Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya.
“Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”
Pada bukunya lain, yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya.
Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”
Kira-kira begitulah watak dan kepribadian Abdul Kahar Muzakkar. Sebuah pemahaman sekaligus penyerahan diri pada nilai-nilai Islam yang ditunjukkan oleh seorang pejuang.
Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Pinrang, Sulawesi Selatan. Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan, dan
Jawa menjadi tujuannya.
Di perguruan Muhammadiyah Solo, ia memintal ilmu agama. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon.
Kisah perjuangannya dimulai sejak Jepang memasuki Sulawesi.
Tak seperti banyak pemuda, yang menganggap Jepang pembebas dari Timur, Kahar Muzakkar yang menolak menjadi Pak Turut tak mudah percaya. Pembelotan pertama yang ia jalani adalah menentang sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dengan penjajah Jepang.
Hukuman pun dijatuhkan, Kahar Muzakkar dituduh menghina kerajaan dan diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang memaksa ia pergi dari tanah kelahiran.
Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan.
Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya.
Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan.
Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya.
Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan.
Tapi, dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.
Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.
Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno masih terus dilakukan, dan tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi.
Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.
Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.
“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”
Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya.
Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri.
SAKSI HIDUP “DI/TII KAHAR MUDZAKKAR”
15 tahun memberontak (1950-1965) membuat nama Kahar Mudzakkar melegenda hingga kini, terutama di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Padahal putra Palopo, Sulsel ini pernah mengawal Soekarno dalam rapat raksasa di lapangan Ikada, 19 September 1945. Ia juga ikut mengusir Belanda dalam Agresi Militer I (1947) dan II (1948) di Yogyakarta. Bahkan pasukannya sempat ditawan PKI dalam pemberontakan di Madiun pada 1948. Pemberontakan Kahar dipicu oleh penolakan pemerintah untuk menerima laskar-laskarnya yang tergabung dalam Brigade Hasanudin. Akhirnya pada 7 Agustus 1953 ia menyatakan diri bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo yang berpusat di Jawa Barat. Sepuluh tahun kemudian macan podium ini mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).
Berbagai operasi militer digelar untuk menumpas gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Batalyon 330 Kujang I Siliwangi berhasil memadamkan pemberontakan Andi Selle, seorang mantan anggota TNI yang yang memasok senjata kepada Kahar Mudzakkar. Puncaknya Operasi Kilat yang menewaskan Kahar pada 3 Februari 1965 di tepi sungai Lasolo. Sultra.
Medan gerilya Kahar Mudzakkar yang luas dan ganas merupakan tantangan alam bagi kedua belah pihak. Naik turun gunung, menerabas hutan lebat, melewati sungai dan rawa adalah ujian bertahan hidup. Ada anggota TNI yang akhirnya bunuh diri setelah diserang penyakit
malaria. Belum lagi logistik yang terbatas sehingga memaksa manusia makan apa adanya.
Seorang petani, Sapri Pawe, menceritakan pengalamannya sebagai korban clash TNI dengan DI/TII. Semasa bocah pada dasawarsa 1950-an ia terpaksa belajar di bawah pohon ketika mengungsi bersama ribuan orang ke gunung, Penduduk desa Belopa yang menjadi salah satu basis kekuatan Kahar Mudzakkar di kabupaten Luwu, Sulsel ini sempat menyaksikan eksekusi hukuman rajam bagi penzina dan potong tangan untuk pencuri.Istri Kahar Mudzakkar yang blasteran Belanda – Klaten, Cory, 84 tahun. masih ingat bagaimana perjuangan suaminya melawan Belanda di Yogyakarta hingga mengikhlaskan suaminya untuk menikah sampai sembilan kali. Abdullah Mudzakkar, salah satu dari 14 anak Kahar, mengisahkan pertemuan terakhirnya dengan sang ayah yang baru diketahuinya telah tiada dari selebaran pesawat TNI.
Kepala Staf Operasi Kilat, Letjen Purn. Solichin GP, mengungkap bagaimana Kahar Mudzakkar sampai tertembak. Mantan Komandan Batalyon 330 Kujang I Siliwangi, Letjen Purn. Himawan Soetanto, menjelaskan penghancuran kekuatan Andi Selle dari daerah Pinrang, Polewali, hingga Majene. Sedangkan Brigjen Purn. Andi Sose menceritakan kisah uniknya: dari rekan Kahar lalu berubah menjadi penumpas gerakannya.Kesaksian delapan figur langka ini divisualkan dengan footage film dokumenter Arsip Nasional tentang Operasi Kilat, foto-foto koleksi keluarga Kahar Mudzakkar, serta shooting tempat kelahiran dan wilayah gerilya Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Selain menampilkan rekaman suara pidato Kahar semasa hidup, Saksi Hidup edisi ini juga mengacu pada tiga buku tulisannya sendiri serta disertasi Van Dijk, Barbara Harvey, dan Anhar Gonggong tentang pemberontakan DII/TII. (Ramdan Malik/TV7)
HUKUM BEDAH DAN OTOPSI JENAZAH MUSLIM
-
Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk
beluk organ tubuh manusia agar bisa mendeteksi setiap organ tubuh yang
tidak norm...
12 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar