Halaman

Minggu, 17 Juli 2011

HADITS QUDSI

MACAM-MACAM HADIS DARI BERBAGAI TINJAUAN

PENDAHULUAN

Kata qudsi, sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadis, demikian juga nama Rabbani dan Ilahi. Hadis marfu’ adalah hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah Saw atau menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seorang Rasul.
Sebagian ulama memasukan hadis mawquf kedalam golongan hadis dha’if. Hadis mawquf sama dengan hadis marfu’ yakni ada yang shahih, ada yang hasan, dan dha’if. Walaupun mawquf shahih prda milanya tidak dapat dijadikan huajah, karena ia hanya perkatan atua perbuatan sahabat semata. Hadis muttashil/mawshul adalah hadis yang besambung sananya, baik periwayatan itu datang dari Nabi Saw ataupun dari seorang sahabat bukan dari tabi’in.


















MACAM-MACAM HADIS DARI BERBAGAI TINJAUAN

A. Hadis dilihat dari sumber berita
Hadis dilihat dari sumber berita, dari siapa berita itu dimunculkan pertama kali terdapat empat macam, yaitu qudsi, marfu’, mawquf, dan, maqthu’. Secara umum dapat dikatakan jika sumber berita itu dari Allahdinamakan hadis qudsi, jika sumber berita datang dari nabi disebut hadis marfu’, jika datangnya sumber berita itu dari sahabat disebut hadis mawquf, dan jika datangnya dari tabi’in disebut hadis maqthu’. Sumber berita utama di atas tidak dapat menentukan keshahihan suatu hadis sekalipun datangnya dari Allah atau nabi, karena tinjauan kualitas shahih, hasan dan dha’if tidak hanya dilihat dari segi sumber berita akan tetapi lebih dilihat dari sifat-sifat para pembawa berita.

1. Hadis Qudsi
Pengertian hadis qudsi menurut bahasa kata Al-qudsi nisbah dari kata al-quds القدس yang diartikan “suci” (ath-thaharah dan at-tanzih). Hadis ini dinamakan suci (al-qudsi), karena didasarkan kepada Zat Tuhan yangMaha Suci. Atau dinisabahkan pada kata Ilah (Tuhan) makadisebut hadis Ilahi dan atau dinisabahkan kepada Rabb (Tuhan), maka disebut pula hadis Rabbani.
Kata qudsi, sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadis, demikian juga nama Rabbani dan Ilahi. Sandaran hadis kepada Allah tidak menunjukkan kualitas hadis. Oleh karena itu tidak semua hadis qudsi shahih tetapi ada yang shahih, hasan, dan dhai’if tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan. Menurut istilah hadis qudsi adalah:
مَا نُقِلَ اِلَيْنَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ اَسْنَادِهِ اِيَّاهُ اِلَى رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ

Sesuatu yang dipindahkan dari nabi Saw serta penyandarannya kepada Allah Swt.


Contoh hadis qudsi:
قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَأ يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَعَالَى أَنَّهُ ٌقَالَ: (أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِيْ بِي وَ أَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكُرُنِيْ فِي نَفْسِهِ ذكَرتُهُ فِي نَفْسِيْ وَاِنْ ذَكَرَنِيْ فِي مَلَاٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَاٍ خَيْرٌ مِنْهُ)
Artinya:
Sabda Rasulullah pada appa yang diriwayatkan dari Tuhannya, bahwasannya Dia berfirman: “saya menurut dugaan hamba-Ku pada-Ku dan aku bersamanya ketika ia ingat kepada-Ku, jika ia ingat kepada-Ku sendirian aku pun ingat kepadaya sedirian dan jika ia inagat kepadaku kepada kelompok/jama’ah aku pun iingat kepadanya pada kelompok.”

Hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan Nabi Saw swcara ahadi (itdak mutawatir) sandarannya kepada Allah. Pada umumnya di sandarkan kepada Allah karena Allah yang berfirman atau yang memunculkan berita atau terkadang disandarkan kepada Nabi Saw karena beliau yang membrikandari Allah, berbeda dengan Alqur’an yang hanya disandarkan kepada Allah.
Kalau dalam Allqur’an dikatakan:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ..............
Allah berfirman:……………..
Berbeda dengan periwayat hadis qudsi, maka dikatakan:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْ عَنْ رَبَّهِ تَعَالَى:.........
Rasulullah Saw bersabda pada apa yang diriwayatkan dari Tuhannya: ......
Para ulama berselisih pendapat tentang substansi sunnah, apakah sunnah seluruhnya wahyu apakah tidak? Pendapat pertama lebih kuat karena dipertegas oleh ayat Allah:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #“uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” ( Q.S. An-Najm [53]: 3-4)
Dan sabda Nabi Saw:
أَلَا وَ إَنِي أُوْ تِيْتُ الْكتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ
Ingatlah dan sesungguhnya diberi al-Kitab (Alqur’an) dan sesamanya bersamanya.” (H.R. Abu Dawud)
Banyak sekali hadis qudsi yang disampaikan secara wahyu dalam berbagai bentuk macam penyampaiannya, seperti dalam tidur, langsung kedalam hati, dan melalui llisan Malaikat.

2. Hadis Marfu’
a. Pengertian
Marfu’ menurut bahasa “yang di angkat” atau “yang di tinggikan”, ialah lawan kata makhfudh. Menurut ahli nahwu, marfu’ kalimat yang didepankan baris akhirnya atau di-dhommah-kanbaris akhirnya, seperti fa’il yang jatuh setelah fi’il seperti: قَرَأَ عَلِيٌ الحَدِيْثَ = Ali membaca hadis, ketika membaca baris dhommah suara dan tenaga lebih terangkat dari pada baris fathah dan kasrah. Hadis marfu’ adalah hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah Saw atau menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seorang Rasul. Menuut istilah sebagian ulama hadis ialah:
مَا اُ ضِيْفَ إِلَى النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَصَّةً مِنْ قَولِ اَوْ فِعْلِ اَوْ تَقْرِيْرِ سَوَاءٌ كَانَ مُتَّصِلاً أَوْ مُنْقَطِعًا اَوْ مُعْضَلاً
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw secara khusus, baik perkataan, perbuatan, atau takrir, baik sanadnya itu muttasil (bersambung-sambung tidak putus-putus) maupun munqatthi’atau mu’dhal.
Sedangkan menurut ulama lain hadis marfu’ adalah:
Hadis yang dipindahkan dari Nabi Saw dengan menyandarkan dan mengangkat (merafa’kan) kepadanya.

b. Contoh marfu’
1. Contoh marfu’ qawli
Seperti yang di berikan oleh abu sa’id al-khudri ra berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ : إِنَّ المُؤْمِنُ كَابُنْيَانِ يَشُدُّ بَضَهُ بَعْضًا
Artinya:
Telah bersabda Rasulullah Saw sesungguhnya yang orang beriman itu terhadap sesamanya sama dengan keadaan batu tembok, satu dengan yang lain saling mengika. (H.R. Al-Bukhori, Al-Muslim, At-tirmizi, dan An-Nasa’i)
2. Contoh hadis marfu’ fi’li
Contoh hadis marfu’ fi’li (pekerjaan yang disandarkan krpada Nabi Saw ialah:
seperti perkataan Anas ra.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا, إِذَا قُمْنَا إلَى الصَّلاَةِ قَإَذَا استَوَيْنَا كَبَّرَ
Artinya:
Bahwa Nabi Saw membetulkan shaf-shaf kami apabila kami akan shalat. Maka setelah shaf itu lurus, barulah Nabi bertakbir.
3. Contoh hadis marfu’ taqriri
Contoh hadis marfu’ taqriri (persetujuan Nabi) ialah seperti perkataan ibnu abbas:
كُنَّانُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُبِ الشِّمْسِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرَا وَلَمْ يَامُرْنَا ولم ينهنا


Artinya:
Bahwa kami (para sahabat) bersambungnya dua rakaat setelah terbenamnya matahari (sebelum shalat Magrib). Rasulullah mlihat pekerjaan kami itu, beliau tidak menyuruh kami dan tidak mencegahnya. (HR. Muslim)
Beberapa contoh diatas menggambarkan ragam hadis marfu’ dalam berbagai aspernya yaitu yang meliputi, pertama marfu’ qawli kedua disebut marfu’ fi’li dan ketiga dinamai marfu’ taqriri

3. Hadis Mauquf
a. Pengertian
Mawquf menurut bahsa waqaf artinya berhenti. Di dalam al-Qur’an terdapat tanda-tanda waqaf yang harus dipatuhi oleh si pembacanya. Barang waqaf berhenti tidak boleh di jual belikan kepada orang lain, karena amal Lillah Ta’ala sampai hari kiamat tiba. Mawquf adalah barang yang dihentikan atau barang yang diwakafkan. Menurut pengertian istilah ulama hadis adalah:
مَا أُضيْفَ إَلَى الصَّحَابي مِنْ قَوْلِ او فعلِ او نحوِ ذلكَ مُتَّصَلاً كَانَ او مُنْقَطِعًا
Sesuatu yang sandarkan kepada sahabat, baik pekerjaan, perkataan, dan persetujuan, baik bersambung sanadnya maupun terputus.

b. Contoh mawquf
Contoh mawquf qawli
قَالَ عَلِيُّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : حَدَّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ, أَتُرِيْدُوْنَ أنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ ؟
Artinya:
Ali bin abi thalib ra berkata: Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah engkau menghendaki Allah dan Rasul-Nya di dustakan? (HR. Al-Bkuhari)
وَاُمُّ ابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَتَيَمَّمُ
Dan ummu ibnu Abbas sedangkan ia bertayamum. (HR. Al-Bukhari)
Contoh mawquf taqriri
فَعَلْتُ كَذَا أَمَامَ أَحَدِ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يَنْكِرْ عَلَّيَّ
Aku melakukan beginidi hadapan salah seorang sahabat dan ia tidak mengingkariku.

c. Hukum mawquf
Sebagian ulama memasukan hadis mawquf kedalam golongan hadis dha’if. Hadis mawquf sama dengan hadis marfu’ yakni ada yang shahih, ada yang hasan, dan dha’if. Walaupun mawquf shahih prda milanya tidak dapat dijadikan huajah, karena ia hanya perkatan atua perbuatan sahabat semata. Tetapi jika diperkan oleh sebagian hadis sekalipun dha’if ia dapat di jadikan hujah sebagaimana hadis mursal karena secara substansial perbuatan sahabat adalah pengamalan sunnah. Demikan juga terkecuali apabila hadis mauquf dihukumi marfu’yang disebut dengan marfu’ hukmi. Maksudnya, dilihat dari lafalnya mawquf, tetapi dilihat dari maknanya adalah marfu’.

4. Hadis Maqthu’
a. Pengertian
Menurut bahasa kata maqthu’ berasal dari kata قَطَعَ يَقْطَعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَ مَقْطوْعٌ bearti terpotong atau terputus lawal dari mawshul artinya bersambung. Kata terputus disini dimaksudkan tidak sampai kepada Nabi Saw ia hanya sampai kepada tabi’in saja. Menurut istilah hadis maqthu’ adalah sbb:
مَا أُضِيْفَ إِلَى التَّابِعِيّ أَوْ مَنْ دُوْنَةُ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ
Adalah sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi’iin atau orang setelahnya, baik dari perkataan atau perbuatan.
Dari pengertian diatas hadis maqthu’ dapat disimpulakan adalah sifat matan yang disandarkan kepada seorang seorang tabi’in atau seorang generasi setelahnya baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.

b. Contoh hadis maqthu’
Contoh hadis maqthu’ qawli seperti kata Al-Hasan Al-Basri tentang shalat di belakang ahli bid’ah.
صَلّ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ
Shalatlah dan bid’ahnya atasnya. (HR. Al-Bukhari)
Contoh hadis maqthu’ fi’li sebagaimana perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Al-Mutasyir.
كَانَ مَسْرُوْقٌ يُرْخِيْ السُّتْرَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اَهْلِهِ, وَيَقْبَلُ عَلَى صَلَاتِهِ وَيُخَلِّيْهِيْم وَدُنْيَا هُمْ
Masruq memanjagkan selimut antara dia dan istrinya menerima shalatnya, bersunyi, dari mereka dan dunia mereka.

c. Kehujahan maqthu’
Hadis maqthu’ tidak dapat dijadiakn hujah dalam hukum syara’ sekalipun shahih, karena ia bukan yang datang dari Nabi Saw. Dia hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat islam. Tetapi jika disana ada bukti-bukti kuat yang menunjukka kemarfu’annya maka dihukumi marfu’ murasl. Misalnya perkataan sebagai periwayat ketika menyebut tabi’i ia berkata: yarfa’uhu = ia marfu’kannya. Atau dalam ungkapan lain dapat dikatakan, perkataan tabi’in terkadang dipandang sebagai perkataan sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak dapat diperolah melalui ijtihad, sebagaimana perkataan sahabat yang dipandang tidak dapat di ijtihadkan juga dipandang sebagai perkataan Nabi sendiri.


B. Hadis ditinjau dari persamaan sanad
1. Hadis Muttashil/Maushul
Dari segi bahasa Muttashil isim fa’il dari kata اتَّصَلَ يَتَّصِلُ اتَّصَالًا فَهُوَ مُتَّصِلٌ artinya yang bersambungan antonim dari munqathi’ yaitu yang terputus. Sebagian ulama menyebut hadis mawshul isim maf’ul dari kata وصل يصل وصلا وموصولا artinya bersambung. Dalam istilah hadis muttashil atau mawshul adalah:
مَا اتّصل سَنَدُهُ إلَى غَايَتِهِ سَوَاءٌ أكانَ مَوْفُوْعًا إلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أمَّ مَوْقُوْفًا
Sesuatu yang bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu’ disandarkan kepada Nabi Saw maupun mawquf (disandarrkan kepasa seorang sahabat).
Hadis muttashil/mawshul adalah hadis yang besambung sananya, baik periwayatan itu datang dari Nabi Saw ataupun dari seorang sahabat bukan dari tabi’in.

2. Hadis Musnad
Dari segi bahasa kata musnad dari kata أسند dengan makna أضاف أو نسب artinya menyandarkan, menggabungkan, atau menisabkan مسند artinya disandarkan, digabungkan atau dinisabkan. Menurut istilah Hadis Musnad adalah:
مَا اتّصَلَ سَنَدُهُ مَرْفَوْعًا إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesuatu yang bersambung sanadnya dan marfu’ disandarkan kepada Nabi Saw.
Hadis musnad adalah hadis yang bersambung sanad-nya dari awal sampai akhir, tetapi sandaranya hanya kepada Nabi Saw tidak pada sahabat dan tidak pula pada tabi’in. Perbedaannya terletak pada sandaranya, jika muttasil/mawshul sandarannya bisa kepada Nabi Saw dan bisa kepada seorang sahabat, sedangkan musnad sandarannya hanya kepada Nabi Saw (marfu’). Misalnya hadis periwayatan Al-Bukhari, dia berkata: memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusufdari Malik dari Abu Az-Zanad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah berkata: sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فِيْ إنَاءِ أحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا
Jika anjing minum pada bejana salah satu kamu, maka basuhlah sebanyak tujuh kali (HR. Al-Bukhari)

C. Hadis Ditinjau dari Sifat Sanad dan Cara Penyampaian Periwayatanya
1. Hadis Mu’an’an
a. Pengertian
Dari segi bahasa mu’an’an isim maf’ul dari kata عنعن يعنعن معنعن yang berarti dari kata ‘an = dari dan ‘an = dari. Menurut istilah hadis mu’an’an adalah.
Hadis yang disebutkan dalam sanadnya diriwayatkan oleh si fulan dari si fulan, dengan tidak memyebutkan perkataan memberitakan, mengabarkan, dan atau mndengar.
Jadi hadis mu’an’an adalah hadis yang dalam periwayatannya hanya menyebutkan sanad dengan kata ‘an fulan = dari si fulan, tidak menyebutkan ungkapan yang tegas bertemu dengan syekhnya, misalnya mengunakan kata haddatsana/ni = memberitakan kepada kami/ku, atau sami’tu = aku mendengar dan seterusnya yang menunjukkan bertemu (ittishal)

b. Contoh hadis mu’an’an
حدّثنا الحسن بن عرفة حدّثنا إسمعيل بن عيّاش عن يحي بن أبي عمرو السّيباني عن عبد الله بن الدّيلميّ قال سمعت عبد الله بن عمرو يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول إنّ الله عز وجلّ خلق خلقه في ظلمة فألقى عليهم من نوره
Memberikan kepada kami Al-Hasan bin Arafah, memberikan kepada kami Ismail bin Iyas dari yahya bin abu amru Asy-Syahbani dari Abdullah bin Ad-Daylamiberkata: Aku mendengar Abdullah bin Amr, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Sesunggunya Allah Swt menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan gelap (kebodohan) kemudia Dia sampaikan kepada mereka di antara cahaya-Nya (HR. At-Tirmizi)
2. Hadis Muannan
a. Pengetia
Menurut bahasa kata muannan ber asal dari kata أنّن يؤنّن مؤنّن artinyamenggunaka kata أن dan أن = bahwasannya, sesungguhnya .Menurut istilah hadis Muannan adalah.
Hadis yang dikatakan dalam sanadnya memberitakan kepada kami bahwasannya si fulan memberitaka kepadanya begini.

b. Contoh hadis Muannan
حدّث ما لك عن اين شهاب أن سعيد بن المسيّب قال كذا
Memberitakan malik dari ibnu syihab bahwasannya sa’id bin al- musyyab berkata begini[1]


















KESIMPULAN

Hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan Nabi Saw swcara ahadi (itdak mutawatir) sandarannya kepada Allah. Pada umumnya di sandarkan kepada Allah karena Allah yang berfirman atau yang memunculkan berita atau terkadang disandarkan kepada Nabi Saw karena beliau yang membrikandari Allah, berbeda dengan Alqur’an yang hanya disandarkan kepada Allah. Hadis marfu’ adalah hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah Saw atau menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seorang Rasul.
Mawquf adalah barang yang dihentikan atau barang yang diwakafkan. Jadi hadis mu’an’an adalah hadis yang dalam periwayatannya hanya menyebutkan sanad dengan kata ‘an fulan = dari si fulan, tidak menyebutkan ungkapan yang tegas bertemu dengan syekhnya, misalnya mengunakan kata haddatsana/ni = memberitakan kepada kami/ku, atau sami’tu = aku mendengar dan seterusnya yang menunjukkan bertemu (ittishal).















DAFTAR PUSTAKA

Majid Khon, Abdu. 2010.

[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadi, Amzah: Jakarta 2010, hal. 217-236

Sabtu, 16 Juli 2011

HUKUM PUASA NISPU SYA'BAN

sya'banSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian orang menganggap bahwa puasa setelah pertengahan sya'ban tidak dibolehkan karena ada beberapa hadits yang melarang ini. Tulisan kali ini akan meninjau lebih jauh bagaimanakah yang tepat dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.

Larangan Puasa Setelah Pertengahan Sya'ban

Ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai dating Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Dalam lafazh yang lain lagi,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga dating bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad)

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.

Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan,“Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.

Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak ada masalah puasa setelah pertengahan sya'ban karena hadits larangan tersebut termasuk hadits lemah, apalagi jika punya kebiasaan puasa.

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.

Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.

Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?

Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.

Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

ISTRI NABI

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (Al-Hujarat ) QS 49:6

Salah satu kelemahan pandangan umat Kristen atau lainnya terhadap Islam adalah bahwa mereka tidak bisa membedakan mana yang merupakan Firman Allah dan mana yang bukan. Dalam Islam firman Allah berada dalam Al-Qur’an. Dan Al-Quran adalah sumber utama Islam. Segala sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Quran bukanlah ajaran Islam. Sedangkan dalam Kitab Injil sekarang (Bible) susah dibedakan mana yang merupakan Firman Allah, Sabda Yesus (Isa), perkataan para ahli agama, perkataan sejarahwan, perkataan orang biasa dll.

Dalam Islam dengan tegas ditandaskan bahwa Firman Allah berada dalam Al-Quran, Sabda Nabi Muhammad ada dalam Hadits, perkataan ulama ada pada kitab2 tersendiri, dll. Al-Quran adalah kalam Allah yang susah untuk dipalsukan, sehingga segala sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, moral agama, akal dll dengan sendirinya akan tertolak.

Sedangkan Hadits atau perkataan para ulama, orang biasa dll adalah sesuatu yang bisa dipalsukan. Salah satu alat untuk menyaring Hadits agar dapat diketahui mana yang palsu dan mana yang asli adalah Al-Quran. Segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran akan tertolak kebenarannya. Cara berfikirnya adalah sangat sederhana.

Misalnya : Ada hadits dari seseorang yang mengatakan bahwa : Nabi Muhammad pada masa hijrah memerintahkan seseorang untuk berzina. Jelas hadits ini palsu karena Al-Quran melarang berzina.

Di beberapa daerah di Indonesia ada beberapa kasus orang tua menikahkan anak-anaknya saat kecil (semacam dipinang) karena sebelum mereka punya anak, masing-masing pihak berencana menjodohkan anak-anaknya. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan (takut anak mereka kelain hati atau lainnya) maka saat kecil sudah dinikahkan (dipinang). Tentu pernikahan tersebut hanyalah pengikat janji agar perjodohan yang dilakukan masing-masing orang tua sebelumnya benar-benar terlaksana tanpa pemenuhan hak & kewajiban sebagai suami istri (nafkah lahir & bathin). Dalam arti setelah pertunangan diadakan saat kecil, anak- anak kembali ke orang tua mereka dan setelah dewasa akan dipertemukan kembali. Karena dalam Islam setelah kedua orang menikah, maka syarat-syarat, hal-hak dan kewajiban dalam pernikahan harus segera dilaksanakan. Seperti memberi nafkah lahir dan bathin.

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD

Sebenarnya berapa jumlah pasti istri Nabi Muhammad menurut riwayat masih simpang siur. Ada yang mengatakan 10, 11 atau 12. Selama Nabi menikah dengan Khadijah selama hampir 25 tahun, Nabi Muhammad belum pernah melirik wanita lain untuk dijadikan istri. Nabi Muhammad sangat sayang dan setia kepada istri pertama beliau “Khadijah”. Baru setelah Khadijaf wafat dimana usia nabi Muhammad sekitar 50 tahun, beliau menikahi beberapa wanita. Dan dari semua isteri-istri beliau Aisyah-lah yang dinikahi dalam keadaan gadis (perawan). Bahwa kurang lebih dalam waktu 10 tahun nabi Muhammad menikahi wanita sekitar 10 orang. Jadi rata-rata 1 orang 1 tahun, karena tahun-tahun itu penuh peristiwa yang mengharuskan nabi Muhammad mengambil langkah ini. Beberapa pakar Muslim dan non-Muslim yang obyektif mengakui bahwa perkawinan-perkawinan sepeninggal Khadijah dilakukan dengan motif politik dan sosial.

John L. Esposito, Professor Religion and Director of Center for International Studies at the College of the holly cross, mengatakan bahwa hampir keseluruhan perkawinan Nabi Muhammad saw. adalah mempunyai misi sosial dan politik (political and social motives) (Islam The straight Path, Oxford University Press, 1988).

1. Motif politik politis (seperti pada Juariyah, Safiyah, Maimunah) dilakukan untuk menguatkan kedudukan Islam dengan perkawinan antar pemuka suku. Seperti kita ketahui jaman dulu kerajaan-kerajaan di Indonesia mengadakan perkawinan bangsawan antar suku baik dari dalam dan luar negeri untuk menguatkan kedudukan dan pengaruh.

