Halaman

Minggu, 27 Februari 2011

SALAH PAHAM

jaman sekarang didominasi oleh para muqallid yang miskin ilmu ?[5] Jaman dimana banyak tuduhan tidak mempunyai sisi pandang yang dianggap.

Contoh lain lagi,….. Kita ambil contoh kontemporer. Misalnya perbedaan pandangan mengenai status Asy-Syaikh Rasyid Ridla rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[6] dan banyak di antara murid-muridnya menganggap bahwa Asy-Syaikh Rasyid Ridla bukan Ahlus-Sunnah. Bahkan ia dianggap seorang Mu’taziliy (berpemahaman Mu’tazillah). Namun di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan jumhur ulama muta’akhkhirin lainnya menganggapnya masih sebagai ulama Ahlus-Sunnah (yang terjatuh dalam kesalahan dalam ijtihad). Sampai sini tidak terlalu masalah bagi kita. Namun datanglah kemudian sebagian muqallid yang menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai asas saling cela terhadap sesama. Allaahul-Musta’aan…… Dan yang lainnya.[7]

Sungguh sangat menyedihkan perilaku orang-orang belakangan ini. Mereka menjadikan sempit apa yang sebenarnya luas bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah). Sikap keras (baca : sok keras) yang mereka ada-adakan adalah wujud dari sikap tidak mau melihat realitas perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika mereka membahas fiqh murni, bahasan perbedaan pendapat (khilaf ijtihadiyyah) ini ada mereka tampilkan. Tapi giliran membahasal-jarh wat-ta’dil – terutama dalam kasus kontemporer – bahasan ini menjadi lenyap bagai tertelan bumi. Padahal kedudukan dua hal ini adalah sama. Mereka menginginkan bahwa penyelisihan (khilaf) yang pantas diberikan pemakluman padanya adalah penyelisihan yang terjadi di kalangan orang-orang tertentu saja, terutama pihak-pihak yang mereka tokohkan. Namun jika penyelisihan itu terjadi pada orang-orang tidak mereka kehendaki, maka penyelisihan itu mereka anggap seakan-akan merupakan penyelisihan terhadap nash atau ijma’ yang tidak diberikan ruang pemakluman. Hal itu diperparah dengan sikap menyembunyikan fakta karena mengikuti hawa nafsu.[8]

Kedangkalan penyikapan itu juga dikarenakan oleh sebab akut mereka yang tidak bisa membedakan antara perselisihan yang lahir dari penyimpangan prinsip ilmu dengan perselisihan yang lahir dari perbedaan memandang realitas.[9] Dalam hal ushul ilmu, mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) tidak berbedalah berbeda. Mereka semua sama dalam hal ushul-ilmu tentang kewajiban memegang manhaj salaf, membenci sikap hizbiyyah dan orang-orang hizbiyyin, serta membenci perpecahan dan mencintai persatuan (dengan dasar ’aqidah dan manhaj). Perselisihan mereka (terutama dalam masalah al-jarh wat-ta’dil) adalah perselisihan tentang jenis kesalahan tertentu yang telah dilakukan oleh seorang ulama apakah cukup membuatnya keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah atau tidak ? Jika perselisihannya adalah dalam perkara ini, maka tidak seharusnya menjadi sebab tafaarruq di kalangan Ahlus-Sunnah !!

Semoga kita terhindar dari berbagai macam fitnah dan bukan termasuk orang yang menjadikan fitnah yang ada bertambah besar. Hanya kepada Allah lah kita mengadu dan memohon pertolongan. Wallaahu a’lam.

5>[5] Menyedihkannya, itu terjadi pada orang-orang yang mengklaim dirinya di atas manhaj salaf – padahal ia sangat jauh darinya. Yaitu, ketika salah seorang ustadz mengatakan bahwa si Fulan itu hizbiy atau surury, maka para muqallid ramai-ramai membeonya. Mereka (para muqalliduun) tersebut tidak menghendaki satu pun ruang toleransi kepada saudaranya (yang sama-sama seperti dirinya yang ingin meniti manhaj salaf, manhaj Ahlus-Sunnah). Ia tidak mentolerir sama sekali dengan adanya kemungkinan alasan bahwa apa yang dilihat oleh saudaranya terhadap si Fulan tersebut tidak sesuai dengan dakwaannya. Padahal, apa yang dilihat oleh saudaranya itu, si Fulan bukanlah hizbiy, bukan pula sururiy. Tragisnya, diberlakukanlah kemudian kaidah yang buruk oleh mereka : ”Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami” (wa man laisa ma’anaa fahuwa ’alainaa). Para muqalliduun itupun akhirnya men-tahdzir dan meng-hajr saudaranya yang Ahlus-Sunnah secara mutlak, baik yang pandai sampai yang masih bodoh, baik yang mengetahui permasalahannya sampai yang baru belajar mengaji gak tahu apa-apa.Semua diperlakukan ’sama’ hanya karena punya ’koneksi’ dengan si Fulan. Paramuqalliduun itu men-tahdzir dan meng-hajr berdasarkan igauan, bukan dengan ilmu………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar