maudlu'. Maka barangsiapa yang meriwayatkan satu hadits yang ia ketahui atau berat sangkaannya bahwa hadits itu palsu dan ia tidak menjelaskan kepalsuannya, maka ia termasuk kedalam ancaman hadist di atas dan tergolong orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW.
Diringkas dari syarah Muslim 1/69-71 dan baca juga Al-Fath 1/210-214 & 7/310.

Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulullah SAW
Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dibawah ini akan saya jelaskan lebih luas lagi :
1. MAKNA DUSTA
Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman 326) : "Ketahuilah ! Sesungguhnya menurut madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta itu ialah : Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan (berbeda/menyalahi) keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan (dusta itu) dengan sengaja atau karena kebodohanmu (tidak sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja".
(baca juga syarah Muslim 1/69).
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (1/211): Artinya : "Sesungguhnya dusta itu ialah : Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan dengan keadaannya".
2. MAKNA BERDUSTA ATAS NAMA NABI SAW
Berdusta atas nama Nabi SAW ialah : menyandarkan sesuatu kepada beliau SAW baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'il) atau taqriri (persetujuan beliau atas perbuatan atau perkataan sahabat) dan segala sesuatu yang disandarkan kepada beliau SAW dengan cara berbohong/berdusta atas namanya SAW. Sama saja, apakah masalah-masalah hukum atau targhib dan tarhib dan nasehat-nasehat atau tarikh/sejarah dan lain sebagainya. Semuanya adalah haram dan termasuk berbohong atas nama Nabi SAW, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi di atas (semoga Allah merahmatinya).
Hadits atau riwayat dusta itu, Ulama kita menamakannya dengan "HADITS/RIWAYAT MAUDLU'/PALSU" yaitu : "Hadist yang dibuat-buat/diada-adakan/diciptakan orang secara dusta atas nama Nabi SAW, baik dengan sengaja atau tidak sengaja". Tidak sengaja itu bisa dengan sebab kebodohan atau kekeliruan atau kesalahannya. Meskipun ia tidak secara langsung berdusta, tetapi tetap saja kabarnya dinamakan kabar maudlu' (palsu/bohong). Karena itu hadits-hadits tidak boleh diambil dari orang-orang jahil dan bukan ahlinya dan cacat lainnya sebagaimana telah diterangkan oleh Ulama-ulama ahli Hadits. (lebih lanjut bacalah Muqaddimah Imam Muslim di kitab sahihnya).
(Baca : Muqaddimah Ibnu Shalah (halaman 47). Syarah Nukhbatul Fikr (halaman 80) Ibnu Hajar, Al Wadlu' fil Hadist (1/107), Taujihunnadazar ila Ushulil A-tsar (halaman 252).
3. HUKUMNYA
Hadits-hadits diatas [tulisan kami bagian pertama] merupakan ancaman yang sangat berat dan mengerikan sekali terhadap para pemalsu dan pendusta-pendusta besar atas nama Rasulullah SAW. Untuk mereka Allah Jalla Jalaa Luhu telah menyediakan tempat tinggal berupa satu rumah di neraka, yang disitu mereka akan diadzab dengan adzab yang besar.
Hal ini disebabkan karena :
Bahwa berdusta atas nama Rasullah SAW adalah sebesar-besar dusta yang pernah dilakukan oleh manusia, sesudah berdusta atas nama Allah Jalla Jalaa Luhu, bahkan berdusta atas nama Rasulullah SAW sama dengan berdusta atas nama Allah Jalla wa'ala.
Berdusta atas nama Rasulullah SAW tidak sama dengan berdusta kepada orang lain (selain Nabi SAW), kalau berdusta kepada orang lain telah berdosa (dosa besar menurut Ulama), maka bagaimana pandanganmu terhadap orang yang berbohong atas nama "seseorang" yang perkataan dan perbuatannya menjadi syariat dan diikuti oleh manusia ..? Dengan sendirinya si pendusta ini telah membuat syariat baru yang bukan syariat Nabi SAW meskipun memakai nama beliau SAW. Kemudian kebohongannya itu tersebar di permukaan bumi dan terus berkelanjutan yang diturut banyak manusia sampai hari qiamat. Dengan demikian terjadilah kerusakan yang sangat besar pada Agama dan dunia seperti timbulnya ajaran-ajaran syirik, khurafat-khurafat dan bid'ah-bid'ah,dsb.
Oleh karena kerusakannya demikian besar, maka Ulama-ulama kita telah berselisih pandangan dalam menghukuminya, menjadi dua madzhab :
Tidak mengkafirkannya, tetapi pelakunya telah mengerjakan sebesar-besar dosa besar dan seburuk-buruk perbuatan. Demikian pendapat jumhur menurut Imam Nawawi.
Tegas-tegas mengkafirkan orang-orang yang berdusta dengan sengaja dan mengetahui kedustaannya atas Nabi SAW. Telah berkata Imam Ibnu Katsir : "Sebagian Ulama ada yang mengkafirkan orang yang sengaja dusta dalam hadits Nabi dan diantara mereka ada yang mewajibkan harus dibunuh". (Ikhtisar Ulumul Hadits : 102).
Sebagian Ulama tersebut ialah Imam Al Juwaini (bapaknya Imam Haramaian). Demikian keterangan Nawawi di syarah Muslim (1/69) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Fath (91/212-213 & 7/310), kemudian Syaikh Ahmad Syakir dalam syarahnya atas kitab Ibnu Katsir (halaman 79). Dan kelihatannya Imam Ibnu Abdil Bar condong berpendapat mengkafirkannya. Demikian menurut Ibnu Hajar. Pandangan Imam Al Juwaini yang sangat tegas mengkafirkannya dan beliau nyatakan terus menerus di majelis-majelisnya telah dibantah dan dilemahkan oleh anaknya sendiri yaitu Imam Haramain, kemudian Imam Nawawi dan kelihatannya Ibnu Hajar pun condong melemahkannya. Tetapi menurut Syaikh Ahmad Syakir (seorang Ulama Ahli Hadits besar pada abad ini) bahwa pendapat Imam Juwaini itulah yang benar. Wallahu a'lam.
Kemudian Ulama-ulama kita pun berselisih pendapat dalam menerima kembali riwayat-riwayat orang yang telah taubat dari memalsukan hadits Nabi SAW. Apakah diterima kembali atau ditolak selama-lamanya..? Dalam masalah inipun terdapat dua madzhab :
Tidak diterima dan ditolak selama-lamanya meskipun ia telah taubat dengan taubat yang shahih. Demikian madzhab (pendapat) Imam Ahmad bin Hambal dan Ulama-ulama besar yang sefaham dengan beliau.
Diterima riwayatnya apabila ia telah taubat dengan taubat yang shahih. Dan Imam Nawawi telah membantah faham di atas (madzhab Imam Ahmad) dengan beberapa hujjah. (baca : Syarah Muslim/69).
Menurut tahqik Syaikh Ahmad Syakir yang rajih (kuat) ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Ulama-ulama yang sefaham dengannya, sebagai peringatan dan ancaman yang sangat keras berdusta atas nama Rasulullah SAW, karena kerusakannya sangat besar dan akan menjadi syariat yang terus menerus sampai hari qiamat. Berbeda dengan dusta kepada selainnya dan saksi (palsu), karena kerusakan keduanya terbatas dan tidak umum. Maka tidak dapat dikiaskan/diibaratkan berdusta dalam meriwayatkan hadits dengan berdusta dalam saksi dan macam-macam maksiat yang lain. Wallahu a'lam.
(baca : Ikhtisar Ibnu Katsir halaman 101-102).
4. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PEMALSUAN HADITS
Adapun sebab-sebab yang membawa para pendusta untuk memalsukan hadits-hadits atas nama Rasulullah SAW banyak sekali, diantaranya :
A. Kaum Zindiq
Yakni mereka yang berpura-pura Islam tetapi sesungguhnya mereka adalah kafir dan munafiq yang sebenarnya. Mereka adalah kaum yang sangat hasad dan benci terhadap Islam dan bertujuan merusak Agama ini dari dalamnya dengan berbagai macam cara. Diantaranya membuat hadits-hadits palsu banyak sekali. Lalu mereka tampil ditengah-tengah umat menyerupai Ulama, kemudian mereka sebarkan hadits-hadits buatan mereka dengan memakai nama Nabi SAW. Tujuan mereka tidak lain untuk merusak syariat dan mempermainkan Agama Allah sekaligus menanamkan keraguan (tashqik) di hati kaum Muslimin khususnya masyarakat awam.
Berkata Hammad bin Zaid seorang Atba'ut Tabi'in besar wafat tahun 190 H.
Artinya : "Kaum Zindiq telah memalsukan (hadits) atas (nama) Rasulullah SAW sebanyak empat belas ribu hadits".
Ketika Abdul Karim bin Abi "Awjaa', salah seorang zindiq ditangkap dan akan dipenggal kepalanya oleh Muhammad bin Sulaiman Al-Abbaasiy (seorang pemimpin Basrah pada zaman khilafah Al-Mahdi, pada tahun 160 lebih), maka tatkala Abdul Karim telah yakin akan dibunuh, ia berkata :
Artinya : "Demi Allah ? Sesungguhnya aku telah memalsukan pada kamu sebanyak empat ribu hadits palsu, aku haramkan padanya yang halal dan aku telah halalkan (perkara) yang haram".
Demikian juga Muhammad bin Said Asy-Syamiy Al-Maslub (yang mati disalib karena zindiqnya oleh Abu Ja'far Al-Manshur). Zindiq yang satu inipun telah memalsukan hadits sebanyak empat ribu hadits. Telah berkata Imam Nasa'i di akhir kitabnya "Adl-Dlua'afa' wal Matrukiin" (halaman 310) : "Para pendusta yang terkenal telah memalsukan hadits Rasulullah SAW, ada empat orang : Ibnu Abi Yahya di Madinah, Al-Waqidiy di Baghdad, Muqotil bin Sulaiman di Al-Khurasan dan Muhammad bin Said di Syam yang terkenal dengan (sebutan) Al-Mashlub (orang yang mati di salib).
Saya berpandangan : Bahwa sepanjang penelitian saya hadits-hadits yang dipalsukan kaum zindiq itu terbagi kepada beberapa bagian :
Hadits-hadits palsu yang mengajak dan mengajarkan kepada syirik dengan macam-macam cabangnya.
Hadits-hadits palsu tentang bid'ah-bid'ah Agama dengan segala tingkatannya.
Hadits-hadits palsu yang menganjurkan kepada maksiat-maksiat.
Hadits-hadits palsu yang memperbodoh dan melemahkan umat terutama tentang jihad fi-sabilillah.
Hadits-hadits palsu yang merusak akal, adab dan pergaulan, dll.
B. Satu Kaum yang memalsukan Hadits karena mengikuti hawa nafsu
Mereka mengajak manusia mengikutinya untuk menyalahi Al-Kitab dan As-Sunnah. Seperti : Ta'ashub madzhabiyah, golongan/firqahnya, fahamnya, berlebihan terhadap Imam-imamnya, karena jenisnya, qabilah/sukunya, negerinya atau lughohnya/ bahasanya dan lain sebagainya.
Berkata Abdullah bin Yazid Al-Muqriy (seorang Atba'ut Tabi'in besar gurunya Imam Malik, wafat tahun 148 H), "Sesungguhnya ada seorang laki-laki dari ahli bid'ah (yang dimaksud bid'ah aqidah) yang telah ruju' (kembali sadar) dari bid'ahnya, ia berkata :
Artinya : "Perhatikanlah hadits itu dari siapa kamu mengambilnya ! Karena sesunggunya kami dahulu apabila berpendapat dengan satu pendapat, maka kami jadikan ia (pendapat kami itu) sebagai satu hadits (yakni kami palsukan mejadi hadits)".
Berkata Abdullah bin Lahai'ah (wafat tahun 174H): "Aku telah mendengar seorang syaikh dari Khawarij yang telah taubat dan ruju', ia berkata :
Artinya : "Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah Agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.! Karena sesungguhnya kami dahulu apabila condong kepada satu urusan (maksudnya faham yang setuju dengan bid'ahnya) niscaya kami jadikan ia sebagai satu hadits (kami palsukan menjadi hadits)".
Berkata Hammad bin Salamah (Atba'ut Tabi'in wafat 167 H): "Telah mengabarkan kepadaku seorang syaikh dari Rafidhah (Syi'ah), sesungguhnya mereka berkumpul (sepakat) untuk memalsukan hadits-hadits"
C. Satu kaum yang memalsukan hadits-hadits untuk tujuan yang baik menurut persangkaan mereka
Mereka buat hadits-hadits palsu tentang targhib dan tarhib dan nasehat-nasehat dan lain-lain. Mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkan dengan mengharap ganjaran dari Allah Jalla Jalaa Luhu .!? Kemudian mereka berkata. Kami tidak berdusta untuk merusak (nama atau Syari'at) Nabi SAW tetapi untuk kebaikan beliau SAW..!?
Hujjah mereka di atas menurut Ibnu Katsir menunjukkan sempurnanya kebodohan mereka, sedikitnya akal mereka, banyaknya dosa dan kebohongan mereka, karena Nabi SAW tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syariat dan keutamaannya. Mereka itu kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.
D. Qash-shaas (Tukang-tukang cerita)
Mereka yang memalsukan hadits-hadits dalam cerita-cerita mereka, untuk mencari uang dan supaya orang-orang awam (umum) takjub (terkesima).
E. Satu kaum yang membolehkan memalsukan hadits untuk setiap perkataan yang baik
F. Satu kaum yang memalsukan hadits untuk kepuasan hawa nafsu para penguasa dan mendekatkan diri kepada mereka
G. Satu kaum yang memalsukan hadits pada waktu-waktu yang diperlukan
Seperti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, membela faham/pendapat, mencela atau marah kepada seseorang dan lain sebagainya.
[Baca : Al-Madkhal (halaman 51-59) Imam Hakim. Adl-Dlua'afaa' 91/62-66 & 85) Ibnu Hibban. Al-Maudlu'at (1/37-47) Ibnul Jauzi. Maj'mu Fatawa (18/46) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ikhtisar Ibnu Katsir (halaman 78-88). Syarah Nukhbatul Fikr (halaman 84-85). Mizanul I'tidal (2/644) Adz-Dzahabi].
5. PERKATAAN/LAFADZ-LAFADZ/YANG MEREKA GUNAKAN
Para pendusta itu dalam memalsukan hadits menggunakan beberapa perkataan, diantaranya :
Mereka susun perkataan sendiri, lalu mereka sandarkan kepada Nabi SAW.
Atau mereka ambil perkataan-perkataan ahli hikmah, orang-orang shalih, atau cerita-cerita Israiliyat dan lain-lain.
Atau Hadits yang dlo'if sanadnya, kemudian mereka susun dan hiasi (yakni mereka palsukan) menjadi shahih sanadnya.
[Baca : Mukaddimah Ibnu Shalah (halaman 47), Syarah Nuhbatul Fikr (halaman 83) Ibnu Hajar].
6. CIRI-CIRI/TANDA-TANDA HADITS MAUDLU'
Diantara tanda-tanda bahwa hadits itu maudlu'/palsu, ialah :
Pengakuan dari pemalsu itu sendiri, seperti beberapa contoh diatas (baca juga Al-Madkhal (halaman 53) Imam Hakim).
Terdapat keganjilan dan rusak maknanya.
Bertentangan dengan apa yang telah tsabit dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dll.
[Baca : Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (halaman 78) dan masalah ini telah dibahas dengan luas oleh Imam Ibnul Qoyim di kitabnya 'Al-Manaarul Munif Fish Shahih Wadlo'if]
Tidaklah mudah untuk mengetahui hadits itu maudlu', dan bukan sembarang orang yang dapat menentukannya, kecuali Imam-imam ahli Hadits dan ulama-ulama yang mahir dan luas pengetahuannya tentang Sunnah. Memiliki kemampuan yang khusus tentang Sunnah/Hadits, Jarh dan Ta'dil serta Tarikh Rawi dan lainnya yang berhubungan dengan Ilmu Hadits yang mulia ini.
Adapun mereka yang tidak punya ilmu hadits yang mulia ini (As-Sunnah/Hadits), mereka hanya mendlo'ifkan atau menentukan hadits maudlu' karena hawa nafsu dan ra'yu-ra'yu mereka yang bathil dan menyalahi Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka yang sehari-hari menggugat Sunnah yang shahih, maka mereka yang zhalim, penentang-penentang sunnah shahihah ini, sama sekali perkataannya tidak boleh didengar dan wajib ditentang dan dibuka kelemahan mereka dan memberikan penjelasan kepada umat akan tipu daya mereka yang sangat berbahaya.
7. PEMELIHARAAN TERHADAP HADITS/SUNNAH
Meskipun hadits-hadits itu telah banyak dipalsukan orang dan tidak sedikit hadits-hadits shahih didustakan, ditolak dan digugat, tetapi Allah Azaa wa Jalla tetap memelihara dan menjaganya, karena Ia telah berfirman :
Artinya : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan peringatan ini (Al-Qur'an), dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya". (Al-Hijr : 9).
Sewaktu Abdullah bin Mubarak (seorang Imam Mujahid besar dari Thabaqah Atba'ut Tabi'in, wafat tahun 181 H) ditanya tentang hadits-hadits maudlu' beliau menjawab bahwa nanti akan hidup orang-orang yang ahli dalam hadits yang akan membela (menjaga dan mempertahankannya), kemudian beliau membaca firman Allah di atas.
Pemeliharaan terhadap Hadits/Sunnah itu dimulai dari Thabaqah pertama, yaitu para Shahabat Radliyallahu 'Anhum. Thabaqah kedua dan ketiga yaitu : Tabi'in dan Atba'ut Tabi'in, kemudian datang Thabaqah keempat dan seterusnya. Maka bangkitlah Imam-imam Sunnah yang telah menyediakan hidup dan umur mereka untuk membela Sunnah Nabi SAW, Mereka itulah Salafus Shalih dan Tha'ifah Manshurah yang selalu akan ada dalam umat ini.
Jazaahumullahu 'Anil Islam Khairan.

Minggu, 14 November 2010

* ISBAL #

AL ISBAL
I. TAQDIM
Merupakan salah satu kewajiban dari setiap muslim adalah mencintai Rasulullah  dan menaatinya dengan cara melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya serta membenarkan setiap berita yang beliau bawakan. Dengan begitulah akan terwujud dua kalimat syahadat seorang muslim dan dia berhak mendapatkan pahala serta selamat dari siksaan.
Dan alamat serta bukti terwujudnya dua kalimat syahadat tersebut, yaitu komitmen seorang hamba dengan ajaran-ajaran Islam yang mencakup : perintah, larangan, praktek, perkataan, i’tikad dan amaliah serta selalu menyambut itu semua dengan ucapan “sami’naa wa atha’naa”. Diantara contoh dari ajaran Islam tersebut adalah memelihara jenggot dan memendekkan pakaian di atas mata kaki yang dilandasi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengharapkan ganjaran pahala dari Allah serta rasa takut akan siksa-Nya.
Jika kita perhatikan dari kebanyakan kaum muslimin sekarang, umumnya mereka memanjangkan pakaiannya dan membiarkannya di bawah mata kaki tanpa merasa berdosa sedikitpun, baik itu karena jahil akan hukumnya maupun karena mengikuti hawa nafsu. Padahal perbuatan tersebut merupakan bahaya yang besar bagi pelakunya karena merupakan pelanggaran dari perintah Allah dan Rasul-Nya yang mengantarkan dirinya kepada siksa yang amat pedih sebagai resiko atas perbuatannya tersebut.
Bagi orang yang selalu membaca dan menelaah hadits-hadits Rasulullah  serta kitab-kitab karya ulama salaf tentunya sudah tidak asing lagi bagi mereka bahwa tidak seorang pun di antara ulama salaf yang menganggap Al Isbal (membiarkan pakaian di bawah mata kaki) sebagai perbuatan yang remeh. Bahkan Al Imam Al Hafizh Adz- Dzahaby rahimahulloh menggolongkan Al isbal ini sebagai salah satu dari dosa-dosa besar sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya “Al Kaba-ir”. Lebih dari itu Rasulullah  dan para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in tidak pernah berdiam diri jika melihat kemungkaran ini tanpa harus mencek apakah seseorang melakukan karena sombong atau tidak karena sombong, karena Ad-Dien ini mengajarkan kepada kita untuk menghukum manusia akan zhahirnya bukan batinnya. Lagi pula larangan Isbal ini dan ancaman terhadap perbuatan tersebut bersifat umum baik karena sombong maupun tidak karena sombong (sebagaimana yang akan kami jelaskan berdasarkan nash-nash yang ada).
Didorong oleh kesadaran akan wajibnya ta’aawun sesama muslim dalam perbuatan kebaikan dan ketaqwaan, dan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan rasa cinta akan kebaikan kepada saudara se-Islam serta rasa takut akan balasan yang jelek bagi sebagian besar kaum muslimin yang melakukan ma’shiyat ISBAL, maka kami mencoba menyusun tulisan ini yang berkaitan dengan masalah ISBAL yang isinya mengajak untuk memendekkan pakaian di atas mata kaki bagi laki-laki sekaligus mempertakuti dari memanjangkannya di bawah mata kaki.
Dan apa yang penulis susun ini berdasarkan Kalamullah dan hadits-hadits Rasulullah  yang shahih serta perkataan-perkataan para ulama salaf yang menjadi standar bagi kita dalam memahami Ad-Dien ini.
II. TA’RIF (DEFINISI) AL ISBAL

1. Makna Lughah (Bahasa)
Ditinjau dari segi bahasa , Isbal berasal dari kata-kata : أَسْبَلَ – يُسْبِلُ – إِسْـبَالٌ
Yang berarti : أَرْخَى – يُرْخِيْ - إِرْخَاءُ yaitu menurunkan atau melepaskan ke bawah. Orang yang melakukan Isbal disebut MUSBIL, dan seorang dikatakan “Musbil” jika memanjangkan pakaiannya dan membiarkannya hingga ke tanah.(1)
2. Makna Istilah (Syari’at)
Adapun pengertian Isbal menurut istilah adalah menurunkan pakaian dan membiarkannya hingga melewati batas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam baik karena sombong maupun tidak karena sombong (2).
3. Apakah Isbal berlaku untuk semua jenis pakaian ?
Jika kita memperhatikan larangan-larangan yang melarang Isbal akan kita dapati kebanyakan dari hadits-hadits tersebut menyebutkan kata-kata : اَلإِزَارُ (sarung). Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk sarung, adapun sebab dari berulangnya kata-kata sarung dalam hadits-hadits karena pada zaman tersebut umumnya kaum muslimin menggunakan sarung. Adapun saat sekarang ini dimana sarung sangat jarang dipakai lagi dan umumnya kaum muslimin menggunakan gamis dan celana panjang, maka Isbal tetap berlaku untuk semua jenis pakaian yang ada baik itu gamis, jaket, jubah, sorban, celana panjang, dan sebagainya.
Sebagaimana keterangan dari dua hadits berikut :
1). عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّـمَ قَالَ : (( اَلإِسْـبَالُ فيِ اْلإِزَارِ وَ القَمِيْصِ وَ الْعِمَامَةِ ، مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَـيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ))
1. Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya dari Nabi , bersabda : “Al Isbal itu berlaku untuk sarung, gamis, sorban, Barang siapa menyeretkannya karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya di hari kiamat”.(3)

2). عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : (( مَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فيِ اْلإِزَارِ فَهُوَ فيِ الْقَمِيْصِ ))
2. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma berkata : “Apa yang disabdakan oleh Rasulullah tentang sarung maka itu juga berlaku untuk gamis”. (4)
Berkata Al Imam Ibnu Hazm rahimahulloh dalam kitabnya Al Muhalla tentang Isbal bahwa larangan tersebut berlaku umum untuk celana panjang, sarung, gamis dan semua yang dikenakan.(5)
¬¬¬¬_________________________
1. Lisanul Arab 6 : 163, Mukhtar Ash-Shihah hal. 250, Kamus Al Munawwir hal.647
2. Lihat : Al Isbal, Dirasah Ahaditsuhu wa Bayan Hukmihi hal.19
3. Diriwayatkan oleh An Nasai 8 : 208 dan Ibnu Majah (3576), Ibnu Abi Syaibah (4892), Abu Daud (4894) dan lafazh ini baginya serta dishahihkan hadits ini oleh Al Albany dalam Shahih Al Jami’ush Shagir (2767).
4. Diriwayatkan oleh Abu Daud (4090), Ahmad (2 : 110), Al Baihaqy (2 : 244), serta disahkan hadits ini oleh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Ahmad (8 : 150)
5. Al Muhalla 4 : 110 di kitab shalat.
Berkata Asy Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahulloh bahwa Isbal itu hukumnya haram dan merupakan perbuatan yang munkar, baik itu pada gamis maupun sarung atau apa saja yang melewati mata kaki. (1)
III. DALIL-DALIL PELARANGAN ISBAL
1). عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ عَلَيَّ إِزَارٌ يَتَقَعْقَعُ ( يَعْنِيْ جَدِيْدًا ) فَقَالَ : (( مَنْ هَذَا )) قُلْتُ : عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، قَالَ : (( إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللهِ فَارْفَعْ إِزَارَكَ )) قَالَ : فَرَفَعْـتُهُ ، قَالَ : (( زِدْ )) قَالَ : فَرَفَعْـتُهُ حَتَّى بَلَغَ نِصْفَ السَّاقِ .
1. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma dia berkata : Saya mendatangi Rasulullah  , saat itu saya memakai sarung yang baru, maka beliau bertanya : “Siapa ini?” Saya menjawab: “’Abdullah bin ‘Umar”, beliau bersabda : “Jika kamu ‘Abdullah maka angkatlah sarungmu”. Berkata Ibnu ‘Umar : “Maka saya mengangkatnya, beliau bersabda lagi: “Tambah”, berkata Ibnu ‘Umar: “Maka saya mengangkatnya hingga ke tengah betis”.(2)
2). عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : مَرَرْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ فيِ إِزَارِيْ اِ سْتِرْخَاءُ فَقَالَ : (( يَا عَبْدَ اللهِ اِرْفَعْ إِزَارَكَ )) فَرَفَعْـتُهُ ثُمَّ قَالَ : (( زِدْ )) فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ : إِلىَ أَيْنَ ؟ فَقَالَ : أَنْصَافُ السَّاقَيْنِ .
2. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma dia berkata : Pernah aku lewat di depan Nabi  sedang kainku agak rendah, maka beliau bersabda : “ Hai ‘Abdullah angkatlah kainmu”, lalu kuangkat. Kemudian beliau bersabda : “Naikkan lagi”, lalu kunaikkan, maka akupun selalu menjaga kainku sesuai petunjuk Nabi .. Lalu ada yang bertanya : “Sampai apa batasnya ?”, ‘Abdullah menjawab : “Sampai tengah-tengah betis”.(3)
3). عَنْ أَبِيْ جُرَيْ جَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ : رَ أَيْتُ رَجُلاً يَصْدُرُ النَّاسُ عَنْ رَ أْيِهِ لاَ يَقُوْلُ شَيْئًا إِلاَّ صَدَرُوْا عَنْهُ ، قُلْتُ : مَنْ هَذَا ؟ قَالُوْا هَذَا رَسُوْلُ اللهِ …… إِلىَ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ : (( وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلىَ نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكُعْبَيْنِ وَ إِيَّاكَ وَ إِسْبَالَ اْلإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمِخِيْلَةِ وَ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيْلَةَ ….))
3. Dari Abi Juray Jabir bin Sulaiman , ia berkata : Aku melihat ada seorang yang pendapatnya selalu diikuti orang, ia tidak berkata-kata melainkan diikuti oleh orang banyak. Aku bertanya: “Siapa dia itu?” Mereka menjawab : Rasulullah …….hingga


_________________________
1. Kitab Ad Da’wah dari Fatwa Asy Syaikh bin Baz Juz 1 hal. 221.
2. Diriwayatkan oleh Ahmad 2 : 141, 127 dan Ath Thobrani di Al Mu’jam Al Kabir (2 : 356) dan haditsnya shohih.
3. Diriwayatkan oleh Muslim (2086) dan Abu Uwanah (5 : 842) dan Al Baihaqy di Sunan (2 : 243).

sabda Rasulullah  : “Angkatlah kainmu sampai setengah betis dan jika kamu enggan hingga ke atas mata kaki dan hati-hatilah terhadap Isbal karena Isbal itu dari kesombongan dan Allah tidak menyenangi kesombongan,..….” (1)
4). عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : سَأَلْتُ أَبَا سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ اْلإِزَارِ قَالَ : عَلَى الْخَبِيْرِ سَقَطَتْ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلىَ نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ أَوْ لاَ جُنَاحَ فِيْمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْكَعْبَيْنِ ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فيِ النَّارِ )) يَقُوْلُهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، (( مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَـيْهِ ))
4. Dari Al ‘Alaa’ bin ‘Abdurrahman dari bapaknya berkata: Saya bertanya kepada Abu Sa’id Al Khudry tentang sarung maka ia berkata: Berita yang sampai padaku bahwa Rasulullah  bersabda: “Sarung muslim itu hingga tengah betis dan tidak berdosa antara tengah betis dan mata kaki, dan apa yang di bawah mata kaki itu maka di neraka” (Beliau mengulanginya tiga kali) “Barang siapa yang meleretkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya”.(2)
5). عَنْ خُذَيْفَةَ قَالَ : أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِعَضْلَةِ سَاقِيْ أَوْ سَاقِهِ ( هَكَذَا قَالَ أَبُوْ إِسْحَاقٍ ) فَقَالَ : (( هَذَا مَوْضِعُ اْلإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَهَذَا ( وَطَأْطَأَ قَبْضَةً ) فَإِنْ أَبَيْتَ فَهَذَا ( وَطَأْطَأَ قَبْضَةً ) فَإِنْ أَبَيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِزَارِ فيِ الْكَعْبَيْنِ ))
5. Dari Hudzaifah  berkata : Rasulullah  memegang otot betisku atau otot betisnya (demikian perkataan Abu Ishaq) maka beliau bersabda: “Ini adalah letak sarung dan jika kamu enggan maka ini (dan beliau menurunkan pegangannya) dan jika kamu masih enggan maka ini (dan beliau menurunkan pegangannya) dan jika kamu masih enggan maka tidak ada hak bagi sarung di kedua mata kaki.” (3)
6). عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَـيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( اْلإِزَارُ إِلىَ نِصْفِ السَّاقِ )) فَلَمَّا رَأى شِدَّةَ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ قَالَ : (( إِلَى الْكَعْبَيْنِ لاَ خَيْرَ فِيْمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ ))


____________________________
1. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4084) dan Ahmad (5:63, 64, 377) dan Ath Thoyalisi (1208) dan Abdur Rozzaq (11:82) dan Ibnu Abi Syaibah (8:204) dan Ibnu Hibban di Shohihnya dan Ath Thobrani di Al Kabir (7:72) dan Hakim (4:18). Dan dikeluarkan sebagiannya oleh Abu Dawud (5209), AtTirmidzy (2721, 2722) dan Ibnus Sunny di Amalul Yaum wal Lailah hal. 97. Haditsnya shohih.
2. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4093), Ibnu Majah (3573), Ahmad (3:5, 6, 31, 44, 52, 97), Malik di Al Muwattho’ hal. 914-915, Al Humaidy (737), Ibnu Abi Syaibah (8:203), Abu Uwanah (5 :483), Ibnu Hibban di Shohihnya (5422, 5423, 5426), Al Baihaqy di As Sunan (2:244), Al Baghawy di Syarhus Sunnah (12:12). Haditsnya shohih.
3. Diriwayatkan oleh AtTirmidzy (1783), An Nasa’i (8:206), Ibnu Majah (3572), Ahmad (5:382, 396, 398, 400), At Thoyalisy (425), Humaidy (445), Ibnu Abi Syaibah (8:202), Ibnu Hibban dalam Shohihnya (5421, 5424, 5425), Al Baghawy (12:10) dan berkata Al Hafizh dalam Al Fath (10:256) : “Dishohihkan oleh Hakim padahal dia hasan”, dan hadits ini dishohihkan oleh Al Albany dalam Mukhtashor Asy Syamail Al Muhammadiyah (99).
6. Dari Anas  dari Nabi  beliau bersabda : “Sarung itu sampai tengah betis”. Maka ketika Rasulullah  melihat hal itu berat bagi kaum muslimin maka beliau bersabda : “Hingga di mata kaki dan tidak ada kebaikan pada apa yang di bawah kedua mata kaki.” (1)

Keenam hadits tadi menjelaskan dengan tegas bahwa wajib bagi seorang muslim mengenakan pakaian yang panjangnya tidak melewati kedua mata kaki dan disunnahkan baginya untuk menjadikan pakaian tersebut di tengah-tengah kedua betis. Oleh karena itu apabila seseorang berpaling dari hadits-hadits yang shohih ini dan membelakanginya maka baginya siksaan yang keras sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut :
7). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ ))
7. Dari Abu Hurairah  dari Nabi  bersabda : “Apa yang di bawah kedua mata kaki dari kain sarung maka itu tempatnya di Neraka”. (2)
8). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى عَضْلَةِ سَاقَيْهِ ثُمَّ إِلىَ نِصْفِ سَاقَيْهِ ثُمَّ إِلىَ كَعْبَيْهِ فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِيْ النَّارِ ))
8. Dari Abu Hurairah . berkata : Bersabda Rasulullah  : “Sarungnya orang mu’min itu hingga otot kedua betisnya, kemudian hingga ke tengah kedua betisnya kemudian hingga kedua mata kakinya, maka apa yang di bawah dari itu tempatnya di Neraka”.(3)
Berkata Al Khaththaby rahimahulloh sabda Rasulullah  “maka itu tempatnya di neraka” ( فَهُوَ فيِ النَّارِ ) dita’wilkan atas dua wajah :
1. Bahwa apa yang di bawah mata kaki Musbil tersebut di Neraka sebagai hukuman baginya atas perbuatannya.
2. Sesungguhnya perbuatan itu di Neraka yaitu ia termasuk dari perbuatan-perbuatan ahli neraka.