2. Motif Sosial dilakukan dalam rangka merawat anak, rumah tangga (seperti pada Sawda, Maria) pendidikan (seperti pada Aisyah), penegasan hukum (pada kasus Zainab), mengkader da’iyah (Safiyah), dan yang terbanyak adalah perlindungan terhadap para janda mukmin yang ditinggal mati oleh suaminya dalam perang, para janda yang terlantar atau yang menyerahkan diri pada Nabi, dll.

FITNAH TERHADAP PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD

Kaum Kafir selalu berusaha menghancurkan akidah Islam dengan berbagai cara. Setelah mereka berhasil menghancurkan ajaran Yesus (Isa), maka mereka berusaha menghancurkan Islam. Adapun salah satu yang mereka bidik adalah pernikahan-pernikahan yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw. Dari sekian banyak istri nabi Muhammad, setidaknya ada 2 orang yang sering dijadikan oleh kaum Kafir sebagai fitnah keji. Yaitu pada istri Nabi Muhammad yang bernama “Zaenab binti Jahesy” dan “Aisyah”.

FITNAH TERHADAP ZAENAB BINTI JAHESY

Kaum Kafirin seperti para Misionaris dan Orentialis sering menggunakan pernikahan Nabi dengan “Zaenab” sebagai lahan fitnah. Dan anehnya ada sebagian orang yang mengaku sebagai Muslim ikut-ikutan mengamini terhadap apa yang diucapkan oleh para Orentialis. Tentang pernikahan ini tertuang dalam surat Al-Ahzab (33) : 37.

[33.37] Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Maksud dari kalimat yang digarisbawahi adalah :

“sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,” maksud dari kalimat ini adalah bahwa Nabi Muhammad sudah mengetahui bahwa beliau akan menikah dengan Zaenab.

“dan kamu takut kepada manusia” . Maksud dari kalimat ini adalah Beliau takut jika beliau melaksanakan rencana ini. Beliau merasa segan dan malu kepada orang Yahudi dan Munafik karena pasti jika rencana ini dilakukan beliau akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan serta hujatan, dan ini membuat beliau takut ajaran beliau dan citra beliau menjadi buruk. Dan apa yang dikhawatirakn Nabi Muhammad terjadi yang mana para Misionaris mengartikan kalimat ini “sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,” sebagi rasa “cinta” dengan imajinasi yang kotor bahwa nabi ketika berkunjung ke rumah Zaenab melihat baju Zaenab terbuka oleh hembusan angin sehingga kecantikannya terlihat nabi. Dan anehnya pendapat ini dinukil oleh guru para muffasir ath-Thabari. Banyak ulama memahami kalimat ini sebagai teguran keras kepada nabi.

“sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti”. Maksud dari kalimat ini agar nabi tetap melaksanaan perintah Allah sebagai dukungan terhadap beliau dan penghinaan atas musuh-musuh beliau . Sebagai peringatan kepada musuh beliau bahwa Beliau tidak bisa dipengaruhi dan diricuhi.

Menikahi istri bekas anak angkat merupakan hal yang masih tabu pada saat itu, dengan demikian Nabi Muhammad mendobrak sifat tabu tersebut.

FITNAH TERHADAP AISYAH

Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti berapa usia Aisyah saat menikah dengan Rasulullah. Banyak riwayat saling bertentangan. Ada yang bilang 9 tahun, 14-15 tahun, 18 tahun dll, dan kita sebagai Muslim tentu cenderung memilih yang positif dan lebih masuk akal karena itu sesuai dengan akhlak Nabi Muhammad yang agung yaitu Aisyah berumur sekitar 18 tahun.. Untuk itu mari kita menganalisis sejenak untuk mengetahui yang sebenarnya.

<= 610 M: Masa Jahiliyah (Masa keburukan Akhlak)
610 M: turun wahyu pertama
610 M AbuBakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai menyebarkan Islam
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin Khattab menerima Islam
620 M: disepakati Nabi meminang Aisyah
622 M= 1 Hijriyah Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah
623/624 M: disepakati tahun Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
625 M: Perang Uhud

KEMUNGKINAN UMUR 9 TAHUN

Berita mengenai pernikahan Rasulullah Muhammad dengan Aisyah di umur 9 tahun sebenarnya hanya diriwayatkan oleh Hisyam ibn Urwah, setelah Hisyam ibn Urwah pindah dari Madinah ke Iraq pada umur diatas 70 Tahun. Sebelum itu (di Madinah), yaitu sebelum kepindahan Hisyam ke Iraq, tidak ada selentingan mengenai Pernikahan Rasulullah dan Aisyah. Bahkan para sahabat utama tidak juga mempergunjingkan. Karena secara Islam tentu tidak akan ada yang mau menyerahkan putrinya untuk dinikahkan pada usia 7 atau 9 tahun karena syarat-syarat pernikahan dalam Islam antara lain : Sudah dewasa, sehat jasmani rohani, beriman dan berakhlak bagus, dan yang terakhir jika semuanya sudah siap yaitu harus segera memberi nafkah lahir dan bathin. Kalau belum dirasa dewasa, ada baiknya ditunggu sampai dewasa. Jika anda meminang dengan seorang gadis yang belum dewasa padahal anda sudah matang secara lahir bathin tentu anda tidak sabar untuk melakukan hubungan suami istri, sehingga anda harus menunggunya dewasa, tetapi jika anda berpoligami tentu hasrat itu bisa disalurkan lewat istri lain yang sah. Dan itulah teladan Nabi Muhammad.

Hadits itu berdasarkan riwayat, dan riwayat tentang pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah ketika berumur 9 tahun hanya bersumber dari Hisyam ibn Urwah. Padahal hadits itu dianggap sah minimal jika ada 2 atau 3 orang yang meriwayatkan hal serupa dan tidak bertentangan dengan Al-Quran.

Menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : “Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

“Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

“Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

Mungkin usia tua menjadikan Hisyam sudah tidak relevan lagi dalam memberikan informasi terutama berita tentang pernikahan Rasulullah dengan Aisyah. Tentu menjadi sebuah pertanyaan bahwa dari sekian banyak hadits mengapa hanya ada satu hadits yang menyinggung pernikahan Rasulullah dengan Aisyah saat berumur 9 tahun. Bahkan hadits shahih pun tidak membicarakan. Sedikitnya hadits yang membahas pernikahan Rasulullah dengan Aisyah saat berumur 9 tahun membuktikan bahwa hal berita ini tidak kuat.

Setelah meninggalnya Khadijah, Khaulah menyarankan kepada Nabi untuk menikah lagi. Kahulah berkata: “Anda dapat meminang perawan (bigir atau bikr) atau wanita janda (thayyib)”. Disaat Rasullah saw menanyakan siapakah kira-kira perawan itu (Bigir),Khaulah mengajukan nama Aisyah. (Ahmad ibn Hanbal : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol 6, halaman 210, Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut)

Dalam bahasa Arab makna kata “Bigir” tidak digunakan untuk anak kecil yang baru berusia 9 tahun ,kata yang tepat untuk anak seusia itu (9 tahun) adalah “Jariyah ,Bigir di gunakan untuk perempuan yang belum menikah (masih perawan) dan barang tentu anak usia 9 tahun bukanlah seorang Bigir.

KEMUNGKINAN UMUR 18 TAHUN

Aisyah adalah anak Abu Bakar dan Menurut Tabari: Keempat anak Abu Bakar RA dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah, jadi sebelum 610 M. (Tarikh alMamluk, alTabari, Jilid 4, hal.50).

Jadi menurut data diatas kalau Aisyah dilahirkan sebelum 610 M dan dipinang tahun 620 M, maka kemungkinan umur beliau diatas 10 tahun dan hidup serumah sebagai suami istri diatas 13 tahun. Untuk mengetahui usia Aisyah dengan tepat maka bisa kita perbandingkan dengan umur kakak Aisyah “Asmah”.

Menurut Abd alRahman ibnu abi Zannad: “Asmah 10 tahun lebih tua dari Aisyah RA (alZ ahabi, Muassasah alRisalah, Jilid 2, hal.289). Menurut Ibnu Hajar alAsqalani: Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah (Taqrib al Tahzib, Al-Asqalani, hal.654). Menurut Ibn Kathir: Asma menyaksikan anaknya terbunuh saat tahun 73 setelah Hijrah, 5 hari kemudian dia meninggal dan banyak pula yang meriwayatkan beliau meninggal setelah 10 hari ada pula yang mengatakan beliau meninggal setelah 20 hari bahkan ada yg berpendapat 100 hari setelahnya, dan saat meninggalnya beliau berusia 100 tahun (Al-Bidaayah wa al-Nihaayah,Ibn Kathir,Vol 8,Halamn 372,Arabik,Dar al-fikri al-arabiy,Al-jizah,1993)

Kita ambil saja usia Asmah saat meninggal tahun 73H. Berarti saat Hijrah ke Madinah (Tahun 622 M=1H), Asmah berusia 100-73 =27. Berarti tahun 622 M, Asmah berusia 27 tahun. Sehingga usia Aisyah saat itu yaitu 27-10 = 17 tahun. Berarti saat dipinang (620 M) Aisyah berumur 15 tahun, dan hidup sebagai suami istri (623 M) Aisyah berumur 15+3= 18 tahun

Aisyah ra berkata : Aku masih gadis ,ketika ayat 46 dari Surah Al-Qamar di turunkan (Sahih Bukhari, Kitab Al-Tafsir,Arabik,Bab Qaulihi Bal al-saa’atu Maw’iduhum wa al-sa’atu adhaa wa amarr).

Surah Al-Qamar di turunkan 9 tahun sebelum peristiwa Hijrah (622 M) dan Aisyah dipinang 2 tahun sebelum Hijrah (620 M) , dan menurut pengakuan Aisyah bahwa dia bukan saja sudah lahir sebelum turunnya Surah Al-Qamar namun pula Aisyah juga adalah seorang gadis. Jadi ketika 9 tahun sebelum Surah 46 Al-Qamar turun Aisyah sudah gadis. Hijrah tahun 622 M, dan Aisyah dipinang tahun 620 M, sehingga selisih 9 – 2 = 7. Seorang anak dikatakan sudah gadis biasanya dilihat mulai dari pertama kali dia Haid. Dan tentu tiap wanita tidak sama waktu pertama haidnya. Biasanya antara usia 11-14 tahun. Jika kita ambil mulai berumur 11 tahun-an berarti umur Aisyah saat menikah 7 + 11 = 18

“Fatimah ra terlahir di saat renovasi Kaa’bah ,disaat Nabi Muhammad saw berusia 35 tahun…Fatimah berusia 5 tahun dari Aisyah”. (Al-Isabah fi Tamyeez al-Sahaabah, Ibn Hajar al-Asqalaniy, Vol. 4, Halaman. 377, Arabik, Maktabah al-Riyadh al-Haditha, al-Riyadh, 197)

Wahyu pertama turun saat Nabi usia 40 tahun (610 M). Aisyah dipinang oleh Rasulullah tahun 620 M. Jadi selisihnya 620-610 = 10 tahun. Fatimah lahir saat Nabi umur 35 tahun. Jadi saat Nabi berumur 40 tahun, Aysiah berumur 5 tahun. Jadi saat dipinang Aisyah berumur 10+5=15 tahun dan menikah (serumah sebagai suami istri) berumur sekitar 10 +5+3 = 18 tahun

KEMUNGKINAN UMUR 15-AN TAHUN

Dan Anas ra menceritakan bahwa di hari dalam perang Uhud (625 M),orang-orang tidak dapat berdiri di sekeliling Nabi saw dan aku melihat Aisyah ra dan Ummu Salaim ra menarik keatas pakainnya supaya tidak menghambat geraknya. (Bukhari,Kitab al-Jihad wa al-siyar,Arabik,Bab Ghazwi al-nisaa wa gitalihinna ma’a al-rijaal)

Ibn Umar ra mengatakan” bahwa Nabi Muhammad saw tidak mengizinkan aku ikut serta dalam perang Uhud (625 M) karena saat itu aku baru berusia 14 tahun. Tapi saat dalam perang Khandaq ketika aku berusia 15 tahun sang Nabi mengizinkan aku turut serta”. (Bukhari al-maghaazi, Baab ghazwah al-khandaq wa hiya al-ahzaab)

Dari data diatas dapat dilihat bahwa Umur Aisyah diatas 15 tahun saat perang Uhud. Jadi saat berumah tangga (624 M) umurnya sekitar 15 tahun

KESIMPULAN :

Berapapun usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad, tentunya Nabi Muhammad menunggu masa Akil Baligh dari Aisyah. Karena memang inilah dasar untuk menikah dalam Islam yaitu sudah dewasa (akil baligh) yang ditandai dengan Haid bagi wanita.

APA AGAMA MUHAMMAD-SALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM- SEBELUM DI ANGKAT MENJADI NABI ?

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Orang Arab sesungguhnya telah mengenal Allah SWT jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW. Anggapan seperti yang Anda sampaikan sebenarnya agak kurang tepat. Sebab Al-Quran sendiri yang menegaskan bahwa musyrikin Arab itu kenal betul bahwa tuhan mereka adalah Allah SWT. Dalam salah satu ayat Al-Quran digambarkan bagaimana pengakuan orang Arab jahiyah terhadap keberadaan Allah SWT.

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka akan menjawab, Allah , maka betapakah mereka dipalingkan .

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, Segala puji bagi Allah , tetapi kebanyakan mereka tidak memahami .

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, Siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, Segala puji bagi Allah ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan langit dan bumi? , niscaya mereka menjawab, Allah. Katakanlah, Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah, Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, Allah , maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan ?

Dari lima ayat Al-Quran di atas yang menceritakan keyakinan orang Arab musyrikin jahilyah, kita tahu bahwa mereka ternyata punya keyakinan tentang keberadaan Allah SWT. Bahkan bukan sekedar yakin atas keberadaan-Nya, mereka pun mengakui bahwa yang menciptakan langit dan bumi, memberikan rizki, menurunkan hujan, menundukkan matahari dan bulan adalah Allah SWT.

Lalu apa tugas nabi Muhammad SAW jika demikian?

Tugas beliau bukan mengenalkan keberadaan Allah SWT, sebab mereka sudah kenal Allah. Tigas beliau juga bukan untuk menerangkan bahwa Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan langit dan bumi, sebab mereka sudah tahu. Tugas beliau adalah memastikan bahwa ketika mereka hanya menyembah Allah SWT saja yang Esa, tanpa adanya tuhan-tuhan lainnya yang disembah bersama-Nya. Sehingga motto dakwah beliau adalah: LAA ILAAHA ILLALLAH, yaitu tidak ada tuhan yang patut disembah dengan haq kecuali hanya Allah saja.

Walhasil, agama yang dibawa nabi Muhammad SAW memang mewajibkan penghancuran semua berhala, juga menafikan semua undang-undang, sistem, agama, ideologi dan peraturan yang bersumber dari selain Allah SWT. Seorang tidak dikatakan muslim sebelum dia mengakui tidak ada tuhan selain Allah, dan tidak ada hukum selain hukum yang Allah turunkan.

Adapun kenalnya orang Arab jahiliyah terhadap nama Allah SWT, karena dahulu ada nabi Ibrahim dan puteranya Ismail alaihimassalam di negeri itu. Bahkan mereka masih setia datang berhaji setiap tahun keliling baitullah. Mereka memang menyebut Ka’bah dengan istilah baitullah . Bedanya, cara manasik haji mereka sudah jauh menyimpang. Misalnya, mereka thawaf keliling ka’bah dengan bersiul dan bertepuk sambil telanjang tanpa busana.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

Dalam Gua Hira

Di dalam gua Hira, Rasulullah SAW memang bukan berdoa dalam arti seperti kita sekarang ini. Sebab beliau memang belum mendapatkan penjelasan langsung dari Allah SWT tentang sosok-Nya. Juga belum ada tata aturan dalam cara beribadah dan berdoa kepada-Nya.

Sehingga yang beliau lakukan bukan berdoa, melainkan menyepi untuk melakukan tahannus. Beliau tentu tidak berkomat-kamit mengangkat tangan ke langit. Namun yang berliau lakukan adalah merenung, berpikir, melakukan evaluasi, serta berdialog dengan diri sendiri. Hingga kemudian Allah SWT berkenan berbicara kepada-Nya lewat perantaraan malaikat Jibril ‘alaihissalam.

Namun perlu diketahui bahwa beliau sebagai orang Arab pun sudah tahu bahwa Allah SWT adalah tuhannya. Bahwa Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan langit dan bumi, yang menurunkan hujan serta memberi rizki.

Kekurangan aqidah bangsa Arab jahiliyah ini bukan pada rububiyah-nya, melainkan pada uluhiyah-nya. Di mana mereka belum punya informasi apa pun tentang bagaimana bertauhid kepada Allah dan bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Mereka baru sekedar tahu bahwa tuhan itu ada, namanya Allah dan Allah itu menciptakan mereka hingga memberi rizqi.

Kualitas mereka sedikit di bawah para ahli kitab yang sudah kenal Allah dan juga mengenal adanya kitab-kitab suci yang turun dari langit yang berisi tata cara ibadah dan juga syariah. Mereka juga mengenal sistem kenabian yang berujud manusia yang mendapatkan wahyu dari langit sebagai hukum yang harus diterapkan.

Namun kesalahan fatal para ahli kitab itu ketika mereka tidak mau mengakui bahwa Allah SWT menjadikan Muhammad SAW sebagai Nabi dan ingkar kepada Al-Quran sebagai kitab suci yang terakhir. Kesalahan ini kemudian diperparah dengan sikap ambivalen mereka terhadap agama Islam. Bahkan pada akhirnya mereka malah memerangi dan hendak membunuh Rasulullah SAW.

Maka semua keyakinan mereka sebelumnya tentang Allah, kitab suci, para nabi dan hukum-hukum syariat yang turun kepada mereka, menjadi tidak ada gunanya lagi. Oleh Al-Quran, para ahli kitab ini diberi status sebagai orang kafir, meski mereka percaya keberadaan Allah, para nabi dan kitab-kitab suci. Hal itu karena mereka tidak mau mengakui Muhammad SAW sebagai nabi dan Al-Quran sebagai kitab suci.

Sungguh kasihan…

Namun sebagai penghargaan atas persamaan beberapa asas iman, laki-laki musim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab. Demikian juga dengan sembelihan mereka, halal dimakan oleh orang-orang Islam. Meski demikian, mereka tetap masuk neraka, karena tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya tuhan dan karena mereka tidak mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Jumat, 15 Juli 2011

BERSIN BERULANG-ULANG

Jika Bersin Berulang-ulang, Bagaimana Mendoakannya?

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Di antara hak seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah saat ia bersin dan memuji Allah agar dibacakan tasymit kepadanya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

"Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang bersin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : إذَا لَقِيته فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَك فَانْصَحْهُ ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتْهُ ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

"Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam: apabila engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam kepadanya, apabila ia menguncangmu maka penuhilah undangannya, apabila ia meminta nasihat kepadamu maka nasihati ia, apabila ia bersin dan mengucapkan Al-hamdulillah, maka bertasymitlah (doakan) untuknya, apabila ia sakit maka jenguklah, dan apabila meninggal maka antarkanlah jelazahnya." (HR. Muslim)

Maksud beberapa perkara yang disebutkan hadits di atas sebagai hak seorang muslim atas mulim lainnya adalah sesuatu yang tidak layak untuk ditinggalkan. Boleh jadi mengerjakannya bisa menjadi wajib, sunnah, atau yang sangat dianjurkan yang menyerupai perkara wajib yang tak pantas ditinggalkan. Ini diperkuat oleh redaksi lain dalam Shahih Muslim,

خَمْسٌ تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ رَدُّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ

"Lima perkara yang wajib ditunaikan seorang muslim terhadap saudara (muslim)-nya: Menjawab salam, mendoakan yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, dan mengantar jenazah."

. . . Maksud hak seorang muslim atas mulim lainnya adalah sesuatu yang tidak layak untuk ditinggalkan. Boleh jadi mengerjakannya bisa menjadi wajib, sunnah, atau yang sangat dianjurkan yang menyerupai perkara wajib yang tak pantas ditinggalkan. . .

Maksud Tasymit?

Bertasymit kepada orang yang bersin adalah dengan mengucapkan kepada orang yang bersin, "Yarhamukallah". (Lihat Syarh Nawawi 'Ala Muslim, hadits no. 3848). Dan maksud utama dari kalimat tasymit adalah mendoakan kebaikan untuk orang yang bersin dan dia memuji Allah. Jika tidak memuji Allah maka tidak dibacakan tasymit kepadanya.

Diriwayatkan Imam al-Bukhari rahimahullah dalam shahihnya no. 5756, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila salah seorang kamu bersin, hendaknya ia mengucapkan: Al-Hamdulillah. Dan hendaknya saudaranya atau sahabatnya mengucapkan kepadanya: Yarhamukallah. Maka apabila ia mengucapkan yarhamukallah kepadanya, hendaknya ia mengucapkan: Yahdikumullah wa Yuslihu Baalakum.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 5308, dari Abu Burdah, ia berkata: "Aku pernah masuk menemui Abu Musa. Saat itu ia berada di rumah anak Perempuan a-Fadhal bin Abbas. Tiba-tiba aku bersin, tapi ia tidak bertasymit kepadaku (tidak mendoakanku). Dan bersinlah wanita itu, lalu ia bertasymit kepadanya."

Kemudian Abu Burdah pulang menemui ibunya dan menceritakan kejadian tadi. Maka saat Abu Musa datang kepada ibunya, ia menanyakan hal itu: "Anakku bersin di sampingmu, tapi engkau tak bertasymit kepadanya. Sementara dia (Bintu Fadhal) bersin, engkau bertasymit kepadanya." Maka Abu Musa menjawab,

إِنَّ ابْنَكِ عَطَسَ فَلَمْ يَحْمَدْ اللَّهَ فَلَمْ أُشَمِّتْهُ وَعَطَسَتْ فَحَمِدَتْ اللَّهَ فَشَمَّتُّهَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتُوهُ فَإِنْ لَمْ يَحْمَدْ اللَّهَ فَلَا تُشَمِّتُوهُ

"Sesungguhnya anakmu bersin dan ia tidak memuji Allah (tidak membaca al-Hamdulillah), maka aku tidak bertasymit kepadanya. Sementara dia (bintu al-Fadhal) bersin dan ia memuji Allah, maka aku bertasymit kepadanya. Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Apabila salah seorang kalian bersin dan memuji Allah, maka bertasymitlah kepadanya. Dan jika tidak memuji Allah, maka janganlah bertasymit untuknya"."

. . . maksud utama dari kalimat tasymit adalah mendoakan kebaikan untuk orang yang bersin dan dia memuji Allah.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim no. 5308, menjelaskan bahwa hadits ini sangat jelas menerangkan perintah tasymit apabila orang yang bersin memuji Allah. Dan juga menunjukkan larangan yang jelas mengucapkan tasymit apabila ia (yang bersin) tidak memuji Allah. Maka makruh mengucapkan tasymit kepadanya apabila ia tidak memuji Allah. Dan jikapun ia memuji Allah namun tak terdengar oleh orang lain, maka tidak ada perintah untuk bertasymit kepadanya. Maka Imam Nawawi menetapkan syarat: orang tadi mendengar ucapan orang yang bersin: Al-Hamdulillah. (Syarh Nawawi 'ala Muslim, 7/139: no. 3848)

Dan sebagai bentuk saling menasehati antara sesama muslim dan sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar, maka disunnahkan bagi orang yang ada di sisi orang yang bersin tapi ia tidak memuji Allah untuk mengingatkannya agar membaca hamdalah. Tujuannya agar ia membaca al-Hamdulillah, lalu ia mengucapkan tasymit (mendoakan) kepadanya. (Lihat Subulus Salam, al-Shan'ani: 4/263)

. . . disunnahkan bagi orang yang ada di sisi orang yang bersin tapi ia tidak memuji Allah untuk mengingatkannya agar membaca hamdalah. Tujuannya agar ia membaca al-Hamdulillah, lalu ia mengucapkan tasymit (mendoakan) kepadanya.

