#
Akh, kenapa antum memanggail yahya alhajuri dengan syaikh ? Bukankah dia sudah menyimpang. antum bisa buka http://www.dammajhabibah.wordpress.com !
Janganlah kita terlalu fanatik dan terlalu ekstrem, disebabkan ada seseorang yang keliru atau menyimpang, otomatis mengharamkan kita untuk menyebutnya dengan syaikh atau ustadz, atau mengharamkan secara mutlak kita beristifadah padanya dalam hal2 yang baik… Bukankah pada tiga imam ahlus sunnah zaman ini terdapat tauladan yang baik? Lihatlah bagaimana Imam Ibnu Baz dan Imam Albani ketika membantah DR. Yusuf al-Qordhowi, mereka tetap menyebutnya dengan Fadhilatusy Syaikh… dan masih banyak lagi contoh lainnya. Padahal, Syaikh Yahya al-Hajuri adalah pengganti Syaikh Muqbil yang ditunjuk langsung oleh Syaikh Muqbil utk menggantikan beliau. Oleh karena itu, ana masih tetap menghormati beliau dan tidak fanatik dengan beliau ataupun masyaikh lainnya…
#
#6 written by salafyindependent
about 1 year ago
Quote
kacaw nih blog kaedah dari mane ente ambil ?
====================================================
Sebelum berkomentar hendaknya difikir dulu, dan jangan berkomentar tanpa ilmu. Telah jelas bahwa banyak nukilan dari para salaf ttg masalah ini. Jika menurut ente masalah jarh wa ta’dil bukan perkara ijtihadiyah, lantas perkara apa? Dan darimana kaidah tsb ente ambil?
coba kita kembali dan menjelaskan kaedah TAHDZIR yang di jelaskan ustadkuna dzukarnain tentang kaedah TAHDZIR.
arti kata dari TAHDZIR adalah menperingati dari kesalahan2(kesesatan) baik perorangan atau kelompok.
kaedah TAHDZIR terbagi bagi tergantung tingkat kesalahannya ada yang berbentuk BID’AH dan ada bentuk MAKSIAT.
dan mempunyai proses TAHDZIR yang berbeda beda dan terbagi 3 kaedah.
*TAFSIQ di hukumi fasiq
*TABDI di hukumi ahlu BID’AH
*TAKFIR di hukumi keluar dari islam (murtad)
KAPAN SESEORANG DI TAHDZIR?
jika seorang muslim membuat kesalahan atau penyimpangan2an agama maka kaedah TAHDZIR bisa di jalankan.
terkadang kesalahan berbentuk BID’AH ada yang masalah POKOK (ushul akidah) ada juga yang masalah cabang (furu)
jika kesalahan masalah POKOK maka bisa membuat seseorang keluar dari lingkup AHLU SUNNAH WA JAMA’AH.
jika kesalahannya masalah cabang,trus berulang ulang kesalahan itu dan mengembangkan kesalahan itu trus di terapkan kesalahan itu LOYALITAS (wala dan bara) maka orang tersebut di keluarkan dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah.
Kaidah di dalam tahdzir itu tdk sesimple seperti yang antm sebutkan. Sebab di dalamnya perlu ilmu dan bashirah ttg dalil syar’i dan waqi’ (realita), serta bentuk tahtbiq (penerapannya). Selain itu, pemahaman mendalam akan mashlahat dan madharat juga perlu difahami, sebab agama ini semuanya bermuara kpd mashlahat. Dan bentuk tahdzir itu bermacam2 melihat situasi dan kondisi, bisa jadi tahdzir itu dalam bentuk tahdzir thd amalan dg memubhamkan pelaku dan bisa jadi tahdzir dg bentuk ta’yin. Ini semua kembalinya kpd mashalihud din.
KAPAN SESEORANG DI KATAKAN KELUAR DARI LINGKUP AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
seseorang yang berbuat penyimpangan baik dari POKOK ushul seperti orang yang mengatakan ALLAH itu dimana mana,yang sudah di sepakati IJMA PARA ULAMA SALAF bahwa itu prinsip dasar pokok barangsiapa yang menyelesihinya maka dia di keluarkan dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah.
jika kesalahannya hanya cabang,jika penyimpangannya di lakukan terus menerus dan menerapkan LOYALITAS maka seseorang tersebut di katakan keluar dari AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
Perlu diingat, sebagian salaf dahulu pernah mengatakan ” Ikhrajun Naas minas sunnah syadid” (mengeluarkan manusia dari ahlus sunnah itu perkara besar). Banyak kaidah ilmiah yang harus dipegang dan difahami, dan tidak setiap orang dapat melakukan hal ini, seakan-akan ahlus sunnah itu seperti perusahaannya yg ia dapat mengeluarkan dan memasukkan seseorang ke dalamnya seenak hatinya.
Kita ambil contoh, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani dan al-Iman an-Nawawi rahimahumallahu jatuh kpd kesalahan yg bersifat ushul, dimana mereka jatuh kpd ta’wil ayat shifat. Kembali kpd kaidah Antum : “seseorang yang berbuat penyimpangan baik dari POKOK ushul seperti orang yang mengatakan ALLAH itu dimana mana,yang sudah di sepakati IJMA PARA ULAMA SALAF bahwa itu prinsip dasar pokok barangsiapa yang menyelesihinya maka dia di keluarkan dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah”, maka beranikah antum mengeluarkan mereka dari lingkup ahlus sunnah wal jama’ah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu, bahwa jatuh kpd pemahaman ghulatu jahmiyyah, dan padahal jahmiyyah ini bukan hanya divonis bid’ah oleh para ulama ahlus sunnah namun juga sudah divonis kafir oleh mayoritas mereka, kalo melihat kesederhanaan kaidah antum, maka otomatis beliau bisa2 dikeluarkan dari ahlus sunnah.
Dan contoh tentang ini sangat banyak sekali…
Maka sesungguhnya, merupakan bentuk ke-arifan apabila kita meletakkan sesuatu pd tempatnya (wadh’u syai’ fi mahallihi). Kita harus bisa membedakan antara kaidah umum spt yg antum sebutkan dengan kaidah di dalam tahbiq (penerapan)-nya. Karena tdk semua yang melakukan penyimpangan dari ushul ahlus sunnah otomatis keluar dari lingkaran ahlus sunnah, sebab banyak faktor yg harus ditinjau juga.
*TAFSIQ
seseorang yang bermaksiat terang terangan,dan bangga dengan kemaksiatan yang dia lakukan.
lalu di TAHDZIR karena kemaksiatan membuat resah masyarakat,dan di kwatirkan kemaksiatanya di ikuti dan di benarkan.siapapun orang bisa menTAHDZIR orang tersebut walaupun dari kalangan orang awam sekalipun.(catatan tafsiq tidak menggunakan kaedah HAJR juga tidak di sertai WALA dan BARA)
Ucapan antum “tafsiq tidak menggunakan kaedah HAJR juga tidak di sertai WALA dan BARA” adalah kaidah lucu dan mengada-ada. Apakah antum faham konsep HAJR dan WALA & BARO? Bagaimana mungkin antum memilah2 antara konsep hajr yg diterapkan kpd org fasiq dengan mubtadi’ atau selainnya, dengan kaidah yg lucu seperti ini? Bukannya Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu dihajr oleh Rasulullah karena perbuatan yg dikategorikan maksiat bukan bid’ah?!
Apakah jika ada orang fasiq di tempat Antum, dan sudah dinasehatkan lagi ditahdzir, hajr tidak diterapkan padanya sama sekali? padahal hajr itu diterapkan utk memberikan efek jera, dan hajr itu bermanfaat utk pelaku, penghajr dan ummat. Sungguh lucu kaidah yg antum bawakan ini, dan ana yakin ini pasti su’ul fahm antum dari kajiannya Ustadz Dzulqornain, sebab ana tidak yakin beliau mengatakan seperti ini…
Kemudian tdk disertai dg wala’ dan baro’. Bukankah konsep wala’ dan baro’ itu diterapkan kpd manusia ini terbagi menjadi 3 golongan :
- Kafir yg diberikan baro’ mutlak
- Mu’min shalih yg diberikan wala’ mutlak
- Muslim yg bermaksiat atau melakukan bid’ah yg diberikan wala’ dan baro’ sekaligus
Lantas, bagaimana bisa wala dan baro tidak diterapkan kpd para pelaku kefasiqan (kemaksiatan)? Lantas, apa manfaatnya tafsiq (penvonisan thd seseorang sbg fasiq) jika aqidah wala dan baro tdk berkaitan di dalamnya? Wal’iyadzubillah… Ini adalah kejahilan yg nyata.