Maka hadits-hadits yang tersebut di atas dengan jelas menyebutkan bahwa penyebab dari ancaman akan siksa yang pedih, seperti neraka dan yang lainnya adalah disebabkan karena penambahan dari panjang kain sarung. Maka apakah setelah ini seseorang dapat berkata bahwa ancaman-ancaman ini ditujukan bagi yang melakukannya dengan sombang ?. Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal hadits-hadits dengan jelas menunjukkan batasan yang wajib bagi seseorang dimana ia harus berada di situ, yang mana
¬¬¬¬__________________________
1. Diriwayatkan oleh Ahmad (3:140, 249, 256) dan haditsnya shohih, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (8:285) secara mauquf.
2. Diriwayatkan oleh Al Bukhary (10:256), Ahmad (2:410, 461, 498), Abdurrozzaq (11:83), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (7:192), Al Baihaqy (2:244), Al Baghawy (12:12), Ibnu Abi Syaibah (8:204), Ath Thobrany dalam Al Kabir (7:282) dari hadits Samurah bin Jundub dan dia riwayat Ahmad (5:15) dan Ath Thobrany dengan lafazh ( تَحْتَ الكَعْبَيْنِ ) , Ibnu Abi Syaibah (8:203) dari hadits Aisyah.
3. Hadits shohih diriwayatkan oleh Ahmad (2:255, 287, 504).
apabila melewati batas tersebut dan memanjangkan pakaian di bawah mata kaki maka dia termasuk golongan yang diancam dari hadits-hadits yang sudah dijelaskan tadi. Memang ada beberapa hadits yang secara zhahir menunjukkan bahwa ancaman hanya berlaku bagi yang melakukannya dengan sombong, namun itu tidak berarti bahwa semua hadits bisa kita bawa ke syarat sombong karena ada beberapa hadits yang sifatnya umum sebagaimana hadits-hadits yang sudah kami sebutkan dan beberapa hadits berikut :

9). عَنِ الشَّرِيْدِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَبِعَ رَجُلاً مِنْ ثَقِيْفٍ حَتَّى هَرْوَلَ فيِ أَثَرِهِ حَتَّى أَخَذَ ثَوْبَهُ فَقَالَ : (( اِرْفَعْ إِزَارَكَ )) قَالَ : فَكَشَفَ الرَّجُلُ عَنْ رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ أَحْنَفُ وَ تَصْـتَكُّ رُكْبَتَايَ ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( كُلُّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ حَسَنٌ )) قَالَ : وَ لَمْ يُرَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلاَّ وَ إِزَارُهُ إِلىَ أَنْصَافِ سَاقَيْهِ حَتَّى مَاتَ .
9. Dari Asy Syarid bahwasanya Nabi mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif hingga beliau berlari kecil mengikuti jejaknya, ketika beliau sampai pada laki-laki tersebut, beliau memegang pakaiannya, lalu bersabda: “Angkatlah sarungmu!”, laki-laki tersebut menyingkapkan pakaiannya hingga terlihat ke dua lututnya lalu berkata: “Wahai Rasulullah, kakiku bengkok dan lututku berbenturan waktu berjalan”, maka Rasulullah  bersabda: “Setiap ciptaan Allah itu baik.” Sejak saat itu laki-laki tersebut tidak dilihat kecuali sarungnya di tengah kedua betisnya hingga ia meninggal dunia.(1)

10). عَنْ عَمْرِو بْنِ فُلاَنٍ الأنْصَارِيِّ قَالَ : بَيْنَمَا هُوَ يَمْشِيْ قَدْ أَسْـبَلَ إِزَارَهُ إِذْ لَحِقَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ قَدْ أَخَذَ بِنَاصِيَةِ نَفْسِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ : (( اللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَ ابْنُ عَبْدِكَ وَ ابْنُ أَمَتِكَ )) قَالَ عَمْرُو : فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ رَجُلُ حَمْشِ السَّاقَيْنِ ، فَقَالَ : (( يَا عَمْرُو إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ قَدْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ يَا عَمْرُو)) وَ ضَرَبَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ بِأَرْبَعِ أَصَابِعَ مِنْ كَفِّهِ الْيُمْنَى تَحْتَ رُكْبَةِ عَمْرٍو فَقَالَ : (( يَا عَمْرُو هَذَا مَوْضِعُ اْلإِزَارِ )) ثُمَّ رَفَعَهَا ثُمَّ وَضَعَهَا تَحْتَ الثَّـانِيَةِ فَقَـالَ : (( يَا عَمْرُو هَذَا مَوْضِعُ اْلإِزَارِ ))
10. Dari ‘Amru anak seorang dari kaum Anshar berkata : Ketika ia berjalan dan sarungnya di bawah mata kaki, tiba-tiba Rasulullah  mendapatinya lalu memegang ubun-ubunnya dan beliau bersabda: “Ya Allah hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu yang laki-laki dan anak dari hamba-Mu yang perempuan”. Berkata ‘Amru : Saya berkata : Ya Rasulullah saya adalah seorang yang mempunyai betis yang kecil, maka sabda beliau : “Wahai ‘Amru, sesungguhnya Allah  telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya”. Dan Rasulullah meletakkan empat jarinya yang kanan di bawah lutut ‘Amru, lalu beliau bersabda : “Wahai ‘Amru inilah letak sarung"


__________________________________
1. Hadits shohih diriwayatkan oleh Ahmad (4:390), Humaidy (810), Ath Thohawy dalam Musykilul Atsar (2:287) dan Ath Thobrany dalam Al Kabir (7 : 377, 378).

Kemudian mengangkatnya, kemudian meletakkannya lagi di bawah yang kedua lalu bersabda lagi : “Wahai ‘Amru inilah letak sarung”. (1)
11). عَنِ اْلأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ : سَمِعْتُ عَمَّتِيْ تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِيْ بِالْمَدِيْنَةِ إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِيْ يَقُوْلُ : (( اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَتْقَى )) فَإِذَا هُوَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ ، قَالَ : (( أَمَالَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ )) فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارُهُ إِلىَ نِصْفِ سَاقَيْهِ ))
11. Dari Al Asy’ats bin Sulaim berkata : Saya mendengar bibi saya (Ruham) bercerita tentang pamannya (‘Ubaid bin Kholid) bahwa dia berkata: Ketika saya sedang jalan di Madinah, tiba-tiba ada orang di belakangku yang menegurku :“Angkatlah sarungmu, karena itu lebih taqwa!”, ternyata orang tersebut adalah Rasulullah , maka saya berkata: “Kakiku ada belangnya”, bersabda Rasulullah  : “Bukankah pada diriku ada contoh bagimu ?”, maka saya melihatnya, ternyata sarung beliau sampai ke tengah betis.(2)
Ketiga hadits ini tidak mungkin di bawah kepada makna sombong, karena setiap mereka melakukan Isbal hanya untuk menutupi cacat tubuhnya bukan karena sombong dan mereka telah menyampaikan uzur itu kepada Rasulullah , namun Rasulullah  tetap tidak mengizinkan mereka untuk melakukan Isbal, maka bagaimana keadaannya bagi orang yang tidak mempunyai uzur lalu melakukan Isbal ? Hadanallohu wa iyyakum !
Kesemua hadits yang telah kami sebutkan menunjukkan kepada kita letak kain sarung dari seorang muslim yaitu afdhalnya di tengah betis dan minimal di atas mata kaki. Berikut ini sebagai pelengkap dari dalil-dalil tersebut akan kami sebutkan hadits-hadits yang mencela Al Isbal tersebut :
12). عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ )) قَالَ : فَقَرَأَهَا ثَلاَثَ مِرَارٍ ، قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ : خَابُوْا وَ خَسِرُوْا مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : (( الْمُسْبِلُ وَ الْمَنَّانُ وَ الْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ ))
12. Dari Abu Dzar dari Nabi  bersabda : “Ada tiga kelompok manusia yang Allah tidak mengajaknya berbicara di hari kiamat dan tidak melihat kepada mereka dan bagi mereka siksa yang pedih” (Rasulullah menyebut ini tiga kali). Berkata Abu Dzar: “Sungguh celaka dan merugi mereka itu”. Siapa mereka wahai Rasulullah? Bersabda Rasulullah: “Al Musbil, orang yang menyebut-nyebut pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”.(3)
___________________________________
1. Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ahmad (4:200), Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (7:155), diriwayatkan juga oleh Ath Thobrany dalam Al Kabir (8:277) dari hadits Abu Umamah. Berkata Al Haitsamy dalam Al Majma’ (5:124) : Diriwayatkan oleh Ath Thobrany dengan beberapa sanad dan salah satunya mempunyai rijal yang tsiqot.
2. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Baihaqy, At Tirmidzy dalam Asy Syamail Al Muhammadiyah (no.120), Ath Thoyalisy (1190), dan hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albany dalam Mukhtasar Asy Syamail Al Muhammadiyah (hal. 69).
3. Diriwayatkan oleh Muslim (106), Abu Dawud (4087), At Tirmidzy (3:516), An Nasa’i (5:81, 7:245, 8:208), Ibnu Majah (2208), Ahmad (5:148, 158, 162, 168, 178), Ath Thoyalisy (467), Ibnu Abi Syaibah (8:201), Ad Darimy (2608).
13). عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَنْظُـرُ إِلىَ مُسْبِلِ اْلإِزَارِ ))
13. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallohu ‘anhuma dari Nabi  bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak melihat kepada orang yang menurunkan sarungnya di bawah mata kaki”. (1)
14). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلىَ الْمُسْبِلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ))
14. Dari Abu Hurairah  berkata : Bersabda Rasulullah  : ”Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada Al Musbil di hari kiamat”.(2)
15). عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ قَالَ : أَرْسَلَنِيْ أَبِيْ إِلىَ ابْنِ عُمَرَ فَقُلْتُ : أَ أَدْخُلُ ؟ فَعَرَفَ صَوْتِيْ فَقَالَ : أَيْ بُنَيَّ إِذَا أَتَيْتَ إِلىَ قَوْمٍ فَقُلْ : السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ فَإِنْ رَدُّوْا عَلَيْكَ فَقُلْ أَ أَدْخُلُ ؟ قَالَ : ثُمَّ رَأَى ابْنَهُ وَ قَدْ اِنْجَرَّ إِزَارُهُ فَقَالَ : اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَقَدْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : (( مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَـيْهِ ))
15. Dari Zaid bin Aslam berkata: “Ayah saya mengutus saya ke Ibnu ‘Umar maka saya berkata: “Bolehkah saya masuk?” Ibnu ‘Umar mengenali suaraku lalu berkata: “Wahai anakku jika kamu mendatangi suatu kaum maka katakanlah: “Assalaamu’alaikum”, dan jika mereka menjawabmu maka katakanlah: “Bolehkah aku masuk?”, Kemudian Ibnu ‘Umar melihat anaknya yang kain sarungnya turun/meleret, maka dia berkata: “Angkatlah sarungmu karena saya telah mendengar sabda Rasulullah , : “Barangsiapa yang meleretkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak melihat kepadanya”.(3)
16). عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ وَ رَأَى رَجُلاً يَجُرُّ إِزَارَهُ فَجَعَلَ يَضْرِبُ اْلأَرْضَ بِرِجْلِهِ وَهُوَ أَمِيْرٌ عَلَى الْبَحْرَيْنِ وَهُوَ يَقُوْلُ : جَاءَ اْلأَمِيْرُ جَاءَ اْلأَمِيْرُ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلىَ مَنْ يَجُرُّ إِزَارَهُ بَطَرًا ))
16. Dari Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu Hurairah dan dia melihat seorang laki-laki yang meleretkan pakaiannya maka mulai beliau memukul bumi dengan kakinya dan dia adalah Amir (pemimpin) Bahrain sambil berkata: “Telah datang Amir, telah datang Amir”, Bersabda Rasulullah : “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada orang yang meleretkan kain sarungnya dengan sombong”. (4)

___________________________________
1. Diriwayatkan oleh An Nasa’i (8:208), Ahmad (1: 322), Ibnu Abi Syaibah (8:200), Ath Thobrany dalam Al Kabir (12:41) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (7:192) dan dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir (1/ 380 / 1863)
2. Diriwayatkan oleh Ahmad (2:318), Abdurrozzaq (11:81).
3. Diriwayatkan oleh Ahmad (2:33), Al Humaidy (636) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (7:192).
4. Diriwayatkan oleh Muslim (2087), Ahmad (2:409, 430) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (7:192).
17). عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُوْن فيِ ذِكْرِ قِصَّةِ مَقْتَلِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ فيِ الْحَدِيْثِ : فَلَمَّا أَدْبَرَ إِذَا إِزَارُهُ يَمَسُّ اْلأَرْضَ قَالَ : رُدَّ عَلَيَّ الْغُلاَمَ ، قَالَ : يَا ابْنَ أَخِيْ اِرْفَعْ ثَوْبَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَ أَتْقَى لِرَبِّكَ .
17. Dari ‘Umru bin Maimun menceritakan berita pembunuhan ‘Umar dan di dalamnya : Ketika seorang hendak pulang dimana kainnya menyentuh tanah, maka berkata ‘Umar: “Panggil kembali pemuda itu”, lalu berkata ‘Umar bin Khattab : “Wahai anak saudaraku angkatlah pakaianmu, karena hal itu membuat pakaianmu lebih tahan dan perbuatan itu lebih taqwa kepada Tuhanmu!”. (1)
18). عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهمَاُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَـلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَـيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )) فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِيْ يَسْتَرْخِيْ إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ ))
18. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma berkata: Bersabda Rasulullah , “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya di hari kiamat”. Berkata Abu Bakar : “Wahai Rasulullah sesungguhnya salah satu tepi pakaian saya selalu turun kecuali saya menjaganya”, maka bersabda Rasulullah  : “Sesungguhnya kamu tidak melakukan itu karena sombong”. (2)
19). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ خَسِفَ بِهِ فَهُوَ يُجَلْجِلُ فيِ اْلأَرْضِ إِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ))
19. Dari Abu Hurairah  berkata: Bersabda Rasulullah : “Ketika seorang laki-laki berjalan dengan berlagak dan dia memakai pakaian yang indah dengan rambut terurai sampai ke bahu dan sarungnya melewati mata kaki, tiba-tiba Allah menenggelamkannya maka ia terbenam (atau bersabda: dia jatuh) di dalam tanah hingga hari kiamat”. (3)
20). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْـتَرُ فيِ بُرْدَتِهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ))
20. Dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah bersabda : “Ketika seorang laki-laki berjalan dengan berlagak dan dia memakai pakaian burdah dan dia kagum terhadap dirinya sendiri maka Allah menenggelamkannya dalam bumi maka dia menjerit di dalamnya hingga hari kiamat”. (4)
________________________________
1. Diriwayatkan oleh Al Bukhary (7:60), Ibnu Abi Syaibah (8:201, 202), An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, Ahmad (5:364), Ath Thoyalisy (1190).
2. Diriwayatkan oleh Al Bukhary (7: 19, 10 : 254, 478), Abu Dawud (4080), An Nasa’i (8 : 208), Ahmad (2:147), Al Humaidy (649), Ath Thobrany dalam Al Kabir (12 : 299, 301), Al Baihaqy (2 : 243), Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah (12 : 9).
3. Diriwayatkan oleh Al Bukhary (10: 258), Muslim (49, 2088), Ahmad (2 : 267, 315, 4456, 467). Diriwayatkan oleh Muslim (2088), Al Bukhary dalam At Tarikh Al Kabir (1:413, 2:212), Ahmad (2:390, 531), Ath Thoyalisy (2469), Abdurrozzaq (11: 82) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (8:389.
Inilah beberapa hadits yang kami kumpulkan untuk menjelaskan bahaya isbal dan ancaman yang disediakan bagi orang yang melakukannya. Kalau kita memperhatikan seluruh hadits yang telah disebutkan akan kita dapati dua macam pelaku isbal itu, yang pertama melakukan Isbal tanpa rasa sombong dan yang kedua melakukan isbal disertai rasa sombong. Dan keduanya mendapat ancaman siksa dari Allah Azza Wa Jalla dengan tingkatan yang berbeda. Bagi kelompok yang pertama Rasulullah  bersabda: “Setiap apa yang melewati mata kaki dari pakaian maka itu neraka”. Untuk kelompok kedua selain mendapatkan ancaman siksa di neraka juga dikatakan bahwa Allah tidak melihat kepada mereka di hari kiamat (lihat hadits no. 4, 12, 13, 14, 15, 16) ditambah lagi adzab yang akan dirasakannya mulai meninggalnya hingga di hari kiamat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits no. 19 dan 20.
Adapun pengertian dari sabda Rasulullah  bahwa “Allah tidak melihat kepada mereka”, ditafsirkan oleh para ulama sebagai berikut :
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahulloh terhadap kalimat: “Allah tidak mengajak mereka berbicara dan tidak melihat mereka”, yaitu dengan rahmat Allah kepadanya, artinya Allah tidak mengajak mereka berbicara dengan pembicaraan yang lembut dan Allah tidak memandang mereka dengan pandangan yang rahmat.(1)
Berkata Imam Al Baghawy rahimahulloh : “Makna tidak melihat mereka di hari kiamat yaitu bahwa Allah tidak merahmati mereka dan tidak berbuat baik kepada mereka dan tidak memberikan kepada mereka kebaikan”. (2)
Al Imam An Nawawy rahimahulloh dalam syarah beliau terhadap hadits-hadits riwayat Muslim berkata : “Makna dari Allah tidak melihat kepadanya, yaitu tidak merahmatinya dan tidak melihat kepadanya dengan pandangan yang rahmat”.(3)
IV. PENJELASAN DAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG AL ISBAL DAN BANTAHAN BAGI YANG TIDAK MENGHARAMKANNYA JIKA TIDAK DISERTAI RASA SOMBONG
1. Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahulloh : “Jika seseorang melakukan Isbal (meleretkan kain di bawah mata kaki) tidak karena sombong maka itu perbuatan yang tercela”.(4)
2. Berkata Ibnul ’Aroby rahimahulloh : “Tidak boleh seorang laki-laki memakai pakaian yang melewati mata kaki lalu dia berkata : “Saya tidak memanjangkannya karena sombong”, karena larangan tersebut telah mengenainya secara lafazh dan tidak diperbolehkan bagi seseorang yang terkena larangan secara lafadzh untuk melanggarnya, lalu alasan orang yang mengatakan tidak mengapa pakaian saya panjang karena ‘illah (sebab) pelarangan – yaitu sombong – tidak ada pada saya, adalah alasan yang tidak bisa diterima, bahkan ujung pakaian yang dipanjangkannya itu bukti kesombongannya”.(5)