Jika Bersin berulang-ulang, Bagaimana Mendoakannya?

Jika seorang muslim bersin dan ia memuji Allah, maka disyariatkan atas muslim lainnya yang mendengarnya agar mengucapkan tasymit kepadanya. Sebagian ulama ada yang memandangnya wajib, ada pula yang memandangnya sebagai sunnah mu'akkadah. Namun, pendapat yang lebih kuat menurut kami, adalah wajib kifayah. Yakni, apabila ada salah seorang dari kaum muslimin yang mendengar saudara muslimnya bersin dan mengucapkan hamdalah, lalu ia membacakan tasymit kepadanya, maka gugur kewajiban ini atas yang lainnya. Tapi jika tak seorangpun dari mereka yang membacakan tasymit, maka mereka semua berdosa. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

خَمْسٌ تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ رَدُّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

"Lima perkara yang wajib ditunaikan seorang muslim terhadap saudara (muslim)-nya: Menjawab salam, mendoakan yang bersin. . "

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Para sahabat kami dan selain mereka berselisih (tentang hukum) menjenguk orang sakit, membaca tasymit (mendoakan) orang yang bersin, dan memulai mengucapkan salam. Dan yang ditunjukkan oleh nash, hal-hal itu hukumnya wajib, dan dikatakan itu wajib atas kifayah." (Lihat Fatawa al-Kubra: 1/443)

Perintah membacakan tasymit kepada orang yang bersin dan memuji Allah, adalah yang dibawah tiga kali. Jika bersin berulang-ulang sampai lebih dari tiga kali maka tidak disyariatkan lagi untuk membacakan tasymit kepadanya, tapi didoakan agar ia segera sehat.

Diriwayatkan Abu Dawud, dari Abu Hurairah secara marfu':

إذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيُشَمِّتْهُ جَلِيسُهُ فَإِنْ زَادَ عَلَى ثَلَاثٍ فَهُوَ مَزْكُومٌ وَلَا يُشَمَّتُ بَعْدَ ثَلَاثٍ

"Apabila salah seorang dari kamu bersin, maka hendaklah teman duduknya bertasymit (mengucapkan 'Yarhamukallah') padanya, apabila bersin lebih dari tiga kali, maka berarti dia terkena flu, dan tidak harus ditasymit setelah tiga kali." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah: no. 1330)

Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha' (1521), dari Abdullah bin Abi Bakar, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِنْ عَطَسَ فَشَمِّتْهُ ثُمَّ إِنْ عَطَسَ فَشَمِّتْهُ ، ثُمَّ إِنْ عَطَسَ فَشَمِّتْهُ ، ثُمَّ إِنْ عَطَسَ فَقُلْ : إِنَّكَ مَضْنُوكٌ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ لَا أَدْرِي أَبَعْدَ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ

"Jika ia bersin maka bertasymitlah untuknya, kemudian jika ia bersin maka bertasymitlah untuknya, kemudian jika ia bersin maka bertasymitlah untuknya. Kemudian jika bersin lagi, maka ucapkanlah: "Sungguh engkau sedang flu". Abdullah bin Abi Bakar berkata: "Aku tak tahu, apakah sesudah ke tiga kali atau keempatnya?"

Dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu 'Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

يُشَمَّتُ الْعَاطِسُ ثَلَاثًا فَمَا زَادَ فَهُوَ مَزْكُومٌ

"Orang bersin dibacakan tasymit sebanyak tiga kali, maka lebih dari itu dia terkena flu." (HR. Ibnu Majah, no. 3704, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Sunnah Ibnu Majah)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: Jika seseorang mengalami bersin berulang-ulang, maka sunnahnya untuk membacakan tasymit kepadanya setiap kali bersin sampai tiga kali. Kami telah meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Sunnah Abi Dawud, dan al-Tirmidzi dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu 'Anhu, dia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepada seseorang yang bersin di sisinya: Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu). Kemudian ia bersin lagi, maka beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya: Laki-laki yang sedang menderita flu." Ini adalah lafadz Muslim.

Sedangkan riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi: Salamah berkata: "Ada seseorang bersin di samping Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan saya menjadi saksinya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Yarhamukallah. Kemudian ia bersin ke dua dan ketiga, Rasulullah berucap: Yarhamukallah, ini laki-laki yang sedang flu." Imam Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih." (Dinukil dari al-Adzkar, Imam Nawawi: 1/273)

. . . Perintah membacakan tasymit kepada orang yang bersin dan memuji Allah, adalah yang dibawah tiga kali. Jika bersin berulang-ulang sampai lebih dari tiga kali maka tidak disyariatkan lagi untuk membacakan tasymit kepadanya, tapi didoakan agar ia segera sehat.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: apakah membacakan tasymit orang yang bersin itu satu bentuk saja, walaupun bersinnya berulang tiga kali atau lebih?

Jawab: Apabila ia bersin tiga kali dan engkau bertasymit untuknya setiap kali bersin, maka ucapkan setelah yang ketiga: 'aafakallah (Semoga Allah menyembuhkanmu). Karena bersinnya itu sebagai penyakit flu. Karenanya ucapkan: 'aafakallaah, sesungguhnya engkau sedang flu. Engkau mengucapkan 'Aafakallaah dan engkau berkata: Engkau sedang flu; supaya tidak terjadi salah paham dikiranya engkau mendoakannya agar Allah memaafkannya dari maksiat yang dikerjakannya atau dosa yang diperbuatnya. Engkau mengucapkan: Sesungguhnya engkau sedang flu; engkau memberitahunya bahwa engkau mendoakan kesejahteraan (kesehatan) baginya karena masalah ini saja." (Dikutip dari Liqa' Maftuh, no. 127). Wallahu a'lam. [PurWD/voa-islam.com]

HUKUM HORMAT BENDERA HARAMKAH ?

Tepuk Tangan dan Siulan Saja Disebut Ibadah, Apalagi Hormat Bendera

Oleh: Abu Izzudin

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang kepada-Nya semata kita bertawakkal. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang menjadi teladan dalam berIslam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

Allah Azza Wa Jalla berfirman :

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

"Tidaklah shalat (ibadah) mereka (kaum musyrik) di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS Al Anfal 35)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ

“Bukanlah golongan kami, mereka yang mengajak kepada Nasionalisme",. (HR. Abu Dawud)

مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

"Barangsiapa yang berperang dengan slogan primordialisme, mendakwahkan (mengajak dan menyerukan) nasionalisme atau membantu menegakkan nasinalisme, lalu ia mati MAKA IA MATI DALAM KEADAAN JAHILIYYAH". (HR. Muslim)

Lalu marilah kita bandingkan antara tepuk tangan dan siulan dengan upacara bendera dan segala pernik-perniknya.

* Penanaman Nasionalisme dalam penghormatan bendera dan upacara adalah dakwah Jahiliyyah sebagaimana hadits di atas.

* Mengheningkan cipta adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan ibadahnya agama Hindu, Budha dan Kristen. Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang keras meniru upacara agama lain.

* Di antara bunyi syair lagu Indonesia Raya adalah : "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya UNTUK INDONESIA RAYA = syair ini telah membatalkan pernyataan kita setiap shalat : "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku, HANYALAH UNTUK ALLAH RABB SEMESTA INI"

* Dalam lagu Berkibarlah Benderaku terdapat syair "Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …. " Apakah ini bukan kalimat syirik ?

* Padahal Rasulullah bersabda dalam hadits shahih:

واِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ لاَ يُلْقِى لَهاَ بَالاً فيَهْوِى بِهاَ فِى جَهَنَّمَ

“Ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah, sedangkan ia mengucapkannya tanpa tujuan yang jelas, tetapi disebabkan kalimat itu Allah Melmparkannya ke dalam neraka jahannam.” (Muttafq Alaih). Na’udzu billah

* Di antara bunyi syair lagu Wajib “Padamu Negeri” adalah : “Bagimu Negeri JIWA RAGA KAMI” : ini adalah seruan jahiliyyah dan bertentangan dengan syahadat kita dan bisa menggugurkan ke Islaman pengucapnya. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS Al An’am 162 – 163)

* Dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 4/52 disebutkan : “Orang-orang Musyrik Quraisy mengelilingi Ka’bah dengan telanjang tanpa sehelai benang pun sambil bersiul-siul dan bertepuk tangan”. Dan ini oleh Allah disebut shalatnya kaum musyrik. Maka kalau sambil telanjang, tepuk-tepuk tangan dan siulan saja oleh Allah disebut "shalat" karena di situ ada makna pengagungan dan ketundukan kepada Latta, Uzza dan Manath, walaupun dalam bentuk yang mungkin aneh bagi kita, apalagi penghormatan bendera yang di dalamnya ada tujuan pengagungan terhadap bendera, bahkan rela mati demi Sang Saka Merah Putih tersebut. Apa bedanya dengan orang Jahiiyyah dulu?

Berikut ini tafsir Al Anfal 35 versi Departemen Agama : "Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". Seterusnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan sebab-sebab mereka tidak berhak menguasai Baitullah, dan daerah haram, yaitu karena mereka dalam waktu beribadat, mengerjakan tawaf mereka bertelanjang dan bersiul-siul serta bertepuk tangan.

روى عن إبن عباس رضى الله عنهما: كانت قريش تطوف بالبيت عراة تصفر وتصفق

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu : “Orang-orang Quraisy mengitari Baitullah dalam keadaan telanjang, bertepuk tangan dan bersiul-siul”. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas)

Dan diriwayatkan juga dari beliau :

وروى عنه: أن الرجال والنساء منهم كانوا يطوفون عراة مشبكين بين أصابعهم يصفرون منها ويصفقون

“Bahwa orang-orang Quraisy itu baik laki-laki maupun perempuan, mengelilingi Kakbah dalam keadaan telanjang. Mereka saling berbimbingan tangan, bersiul-siul dan bertepuk tangan”. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas)

Manakah yg lebih sakral dan lebih pantas disebut sebagai ibadah : tepuk tangan dan siulan atau upacara bendera dengan segala tata tertib nya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna ibadah adalah: “Ketundukan, ketergantungan, kepatuhan, merasa takut dengan hukuman yg akan ditimpakan, menyerah pasrah, mencintai dan merasa kehilangan manakala tidak ada di dekatnya.” BUKANKAH INI SEMUA YANG AKAN DITANAMKAN KEPADA RAKYAT INDONESIA TERHADAP BENDERA DAN TANAH AIRNYA DALAM SETIAP UPACARA DAN PENGHORMATAN BENDERA?

Dalam Syarah Kitab Tauhid, disebutkan :

تفسير العبادة، وهي: التذلل والخضوع للمعبود خوفاً ورجاء ومحبة وتعظيماً القول المفيد على كتاب التوحيد -

Tafsir dari Ibadah adalah : “Merendahkan diri dan tunduk patuh kepada yang diibadahi, dengan disertai rasa takut (akan hukuman), kecintaan yg dalam dan penghormatan serta pengagungan kepadanya " (Al Qaul Al mufid ‘Ala kitab Tauhid juz 1 hal 320)

Untuk lebih memperjelas makna IBADAH, berikut tambahan saya: Allah Azza Wa Jalla berfirman (artinya): “Mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”. (QS At Taubah 31)

Apakah yang dimaksud menjadikan orang-orang 'alim dan rahid-rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh? Apakah mereka sujud, menyembah kepada orang-orang 'alim dan rahib-rahib itu seperti orang-orang musyrik menyembah berhala?