TABDI
seseorang berbuat BID’AH,kesalahanya membuat keluar dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah dan sangat berbahaya jika di biarkan terus berlanjut.lalu di TAHDZIR karena penyimpangan2 terhadap PRINSIP2 USHUL AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH yang membuat seseorang di tabdi karena bahaya dari penyimpangannya.
siapa yang berhak menTAHDZIR?seorang yang cukup ilmu dan jelas mengerti kesalahan2 orang2 yang menyimpang dan mempunyai hujjah yang kuat untuk menTAHDZIR,baik orang berilmu dan orang awam sekalipun.
Ada kaidah yg terlewatkan di sini, dan ini kaidah besar. Yaitu “laysa kullu man waqo’a fil bid’ah waqo’at al-bid’ah ‘alayhi” (tidak setiiap org yg terjatuh kpd kebid’ahan otomatis dia menjadi mubtadi’), dan kaidah ini adl kaidah utama ahlus sunnah yg sering tdk difahami oleh kaum ghulat yg gemar men-tabdi’.
Lalu perlu dibedakan antara mentahdzir dengan mentabdi’, sebab ini adalah suatu hal yg berbeda. mentabdi’ itu menvonis seseorang atau kaum dengan sebutan ahli bid’ah, sedangkan mentahdzir itu memperingatkan dari kesalahan2 baik kesalahan besar maupun kecil. Tidak setiap org yang ditahdzir otomatis dia ditabdi’, dan org yg ditabdi’ itu sudah masuk ke bab tahdzir.
Ucapan antum “siapa yang berhak menTAHDZIR?seorang yang cukup ilmu dan jelas mengerti kesalahan2 orang2 yang menyimpang dan mempunyai hujjah yang kuat untuk menTAHDZIR,baik orang berilmu dan orang awam sekalipun”
Bagaimana bisa orang awam dikatakan berhak melakukan tabdi’ padahal antum sendiri menyatakan org tsb harus memiliki ilmu, mengerti ttg kesalahan2 org yg menyimpang dan MEMPUNYA HUJJAH yang kuat. Hak takfir dan tabdi’ itu di tangan org2 yg berilmu, dan tidak sepatutnya orang awam masuk ke dalam masalah krusial ini.
TAKFIR
seseorang yang membuat kesalahan yang bisa menyebabkan KELUAR AGAMA (riddah)
dan ini kaedah yang sangat RISKAN kaedah yang perlu banyak pertimbangan tidak cukup ilmu dan bashirah seorang THOLABUL ILMI menTAKFIR seseorang atau kelompok lain karena penyimpangan yang keluar dari islam.
yang berhak mengaKAFIRkan hanya PARA ULAMA karena kaedah seperti mempunyai DHOBIT2 (kaedah2 yang banyak)
Semua bentuk TAFSIQ, TABDI’ dan TAKFIR itu butuh kaidah dan dhowabit yg ketat. Oleh karena itu banyak para ulama memperingatkan dari Zhahiratu Tafsiq wa Tabdi’ wa Takfir, seperti ceramah yg disampaikan al-Allamah al-Fauzan, as-Sadlan, dll. Mereka seringkali menyebutkan ketiga kata ini dalam satu kalimat, dan ini menunjukkan riskannya permasalahan ini. Orang awam tdk boleh masuk sedikitpun ke dalam perkara ini, melainkan hanya berpegang dg ucapan para ulama atau penuntut ilmu yang mutamakkin…
dalam menTAHDZIR mempunyai banyak proses,tidak serampangan hanya mengandalkan semangat membela manhaj tanpa ilmu hanya ikut2an saja.
harus mencari sebab sebab kenapa seseorang berbuat kesalahan2,sebuah butuh proses2 dengan lemah lembut atau
TEGAS dan lugas dengan tujuannya untuk menarik kejalan yang benar bukan untuk menebar permusuhan.
Dalam hal ini ana sepakat 100% dengan antum… walau pada realita penerapannya seringkali menyelisihi hal ini
menTAHDZIR dengan beberapa syarat.
*IHKLASH hanya menyeru kepada ALLAH wa jalla saja tanpa unsur dendam pribadi
*ILMU yang bermamfaat mengetahui semuanya dari sebab sebab kesalahan dan mempunyai hujjah yang kuat
*MENGETAHUI tempat yang benar terkadang mengunakan bahasa yang lemah lembut terkadang TEGAS dan LUGAS
dalam menTAHDZIR mempunyai proses2 dan prosesnya menjadi sebab akan kembali kepada kebenaran tidak membuat mangkin jauh dari kebenaran.
KAPAN SESEORANG DI HAJ’R
setelah di TAHDZIR tidak selalu di HAJ’R,terkadang seseorang di TAHDZIR karena kesalahannya yang bukan berupa kesalahan BID’AH hanya kesalahan MAKSIAT maka tidak mengHAJR hanya mengunakan kaedah lemah lembut dan di nasehati secara HIKMAT.
jika kesalahanya berupa BID’AH.dan kesalahannya di kerjakan terus menerus hingga kesalahannya di terapkan kaedah LOYALITAS (wala dan bara) maka setelah di TAHDZIR lalu di hajr.
Keganjilan berikutnya lagi adalah ketika membedakan antara pelaku kemaksiatan yg ditahdzir namun tdk dihajr sedangkan pelaku bid’ah ditahdzir dan dihajr sekaligus. Bukankah dalil ttg 3 sahabat nabi yg antum sebutkan di bawah ini merupakan kesalahan berupa kemaksiatan, dan Rasulullah menghajr-nya. Lantas darimana antum datangkan kaidah pelaku maksiat hanya ditahdzir tdk dihajr??? Kenapa kaidah lemah lembut dan nasehat secara hikmah hanya diterapkan kepada pelaku kemaksiatan, tidak diterapkan juga kepada pelaku bid’ah? Lantas bagaimana Antum melihat Rasulullah bersikap keras thd Ka’ab bin Malik ketika beliau radhiyallahu ‘anhu jatuh kepada kemaksiatan? Dan bagaimana antum melihat Rasulullah bersikap lemah lembut thd gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, sedangkan org munafik lebih asyad daripada mubtadi’.
seseorang yang di TAHDZIR dan di HAJR tidak selalu di cap AHLU BID’AH.
karena para 3 sahabat nabi pernah di HAJR oleh baginda shallallahu alaihi wa salam,karena tidak ikut PERANG TABUK.
sahabat tersebut di hajr oleh sahabat2 lain,hingga jika sahabat tersebut sedang berkumpul lalu di datangi oleh 3 sahabat tersebut lalu sahabat yang lain meninggalkannya.
terkadang yang mengHAJ’R melembutkan hati,setelah rosullullah shallahu alaihi wa salam di tuduh (fitnah) oleh orang 2 kafir quarais membuat kezhaliman terhadap pengikutnya sendiri lalu rosullullah shallahu alaihi wa salam mencabut haj’r terhadap sahabat tersebut.
Ini adalah pengkontradisi kaidah2 yg antum bawakan di atas, dimana pelaku kemaksiatan tdk dihajr tp hanya disikapi dengan kelemahlembutan dan hikmah. Padahal jika kita melihat Rasulullah beliau menerapkan sikap keras dan lembut pada tempatnya. Namun, ucapan antum bahwa tidak setiap orang yg ditahdzir itu otomatis ahli bid’ah adalah benar…
*NASEHAT DARI USTAD DZULKARNAIN
buat para ihkwah yang baru mengenal manhaj salaf,baiknya diam memperbaiki diri sendiri tidak terjun ke medan dakwah.karena membuat bumerang jika tidak cukup ilmu untuk membantah (TAHDZIR) seseorang dari kesalahannya.
Marilah nasehat beliau ini kita perhatikan, sebab apa yg beliau utarakan ini adalah kebenaran. Dan ini sebagai nasehat bagi kita semua…
AFWAN ini tulisan hanya lewat hafalan ana bukan dari tulisan ane saat TAQLIM atau rekaman.
ini murni dari taqlim ustad DZULKARNAIN dan di tambahi PEMAHAMAN ane tentang manhaj salaf.
#
#7 written by ruli
about 2 months ago
Quote
kalo ana sih cenderung syaikh robi keliru dalam menyesatkan sayyid Quthub.. syaik bakr yang benar, syaikh rob’i tu maksa banget dalam mentahzir!!! ini ustadz ustadz kok muqollid juga ternyata, muqollid ama syaikh yang mencela sayyid Quthub dan ikhwanul muslimin!….
HUKUM BEDAH DAN OTOPSI JENAZAH MUSLIM
-
Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk
beluk organ tubuh manusia agar bisa mendeteksi setiap organ tubuh yang
tidak norm...
12 tahun yang lalu