_______________________________
1. Tafsir Ibnu Katsir (1: 402)
2. Ma’aalimut Tanzil, tafsir surah Ali Imran ayat 77 (2 : 58)
3. Syarhu Shohih Muslim (1 : 297 - 298)
4. Subulus Salam (4 : 308).
5. Aunul Ma’bud (11 : 96)
3. Berkata Al Imam An Nawawy rahimahulloh : “Pakaian yang di bawah mata kaki itu haram jika dilakukan karena sombong dan kalau tidak karena sombong maka itu makruh dan kadang dia menuju kepada apa yang dikatakan : Jika pakaian itu cocok dengan ukuran pemakainya namun dia itu turun tanpa disengaja - seperti yang terjadi pada diri Abu Bakar  - maka dia tidak masuk kepada adzab yang diancamkan, namun jika pakaiannya melewati ukuran pemakainya maka itu terlarang dari berbagai segi yaitu perbuatan tersebut termasuk Israf (pemborosan), yang kedua Isbal itu adalah tasyabbuh (menyerupai) kepada wanita, dan yang ketiga adalah bahwa pakaian orang yang melakukan Isbal itu tidak aman dari melekatnya najis.(1)
4. Telah berkata Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh ketika membantah anggapan orang yang mengkhususkan pengharaman Isbal bagi yang melakukannya karena sombong: “Sesungguhnya seandainya larangan hanya untuk orang yang melakukannya karena sombong maka Ummu Salamah tidak perlu bertanya tentang hukum memanjangkan tepi pakaian bagi wanita, bahkan Ummu Salamah memahami bahwa larangan Isbal itu mutlak, baik karena itu sombong maupun tidak karena sombong, sehingga Ummu Salamah bertanya hukum Isbal bagi wanita karena para wanita memerlukan Isbal untuk menutupi aurat mereka”.(2) (Hadits tentang Ummu Salamah ini bisa dilihat pada pembahasan hukum Isbal bagi wanita.)
5. Al Amir Ash Shon’any rahimahulloh berkata : “Adapun pakaian yang di bawah tengah betis itu tidak berdosa hingga di mata kaki”, lalu beliau menyebutkan perkataan Imam An Nawawy dan Ibnul ‘Aroby rahimahumallah (Lihat no. 2 dan 3) kemudian menambahkan : “Walhasil bahwasanya Al Isbal itu menghendaki turunnya pakaian dan perbuatan itu mengakibatkan kesombongan walaupun pemakainya tidak bertujuan demikian”. (3)
6. Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albany rahimahulloh dalam muqaddimah kitab Mukhtasar Asy Syamail Al Muhammadiyah berkata : “Saya berharap dengan ikhlas agar buku ini bisa menjadi petunjuk bagi seluruh kaum muslimin untuk mengenali budi pekerti Rasulullah yang lengkap dan mulia itu lalu mereka bisa mengikuti petunjuknya dan berakhlak seperti akhlak beliau  dan mengambil manfaat dari cahayanya di zaman mana hampir kebanyakan dari kaum muslimin melupakan firman Allah : (yang artinya) : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. Al Ahzab : 21)”. Dan di antara kaum muslimin ada yang mempunyai kekhususan baik dia juru da’wah maupun yang lainnya, yaitu orang-orang yang zuhud dari mengikuti kebanyakan dari petunjuk Rasulullah  dan adab beliau, seperti tawadhu’ beliau dalam berpakaian, petunjuk Rasulullah  tentang makan, minum, tidur, sholat dan ibadah lainnya. Bahkan di antara mereka (para dai tersebut) ada yang menjadikan para pengikut sunnah Rasulullah  menjauhi dan menjadi zuhud untuk mengikuti sebagian dari sunnah, seperti makan dan minum sambil duduk, dan memendekkan pakaian di
¬¬¬¬¬¬¬______________________________
1. Lihat : Subulus Salam (4 : 308)
2. Fathul Bary (10 : 318)
3. Subulus Salam (4 : 308).
atas mata kaki, bahkan mereka menganggap itu adalah perbuatan yang “tasyaddud” (ekstrim) dan akan menjadikan orang yang di luar Islam lari dari Islam. Maka kamu akan dapati diantara mereka - sebagai contoh - tidak menghiraukan pakaiannya yang menyentuh tanah dengan alasan dia tidak melakukan itu karena sombong, dengan dalil perkataan Rasulullah  kepada Abu Bakar  : “Kamu tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong”.(1) Padahal mereka lalai dari mengetahui perbedaan yang nyata antara Abu Bakar  dengan mereka. Karena Abu Bakar  tidak menyengaja perbuatannya itu, sebagaimana jelas dalam perkataannya : “Salah satu dari tepi sarungku selalu turun”, sedangkan mereka menyengaja menurunkan pakaian mereka karena kejahilan mereka atau tidak mau mengetahui sifat sarung Rasulullah  yang ada di tengah betis.(2) Dan hadits tentang Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma yang mana Rasulullah  memerintahkannya untuk menaikkan sarungnya hingga di tengah betis.(3) Kalau Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma yang termasuk diantara sahabat-sahabat yang utama dan yang paling taqwa di antara mereka, namun Rasulullah  tidak diam ketika sarungnya turun - bahkan beliau memerintahkannya untuk menaikkannya - apakah ini tidak menunjukkan bahwa adab ini bukan muqayyad (terikat) dengan maksud sombong, dan bahwasanya seandainya Rasulullah  melihat sebagian dari du’at (juru da’wah) yang memanjangkan jubahnya atau celana panjangnya maka tentu beliau lebih mengingkarinya, dan ketika itu mereka tidak mampu menjawab pengingkaran Rasulullah  tersebut dengan dalih mereka tidak melakukannya karena sombong - padahal mereka menurunkan pakaian itu dengan sengaja - karena Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma adalah orang yang zuhud yang tidak melakukannya karena sombong, namun Rasulullah  tetap mengingkari perbuatannya. Maka Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma dengan bersegera mengikuti perintah tersebut. Maka siapakah yang mau menjawab panggilan Rasulullah  pada masa sekarang ini ??? (4)
7. Asy Syaikh Al ‘Allamah Ibnu Baz rahimahulloh dalam salah satu fatwa beliau berkata : “Al Isbal itu haram dan merupakan perbuatan munkar, baik itu pada gamis atau sarung atau celana panjang atau apa saja yang melewati mata kaki, berdasarkan sabda Rasulullah  : “Apa yang di bawah mata kaki dari kain sarung maka itu di neraka”(5) Dan sabda Beliau  : “Tiga kelompok manusia yang Allah tidak mengajak mereka berbicara di hari kiamat …… orang yang memanjangkan kain sarungnya di bawah mata kaki …. dan seterusnya (6). Dan sabda Rasulullah  kepada beberapa sahabat : “Hati-hatilah kamu terhadap Isbal karena itu dari kesombongan (7). Ketiga hadits ini menunjukkan bahwa Al Isbal itu termasuk dosa-dosa besar, walaupun pelakunya mengaku bahwa dia tidak melakukannya karena sombong, berdasarkan keumuman dan kemutlakan hadits-hadits tersebut.
_______________________
1. Lihat hadits no. 18
2. Lihat hadits no. 11
3. Lihat hadits no. 1 dan 2
4. Mukhtashor Asy Syamail Al Muhammadiyah hal. 10 – 11.
5. Lihat hadits no. 7
6. Lihat hadits no. 12
7. Lihat hadits no. 3
Adapun orang yang melakukan Isbal karena sombong maka dosanya lebih besar . Berdasarkan sabda Nabi : “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya di hari kiamat” (1), karena dia telah menggabungkan antara Isbal dengan kesombongan. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hal tersebut. Adapun sabda Nabi  kepada Abu Bakar ketika beliau berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya sarungku selalu turun kecuali kalau aku menjaganya”, maka bersabda Nabi : “Kamu tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong” (2). Maka hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa Al Isbal boleh bagi yang tidak ingin sombong, hanya saja hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang turun sarungnya atau celana panjangnya tanpa maksud sombong lalu kemudian menjaganya dan memperbaikinya maka dia tidak berdosa. Adapun yang dilakukan oleh sebagian manusia sekarang ini dengan menurunkan celana panjangnya di bawah mata kaki maka ini tidak boleh, adapun sunnahnya adalah bahwa gamis itu dan yang semacamnya berada diantara tengah betis sampai mata kaki sebagai pengamalan dari seluruh hadits-hadits tadi. Dan Allah lah pemberi taufiq”.(3)
8 Berkata Fadhilatu Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahulloh : “Memanjangkan pakaian di bawah mata kaki bagi laki-laki diharamkan baik itu karena sombong maupun tidak karena sombong, akan tetapi jika dilakukan karena sombong maka siksaannya lebih keras. Berdasarkan hadits dari Abu Dzar  yang shohih dalam shohih Muslim (4). Hadits ini mutlak namun terikat dengan hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma (5), maka kemutlakan dalam hadits Abu Dzar  terikat dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma. Dan jika seseorang melakukan Isbal karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya dan tidak mensucikannya dan baginya adzab yang pedih, dan hukuman ini lebih keras dari pada hukuman yang disebutkan bagi orang yang menurunkan kainnya hingga ke bawah mata kaki tanpa disertai kesombongan. Maka ketika dua hukuman tersebut berbeda maka tidak boleh membawa kemutlakan kepada kekhususan, karena kaidah “membawa yang mutlak kepada yang mengikatnya” salah satu syaratnya adalah adanya dua nash yang sama dalam satu hukum, adapun jika hukumnya berbeda maka hukum yang satu tidak diikat oleh hukum yang lainnya. Oleh karena itu ayat tentang tayammum yaitu firman Allah dalam surah Al Maidah tidak kita ikat/mengkhususkannya kepada ayat tentang wudhu’ di surah yang sama dan ayat yang sama pula. Demikian pula membasuh tangan ketika tayammum hanya sampai pergelangan berbeda dengan wudhu’ dimana kita mencuci tangan hingga ke siku. Dan Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits dari Abu Sa’id Al Khudry  yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan selainnya (6). Dalam hadits ini Rasulullah  menyebutkan dua misal dalam hadits yang satu dan dua hukum yang berbeda disebabkan perbedaan kedua siksaannya. Karena ini adalah dua perbuatan yang berbeda maka berbeda pula dari segi hukum dan siksaannya. Dari sinilah nyata kesalahan orang
__________________________________
1. Lihat hadits no. 17
2. Lihat hadits no. 18.
3. Fatwa-fatwa Asy Syaikh bin Baz di Majalah Ad Da’wah hal. 221
4. Lihat hadits no. 12.
5. Lihat hadits no. 17.
6. Lihat Hadits no. 4.
yang mengkhususkan sabda Rasulullah  : “Apa yang di bawah mata kaki dari kain sarung tempatnya di neraka”, kepada sabda beliau : “Siapa yang meleretkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya” (1). Oleh karena itu untuk membantah orang yang melakukan Isbal dengan pengakuan tidak karena sombong
maka kita katakan kepadanya Isbal itu ada dua macam, yang pertama jenis yang hukumannya di siksa pelakunya di tempat pelanggarannya saja - yaitu apa yang di bawah mata kaki - jika tidak disertai kesombongan. Adapun jenis kedua adalah yang melakukan Isbal disertai dengan rasa sombong, maka Allah tidak melihat kepadanya dan tidak menyucikannya dan tidak mengajaknya berbicara di hari kiamat dan baginya siksa yang pedih.(2)
Itulah beberapa pendapat ulama baik Mutaqaddimin (ulama terdahulu) maupun Mutaakhkhirin (ulama kontemporer) tentang Al Isbal. Dari pendapat-pendapat tersebut kita melihat bahwa tidak seorang pun yang memandang Al Isbal itu sebagai perbuatan yang mubah. Dan sebagai pelengkap dari bab ini maka akan kami sebutkan beberapa bantahan terhadap pandangan yang mengatakan Al Isbal itu tidak haram jika tidak disertai rasa sombong. Umumnya mereka berhujjah dengan hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma yang di dalamnya ada perkataan dari Abu Bakar  yaitu perkataan beliau : “Wahai Rasulullah sesungguhnya salah satu dari kedua tepi pakaian saya selalu turun kecuali saya menjaganya”, maka sabda Rasulullah  : “Kamu tidak termasuk yang melakukannya dengan sombong ” (3). Mereka menganggap bahwa sabda Rasulullah  tersebut merupakan penjelasan bahwa larangan hanya ditujukan bagi yang melakukannya karena sombong.
Bantahan atas mereka dengan beberapa point sebagai berikut :
1. Sebagaimana yang telah berlaku atas kita sabda Nabi  kepada Hudzaifah  ketika beliau memegang otot betis Hudzaifah  dan bersabda : “Ini adalah letak sarung, dan jika kamu enggan maka di bawahnya, dan jika kamu masih enggan maka tidak ada hak bagi sarung di mata kaki” (4). Jika kita membaca hadits ini dengan seksama maka apakah yang bisa kita pahami dari hadits itu ? Apakah kita akan memahami bahwa Nabi  membolehkan kepadanya untuk memanjangkan pakaiannya sesuai keinginannya jika tidak disertai rasa sombong ? Ataukah kita memahaminya bahwa Nabi  menyuruhnya untuk menjadikan pakaiannya ke tempat yang telah diletakkannya/ditunjukkannya pertama kali kemudian meletakkannya pada tempat yang lain dan adalah Nabi  memberikan pilihan kepada Hudzaifah  untuk menjadikan pakaiannya antara dua tempat tersebut, kemudian mengancamnya untuk tidak menambah lebih dari itu, lalu bersabda : “Tidak ada hak bagi sarung di kedua mata kaki”. Hal ini menunjukkan dengan jelas sekali bahwa tidak ada kesombongan dalam diri Hudzaifah  ketika melakukannya. Demikian pula sabda Nabi  kepada Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma ketika beliau melihat pakaian Ibnu ‘Umar sering terjatuh, maka sabdanya : “Wahai ‘Abdullah angkatlah pakaianmu !”, Kemudian bersabda lagi : “Tambahlah !”. Dan banyak lagi hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka dimanakah persyaratan karena sombong ???
_____________________________________________________________________
1. Lihat Hadits no. 17
2. As-ilatun Muhimmah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal. 29.
3. Lihat hadits no. 12
4. Lihat hadits no. 5
2. Sesungguhnya Abu Bakar  tidak berkata : “Sesungguhnya saya menjadikan sarung saya panjang” atau “Sesungguhnya saya mengenakan baju yang panjang”, namun beliau berkata : “Salah satu dari dua tepi sarungku selalu turun kecuali jika saya menjaganya” (Lihat hadits no. 18). Dari perkataan tersebut dapat dipahami bahwa Abu Bakar  tidaklah meletakkannya dalam posisi seperti itu (di bawah mata kaki) akan tetapi sarungnyalah yang selalu turun. Berkata Abu Thoyyib : “Perkataan Abu Bakar “ تَعَاهَدَهُ ” berasal dari kata “ اَلتَّعَاهُدُ “ yang berarti menjaga dan memelihara dan ini mempunyai makna bahwa salah satu dari kedua tepi sarungnya turun jika dia bergerak untuk berjalan atau selainnya - tidak karena keinginannya - apabila dia menjaganya maka sarungnya itu tidak turun karena setiap akan turun dia menguatkannya lagi”.(1) Dan keadaan inilah yang disebutkan oleh Abu Bakar  tentang dirinya kepada Rasulullah  , maka jawaban dari Nabi : “Kamu tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong”. Dan ini adalah kebenaran yang jelas karena setiap insan mengakui bahwa siapa saja yang melakukan seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar  dalam menjaga pakaiannya - yaitu mengangkatnya setiap akan turun - tidaklah termasuk dalam perbuatan yang sombong sedikitpun. Namun bagaimana sampai keadaan Abu Bakar  tersebut diqiyaskan dengan orang yang sengaja memakai pakaian yang panjang, dan dia sendiri pergi ke tukang jahit untuk diukurkan yang panjangnya di bawah mata kaki ???
Demikian pula Abu Bakar  tidaklah ridho untuk membiarkan sarungnya turun bahkan setiap turun beliau mengangkatnya lagi, sebagaimana perkataan beliau : “Sesungguhnya saya selalu menjaganya”(2). Maka adalah beliau selalu menjaganya secara istimror (terus-menerus) sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan beliau yang datang dalam bentuk fi’il mudhori’ yang bermakna al hal (sekarang) dan al istiqbal (Yang akan datang).
3. Sesudah sabda Rasulullah  : ”Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya di hari kiamat”, berkata Abu Bakar  : “Sesungguhnya salah satu dari kedua tepi sarungku selalu turun”, maka Rasulullah  menjawabnya seperti yang telah kami jelaskan di atas. Dari sini dapat dipahami bahwa Rasulullah  tidak menyalahkan apa yang dipahami oleh Abu Bakar  dan beliau juga tidak berkata bahwa bukan kalian yang saya maksud wahai golongan orang-orang yang tawadhu’, bahkan Rasulullah  membenarkan apa yang telah dipahami oleh Abu Bakar  bahwa Al Isbal itu dari kesombongan.
4. Sabda Rasulullah  kepada Abu Bakar  : “Kamu tidak termasuk yang melakukannya karena sombong”, yakni kamu wahai Abu Bakar  dengan perbuatanmu itu - yaitu menjaga pakaianmu - menyebabkan kamu tidak termasuk mereka, adapun mereka yang mengerjakannya untuk sombong adalah karena mereka tidak mengangkatnya dan bagaimana mungkin mereka mau mengangkatnya padahal merekalah yang menjadikannya demikian !!!. Dan mereka malu kepada manusia jika mengangkat pakaian mereka lalu nampak mata kaki mereka !
Inilah beberapa point yang disebutkan oleh ulama kita untuk membantah alasan orang-orang yang mau mentolerir perbuatan Isbal mereka dengan dalil hadits dari Abu Bakar tadi. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.
_____________________________
1. Aunul Ma’bud 11 : 95 - 96
2. Aunul Ma’bud 11 : 141
V. HUKUM AL ISBAL BAGI WANITA
Apa yang telah kami sebutkan di atas tentang sifat panjang pakaian seorang muslim dan hukuman bagi yang menambahnya lebih dari mata kaki, itu dikhususkan bagi kaum laki-laki. Adapun larangan tentang Al Isbal, berlagak dalam berjalan dan takabbur maka itu berlaku umum untuk laki-laki dan wanita namun setiap dari keduanya mempunyai batas-batas tersendiri.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَـيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )) فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ : فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ ؟ قَالَ : (( يُرْخِيْنَ شِبْرًا )) قَالَتْ : إِذاً تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ ، قَالَ : (( فَيُرْخِيْنَ ذِرَاعًا وَلاَ يَزِدْنَ عَلَـيْهِ ))
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma berkata : Bersabda Rasulullah :”Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak melihat kepadanya di hari kiamat”. Berkata Ummu Salamah : “Maka apa yang harus dilakukan oleh kaum wanita terhadap ujung pakaian mereka ?”, maka sabda Nabi  : “Menurunkannya sejengkal”, maka Ummu Salamah berkata : “Kalau begitu akan nampak kaki-kaki mereka”, berkata Nabi  : “Menurunkannya sehasta dan jangan lebih dari itu”.(1)
Maka lihatlah, kepada manusia jenis apa Rasulullah  berbicara, adalah beliau berbicara kepada orang-orang yang setiap “Syakhs” (diri) memahami apa yang dia dengarkan dan jika sudah mendengar sesuatu maka dia akan bersegera untuk melaksanakannya. Oleh karena itu ketika Ummu Salamah melihat bahwa perempuan tidak sanggup melaksanakan perintah ini kecuali dengan menyingkap kedua betisnya sedangkan hal tersebut terlarang - karena Ummu Salamah meyakini secara pasti bahwa seorang perempuan tidak berhak memperlihatkan sesuatu dari kakinya - dia belum mampu mengambil jawaban dari dirinya sendiri, maka segeralah dia bertanya kepada Rasulullah : “Apa yang harus dilakukan kaum wanita terhadap ujung pakaian mereka ?”. Maka berkata Rasulullah  : “Menurunkannya sejengkal”. Namun apakah jawaban tersebut memuaskannya ? Bagaimana dia bisa puas dengan jawaban tersebut padahal dia tahu bahwa tambahan sejengkal tidak akan menutup telapak kakinya ketika berjalan, makanya dia berkata : “Kalau begitu akan nampak telapak kaki-kaki mereka”. Maka sabda Rasulullah : “Menurunkannya sehasta”. Namun apakah Rasulullah  mencukupi sabdanya dengan perkataannya yang terakhir ini, lalu membirkan urusan menjadi terbuka bagi siapa yang mau menambah panjangnya dari kaum wanita ? Ternyata tidak, bahkan Beliau  bersabda : “Jangan menambah lebih dari sehasta”. Maka Nabi  menjadikan bagi kaum wanita batasan yang tidak boleh mereka lebihkan darinya.
Berkata Al Hafidzh Ibnu Hajar rahimahulloh : “Dan ‘Iyadh sudah memindahkan Al Ijma’ bahwasanya larangan memanjangkan pakaian di bawah mata kaki itu untuk kaum laki-laki tidak bagi kaum wanita, dan untuk kaum laki-laku ada dua hal, yang pertama adalah yang disunnahkan yaitu memendekkan sarungnya sampai ke tengah betisnya. Dan yang kedua adalah yang dibolehkan yaitu memendekkannya hingga ke mata kakinya.
________________________________
1. Diriwayatkan oleh Abu Daud (4117), At Tirmidzy (4:223), An Nasa’i (8:209), Ahmad (2: 5, 55), Abdurrazzaq (11 : 82). Hadits shohih.
Demikian pula bagi wanita ada dua hal, yang pertama adalah yang disunnahkan yaitu menambahkan sejengkal dari mata kakinya. Dan yang kedua adalah menambahkan sehasta dari mata kakinya”. (1)