Al-Imam Ibnu Katsir telah menjelaskan masalah ini dengan sebuah hadits dari jalur Al-Imâm Ahmad, At-Tirmidzî dan Ibnu Jarîr; yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan 'Adi bin Hâtim ke Madînah dalam rangka kunjungannya yang pertama kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. -- ketika itu 'Adî masih beragama Nasrani -- dan memakai kalung salib dari perak. Maka Rasûlullâh saw. pun membacakan ayat ini (Surah At-Taubah (9) : 31) di hadapan 'Adî bin Hâtim : “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”. (QS At Taubah 31)

'Adî bin Hâtim segera menyanggah dengan mengatakan: “Sesungguhnya mereka tidak pernah ber'ibâdah (menyembah) kepada orang-orang 'alim dan para pendeta”.

Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun segera menjawab: “Sesungguhnya orang-orang 'alim dan para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang halal terhadap mereka dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka mereka pun menta'atinya. Demikian itulah penyembahan (ibadah) mereka kepada orang-orang 'alim dan para pendeta itu”. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal.348)

Mereka memang tidak melakukan sujud kepada para pendeta atau orang-orang 'alim mereka, akan tetapi mereka mentaati para pendeta dan orang-orang 'alim itu sedemikian rupa hingga hukum halal-haram bagi mereka adalah menurut aturan pendeta dan orang 'alim tersebut, bukan menurut Allah. Inilah pengertian atau makna 'ibadah yang sesungguhnya; yaitu : “Ta'at (patuh) dan merendahkan diri”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Bukankah sikap pemerintah terhadap mereka yang menolak menghormat bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan alasan Nasionalisme atau berbagai alasan lain yang mengada-ada sudah sangat nyata menunjukkan betapa bendera dan lagu kebangsaan dikultuskan sedemikian tingginya bahkan melebihi Rasulullah?

Pernahkah pemerintah ini sedemikian gusar melihat orang yang tidak puasa, tidak shalat atau tidak membayar zakat seperti gusarnya mereka melihat orang tidak mau hormat bendera?

Apakah mereka sebegitu gusar manakala lafadz "Allah" diinjak-injak oleh Ahmad Dhani atau saat Lia Eden mengaku sebagai Nabi, atau Ahmadiyyah menodai Islam? Bukankah bendera Merah Putih, Indonesia Raya dan simbol-simbol lainnya, lebih mereka junjung tinggi dan mereka hormati dibanding Allah dan Rasul-Nya.

Di NKRI ini seseorang bisa bebas menghina Allah, Rasulullah dan Dien Al Islam, tapi mereka tidak boleh sama sekali menghina Merah Putih atau Garuda Pancasila. Hukuman penjara telah menanti Allahu Musta'aan.

Sikap represif pemerintah terhadap mereka yang tidak mau hormat bendera atau ikut upaca bendera, semakin menunjukkan bahwa ini bukan sekedar masalah sepele, tapi ini soal IMAN dan AQIDAH.

Masihkah kita ragu bahwa musuh-musuh Allah sudah mengobok-obok aqidah dan iman kita serta mengancam syahadat anak istri dan keluarga kita?

CATATAN PENTING:

Bukan hukum tepuk tangannya atau bersiul yang kita masalahkan, tetapi pengagungan sesuatu selain Allah dengan cara bertepuk tangan dan bersiul. Bukan hanya tepuk tangan yang bisa disebut ibadah, bahkan kedipan mata seorang pendeta Barshisha yang merupakan isyarat ketundukan dan kepatuhan kepada iblis, sudah menyebabkannya murtad. Silahkan antum baca Tafsir surah Al Hasyr ayat 16

كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ

“Seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia: "Kafirlah kamu", maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam." (QS. Al Hasyr 16)

Apakah Lalu Berarti Mengedipkan Mata Hukumnya Haram?

Yang sedang saya bahas di sini adalah bahwa ibadah bukan hanya rukuk sujud, bahkan tepuk tangan, kedipan mata, desiran hati pun bisa menjadi ibadah jika itu dimaksudkan sebagai pengagungan, kepatuhan, ketundukan dan ketaatan mutlak kepada sesuatu. Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]

Kamis, 14 Juli 2011

MENYAMBUT RAMADHAN

Friday, 15 July 2011

Ramadhan Sudah di Depan Mata
(Tips Menyambut Ramadhan)

Tidak lama lagi kita akan kedatangan tamu yang mulia lagi terhormat, bulan Ramadhan (Prediksi,1 Ramadhan jatuh tanggal 1 Agustus 2011) yang senantiasa dirindukan kedatangannya dan disayangkan kepergiannya.

Bulan yang datang dengan berjuta berkah dan magfirah yang akan membersihkan noda-noda dalam jiwa sang pendosa. Ramadhan adalah kekasih hati, ia bagaikan darah segar yang membangkitkan kembali semangat yang mulai mengendor,ia ibarat oase di tengah padang sahara pelepas dahaga bagi sang pengembara di bawah teriknya sang mentari. Hanya orang fasik dan zhalim yang mengabaikan kehadiran bulan Ramadhan,bahkan mereka mencela,membenci, dan menganggapnya sebagai penjara jiwa yang mengekang hawa nafsu yang senentiasa diperturutkannya.

Namun demikian kita tetap bersyukur, masih banyak kaum muslimin yang melaksanakan puasa, meski harus kita akui dengan jujur bahwa masih banyak pula diantara mereka yang menyambut dan mengisi hari-harinya di bulan Ramadhan dengan penyimpangan-penyimpangan dari apa yang disyariatkan oleh Allah سبحانه وتعلى, diantaranya ada yang menyambutnya dengan pesta, pawai-pawai, bahkan di-antara mereka ada yang mempersiapkan acara begadang yang diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan menjurus kepada kemaksiatan. Sehingga benarlah apa yang disinyalir oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sabda beliau :

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ رواه أحمد و ابن ماجه

“Betapa banyak orang yang berpuasa bagian yang ia dapatkan (hanyalah) lapar dan dahaga” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Oleh karena itu sebagai seorang muslim hendaklah mengetahui hal-hal yang perlu dilakukan di dalam menyambut bulan suci Ramadhan serta amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana Kita Menyambut Bulan Ramadhan
1. Memperbanyak do’a kepada Allah
Adalah merupakan kebiasaan bagi para generasi yang shalih pendahulu kita dengan memperbanyak do’a sebelum masuknya bulan Ramad-han, sehingga diriwayatkan diantara me-reka ada yang memohon kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan sejak 6 bulan sebelumnya. Mereka juga memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan dan pertolongan di dalam melaksanakan ibadah-ibadah di dalamnya seperti puasa, qiyamul lail, sedekah dan sebagainya.

2. Bersuci dan membersihkan diri

Yaitu kebersihan yang bersifat maknawi seperti taubat nasuha dari segala dosa dan maksiat. Pantaskah kita me-nyambut tamu yang agung dan mulia dengan keadaan yang kotor?, Pantaskah kita menyambut bulan Ramadhan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya dengan gelimangan dosa?, Bagaimana kita ber-puasa sedangkan shalat masih sering kita lalaikan ? yang mana meninggalkannya merupakan sebuah kekufuran. Bagaima-na kita menahan diri dari segala yang mubah (makan dan minum) kemudian berbuka dengan sesuatu yang haram ? yang merupakan hasil riba, suap dan harta haram lainnya. Bagaimana kita ber-harap puasa kita dapat diterima sedang-kan kita dalam keadaan seperti ini. Renungilah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهِ فَلَْيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ رواه البخاري

“Barangsiapa yang tidak meninggal-kan perkataan dusta dan beramal dengannya maka tidak ada bagi Allah kepentingan terhadap puasa (yang sekedar meninggalkan makan dan minum)” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu sebelum pintu taubat tertutup, sebelum matahai terbit dari sebelah barat, sebelum nyawa sampai di tenggorokan maka bersegeralah bertau-bat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Allah سبحانه وتعلى berfirman :

يَآيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا .... التحريم :8

“Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya...” (QS. At Tahrim:8)

3. Mempersiapkan jiwa

Yaitu dengan memperbanyak amal-amal shalih pada bulan Sya’ban karena pada bulan ini bulan diangkatnya amalan-amalan pada Allah. Sebagaimana hadits Usamah bin Zaid t yang diriwa-yatkan oleh Imam An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah yang dihasankan oleh Syaikh Al Albani bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa sepanjang bulan Sya’ban atau beliau memperbanyak puasa di dalamnya kecuali hanya beberapa hari saja beliau tidak melakukannya.


4. Bertafaqquh (mempelajari) hukum-hukum puasa dan mengenal petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم

sebelum memasuki puasa seperti mempelajari syarat-syarat diterimanya puasa, hal-hal yang mem-batalkannya, hukum berpuasa di hari syak (meragukan), perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dan dilarang bagi yang berpuasa, adab-adab dan sunnah-sunnah berpuasa, hukum-hukum shalat tarawih, hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang memiliki udzur seperti me-ngadakan perjalanan, sakit, hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fitri dan lain-lain. Maka hendaknya kita ber-ilmu sebelum memahami dan mengamal-kannya. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى :

فَاعْلَمْ أَنــَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ محمد : 19

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguh-nya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan termpat tinggalmu” (QS. Muhammad :19) Didalam ayat ini Allah سبحانه وتعلى mendahu-lukan perintah berilmu sebelum berkata dan berbuat.

5. Mengatur sebaik-baiknya program di bulan Ramadhan.
Bila seorang tamu yang agung datang berkunjung ke rumah kita kemudian kita menyambutnya dengan baik tentu kita akan mendapatkan pujian serta balasan dari tamu tersebut, begitu pula dengan bulan Ramadhan yang datang dengan membawa berbagai macam keutamaan. Jika kita menyambutnya dengan persia-pan serta program-program untuk tamu agung ini tentu kita akan mendapatkan keutamaan-keutamaan tersebut.

Maka dari itu hendaklah kita mengisi bulan suci ini dengan memperbanyak iba-dah shalat sunnat, membaca Al Qur’an, memperbanyak tasbih, tahmid, takbir dan istighfar dan lebih peduli kepada nasib orang fakir dan miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahmi, memuliakan tamu, men-jenguk orang sakit dan ibadah-ibadah lain yang semisal dengan itu guna meraih gelaran mulia dari Allah, yaitu “Taqwa” dimana ia merupakan simbol sejati bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa mengikhlaskan hati dan memurnikan iman yang terpatri lewat amalan ibadah yang relevan dengan hukum syar’i.

Keutamaan Puasa Ramadhan
Berpuasa di bulan Ramadhan selain ia suatu kewajiban individu bagi yang memenuhi syarat, namun ia juga me-nyimpan banyak keutamaan di balik semua itu, diantaranya :

1. Puasa adalah rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Dan Allah-lah yang akan memberikan balasannya. Dalam hadits qudsi Allah سبحانه وتعلى berfirman :

نْ حَسَنَةٍ عَمِلَهَا ابْنُ آدَمَ إِلاَّ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ U إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ رواه النسائي

“Tidaklah seorang anak Adam mela-kukan suatu amalan kebaikan, kecuali akan dituliskan baginya sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat (pahala) kebaikan. Allah سبحانه وتعلى berfirman : “Kecuali puasa maka sungguh puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang me-nentukan ganjaran (pahala)nya” (HR. An Nasaa’i)


Imam An Nawawi berkata:
“Dikatakan (bahwasanya Allah sendiri yang akan memberikan pahala orang berpuasa) karena puasa adalah bentuk ibadah yang tersembunyi yang jauh dari perbuatan riya’, hal ini berbeda dengan ibadah shalat, hajji, berjihad, shadaqah dan amalan-amalan ibadah yang zhahir (tampak) lainnya” (Lihat Syarh Shahih Muslim 8:271)

2. Bagi orang-orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembira-an, kegembiraan ketika ia berbuka dan kegembiraan ketika ia menemui Rabb-nya, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

لِلصَّــائِمِ فَرْحَــتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبـــَّــهُ رواه البخاري و مسلم

“Bagi orang yang berpuasa dua kegembiraan, kegembiraan ketika ia berbuka serta kegembiraan ketika ia menemui Rabbnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Pengampunan dosa
Seorang hamba yang berpuasa dan melakukan amal ibadah lainnya karena iman dan mengharap ridha Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diam-puni oleh Allah سبحانه وتعلى . Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersab-da :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابــًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رواه البخاري و مسلم

“Barang siapa yang berpuasa Ramad-han karena iman dan mengharap ridha Allah, diampuni dosa-dosa nya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada aroma misk (minyak wangi). Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْــيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيـْـحِ الْمِسْكِ رواه البخاري و مسلم

“Dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada aroma misk (minyak wangi)” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Terdapat waktu yang mustajab.

Bagi yang berpuasa ada waktu, yang mana apabila ia berdo’a pada waktu tersebut, maka do’a itu tidak tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ رواه ابن ماجه

“Sesungguhnya orang-orang yang ber-puasa pada saat berbuka mempunyai waktu dimana do’anya tidak tertolak” (HR. Ibnu Majah)

Ya Allah kami rindu dengan bulan Ramadhan, maka pertemukanlah kami dengannya dan berilah kami kekuatan untuk beribadah didalamnya sebagai-mana yang Engkau cintai dan ridhai.(Al Fikrah)
-Harman Tajang -

KEUTAMAAN PUASA RAMADHAN

﴿ من فضائل صيام رمضان ﴾

] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي


Muhammad Ibn Syâmi Muthâin Syaibah


Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad





2010 - 1431





﴿ من فضائل صيام رمضان﴾
« باللغة الإندونيسية »

محمد بن شامي مطاعن شيبة



ترجمة: شفر أبو دفاع
مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد








2010 - 1431






Keutamaan Puasa Ramadhan


Segala puji bagai Allah. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi terakhir, Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabat dan siapa saja yang mengambil petunjuknya hingga hari kiamat.
Adapun selanjutnya:

Puasa memiliki berbagai keutamaan, sehingga sudah selayaknya engkau, wahai saudaraku Muslim, memperhatikan puasamu. Di antara keutamaan puasa Ramadhan:
1. Puasa Ramadhan merupakan sebab penghapusan dosa. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ))
"Siapa yang puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
[HR. As-Syaikhân]
Sabda Nabi -shalallahu alaihi wasalam- yang lain:
(( الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ))
"Antara shalat lima waktu, Jumat ke Jumat, Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa di antara itu semua, jika dosa besar dapat dihindari."
[HR. Muslim dan selainnya]
2. Balasan pahala puasa tidak terhingga. Tidak ada batasan jumlahnya.
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((قال الله تعالى :كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ))
"Allah -ta'âla- berfirman: 'Seluruh amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya."
[HR. As-Syaikhân]
Dalam riwayat Muslim:
(( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي))
"Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah -azzawajalla- berfirman, ‘Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya. Dia meninggalkan nafsu dan makanannya demi Aku."
[HR. As-Syaikhân]
3. Bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah dari bau minyak misk. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
((وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ))
"Demi yang jiwa Muhammad berada di tanggan-Nya, sungguh bau mulut orang yang puasa lebih wangi di sisi Allah dari pada bau misk."
[HR. Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim)]
4. Orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- :
((وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ))
“Orang yang puasa memiliki dua kebahagiaan yang membuatnya berbahagia; bahagia ketika berbuka puasa dan bahagia ketika berjumpa Tuhannya dengan puasanya.”
[HR. Syaikhân)
5. Puasa adalah tameng dan pelindung. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
((وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ))
“Puasa adalah tameng.”
[HR. Syaikhân]
6. Puasa memberi syafaat kepada pengamalnya pada hari kiamat. Dalam Hadits Abdullah Ibnu Amr -radiallahu'anhu- Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
(( الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ))
“Puasa dan al-Quran memberi syafaat kepada seseorang pada hari kiamat. Puasa berkata, “Wahai Tuhanku, aku cegah dia dari makan dan nafsunya di siang hari, jadikan aku sebagai penyafaatnya.’ Al-Quran berkata: “Aku cegah dia dari tidur malamnya, jadikan aku sebagai penyafaatnya.’ Nabi berkata: “Keduanya pun memberinya syafaat.”
[HR. Ahmad dan Hakim. Hadits sahih]
7. Di surga terdapat pintu bernama Ar-Royyân yang dimasuki hanya oleh orang-orang yang puasa. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
(( وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ))
“Siapa yang termasuk ahli puasa, akan dipanggil dari pintu surga ar-Royyân.”
[HR. Syaikhân]
Sabdanya -shalallahu alaihi wasallam- yang lain:
(( إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ))
“Di surga ada pintu yang disebut ar-Royyân. Orang-orang yang puasa akan masuk dari pintu itu pada hari kiamat, tidak seorang pun masuk selain mereka. Diserukan: “Mana orang-orang yang berpuasa!” Maka mereka pun mendatanginya. Tidak seorang pun dari mereka selain memasukinya. Jika semua telah masuk, pintu pun ditutup, tak seorang pun memasukinya setelah itu.”
8. Puasa sehari fii sabilillah (dalam jihad), menjauhkannya dari panas neraka jahanam sejauh 70 tahun. Sebagaimana sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-:
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ حَرَّ جَهَنَّمَ عَنْ وَجْهِهِ سَبْعِينَ خَرِيفًا))
“Siapa yang puasa sehari dalam jihad, Allah jauhkan dengan satu hari itu panas neraka jahanam dari wajahnya sejauh 70 tahun.”
[HR. An-Nasai dan Ibnu Majah. Hadits sahih. As-Syaikhân juga meriwayatkan yang serupa]

Rabu, 13 Juli 2011

Ensiklopedia Setan dan Iblis
admin 0 comments From The Old Diary, Hikmah, Iseng, Poetic Side
Jun 05
Iblis dan kroni-kroninya sudah menyatakan diri untuk selalu menggoda manusia sehingga terjerumus kedalam jalan yang salah. Maka kita tidak boleh tinggal diam membiarkan mereka melancarkan aksinya menggoda dan menyesatkan kita.
Menyatakan perang dengan Iblis dan berjuang dari segala godaannya.
Kitapun butuh amunisi agar bisa menang dalam perang yang dahsyat ini, berikut ini beberapa hal mengenai Iblis/setan yang perlu kita ketahui dalam rangka memerangi mereka,

Your browser does not support iframes.

Sumpah Iblis Untuk Menggoda Bani Adam
“Iblis menjawab : “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari
kanan dan kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur (taat).” (Al-A’raf : 16-17)
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala mengisahkan tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan Bani Adam dari jalan yang lurus sekuat tenaga dengan berbagai cara dan dari segala arah dengan berbagai taktik dan strategi.
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ighotsatul Lahfan menjelaskan :
“Jalan yang dilalui oleh insan ada empat, (tidak lebih) ia terkadang arah depan dan arah belakang di jalan manapun ia lalui, ia akan menjumpai syaithan mengintai. Bila menempuh jalan ketaatan, ia menjumpai syaithan siap menghalangi atau memperlambat laju jalannya bila ia menempuh jalur kemaksiatan, ia akan menjumpai syaithan siap mendukungnya”.

Your browser does not support iframes.

Syahqiq pernah berkata : “Tiada suatu pagi pun melanikan syaithan telah duduk mengintaiku dari empat penjuru dari depan dan belakangku serta dari arah kanan dan kiriku. Iapun berkata : “Jangan engkau takut karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang maka aku membaca : “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal sholih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82)
Adapun dari arah belakangku maka ia menakut-nakuti akan menelantarkan keluarga yang akan aku tinggalkan. Maka aku membaca : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”(Hud : 6)
Dari arah kanan ia mendatangiku dari sisi perempuan, maka aku baca :
“….Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.
Dari arah kiri ia mendatangiku dari sisi syahwat, maka aku membaca :
“Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka inginkan….”(Saba’ : 54) (Lihat Mawaridul Aman 173-174)
Inilah ambisi syaithan, untuk menyesatkan semua bani Adam sampai tidak tersisa seorang pun dari mereka yang bersyukur dan taat kepada Allah. Secara realita, ternyata program syaithan ini menjadi kenyataan karena mayoritas bani Adam telah terperangkap dalam jebakan-jebakannya, kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang Iblis : “Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.”
Allah berfirman: ” Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenismu dan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semua.” (Shad : 82-85)
Cara Syaithan Menggoda Bani Adam
Dalam rangka menyesatkan bani Adam dari jalan yang lurus, syaithan
mempersiapkan cara dan jebakan-jebakan. Ada enam tingkatan jebakan yang
dipasang syaithan untuk menjerat bani Adam sebagaimana yang diteraangkan
para ulama, yaitu :
Pertama : Syaithan akan berupaya menjerumuskan bani Adam ke lembah
kekafiran atau kesyirikan. Namun bila bani Adam selamat dari jebakan ini
syaithan akan menggunakan cara berikutnya.
Kedua : Syaithan akan berusaha menjatuhkan bani Adam ke lembah bid’ah
sehingga ia mengamalkan bid’ah dan menjadi ahlil bid’ah. Namun bila bani
Adam termasuk ahli sunnah dan tidak mampu diperdaya, maka syaithan akan
menggunakan cara berikutnya.
Ketiga : Syaithan akan menggoda bani Adam untuk melakukan dosa-dosa
besar. Namun bila Allah menjaganya, maka syaithan akan menggoda dengan
cara lain.
Keempat : Syaithan akan menggoda bani Adam untuk melakukan dosa-dosa
kecil dan menganggapnya remeh. Bila gagal, maka syaithan akan menggoda
dengan cara lain.
Kelima : Syaithan akan menyibukkan bani Adam dengan perkara mubah
sehingga mereka lalai dari perkara pokok. Namun bila bani Adam selamat
dari perangkap ini, maka syaithan akan menggunakan cara yang terakhir.
Keenam : Syaithan akan menyibukkan bani Adam dengan amalan yang rendah
nilai pahalanya, misalnya dia menyibukkan bani Adam dengan amal sunnah
sehingga melalaikannya dari amal wajib. Demikian seterusnya (Lihat
Madakhilus Syaithon ‘alas shalihin 9-10)
Bila ada seorang yang selamat dari enam perangkap syaithan tersebut,
maka dia termasuk hamba Allah yang ikhlas yang tidak dapat digoda oleh
syaithan dengan taufiq dan hidayah dari Allah Ta’ala.
Makar Jahat Syaithon
1. Menabur Benih Permusuhan dan Buruk Sangka di Kalangan Muslimin
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits bersabda :
“Sesungguhnya iblis telah berputus asa untuk dapat disembah oleh
orang-orang sholih, namun dia berupaya menebarkan benih permusuhan di
kalangan mereka.” (HR Muslim 2812 dan Tirmidzi 1938)
Su’udhan atau buruk sangka adalah salah satu cara syaithan
mencerai-beraikan bani Adam (barisan kaum muslimin). Demikian pula
tahrisy (menebar benih permusuhan). Dalam sebuah hadits dari Ummul
Mukminin Shafiyah binti Huyai, dia bercerita : “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pernah i’tikaf di masjid, lalu aku datang menjenguk
beliau pada suatu malam untuk berbincang-bincang dengan beliau. (Setelah
selesai) aku pun bangkit untuk kembali dan beliau pun bangkit bersamaku
untuk menemani. Ketika itu lewatlah dua orang laki-laki Anshor
radliallahu ‘anhuma. Tatkala mereka melihat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, mereka pun mempercepat langkahnya. Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam pun berseru : “Perlahanlah! Wanita ini
adalah Shafiyah!” Dua orang itupun berkata : “Subhanallah, ya
Rasulullah!” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya syaithan menjalar pada diri Adam pada aliran darah dan
sungguh aku khawatir syaithan akan melemparkan kejahatan pada hati
kalian berdua (ketika melihat aku) lalu terucaplah sesuatu.” (HR Bukhari
4/349-350)
2. Menghiasi Bid’ah Bagi Manusia
Syaithan akan datang pada seseorang dengan menghiasi kebid’ahan dan
membisikkan dalam hatinya : “Orang-orang di masa kini telah jauh
meninggalkan agamanya dan sulit sekali mengembalikan mereka kepada
agama. Alangkah baiknya kalau engkau mengerjakan beberapa amal ibadah
dengan beberapa tambahan dari apa yang telah ditetapkan dalam sunnah
Rasul dengan harapan agar mereka kembali pada agama mereka, karena
menambah amal kebajikan adalah baik.” Akhirnya orang bodoh tersebut pun
mengikuti bisikan syaithan.
Kita telah mengetahui bahwa ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu harus
diambil dari petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semata.
Kita tidak memiliki hak untuk menambah dan mengurangi atau mengubah
semau kita karena ini adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dan
termasuk perangkap syaithan.
3. Menakut-nakuti Bani Adam
Dalam hal ini syaithan akan menakuti bani Adam dengan dua cara :
Pertama : Syaithan akan menakuti bani Adam dengan wali-walinya dari
kalangan orang-orang kafir, musyrik, fasiq, dan ahli maksiat. Syaithan
membisikkan : “Hati-hati kamu dari mereka! Mereka memiliki kekuatan yang
dahsyat….!” Akhirnya dia pun bergabung dengan wali-wali syaithan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya yang demikian itu
tidak lain hanyalah syaithan yang menakut-nakuti kamu dengan
kawan-kawannya (orang musyrik Quraisy) karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.”
(Ali Imron : 175)
Kedua : Syaithan akan menakuti bani Adam dengan kefakiran. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menceritakan : “Syaithan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu dengan
kejahatan (kikir) …” (Al-Baqarah : 268)
Syaithan membisikkan kepada tukang riba : “Kalau engkau tinggalkan
profesimu, dari mana kamu akan mendapatkan harta? Kamu akan jatuh
miskin!” Akhirnya orang tersebut lebih bersemangat menekuni profesi
riba.
Syaithan membisikkan kepada penjual khamr : “Jangan engkau tinggalkan
profesimu, tidak ada profesi yang lebih menguntungkan selain profesi
yang sedang engkau geluti. Kalau engkau tinggalkan engkau akan jatuh.
Belum tentu engkau mendapati profesi pengganti sebaik ini!” Akhirnya dia
pun semakin giat memasarkan berbagai produk dan merek khamr.
Semua itu adalah bisikan syaithan yang menyesatkan bani Adam padahal
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman : “… Barangsiapa bertaqwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya
rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(Ath-Thalaq : 2-3)
4. Melemparkan Keraguan Dalam Hati
Termasuk cara syaithan menyesatkan bani Adam adalah melemparkan keraguan
dan was was dalam hati baik dalam hal aqidah, ibadah, maupun muamalah.
(Lihat Madakhilus Saithan ‘alas Shalihin 11-27)
Masih banyak lagi cara dan perangkap yang dipasang syaithan untuk
menjerat bani Adam. Di samping itu ada beberapa hal yang mudahnya
syaithan menjalankan makarnya, di antaranya :
1. Kebodohan bani Adam
2. Hawa nafsu, lemah keikhlasan, dan tipisnya keimanan
3. Lalai dari dzikrullah
4. Tidak memperhatikan jebakan-jebakan syaithan
5. Mengerjakan perbuatan sia-sia
6. Berlebih-lebihan (israf) dari kebutuhan
(Lihat al-Fawaid hal 185-186 dan Madakhilus Syaithan ‘alas Shalihin hal
28)
Jalan Keluar dari Makar Syaithan
Di akhir pembahasan ini kami sebutkan beberapa cara untuk menyelamatkan
diri dari cengkeraman, godaan dan jebakan-jebakan syaithan yang tertulis
dalam kitab Madakhilus Syaithon ‘alas Shalihin hal 28-29, yaitu
1. Beriman kepada Allah Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya. Allah
berfirman : “Sesungguhnya syaithan itu tidak ada kekuasaan atas
orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-Nya.” (An-Nahl :99)
2. Menuntut ilmu syar’i dari sumber dan pemahaman yang benar karena
dengan ilmu ini kita terbimbing kepada jalan yang lurus dan mampu
menepis sekian banyak perangkap syaithan yang dipasang untuk menjerat
kita.
3. Mengokohkan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman : “Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis (ikhlas)
di antara mereka.” (Al-Hijr :40)
4. Membentengi dengan dzikrullah dan isti’adzah (memohon perlindungan)
kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman : “Dan jika kamu ditimpa godaan
syaithan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Al-A’raf : 200)
Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari jebakan-jebakan syaithan yang
menyesatkan.
Amin ya Mujibas Sailin
Oleh : Al-Ustadz Qomar Suaidi

