Halaman

Minggu, 27 Februari 2011

BAHAN PERTIMBANGAN MEGELUARKAN ORANG DARI AHLU SUNNAH

#

Akh, kenapa antum memanggail yahya alhajuri dengan syaikh ? Bukankah dia sudah menyimpang. antum bisa buka http://www.dammajhabibah.wordpress.com !

Janganlah kita terlalu fanatik dan terlalu ekstrem, disebabkan ada seseorang yang keliru atau menyimpang, otomatis mengharamkan kita untuk menyebutnya dengan syaikh atau ustadz, atau mengharamkan secara mutlak kita beristifadah padanya dalam hal2 yang baik… Bukankah pada tiga imam ahlus sunnah zaman ini terdapat tauladan yang baik? Lihatlah bagaimana Imam Ibnu Baz dan Imam Albani ketika membantah DR. Yusuf al-Qordhowi, mereka tetap menyebutnya dengan Fadhilatusy Syaikh… dan masih banyak lagi contoh lainnya. Padahal, Syaikh Yahya al-Hajuri adalah pengganti Syaikh Muqbil yang ditunjuk langsung oleh Syaikh Muqbil utk menggantikan beliau. Oleh karena itu, ana masih tetap menghormati beliau dan tidak fanatik dengan beliau ataupun masyaikh lainnya…

#
#6 written by salafyindependent
about 1 year ago
Quote

kacaw nih blog kaedah dari mane ente ambil ?
====================================================

Sebelum berkomentar hendaknya difikir dulu, dan jangan berkomentar tanpa ilmu. Telah jelas bahwa banyak nukilan dari para salaf ttg masalah ini. Jika menurut ente masalah jarh wa ta’dil bukan perkara ijtihadiyah, lantas perkara apa? Dan darimana kaidah tsb ente ambil?

coba kita kembali dan menjelaskan kaedah TAHDZIR yang di jelaskan ustadkuna dzukarnain tentang kaedah TAHDZIR.
arti kata dari TAHDZIR adalah menperingati dari kesalahan2(kesesatan) baik perorangan atau kelompok.

kaedah TAHDZIR terbagi bagi tergantung tingkat kesalahannya ada yang berbentuk BID’AH dan ada bentuk MAKSIAT.
dan mempunyai proses TAHDZIR yang berbeda beda dan terbagi 3 kaedah.
*TAFSIQ di hukumi fasiq
*TABDI di hukumi ahlu BID’AH
*TAKFIR di hukumi keluar dari islam (murtad)

KAPAN SESEORANG DI TAHDZIR?
jika seorang muslim membuat kesalahan atau penyimpangan2an agama maka kaedah TAHDZIR bisa di jalankan.
terkadang kesalahan berbentuk BID’AH ada yang masalah POKOK (ushul akidah) ada juga yang masalah cabang (furu)
jika kesalahan masalah POKOK maka bisa membuat seseorang keluar dari lingkup AHLU SUNNAH WA JAMA’AH.
jika kesalahannya masalah cabang,trus berulang ulang kesalahan itu dan mengembangkan kesalahan itu trus di terapkan kesalahan itu LOYALITAS (wala dan bara) maka orang tersebut di keluarkan dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah.

Kaidah di dalam tahdzir itu tdk sesimple seperti yang antm sebutkan. Sebab di dalamnya perlu ilmu dan bashirah ttg dalil syar’i dan waqi’ (realita), serta bentuk tahtbiq (penerapannya). Selain itu, pemahaman mendalam akan mashlahat dan madharat juga perlu difahami, sebab agama ini semuanya bermuara kpd mashlahat. Dan bentuk tahdzir itu bermacam2 melihat situasi dan kondisi, bisa jadi tahdzir itu dalam bentuk tahdzir thd amalan dg memubhamkan pelaku dan bisa jadi tahdzir dg bentuk ta’yin. Ini semua kembalinya kpd mashalihud din.

KAPAN SESEORANG DI KATAKAN KELUAR DARI LINGKUP AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
seseorang yang berbuat penyimpangan baik dari POKOK ushul seperti orang yang mengatakan ALLAH itu dimana mana,yang sudah di sepakati IJMA PARA ULAMA SALAF bahwa itu prinsip dasar pokok barangsiapa yang menyelesihinya maka dia di keluarkan dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah.
jika kesalahannya hanya cabang,jika penyimpangannya di lakukan terus menerus dan menerapkan LOYALITAS maka seseorang tersebut di katakan keluar dari AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH

Perlu diingat, sebagian salaf dahulu pernah mengatakan ” Ikhrajun Naas minas sunnah syadid” (mengeluarkan manusia dari ahlus sunnah itu perkara besar). Banyak kaidah ilmiah yang harus dipegang dan difahami, dan tidak setiap orang dapat melakukan hal ini, seakan-akan ahlus sunnah itu seperti perusahaannya yg ia dapat mengeluarkan dan memasukkan seseorang ke dalamnya seenak hatinya.
Kita ambil contoh, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani dan al-Iman an-Nawawi rahimahumallahu jatuh kpd kesalahan yg bersifat ushul, dimana mereka jatuh kpd ta’wil ayat shifat. Kembali kpd kaidah Antum : “seseorang yang berbuat penyimpangan baik dari POKOK ushul seperti orang yang mengatakan ALLAH itu dimana mana,yang sudah di sepakati IJMA PARA ULAMA SALAF bahwa itu prinsip dasar pokok barangsiapa yang menyelesihinya maka dia di keluarkan dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah”, maka beranikah antum mengeluarkan mereka dari lingkup ahlus sunnah wal jama’ah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu, bahwa jatuh kpd pemahaman ghulatu jahmiyyah, dan padahal jahmiyyah ini bukan hanya divonis bid’ah oleh para ulama ahlus sunnah namun juga sudah divonis kafir oleh mayoritas mereka, kalo melihat kesederhanaan kaidah antum, maka otomatis beliau bisa2 dikeluarkan dari ahlus sunnah.
Dan contoh tentang ini sangat banyak sekali…
Maka sesungguhnya, merupakan bentuk ke-arifan apabila kita meletakkan sesuatu pd tempatnya (wadh’u syai’ fi mahallihi). Kita harus bisa membedakan antara kaidah umum spt yg antum sebutkan dengan kaidah di dalam tahbiq (penerapan)-nya. Karena tdk semua yang melakukan penyimpangan dari ushul ahlus sunnah otomatis keluar dari lingkaran ahlus sunnah, sebab banyak faktor yg harus ditinjau juga.

*TAFSIQ
seseorang yang bermaksiat terang terangan,dan bangga dengan kemaksiatan yang dia lakukan.
lalu di TAHDZIR karena kemaksiatan membuat resah masyarakat,dan di kwatirkan kemaksiatanya di ikuti dan di benarkan.siapapun orang bisa menTAHDZIR orang tersebut walaupun dari kalangan orang awam sekalipun.(catatan tafsiq tidak menggunakan kaedah HAJR juga tidak di sertai WALA dan BARA)

Ucapan antum “tafsiq tidak menggunakan kaedah HAJR juga tidak di sertai WALA dan BARA” adalah kaidah lucu dan mengada-ada. Apakah antum faham konsep HAJR dan WALA & BARO? Bagaimana mungkin antum memilah2 antara konsep hajr yg diterapkan kpd org fasiq dengan mubtadi’ atau selainnya, dengan kaidah yg lucu seperti ini? Bukannya Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu dihajr oleh Rasulullah karena perbuatan yg dikategorikan maksiat bukan bid’ah?!
Apakah jika ada orang fasiq di tempat Antum, dan sudah dinasehatkan lagi ditahdzir, hajr tidak diterapkan padanya sama sekali? padahal hajr itu diterapkan utk memberikan efek jera, dan hajr itu bermanfaat utk pelaku, penghajr dan ummat. Sungguh lucu kaidah yg antum bawakan ini, dan ana yakin ini pasti su’ul fahm antum dari kajiannya Ustadz Dzulqornain, sebab ana tidak yakin beliau mengatakan seperti ini…
Kemudian tdk disertai dg wala’ dan baro’. Bukankah konsep wala’ dan baro’ itu diterapkan kpd manusia ini terbagi menjadi 3 golongan :
- Kafir yg diberikan baro’ mutlak
- Mu’min shalih yg diberikan wala’ mutlak
- Muslim yg bermaksiat atau melakukan bid’ah yg diberikan wala’ dan baro’ sekaligus
Lantas, bagaimana bisa wala dan baro tidak diterapkan kpd para pelaku kefasiqan (kemaksiatan)? Lantas, apa manfaatnya tafsiq (penvonisan thd seseorang sbg fasiq) jika aqidah wala dan baro tdk berkaitan di dalamnya? Wal’iyadzubillah… Ini adalah kejahilan yg nyata.

TABDI
seseorang berbuat BID’AH,kesalahanya membuat keluar dari lingkup ahlu sunnah wal jama’ah dan sangat berbahaya jika di biarkan terus berlanjut.lalu di TAHDZIR karena penyimpangan2 terhadap PRINSIP2 USHUL AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH yang membuat seseorang di tabdi karena bahaya dari penyimpangannya.
siapa yang berhak menTAHDZIR?seorang yang cukup ilmu dan jelas mengerti kesalahan2 orang2 yang menyimpang dan mempunyai hujjah yang kuat untuk menTAHDZIR,baik orang berilmu dan orang awam sekalipun.

Ada kaidah yg terlewatkan di sini, dan ini kaidah besar. Yaitu “laysa kullu man waqo’a fil bid’ah waqo’at al-bid’ah ‘alayhi” (tidak setiiap org yg terjatuh kpd kebid’ahan otomatis dia menjadi mubtadi’), dan kaidah ini adl kaidah utama ahlus sunnah yg sering tdk difahami oleh kaum ghulat yg gemar men-tabdi’.
Lalu perlu dibedakan antara mentahdzir dengan mentabdi’, sebab ini adalah suatu hal yg berbeda. mentabdi’ itu menvonis seseorang atau kaum dengan sebutan ahli bid’ah, sedangkan mentahdzir itu memperingatkan dari kesalahan2 baik kesalahan besar maupun kecil. Tidak setiap org yang ditahdzir otomatis dia ditabdi’, dan org yg ditabdi’ itu sudah masuk ke bab tahdzir.
Ucapan antum “siapa yang berhak menTAHDZIR?seorang yang cukup ilmu dan jelas mengerti kesalahan2 orang2 yang menyimpang dan mempunyai hujjah yang kuat untuk menTAHDZIR,baik orang berilmu dan orang awam sekalipun”
Bagaimana bisa orang awam dikatakan berhak melakukan tabdi’ padahal antum sendiri menyatakan org tsb harus memiliki ilmu, mengerti ttg kesalahan2 org yg menyimpang dan MEMPUNYA HUJJAH yang kuat. Hak takfir dan tabdi’ itu di tangan org2 yg berilmu, dan tidak sepatutnya orang awam masuk ke dalam masalah krusial ini.

TAKFIR
seseorang yang membuat kesalahan yang bisa menyebabkan KELUAR AGAMA (riddah)
dan ini kaedah yang sangat RISKAN kaedah yang perlu banyak pertimbangan tidak cukup ilmu dan bashirah seorang THOLABUL ILMI menTAKFIR seseorang atau kelompok lain karena penyimpangan yang keluar dari islam.
yang berhak mengaKAFIRkan hanya PARA ULAMA karena kaedah seperti mempunyai DHOBIT2 (kaedah2 yang banyak)

Semua bentuk TAFSIQ, TABDI’ dan TAKFIR itu butuh kaidah dan dhowabit yg ketat. Oleh karena itu banyak para ulama memperingatkan dari Zhahiratu Tafsiq wa Tabdi’ wa Takfir, seperti ceramah yg disampaikan al-Allamah al-Fauzan, as-Sadlan, dll. Mereka seringkali menyebutkan ketiga kata ini dalam satu kalimat, dan ini menunjukkan riskannya permasalahan ini. Orang awam tdk boleh masuk sedikitpun ke dalam perkara ini, melainkan hanya berpegang dg ucapan para ulama atau penuntut ilmu yang mutamakkin…

dalam menTAHDZIR mempunyai banyak proses,tidak serampangan hanya mengandalkan semangat membela manhaj tanpa ilmu hanya ikut2an saja.
harus mencari sebab sebab kenapa seseorang berbuat kesalahan2,sebuah butuh proses2 dengan lemah lembut atau
TEGAS dan lugas dengan tujuannya untuk menarik kejalan yang benar bukan untuk menebar permusuhan.

Dalam hal ini ana sepakat 100% dengan antum… walau pada realita penerapannya seringkali menyelisihi hal ini

menTAHDZIR dengan beberapa syarat.
*IHKLASH hanya menyeru kepada ALLAH wa jalla saja tanpa unsur dendam pribadi
*ILMU yang bermamfaat mengetahui semuanya dari sebab sebab kesalahan dan mempunyai hujjah yang kuat
*MENGETAHUI tempat yang benar terkadang mengunakan bahasa yang lemah lembut terkadang TEGAS dan LUGAS
dalam menTAHDZIR mempunyai proses2 dan prosesnya menjadi sebab akan kembali kepada kebenaran tidak membuat mangkin jauh dari kebenaran.
KAPAN SESEORANG DI HAJ’R
setelah di TAHDZIR tidak selalu di HAJ’R,terkadang seseorang di TAHDZIR karena kesalahannya yang bukan berupa kesalahan BID’AH hanya kesalahan MAKSIAT maka tidak mengHAJR hanya mengunakan kaedah lemah lembut dan di nasehati secara HIKMAT.
jika kesalahanya berupa BID’AH.dan kesalahannya di kerjakan terus menerus hingga kesalahannya di terapkan kaedah LOYALITAS (wala dan bara) maka setelah di TAHDZIR lalu di hajr.

Keganjilan berikutnya lagi adalah ketika membedakan antara pelaku kemaksiatan yg ditahdzir namun tdk dihajr sedangkan pelaku bid’ah ditahdzir dan dihajr sekaligus. Bukankah dalil ttg 3 sahabat nabi yg antum sebutkan di bawah ini merupakan kesalahan berupa kemaksiatan, dan Rasulullah menghajr-nya. Lantas darimana antum datangkan kaidah pelaku maksiat hanya ditahdzir tdk dihajr??? Kenapa kaidah lemah lembut dan nasehat secara hikmah hanya diterapkan kepada pelaku kemaksiatan, tidak diterapkan juga kepada pelaku bid’ah? Lantas bagaimana Antum melihat Rasulullah bersikap keras thd Ka’ab bin Malik ketika beliau radhiyallahu ‘anhu jatuh kepada kemaksiatan? Dan bagaimana antum melihat Rasulullah bersikap lemah lembut thd gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, sedangkan org munafik lebih asyad daripada mubtadi’.

seseorang yang di TAHDZIR dan di HAJR tidak selalu di cap AHLU BID’AH.
karena para 3 sahabat nabi pernah di HAJR oleh baginda shallallahu alaihi wa salam,karena tidak ikut PERANG TABUK.
sahabat tersebut di hajr oleh sahabat2 lain,hingga jika sahabat tersebut sedang berkumpul lalu di datangi oleh 3 sahabat tersebut lalu sahabat yang lain meninggalkannya.
terkadang yang mengHAJ’R melembutkan hati,setelah rosullullah shallahu alaihi wa salam di tuduh (fitnah) oleh orang 2 kafir quarais membuat kezhaliman terhadap pengikutnya sendiri lalu rosullullah shallahu alaihi wa salam mencabut haj’r terhadap sahabat tersebut.

Ini adalah pengkontradisi kaidah2 yg antum bawakan di atas, dimana pelaku kemaksiatan tdk dihajr tp hanya disikapi dengan kelemahlembutan dan hikmah. Padahal jika kita melihat Rasulullah beliau menerapkan sikap keras dan lembut pada tempatnya. Namun, ucapan antum bahwa tidak setiap orang yg ditahdzir itu otomatis ahli bid’ah adalah benar…

*NASEHAT DARI USTAD DZULKARNAIN
buat para ihkwah yang baru mengenal manhaj salaf,baiknya diam memperbaiki diri sendiri tidak terjun ke medan dakwah.karena membuat bumerang jika tidak cukup ilmu untuk membantah (TAHDZIR) seseorang dari kesalahannya.

Marilah nasehat beliau ini kita perhatikan, sebab apa yg beliau utarakan ini adalah kebenaran. Dan ini sebagai nasehat bagi kita semua…

AFWAN ini tulisan hanya lewat hafalan ana bukan dari tulisan ane saat TAQLIM atau rekaman.
ini murni dari taqlim ustad DZULKARNAIN dan di tambahi PEMAHAMAN ane tentang manhaj salaf.
#
#7 written by ruli
about 2 months ago
Quote

kalo ana sih cenderung syaikh robi keliru dalam menyesatkan sayyid Quthub.. syaik bakr yang benar, syaikh rob’i tu maksa banget dalam mentahzir!!! ini ustadz ustadz kok muqollid juga ternyata, muqollid ama syaikh yang mencela sayyid Quthub dan ikhwanul muslimin!….

SALAH PAHAM

jaman sekarang didominasi oleh para muqallid yang miskin ilmu ?[5] Jaman dimana banyak tuduhan tidak mempunyai sisi pandang yang dianggap.

Contoh lain lagi,….. Kita ambil contoh kontemporer. Misalnya perbedaan pandangan mengenai status Asy-Syaikh Rasyid Ridla rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[6] dan banyak di antara murid-muridnya menganggap bahwa Asy-Syaikh Rasyid Ridla bukan Ahlus-Sunnah. Bahkan ia dianggap seorang Mu’taziliy (berpemahaman Mu’tazillah). Namun di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan jumhur ulama muta’akhkhirin lainnya menganggapnya masih sebagai ulama Ahlus-Sunnah (yang terjatuh dalam kesalahan dalam ijtihad). Sampai sini tidak terlalu masalah bagi kita. Namun datanglah kemudian sebagian muqallid yang menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai asas saling cela terhadap sesama. Allaahul-Musta’aan…… Dan yang lainnya.[7]

Sungguh sangat menyedihkan perilaku orang-orang belakangan ini. Mereka menjadikan sempit apa yang sebenarnya luas bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah). Sikap keras (baca : sok keras) yang mereka ada-adakan adalah wujud dari sikap tidak mau melihat realitas perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika mereka membahas fiqh murni, bahasan perbedaan pendapat (khilaf ijtihadiyyah) ini ada mereka tampilkan. Tapi giliran membahasal-jarh wat-ta’dil – terutama dalam kasus kontemporer – bahasan ini menjadi lenyap bagai tertelan bumi. Padahal kedudukan dua hal ini adalah sama. Mereka menginginkan bahwa penyelisihan (khilaf) yang pantas diberikan pemakluman padanya adalah penyelisihan yang terjadi di kalangan orang-orang tertentu saja, terutama pihak-pihak yang mereka tokohkan. Namun jika penyelisihan itu terjadi pada orang-orang tidak mereka kehendaki, maka penyelisihan itu mereka anggap seakan-akan merupakan penyelisihan terhadap nash atau ijma’ yang tidak diberikan ruang pemakluman. Hal itu diperparah dengan sikap menyembunyikan fakta karena mengikuti hawa nafsu.[8]

Kedangkalan penyikapan itu juga dikarenakan oleh sebab akut mereka yang tidak bisa membedakan antara perselisihan yang lahir dari penyimpangan prinsip ilmu dengan perselisihan yang lahir dari perbedaan memandang realitas.[9] Dalam hal ushul ilmu, mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) tidak berbedalah berbeda. Mereka semua sama dalam hal ushul-ilmu tentang kewajiban memegang manhaj salaf, membenci sikap hizbiyyah dan orang-orang hizbiyyin, serta membenci perpecahan dan mencintai persatuan (dengan dasar ’aqidah dan manhaj). Perselisihan mereka (terutama dalam masalah al-jarh wat-ta’dil) adalah perselisihan tentang jenis kesalahan tertentu yang telah dilakukan oleh seorang ulama apakah cukup membuatnya keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah atau tidak ? Jika perselisihannya adalah dalam perkara ini, maka tidak seharusnya menjadi sebab tafaarruq di kalangan Ahlus-Sunnah !!

Semoga kita terhindar dari berbagai macam fitnah dan bukan termasuk orang yang menjadikan fitnah yang ada bertambah besar. Hanya kepada Allah lah kita mengadu dan memohon pertolongan. Wallaahu a’lam.

5>[5] Menyedihkannya, itu terjadi pada orang-orang yang mengklaim dirinya di atas manhaj salaf – padahal ia sangat jauh darinya. Yaitu, ketika salah seorang ustadz mengatakan bahwa si Fulan itu hizbiy atau surury, maka para muqallid ramai-ramai membeonya. Mereka (para muqalliduun) tersebut tidak menghendaki satu pun ruang toleransi kepada saudaranya (yang sama-sama seperti dirinya yang ingin meniti manhaj salaf, manhaj Ahlus-Sunnah). Ia tidak mentolerir sama sekali dengan adanya kemungkinan alasan bahwa apa yang dilihat oleh saudaranya terhadap si Fulan tersebut tidak sesuai dengan dakwaannya. Padahal, apa yang dilihat oleh saudaranya itu, si Fulan bukanlah hizbiy, bukan pula sururiy. Tragisnya, diberlakukanlah kemudian kaidah yang buruk oleh mereka : ”Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami” (wa man laisa ma’anaa fahuwa ’alainaa). Para muqalliduun itupun akhirnya men-tahdzir dan meng-hajr saudaranya yang Ahlus-Sunnah secara mutlak, baik yang pandai sampai yang masih bodoh, baik yang mengetahui permasalahannya sampai yang baru belajar mengaji gak tahu apa-apa.Semua diperlakukan ’sama’ hanya karena punya ’koneksi’ dengan si Fulan. Paramuqalliduun itu men-tahdzir dan meng-hajr berdasarkan igauan, bukan dengan ilmu………

Kamis, 24 Februari 2011

HUKUM WASILAH TERGANTUNG PADA TUJUANNYA

(Qawa'id Fiqhiyah: Kaidah Kedua)
Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya:
• Perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula.
• Perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya.
• Sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.

Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut.
Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kulliyah (menyeluruh), yang membawahi beberapa kaidah lain.
Pengertian الوَسِيلَةُ (wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju (perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawâzim (konsekuensi-konsekuensi) yang keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.
Jadi, apabila Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun kasat mata. Hal ini dikarenakan Allâh, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-hukum yang disyariatkan-Nya bagi hamba-Nya berupa lawâzim, syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna.
Sehingga, perintah untuk mengerjakan sesuatu bermakna perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.
Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majelis dzikir, silaturrahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabîlillâh (di jalan Allâh Ta'ala), sejak keluar dari rumah sampai pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasîlah (cara) untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allâh, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula) karena Allâh akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(Qs. at-Taubah/9:120-121)
Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan
dalam rangka menuntut ilmu
maka Allâh akan memperjalankannya
atau memudahkan jalan baginya menuju ke surga.
(HR Muslim)[1]
Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan shalat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan.
Dan firman Allâh Ta'ala :

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati
dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan
dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.
Dan segala sesuatu Kami kumpulkan
dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).
(Qs. Yasin/36:12)
Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” pada ayat di atas ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain.
Maka perintah untuk melaksanakan shalat adalah perintah untuk melaksanakan shalat dan perkara-perkara yang shalat tidak sempurna kecuali dengannya seperti thaharah (bersuci), menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan shalat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut.
Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut. Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2]:
“Jika datang waktu shalat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana”.
Dikarenakan kewajiban tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.
Termasuk juga di dalam kaidah ini adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil. Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam :
Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah. Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-masing.
Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh muasyarakat luas.
Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu ‘ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang.
Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma‘ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyalatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, termasuk juga mempelajari ilmu pertanian (persawahan, perkebunan), dan hal hal yang menyertainya.

[1] HR Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad Du’aa‘, Bab: Fadhl al-Ijtima’ ‘ala Tilawatil-Qur‘ân, no. 2699 dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu
[2] Al Mughni 1/314
(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII)

Hukum Menyalatkan orang yang mati bunuh diri

Bagaimana sebenarnya hukum menyalatkan jenazah yang meninggal karena bunuh diri? Padahal dulunya dia diketahui orang yang menjalankan shalat. Apakah haram? Dan bagaimana pula hukum takziyah mayatnya?

Pada dasarnya, larangan mutlak untuk tidak menshalatkan jenazah adalah jika jenazah tersebut berstatus kafir atau munafik (QS.at Taubah; 84) . Baik kafir asli maupun kafir karena divonis murtad. Untuk ini para ulama sudah ijma’ mengenai hukumnya yakni; haram. Namun, jika statusnya fasik seperti para pelaku dosa besar, para ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan, dan yang lain melarang. Sedang bunuh diri seara umum termasuk perbuatan fasik, bukan perbuatan kufur yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir karena melakukannya.
Tapi ada sebuah hadits yang menyatakan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُصَلِّ عَلَى رَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ

Dari Jabir bin Samurah, Nabi SAW tidak menyalati seorang lelaki yang mati diri. (HR. Ahmad).
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Dari Jabir bin Samurah berkata, “Ada jenazah seorang lelaki yang mati bunuh diri dengan pedang dihadapkan kepada Nabi dan beliau tidak menyalatinya.” (HR. Muslim).
Ulama menjelaskan, tidak shalatnya Nabi ini sebagai pelajaran bagi yang lain.
Namun begitu, para ulama masih berbeda pendapat soal ini. Yang berpendapat tidak boleh dishalatkan adalah: Umar bin Abdul Aziz, Imam al Auza’ dan Abu Yusuf. Madzhab Hanbali berpendapat: yang tidak shalat hanya imam atau khalifah atau pemimpin kaum saja, sedang lainnya menyalatkan. Akan tetapi andaipun Imam tetap menyalatkan maka tidak mengapa. Sebab, meskipun Nabi tidak menyalatkan, namun dalam sebuah riwayat ada semacam pengkhususan “Adapun aku tidak akan menyalatkannya.” Dulu di awal-awal Islam, Nabi juga tidak menyalatkan jenazah yang masih punya hutang, tapi menyuruh shahabat agar tetap menyalatkannya.(ref: Subulusalam III/98, al Mausu’ah al Fiqhiyah, bab Intihar, Bidayatul Mujtahid I/201)
Sedang menurut kebanyakan pendapat para ulama, boleh hukumnya menyalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Demikian pula jenazah orang yang melakukan dosa-dosa besar seperti zina, minum khamr, pemakan riba dan lainnya, tentu saja jika dia masih muslim. (lihat Bdiayatul Mujtahid wa Niahatul Muqtashid I/201)
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 24/288 menjelaskan bahwa status orang yang mati bunuh diri sama dengan yang sering meninggalkan shalat dari sisi hukum menyalatinya. Jika tidak menyalati bisa memberi efek jera, pelajaran bagi masyarakat, dan sebagai peringatan bagi orang lain agar jangan meremehkan shalat dan jangan bunuh diri, maka lebih baik tidak menyalatkan. Tapi jika menyalatkan pun tidak apa-apa.
Kesimpulannya, secara hitam putih hukum fikih, boleh hukumnya menyalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Hanya saja, jika dimaksudkan untuk memberi pelajaran bagi yang lain agar jangan melakukan hal tersebut jika tak ingin mati dan tidak ada yang menyalatkan, yang seperti itu juga dibolehkan.

HARAMKAH DEMONSTRASI (UNJUK RASA) MENENTANG PENGUASA MUSLIM ?

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Demonstrasi –seperti yang terjadi di sebagian negara muslim- untuk menggulingkan pemerintah atau meminta pemerintah muslim untuk mengundurkan diri, adalah suatu perbuatan yang bukan berasal dari ajaran Islam, tapi cara tersebut diadopsi dari perilaku orang-orang kafir.
Berikut ini kami sebutkan beberapa hal yang merupakan keburukan demonstrasi:

1. Tidak menjalankan perintah Nabi untuk menasehati penguasa secara diam-diam
Bimbingan dari Nabi adalah memberikan nasehat kepada penguasa/ pemimpin muslim secara langsung ( 4 mata) tanpa harus diketahui oleh orang lain.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ يَأْخُذ بِيَدِه فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ (رواه الحاكم و ابن أبي عاصم في السنة عن عياض بن غنم)
Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, hendaknya janganlah menyampaikannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia ambil tangannya, kemudian menyendiri bersamanya (dan menyampaikan nasehatnya). Jika diterima, itulah (yang diharapkan), jika tidak, maka ia telah menyampaikan kewajibannya (H.R alHakim dan Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dari Iyaadl bin Ghonam).
Semoga kita juga bisa mengambil pelajaran dari sikap Sahabat Usamah bin Zaid yang ditanya oleh sebagian orang: ‘Mengapa engkau tidak menasehati Utsman’? Usamah bin Zaid menyatakan bahwa apakah kalau ia menasehati Utsman, harus diketahui orang lain? Beliau telah menyampaikan nasehat secara langsung kepada Utsman. Perhatikan pula kefaqihan Usamah bin Zaid. Ia menyatakan: Aku tidak ingin menjadi pembuka pintu (fitnah) (hadits riwayat alBukhari dan Muslim). Usamah bin Zaid sangat paham bahwa menegur penguasa secara terang-terangan akan membuka pintu kejelekan dan fitnah. Karena itu beliau menasehati Utsman bin Affan secara diam-diam.
Perhatikan pula sikap Sahabat Nabi Abdullah bin Abi Aufa ketika didatangi oleh Said bin Jumhan dan membicarakan kedzhaliman penguasa, Abdullah bin Abi Aufa segera menegur dengan keras dengan menarik tangannya, sambil menyatakan:
وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
Celaka engkau wahai putra Jumhan! Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham (Nabi dan para Sahabatnya), Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham, Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham. Jika sultan (penguasa) mau mendengar darimu, datangilah ke rumahnya dan khabarkan tentang apa yang engkau ketahui. Jika diterima, itulah (yang diharapkan), jika tidak, maka sesungguhnya engkau tidaklah lebih tahu dibandingkan dia (riwayat Ahmad).
Salah satu pelajaran penting dari Sahabat yang mulya ini –selain adab menasehati penguasa- adalah janganlah rakyat merasa ia lebih tahu dibandingkan penguasanya. Seringkali orang merasa bahwa apa yang dilakukan pemimpin salah. Kebijakannya menyimpang. Padahal ia hanya menilai dari sudut pandang yang terbatas, sudut pandang rakyat. Seringkali pemimpin lebih tahu karena sudut pandangnya lebih luas (karena wilayah kekuasaannya lebih luas), info yang didapatkan lebih lengkap.
Bahkan, sikap menasehati penguasa secara diam-diam (tidak terang-terangan) itu adalah hak penguasa yang semestinya ditunaikan oleh rakyat. Diriwayatkan bahwa Sahabat Nabi Umar bin al-Khoththob radliyallaahu ‘anhu pernah berkhutbah:
أَيَّتُهَا الرَّعِيَّة إِنَّ لَنَا عَلَيْكُمْ حَقًّا النَّصِيْحَةُ باِلْغَيْبِ وَالْمُعَاوَنَةُ عَلَى الْخَيْرِ
Wahai sekalian rakyat, sesungguhnya kami memiliki hak terhadap kalian: nasehat bilghoib (tanpa diketahui orang lain), dan menolong dalam kebaikan…. (diriwayatkan oleh al-Hannad dalam az-Zuhud dan atThobary dalam Tarikhnya, dua jalur periwayatan ini saling menguatkan).
Said bin Jubair pernah bertanya tentang tata cara amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap penguasa kepada Sahabat Nabi Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu. Ibnu Abbas menyatakan:
إِنْ خِفْت أَنْ يَقْتُلَك فَلاَ تُؤَنِّبَ الإِمَامَ ، فَإِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَفِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ (مصنف ابن أبي شيبة)
Jika engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, janganlah engkau mencela penguasa. Jika engkau harus melakukannya (memberikan nasehat) maka hendaknya dilakukan antara dirimu dan dirinya saja (4 mata)(riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).
Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah memberikan arahan:
إِذَا أَتَيْتَ الأَمِيرَ الْمُؤَمِنُ فَلاَ تؤتيه أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ(مصنف ابن أبي شيبة)
Jika engkau mendatangi pemimpin mukmin, janganlah bersama seorangpun dari manusia (yang lain) (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).
Sahabat Nabi Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu juga pernah mengingkari dan menegur dengan keras sikap Abu Bilal yang mencela terang-terangan pemimpin Abdullah bin Amir. Abu Bakrah menganggap sikap Abu Bilal itu adalah penghinaan terhadap sulthan, dan dikhawatirkan akan mendapatkan adzab kehinaan dari Allah (sebagaimana diriwayatkan oleh atTirmidzi dalam Sunannya).