VI. HUKUM SHOLAT AL MUSBIL
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : (( مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فيِ صَـلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فيِ حِلٍّ وَ لاَ حَرَامٍ )) وَ جَاءَ مَوْقُوْفًا عَلَى ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ رَأَى أَعْـرَابِيًّا يُصَلِّي قَدْ أَسْبَلَ فَقَالَ : (( الْمُسْبِلُ فيِ الصَّلاَةِ لَيْسَ مِنَ اللهِ فيِ حِلٍّ وَ لاَ حَرَامٍ ))
Dari Ibnu Mas’ud  berkata : “Saya mendengar Rasulullah  bersabda : “Barang siapa yang menurunkan sarungnya di bawah mata kaki ketika shalat karena sombong maka tidak ada bagi Allah pada kehalalan dan keharaman”.(2) Dan riwayat yang mauquf pada Ibnu Mas’ud  bahwasanya dia melihat seorang Badui yang shalat sedang dia Musbil (menurunkan kainnya di bawah mata kaki), maka berkata Ibnu Mas’ud : “Al Musbil dalam shalat tidak ada bagi Allah pada kehalalan dan keharaman”.(3)
Berikut ini kami sebutkan perkataan ulama tentang makna : “Tidak ada bagi Allah pada kehalalan dan keharaman” (لَيْسَ مِنَ اللهِ فيِ حِلٍّ وَ لاَ حَرَامٍ ) :
1. Dikatakan bahwa makna hadits tersebut : Tidak bermanfaat pada kehalalan dan keharaman, maka dia itu jatuh dari pandangan, tidak dialihkan pandangan kepadanya, maka dia dan perbuatan-perbuatannya tidak diperhitungkan. (4)
2. Makna lain yaitu : Tidak menghilangkan dosa-dosa, artinya dia tidak mendapat pengampunan dan penghormatan di sisi Allah  dan dia tidak dijaga dari kejelekan amal-amalnya. (5)
3. Berkata Imam An Nawawy rahimahulloh dalam Al Majmu’: “Sabda Rasulullah : ( لَيْسَ مِنَ اللهِ فيِ حِلٍّ وَ لاَ حَرَامٍ ) dikatakan bermakna bahwa dia tidak beriman kepada apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah . Makna lain bahwa dia tidak ada di sisi Allah  yaitu tidak termasuk dari Dien Allah  sedikitpun. Makna lain lagi adalah bahwa dia telah berlepas diri dari Allah  dan telah meninggalkan Diennya. (6)

_________________________
1. Fathul Bary (10 : 318).
2. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1: 419), Ath Thobrany dalam Al Kabir (9: 315) dan Asy Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Shahih Al Jami’ Ash Shoghir (6012).
3. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ath Thoyalisy (1:352), Al Baihaqy dalam As Sunan Al Kubra (2:242), Ath Thobrany dalam Al Kabir (9:315) dan sanadnya shohih sebagaimana dikatakan oleh Al Albany.
4. Al Minhal Al ‘Adzbu (5:24)
5. Al Minhal Al ‘Adzbu Al Maurid (5:24).
6. Al Majmu’ (3 : 183)


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلىَ صَلاَةِ رَجُلٍ يَجُرُّ إِزَارَهُ بَطَراً ))
Dari Abdullah bin ‘Amru radhiyallohu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah  bersabda : “Allah tidak melihat kepada shalatnya seorang laki-laki yang meleretkan sarungnya karena sombong”. (1)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّيْ مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَـهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَـيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إذْهَبْ فَتَوَضَّـأْ )) فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ، قَالَ : (( إذْهَبْ فَتَوَضَّـأْ )) فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَالَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ ؟ فَقَالَ : (( إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ وَهُهَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَ إِنَّ اللهَ تَعَالىَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ ))
Dari Abu Hurairah  berkata : Ketika seorang laki-laki shalat sedang pakaiannya di bawah mata kaki, maka berkata Rasulullah  kepadanya : “Pergilah lalu berwudhu’”, maka dia pergi dan berwudhu’ kemudian datang lagi, maka sabda Nabi  : “Pergilah lalu berwudhu’”, maka berkata seorang laki-laki kepada Rasulullah : Ya Rasulullah, mengapa anda menyuruhnya berwudhu lalu anda mendiamkannya ?, Sabda Nabi : “Dia tadi shalat dalam keadaan Isbal dan Allah tidak menerima shalatnya orang yang Isbal”.(2)
Telah berbeda pendapat para ulama tentang derajat hadits Abu Hurairah  ini, berkata Imam An Nawawy rahimahulloh dalam Riyadhush Shalihin : “Shohih menurut syarat Muslim,” demikian pula Al Imam Adz Dzahaby rahimahulloh mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Al Kabaair dan menshohihkannya. Berkata Al Haitsamy dalam Majma’ Az Zawaid : “Diriwayatkan oleh Ahmad dan rijal hadits adalah rijal Shahih”. Adapun Asy Syaikh Al Albany rahimahulloh telah melemahkan hadits ini, demikian pula Asy Syaikh Syu’aib Al Arnouth rahimahulloh dalam tahqiq Riyadhush Shalihin. Berkata Al Albany rahimahulloh dalam Misykatul Mashobih (1:238) ketika mengomentari hadits ini : “Isnad hadits ini dha’if karena di dalamnya ada Abu Ja’far”, dan berkata tentangnya Yahya bin Abi Katsier : “Dia adalah seorang Anshar Al Madany Al Muadzdzin”. Dan dia adalah majhul sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qaththan, dan dalam At Taqrieb disebutkan bahwa dia adalah seorang yang lembek haditsnya. Maka Al Albany rahimahulloh berkata : “Siapa yang menshohihkan hadits ini dia telah ragu”. Dalam Aunul Ma’bud disebutkan bahwa Al Mundziry berkata : “Dalam Isnad hadits ini terdapat Abu Ja’far dan dia adalah seorang laki-laki dari penduduk Madinah dan dia tidak dikenal haditsnya”. Namun hadits ini telah dihasankan sanadnya oleh Abu Ath Thoyyib. Bahkan Asy Syaikh Ahmad Syakir rahimahulloh menganggap haditsnya shohih sebagaimana disebutkan dalam tahqiq beliau terhadap kitab Al Muhalla.
Berkata Al ‘Allamah Ibnu Qayyim rahimahulloh ketika menjelaskan hadits ini : “Pandangan terhadap hadits ini - Wallahu A’lam- bahwa Al Isbal itu ma’shiyat dan setiap orang yang jatuh kepada kemaksiatan maka dia diperintahkan untuk berwudhu’ dan shalat, karena dengan wudhu’ itu dia akan memadamkan api-api kemaksiatan.(3)
__________________________________
1. Shohih Ibnu Khuzaimah (1: 382)
2. Sunan Abi Dawud (638), Imam Ahmad dalam Musnad (4: 67).
3. Lihat Tahdzib ‘Ala Sunan Abi Dawud oleh Ibnul Qoyyim dalam Aunul Ma’bud (11 : 95)
Berkata Ibnul ‘Aroby : “Perintah wudhu’ itu menunjukkan perintah untuk mengulangi shalat, dan maknanya bahwa shalat itu dalam keadaan tawadhu’, sedangkan Al Isbal itu merupakan perbuatan takabbur maka kedua hal ini bertentangan, dan perintah Nabi  untuk mengulangi wudhunya merupakan adab baginya dan penguat atasnya karena seorang yang shalat itu mengajak Rabbnya untuk berkomunikasi sedangkan Allah tidak melihat kepada orang yang meleretkan sarungnya dan tidak mengajaknya berbicara dan demikian pula Allah tidak menerima shalatnya orang yang Isbal”.(1)
Dikatakan pula bahwa kemungkinan makna yang tersembunyi dari perintah Rasulullah  untuk berwudhu’ padahal dia dalam keadaan suci agar laki-laki ini berfikir tentang sebab perintah tersebut lalu menghentikan kesalahannya itu dan bahwasanya Allah  akan membersihkan batin orang tersebut dari kotoran berkat perintah Rasulullah  kepadanya untuk membersihkan zhahirnya, karena kebersihan zhahir akan mempengaruhi kebersihan batin. Dan dikatakan pula bahwa perintah Rasulullah  kepadanya untuk berwudhu’ sebagai teguran baginya dari apa yang telah diperbuatnya berupa Al Isbal. (2)
Dari hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan haramnya menurunkan pakaian ketika shalat jika dilakukan karena sombong dan ini merupakan madzhab Syafi’i dan Hanbaly, dan Imam Syafi’i rahimahulloh menganggap makruh jika tidak dengan tujuan kesombongan. (3)
Adapun madzhab Ibnu Hazm rahimahulloh dan orang yang sependapat dengannya mengatakan : “Tidak diberi ganjaran bagi orang yang melaksanakan shalat sedang dia menurunkan pakaiannya karena sombong. Adapun bagi perempuan maka dibolehkan baginya memanjangkan tepi pakaiannya sehasta dari mata kakinya tidak lebih dari itu, dan kapan saja dia menambah lebih darinya padahal dia tahu akan larangan maka batallah shalatnya”. (4)
Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahulloh tentang hukum shalat musbil : “Apabila sarung ataupun celana panjang melewati mata kaki maka itu perbuatan yang haram. Dan wajib bagi setiap insan mengangkat celana panjangnya atau apa saja yang dikenakannya di atas mata kaki. Dan apabila dia melaksanakan shalat dengan pakaian yang Isbal maka terjadi ikhtilaf di kalangan ahlul ‘Ilmi tentang sahnya. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa shalatnya tetap shah karena orang yang shalat itu sudah melaksanakan kewajibannya yaitu menutup aurat, dan diantara ulama ada juga yang memandang bahwa shalatnya tidak shah karena dia telah menutup auratnya dengan pakaian yang haram, padahal mereka mensyaratkan menutup aurat harus dengan pakaian yang mubah. Maka seorang yang shalat dengan pakaian yang melewati mata kaki berada dalam posisi yang berbahaya sekali, maka hendaknya dia bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mengangkat pakaiannya hingga ke atas mata kaki”.(5)
Telah berfatwa Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahulloh tentang hukum shalat orang yang Isbal sebagai berikut : “Shalatnya orang yang Isbal itu sah, namun dia telah berdosa, dan merupakan kewajiban untuk menasehatinya dan memperingatkannya. Maka
______________________
1. ‘Aridhatul Ahwadzy (7:238).
2. Al Minhal Al ‘Adzbu Al Maurid (3 : 23)
3. Al Majmu’ (3 : 177)
4. Al Muhalla (4 : 73)
5. Fatawa Islamiyyah (1 : 301)
setiap orang yang shalat maka hendaknya menjaga pakaiannya dan selalu mengangkatnya jika terjatuh. Dan bagi setiap muslim hendaknya berhati-hati terhadap Al Isbal dan takut kepada Allah  dari perbuatan tersebut dan tidak menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki sebagai wujud dari pengamalan hadits-hadits shohih dan bukti takutnya kita akan murka Allah  dan siksa-Nya. Dan Allah  adalah pemberi taufiq”.(1)
Demikianlah pandangan beberapa ulama tentang hukum shalatnya orang yang Isbal, yang wajib bagi kita - setelah mengetahui adanya ikhtilaf tentang sah atau tidaknya - untuk berhati-hati dan memperingatkan saudara kita tentang bahaya Isbal terutama ketika sedang shalat. Dan seorang mukmin dituntut untuk memiliki sifat wara’ dari setiap hal yang syubhat dan dipertentangkan hukumnya oleh para ulama kita, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadits :
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : (( إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَ إِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَ بَيْـنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْـتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنْ اِتَّقَى الشُّـبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِـدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَ مَنْ وَقَعَ فيِ الشُّـبُهَاتِ وَقَعَ فيِ الْحَرَامِ ……. ))
Dari An Nu’man bin Basyir  berkata : Saya mendengar Rasulullah  bersabda : “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang berhati-hati terhadap perkara yang syubhat maka dia telah menyelamatkan diennya (agamanya) dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjatuh pada perkara yang syubhat maka dia akan terjatuh pada hal yang haram……….”.(2)