2. Mencela Penguasa
Demonstrasi akan mengarahkan orang untuk mencela penguasa. Padahal orang yang beriman dilarang untuk mencela penguasa mereka. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَ لاَ تغشُّوْهُم وَ لاَ تَعْصُوهُمْ وَ اتَّقُوا اللهَ وَ اصْبِرُوا فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيْبٌ ( رواه ابن أبي عاصم في السنة و البيهقي في شعب الإيمان وقال الألباني في ظلال الجنة إسناده جيد)
Jangan kalian cela pemimpin (umara’) kalian, jangan menipu mereka, jangan bermaksiat kepada mereka (dalam hal yang ma’ruf), dan bertaqwalah kepada Allah serta bersabarlah karena al-amr (urusan ini) telah dekat (H.R Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dan dinyatakan oleh Syaikh al-Albany bahwa sanadnya jayyid (baik)).
Sahabat Nabi Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu menyatakan:
الأكابر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم ينهونا عن سب الأمراء
Pembesar-pembesar dari kalangan Sahabat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari mencela umara’ (pemimpin) (diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Daany dalam as-Sunan al-Waridah fil Fitan).
Ubadah bin Nusaiy (salah seorang tabi’in yang mulya, murid dari Sahabat Nabi Abu Sa’id al-Khudry) menyatakan:
أَوَّلُ النِّفَاقِ الطَّعْنُ فِي اْلأَئِمَّة (تهذيب الكمال)
Awal kemunafikan adalah mencela para pemimpin (Tahdzibul Kamal (14/197) karya alImam al-Mizzi)
Mencela dan menjelek-jelekkan pemimpin muslim adalah sesuatu hal yang bertentangan dengan bimbingan al-Qur’an. Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun dengan ucapan yang lembut.
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut agar ia menjadi ingat atau takut (Q.S Thaha:44).
Kepada Fir’aun yang demikian kafir, Allah perintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang halus dan bukan kata-kata kasar, hardikan, atau celaan, apalagi terhadap pemimpin yang masih muslim.

3. Bisa menyebabkan seseorang Mencabut Ketaatan terhadap Pemerintah Muslim
Demonstrasi yang dilakukan bisa meruntuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyat, karena kejelekan-kejelekannya dibeberkan. Hal tersebut pada akhirnya bisa menggiring pelaku demonstrasi tersebut atau orang lain yang terpengaruh dengannya untuk tidak mau taat lagi pada pemerintahnya meski dalam hal-hal yang ma’ruf.
Semestinya jika pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan, maka janganlah taat kepada kemaksiatan itu saja, namun tetap taat dalam hal-hal lain yang ma’ruf yang tidak mengandung kemaksiatan. Rasulullah shollalaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
Dan jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci ada pada pemimpin kalian, bencilah perbuatannya, tapi jangan cabut ketaatan (darinya)(H.R Muslim).
4. Tasyabbuh (Meniru tata cara orang Kafir)
Perbuatan demonstrasi tersebut adalah tasyabbuh dengan orang-orang kafir, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albany. Hendaknya seorang muslim khawatir dengan perilaku-perilaku yang meniru-niru akhlaq dan tata cara orang-orang kafir yang justru menimbulkan mudharat (kerusakan) yang lebih banyak. Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut (H.R Abu Dawud)
5. Mengajak Orang untuk Tidak Bersabar
Seorang muslim dibimbing oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk sabar dalam menghadapi kedzhaliman penguasa. Disebutkan dalam sebagian hadits:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ (متفق عليه)
Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya terdapat suatu hal yang ia benci, maka bersabarlah (Muttafaqun ‘alaih).
Diriwayatkan bahwa Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah menyatakan:
إن الإمام يفسد قليلا ويصلح الله به كثيرا وما يصلح به أكثر مما يفسد فما عمل فيكم من طاعة الله فله الأجر وعليكم الشكر وما عمل فيكم من معصية الله فعليه الوزر وعليكم الصبر
Sesungguhnya pemimpin membuat kerusakan sedikit dan Allah memperbaiki dengannya hal yang banyak. Perbaikannya lebih banyak dari kerusakannya. Jika pemimpin di tengah-tengah kalian mengamalkan ketaatan kepada Allah, maka baginya pahala dan hendaknya kalian bersyukur, jika ia melakukan kemaksiatan, maka baginya dosa dan hendaknya engkau besabar (diriwayatkan oleh Abu ‘Amr ad-Daany dalam as-Sunan alWaridah fil fitan)
Ketika Yazid bin Mu’awiyah dibaiat sebagai pemimpin, sampailah kabar itu kepada Sahabat Nabi Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhu, beliau berkata:
إنْ كَانَ خَيْرًا رَضِينَا ، وَإِنْ كَانَ شَرًّا صَبَرْنَا
Jika memang baik (kepemimpinannya) kami akan ridla, jika buruk, kami akan sabar (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).
Sedangkan demonstrasi adalah perwujudan ketidaksabaran dalam menghadapi hal tersebut.
Bukan berarti tidak perlu adanya nasehat kepada penguasa muslim, namun hendaknya nasehat itu diberikan dengan adab-adab yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam dan para Sahabatnya (sebagaimana disebutkan dalam poin pertama di atas), jika tidak memungkinkan sampainya nasehat tersebut, maka hendaknya bersabar dan berdoa.
Al-Imam Ibnu Abdil Bar menyatakan:
إن لَم يكن يتمكن نصحُ السلطان، فالصبر والدعاء، فإنَّهم كانوا ـ أي الصحابة ـ ينهون عن سبِّ الأمراء
Jika tidak memungkinkan memberikan nasehat kepada penguasa, maka hendaknya ia bersabar dan berdoa, karena sesungguhnya mereka –para Sahabat Nabi- melarang dari mencela para pemimpin (at-Tamhiid juz 21 hal 287).
Memang, seharusnya para rakyat harus bersabar, karena keadaan pemimpin adalah merupakan perwujudan keadaan rakyatnya. Jika rakyat baik, Allah akan memberikan pemimpin yang baik, jika tidak maka Allah akan beri pemimpin yang sebaliknya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami menjadikan sebagian orang yang dzhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan perbuatan mereka (Q.S al-An’am:129).
Sahabat Nabi Ka’ab al-Ahbar radliyallaahu ‘anhu pernah menyatakan:
إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى نَحْوِ قُلُوْبِ أَهْلِهِ فَإِذَا أَرَادَ صَلاَحَهُمْ بَعَثَ عَلَيْهِمْ مُصْلِحًا وَ إِذَا أَرَادَ هَلَكَتَهُمْ بَعَثَ فِيْهِمْ مُتْرَفِيْهِمْ
Sesungguhnya pada setiap zaman terdapat penguasa (raja) yang Allah bangkitkan sesuai keadaan hati rakyatnya. Jika Allah menginginkan kebaikan bagi mereka, Allah bangkitkan orang yang melakukan perbaikan, jika Allah menginginkan kebinasaan mereka, Allah bangkitkan di dalam mereka orang-orang yang banyak bermewah-mewahan di antara mereka (riwayat alBaihaqy dalam Syu’abul Iman).
6. Meninggalkan Sikap Mendoakan Kebaikan pada Penguasa
Demonstrasi akan menyulut kebencian terhadap penguasa, kebencian itu akan menyebabkan seseorang justru tidak mendoakan kebaikan bagi penguasa. Kalaupun ia mendoakan, justru ia akan mendoakan keburukan (laknat) bagi penguasa. Akibatnya, justru keadaan penguasa tersebut akan semakin buruk.
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, mereka melaknat kalian dan kalianpun melaknat mereka (H.R Muslim).
dalam riwayat lain dinyatakan:
وَإِنَّ شِرَارَ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ ، وَيُبْغِضُونَكُمْ ، وَتَدْعُونَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُونَ عَلَيْكُمْ
Dan sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci kepadanya dan iapun benci kepada kalian, dan kalian mendoakan (keburukan) untuk mereka, dan mereka pun mendoakan (keburukan) untuk kalian (H.R alBazzar)
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam membimbing kita untuk berdoa memohon hak kita kepada Allah, bukan mendoakan keburukan untuk penguasa:
إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Para Sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami jika menemui hal itu? Rasul bersabda: tunaikan kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah (berdoa)(Muttafaqun ‘alaih).
Mendoakan kebaikan untuk penguasa adalah salah satu syi’ar Ahlussunnah, sebaliknya para pengikut hawa nafsu akan cenderung mendoakan keburukan untuk penguasa.
Al-Imam al-Barbahary-rahimahullah- menyatakan:
إذا رأيت الرجلَ يدعو على السلطان فاعلم أنَّه صاحبُ هوى، وإذا سمعتَ الرجلَ يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنَّه صاحبُ سنَّة إن شاء الله تعالى
Jika engkau melihat seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa (nafsu), dan jika engkau mendengar laki-laki mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah Ahlussunnah –insyaAllah-(Syarhus Sunnah).
7. Menyebabkan Pemimpin Lebih Sulit Menerima Kebenaran
Penyampaian nasehat dengan cara yang beradab akan lebih mudah untuk diterima, dibandingkan dengan cara demonstrasi yang kerap kali diiringi dengan celaan dan membeber kesalahan-kesalahan di muka umum.
Umar bin al-Khottob saja sempat marah ketika ditegur langsung dan dianggap tidak adil di hadapan orang lain, tapi untungnya kemudian beliau diingatkan dengan ayat AlQur’an. Umar adalah termasuk seorang yang terdepan mampu menghentikan gejolak hatinya ketika diingatkan dengan Al-Qur’an
عَنِ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ وَكَانَ مِنْ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ يَا ابْنَ أَخِي هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الْأَمِيرِ فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ قَالَ سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَاسْتَأْذَنَ الْحُرُّ لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ هِيْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ وَلَا تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالْعَدْلِ فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ } وَإِنَّ هَذَا مِنْ الْجَاهِلِينَ وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّه (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas –radliyallahu ‘anhuma- beliau berkata: Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah datang kepada anak saudaranya (keponakannya) al-Hurr bin Qois. Al-Hurr adalah seorang yang didekatkan Umar (pada majelisnya), al-Hurr adalah al-Qurra’ (seorang yang mahir membaca alQuran) dan orang yang sering diajak muswayarah dalam majelis Umar. (Umar memang sering mengajak musyawarah para ahli ilmu baik orang dewasa maupun para pemuda). Uyainah berkata kepada anak saudaranya: Bukankah engkau memiliki kedudukan di sisi pemimpin ini. Mintakan aku ijin kepadanya. (Al-Hurr) berkata: Aku akan memintakan ijin untukmu. Kemudian Umar mengijinkan.. Ketika Uyainah masuk menuju Umar ia berkata: Wahai putra al-Khottob, demi Allah engkau tidaklah memberikan kepada kami pemberian yang banyak, dan engkau tidak menetapkan hukum terhadap kami dengan adil. Maka Umar marah, sampai-sampai ia hampir saja hendak ( memukulnya). Kemudian alHurr berkata: Wahai Amirul Mu’minin sesungguhnya Allah Ta’ala telah berkata kepada NabiNya shollallaahu ‘alaihi wasallam:
{ خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ }
Ambillah (sifat) memaafkan, dan perintahkan kepada hal yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh
Sedangkan orang ini (Uyainah) adalah orang yang bodoh. (Ibnu Abbas berkata): Demi Allah, Umar tidaklah melampaui (sikapnya untuk hendak memberikan hukuman) ketika al-Hurr membaca ayat tersebut. Dan ia (Umar) adalah seorang yang paling bisa berhenti ketika (dibacakan) Kitabullah (H.R alBukhari).
Perhatikanlah, Umar bin al-Khottob saja bisa marah jika dicela di hadapan orang lain tidak dengan cara yang beradab. Beliau tidak marah jika diingatkan dengan ayat Allah dengan cara yang santun dan beradab.
Tentang kisah seorang wanita yang menegur Umar karena membatasi jumlah mahar, sebagian Ulama’ melemahkan riwayat tersebut, di antaranya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany dalam Irwaa’ul Gholil. Kalaupun riwayat itu sah (menurut pendapat Ibnu Katsir) wanita tersebut menjaga adab-adab dalam menyampaikan nasehat. Ia tidak langsung mengatakan bahwa Umar telah salah, tapi ia lebih dulu mengatakan:
يا أمير المؤمنين كتاب الله أحق أن يتبع أو قولك
Wahai Amirul Mukminin, apakah yang lebih berhak diikuti adalah Kitabullah atau ucapanmu?
(Perhatikan, ia memanggil dengan sebutan: Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin), dan memberikan muqoddimah terlebih dahulu, tanpa langsung menyalahkan Umar).
Umar menyatakan:
بل كتاب الله بم ذاك
Justru Kitabullah (yang harus diutamakan), ada apa?
Wanita itu menyatakan:
إنك نهيت الناس آنفا أن يغالوا في صدق النساء ، والله عز وجل يقول في كتابه : وآتيتم إحداهن قنطارا ، فلا تأخذوا منه شيئا
Sesungguhnya anda baru saja melarang manusia untuk berlebihan dalam membayar mahar wanita, sedangkan Allah Azza Wa Jalla berfirman dalam KitabNya:
وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
…Sedangkan engkau memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, janganlah mengambil darinya sedikitpun…(Q.S anNisaa’: 20).
Umar kemudian menyatakan:
كل أحد أفقه من عمر
Setiap orang lebih berilmu dari Umar (riwayat alBaihaqy dalam as-Sunanul Kubro dan at-Thohawy dalam Musykilul Atsar).
8. Lebih Menyerupai Akhlaq Orang-orang Fajir
Seorang mukmin ketika menyampaikan nasehat, ia ikhlas menyampaikannya untuk kebaikan saudaranya. Salah satu bentuk keikhlasan itu ditunjukkan dengan cara nasehat disampaikan secara diam-diam, langsung kepada pihak yang dituju, dengan penyampaian yang baik. Sedangkan demonstrasi lebih jauh dari sifat ikhlas karena menjadi ajang menyebutkan aib-aib dan kejelekan pihak yang didemo.
Al-Fudhail bin Iyyadl menyatakan:
المؤمن يستر وينصح والفاجر يهتك ويعير
Seorang mukmin menyembunyikan (aib) dan menasehati, sedangkan seorang fajir merusak (kehormatan) dan membeberkan aib-aib (Lihat Jaamiul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab).
Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan:
من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ، ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه
Barangsiapa yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka sesungguhnya ia telah bersikap nasihat dan memperindahnya, dan barangsiapa yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mengumbar aibnya dan berkhianat terhadap saudaranya (riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’).
9. Bisa Mendatangkan Kehinaan
عَنْ زِيَادِ بْنِ كُسَيْبٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ أَبِي بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ ابْنِ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَقَالَ أَبُو بِلَالٍ انْظُرُوا إِلَى أَمِيرِنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الْفُسَّاقِ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ
Dari Ziyad bin Kusaib al-Adawiy beliau berkata: Aku pernah bersama Abu Bakrah (Sahabat Nabi) di bawah mimbar (penguasa) Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan menggunakan pakaian tipis. Kemudian Abu Bilal berkata: Lihatlah kepada pemimpin kita yang memakai pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah berkata: Diamlah! Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghinakan Sulthan Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya (H.R atTirmidzi, dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’).
Perhatikanlah, Sahabat Nabi Abu Bakrah menganggap orang yang menyebutkan aib penguasa di hadapan orang lain sebagai orang yang menghinakan sultan, dan dikhawatirkan Allah akan menghinakan dia.

10. Menyebabkan Pertumpahan Darah
Tidak jarang demonstrasi menentang penguasa menyebabkan adanya korban tewas di kalangan kaum muslimin. Perhatikanlah kejadian di Mesir (lebih dari 270 orang tewas), Libya (lebih dari 200 orang tewas). Semuanya adalah akibat demonstrasi.
Padahal, satu saja jiwa muslim sangat berharga dan harus dijaga. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh-sungguh hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya satu orang muslim (H.R atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany).
Sahabat Nabi Ibnu Umar pernah memandang Ka’bah sambil berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ
Sungguh agungnya engkau, dan sungguh agung kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya di sisi Allah dibandingkan engkau(riwayat atTirmidzi).
Seorang mukmin sangat terhormat darah, harta, dan a’radhnya (karakter atau jati dirinya) sebagaimana disebutkan oleh Nabi ketika Haji Wada’.
11. Mengakibatkan Konflik Antar Kelompok
Kalaulah demonstrasi tidak menyebabkan pertumpahan darah, seringkali memicu bentrokan antar kelompok. Baik antar kelompok yang anti dengan kelompok yang pro, atau antar demonstran dengan aparat keamanan. Padahal, tidak jarang masing-masing kelompok itu adalah sama-sama muslim.
Bentrokan itu acap kali berupa pelemparan batu, pukulan, saling dorong, tembakan peluru hampa, atau semisalnya yang seringkali menyebabkan adanya pihak-pihak yang terluka, cacat, atau juga kerusakan pada kendaraan dan fasilitas umum.
12. Membuang-buang Waktu, Biaya, dan Tenaga
Jika sudah jelas bahwa demonstrasi bukan bagian dari petunjuk Nabi dan para Sahabatnya, maka perbuatan tersebut adalah sia-sia. Hanya membuang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Betapa banyak orang yang tersibukkan dengan demonstrasi menyebabkan ia meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat, baik di rumah atau tempat kerjanya.
13. Keluarnya Wanita dari Rumah sehingga Menimbulkan Fitnah
Tidak jarang demonstrasi (unjuk rasa) di muka umum juga dilakukan para wanita. Hal ini merupakan salah satu bentuk kemunkaran dari perbuatan tersebut.
Secara asal, seorang wanita dituntunkan berada di dalam rumahnya. Tidaklah ia keluar kecuali karena ada kepentingan yang mendesak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan tinggallah kalian (wahai wanita) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya kaum jahiliyah terdahulu (Q.S al-Ahzab:33).
Demikianlah, beberapa kemunkaran demonstrasi. Banyaknya kemunkaran tersebut tidaklah hanya terbatas pada hal-hal yang kami sebutkan ini saja. Hanya Allah Subhaanahu Wa ta’ala yang Maha Tahu atas keburukan-keburukan dan mafsadah di dalamnya.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemimpin-pemimpin mereka….