VI. KHATIMAH
Sebelum saya menutup tulisan ini saya ingin menyampaikan kepada saudaraku yang muslim : Bukankah para salaf kita merupakan contoh bagi kita, bukankah Rasulullah  adalah uswah (teladan) kita sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al Quran surah Al Ahzab (33) ayat 21 ?. Maka bagi setiap orang yang mengharapkan rezki yang baik dari Allah di dunia ini dan tempat kembali yang baik di akhirat kelak hendaknya mencontohi Rasulullah  baik itu sunnah yang kecil maupun yang besar sekemampuannya. Maka sesungguhnya Rasulullah  tidaklah melihat pakaian yang melewati mata kaki sebagai perkara yang sederhana yang boleh ditunda urusannya. Tidak !, bahkan Rasulullah  memandangnya sebagai urusan yang sangat penting. Oleh karena itu kita membaca dalam sebuah hadits bagaimana beliau berlari kecil di belakang seorang laki-laki yang dilihatnya mempunyai pakaian yang panjang (melewati mata kaki), demikian pula beliau meletakkan tangannya di ubun-ubun seorang laki-laki musbil sedang dia orang yang tawadhu’ kepada Allah. Dan banyak lagi hal-hal yang menunjukkan bahwa adalah Rasulullah  menganggap perkara tersebut termasuk dari dosa-dosa besar. Oleh karenanya para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in tidak berpakaian kecuali yang di atas mata kaki dan umumnya hingga ke tengah betis sebagai wujud ketaatan mereka kepada Rasulullah  dan
_______________________________
1. Majalah Ad Da’wah no. 920.
2. Riwayat Bukhary (25, 2051), Muslim (1599) dan Ibnu Hibban (2 : 51, no. 719).
pelaksanaan dari perintah Beliau . Hal ini tidaklah seperti yang dianggap oleh sebagian masyarakat awam yang mengatakan bahwa pakaian ketika itu kurang dan para sahabat pada umumnya miskin tidak mempunyai harta untuk membeli apa yang akan dipakainya. Padahal sekiranya mereka mau mentadabbur (mempelajari) nash-nash yang telah kami sampaikan, maka mereka akan mengetahui bahwa mereka telah menduga-duga apa yang tidak mereka ketahui dan telah mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Dan adalah para sahabat lebih mengutamakan untuk mengikuti Rasulullah  dari pada apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka yang salah satunya adalah dalam hal larangan Rasulullah  terhadap pakaian yang panjangnya melewati mata kaki.
Inilah hadits-hadits dan perkataan-perkataan ulama kita yang dapat kami himpun dalam membahas hukum Al Isbal, dan jika ini benar maka itu datangnya dari Allah semata, dan jika tidak maka itu datangnya dari diri kami yang dha’if ini. Dan mudah-mudahan Allah  memberikan manfaat kepada kita semua dari tulisan ini. Wallahu A’lam Bish Showab.



Penyusun,



Abu ‘Abdillah Muhammad Yusran
Bin Muhammad Anshor


DAFTAR MAROJI’


1. Tafsir Al Qur’anil Al ‘Azhim Ibnu Katsir , Daar As Salaam.
2. Tadzkir Asy Syabab bimaa Jaa Fii Isbal Ats Tsiyab, ‘Abdullah bin Jarullah Ali Jarullah, Daar Ibnu Khuzaimah 1413 H.
3. Riyadhush Shalihin, Al Imam An Nawawy, ta’liq Muhammad Ali Mauzah, Muassasah ‘Ulum Al Qur’an cet. I tahun 1410 H.
4. Tabshir Ulil Albaab Bimaa fii Jarry Ats Tsiyab oleh Abu ‘Abdillah Sa’ad Al Muz’il, Daar Ibnu Hazm cet. IV tahun 1413 H.
5. Fathul Bary, Ibnu Hajar Al Asqalany, tahqiq : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Muhibbuddin Al Khatib, Daarul Kutub Al Ilmiyah - Beirut, cet.I tahun 1410 H.
6. Fataawa Islamiyah Li Ashabil Fadhilatil ‘Ulama : Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan Al Jibrin, penyusun Muhammad Al Musnid, Daar Al Wathan. cet. I tahun 1412 H.
7. Al Isbal, Shalih bin Muhammad ‘Ilyawy, Daar Thayyibah.
8. Subulus Salam, Al Imam Muhammad bin Isma’il Ash Shon’any, Daarul Kitab Al Araby – Beirut, Cet. II tahun 1416 H.
9. Al Qaul Al Mubin fii Akhthoil Mushollin, Masyhur Hasan Salman. Daar Ibnu Al Qayyim cet. II tahun 1413 H.
10. Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbaly, tahqiq Syu’aib Al Arnouth dan Ibrahim Bajis, Muassasah Risalah cet. IV tahun1413 H
11. Mukhtashor Asy Syamail Al Muhammadiyah lil Imam At Tirmidzy, Muhammad Nashiruddin Al Albany. Maktabah Al Ma’arif cet. IV tahun 1413 H.
12. Aina Nahnu min Akhlaq As Salaf, ‘Abdul ‘Aziz bin Nashir Al Jalil dan Bahauddin ‘Aqil, Daar Thoyyibah cet. I tahun 1414 H.
13. Majmu’ah Rosaail At Taujihat Al Islamiyah lil Ishlahil Fard wal Mujtama’, Muhammad bin Jamil Zainu, Daar Ash Shomi’iy Ar Riyadh, tahun 1414 H.
14. Kamus Al Munawwir.
15. Mukhtar Ash Shihah.
16. Al Minhaj Syarhu Shohih Muslim bin Al Hajjaj, Daarul Ma’rifah – Beirut, cet II. Tahun 1415 H.
17. Al Ihsan bin Tartib Shohih Ibnu Hibban, Al Amir ‘Alauddin Ali bin Balaban Al Farisi, tahqiq : Kamal Yusuf Al Hut, Daar Al Kutub Al Ilmiyah Beirut – Libanon, cet.II tahun 1417 H.
18. Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud ; Al Allamah Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi dan Tahdzib Sunan Abi Dawud oleh Imam Ibnul Qoyyim, Daar Al Kutub Al Ilmiyah, cet. I tahun 1410 H.
19. Shohih Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, tahqiq : Dr. Muhammad Mushthafa Al Azhamy, Al Maktab Al Islamy – Beirut, cet. II tahun 1412 H.
20. Al Muhalla, Imam Ibnu Hazm, tahqiq : Ahmad Muhammad Syakir, Daar At Turots – Al Qohirah.



2). عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : (( مَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فيِ اْلإِزَارِ فَهُوَ فيِ الْقَمِيْصِ ))


12). عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (( ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ )) قَالَ : فَقَرَأَهَا ثَلاَثَ مِرَارٍ ، قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ : خَابُوْا وَ خَسِرُوْا مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : (( الْمُسْبِلُ وَ الْمَنَّانُ وَ الْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ ))


7). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ ))























8). عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى عَضْلَةِ سَاقَيْهِ ثُمَّ إِلىَ نِصْفِ سَاقَيْهِ ثُمَّ إِلىَ كَعْبَيْهِ فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِيْ النَّارِ ))


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَـيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ )) فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ : فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ ؟ قَالَ : (( يُرْخِيْنَ شِبْرًا )) قَالَتْ : إِذاً تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ ، قَالَ : (( فَيُرْخِيْنَ ذِرَاعًا وَلاَ يَزِدْنَ عَلَـيْهِ ))