Tags:
setan menurut islam, buruk sangka dalam islam, iblis menurut islam, nama-nama setan, Hadits iblis, setan menggoda manusia melalui 4 penjuru, dalil tentang setan, setan dan iblis, perang melawan iblis dalam islam, nama setan di islam, setan akan menggoda manusia dari depan belakang kanan dan kiri, setan akan menggoda manusia dari depan belakang kiri dan kanan, setan dari depan belakang kanan kiri, ayat tentang buruk sangka, setan menggoda dari segala arah, setan menggoda manusia dari depan, sumpah iblis untuk menyesatkan manusia, syaitan dalam islam, syaitan menggoda dari depan belakang, mutiara kata hadis iblis menyesatkan, kata kata mutiara iblis, ayt yg menerangkan sumpah setan untuk menggoda manusia, Buruk sangka menurut islam, cara iblis dan setan menggoda manusia, dalil tentang iblis yg selalu menggoda manusia, ensiklopedia setan, Hadis-iblis, HADIST TENTANG SETAN, hadits setan menggoda hamba allah, hadits tentang syetan akan menggoda manusia dari berbagai sisi


Tags:
setan menurut islam, buruk sangka dalam islam, iblis menurut islam, nama-nama setan, Hadits iblis, setan menggoda manusia melalui 4 penjuru, dalil tentang setan, setan dan iblis, perang melawan iblis dalam islam, nama setan di islam, setan akan menggoda manusia dari depan belakang kanan dan kiri, setan akan menggoda manusia dari depan belakang kiri dan kanan, setan dari depan belakang kanan kiri, ayat tentang buruk sangka, setan menggoda dari segala arah, setan menggoda manusia dari depan, sumpah iblis untuk menyesatkan manusia, syaitan dalam islam, syaitan menggoda dari depan belakang, mutiara kata hadis iblis menyesatkan, kata kata mutiara iblis, ayt yg menerangkan sumpah setan untuk menggoda manusia, Buruk sangka menurut islam, cara iblis dan setan menggoda manusia, dalil tentang iblis yg selalu menggoda manusia, ensiklopedia setan, Hadis-iblis, HADIST TENTANG SETAN, hadits setan menggoda hamba allah, hadits tentang syetan akan menggoda manusia dari berbagai sisi

HADITS2 DHAIF

HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADIST-HADIST DHA'IF
UNTUK FADHAA-ILUL A'MAL (KEUTAMAAN AMAL)
TARGHIB DAN TARHIB DAN LAIN-LAIN

Dalam membahas masalah ini saya bagi menjadi dua bagian :

PERTAMA
Menjelaskan beberapa kesalahan dan kejahilan dalam memehami perkataan sebagian ulama tentang mengamalkan hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal :
1. Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa masalah mengamalkan hadist-hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi - tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal , kenyataannya justru sebaliknya.
Yakni telah terjadi khilaf diantara mereka para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab musthalah . dan menurut mazhab Imam Malik , Syafi'I , Ahmad bin Hambal , Yahya bin Ma'in, Abdurahman bin Mahdi , Bukhari , Muslim , Ibnu Abdil Baar , Ibnu Hazm dan para imam ahli hadist lainnya , mereka semua TIDAK MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist dhaif SECARA MUTLAK meskipun untuk fadhailul a'mal dan lain-lain. Tidak syak lagi inilah mazhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali hadist-hadist yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam . Cukuplah saya turunkan perkataan Imam Syafi'I :" idza shohhal hadistu fahuwa mazhabiy" apabila telah sah suatu hadist . maka itulah mazhabku.
2. Mereka memahami bahwa mengamalkan hadist dha'if itu untuk menetapkan (itsbat) tentang suatu amal. Baik mewajibkan , menyunatkan (mustahab) , mengharamkan atau memakruhkannya meskipun tidak datang nash dari Al kitab dan As Sunnah .
Seperti mereka telah menetapkan dengan hadist-hadist dha'if beberapa macam shalat sunat dan ibadah lainnya yang sama sekali tidak ada dalil shahih dari As Sunnah secara tafsil (terperinci) yang menerangkan tentang sunatnya. Kalaupun demikian pemahaman mereka dalam mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadhaailul a'mal.
Allahumma ! Memang demikianlah yng selama ini mereka amalkan. Maka, jelaslah bahwa mereka telah menyalahi ijma ulama sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Karena barang siapa yang menetapkan (istbat) tentang sesuatu amal yang tidak ada nashnya dari al Kitab dan As Sunnah baik secara jumlah (garis besarnya) dan tafsil atau secara tafsil (rinci) saja, maka sesungguhnya ia telah membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Jalla wa 'Alaa.
Kepada mereka ini , Imam Syafi'I , telah memperingatkan dengan perkataannya yang masyhur :"man istahsana faqod syaro'a" - barang siapa yang menganggap baik (istihsan) - yakni tentang suatu amal yang tidak ada nash dan Sunnah - maka sesungguhnya ia telah membuat syariat baru !!!! Semoga Allah merahmati Imam Syafi'I yang terkenal dikalangan salaf sebagai naashirus sunnah (pembela sunnah).
Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud oleh sebagian ulama boleh beramal dengan hadist-hadist dho'if untuk fadhail a'amal atau targhib dan tarhib , ialah apabila yelah datang nash yang shahih secara tafsil (rinci) yang menetapkan tentang suatu amal - baik wajib, sunat,haram atau makruh- kemudian datang hadist-hadist dho'if (yang ringan dho'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadha'il a'mal) atau targhib dan tarhib dengan syarat hadist-hadist tsb tidak sangat dho'if atau maudhu' (palsu), maka inilah yang dimaksud.
3. Salah faham dengan perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan ulama salaf lainnya yang semakna perkataannya dengan beliau yang menyatakan :
"Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tentang halal, haram , sunan (sunat-sunat) dan ahkam, KAMI KERASKAN (yakni kami periksa dengan ketat) sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wa sallam tentang FADHA ILUL A'MAL dan tidak menyangkut hukum dan tidak marfu' (tidak disandarkan kepada beliau shalallahuu alaihi wa sallam ) KAMI PERMUDAH di dalam (memeriksa) sanad-sanadntya. (shahih riwayat Imam Al Khatib al Bhagdhadi dikitabnya al kifaayah fi ilmir riwaayah hal 134)
Perkataan Imam Ahmad diatas diriwayatkan juga oleh Imam-imam yang lain (banyak sekali) tetapi tanpa tambahan : dan yang tidak marfu . Maksudnya : Riwayat-riwayat mauquf (yakni perkataan dan perbuatan shahabat) atau riwayat-rwayat dari tabi'in dan atha'ut taabi'in. Kebanyakan dari mereka dalam memahami perkataan Imam Ahmad diatas, bahwa BELIAU MEMBOLEHKAN mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadha ilul a'mal !!
Jelas sekali , pemahaman diatas keliru bila ditinjau dari beberapa sudut ilmiah, diantaranyaa ialah :" bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal dengan tasahul (bermudah-mudah) dalam fadha ilul a'mal ialah hadist-hadist yang DERAJATNYA HASAN (bukan hadist-hadist dha'if meskipun ringan kelemahannya). Karena , hadist pada zaman beliau dan sebelumnya tidak terbagi kecuali menjadi 2 bagian : SHAHIH dan DHA'IF.

SEDANGKAN HADIST DHA'IF TERBAGI PULA MENJADI 2 BAGIAN
PERTAMA : hadist-hadist dha'if yang ditinggalkan , yakni tidak dapat diamalkan atau dijadikan hujjah.
Kedua : Hadist-hadist dha'if yang dipakai, yakni dapat diamalkan atau dijadikan hujjah .
Yang terakhir ini kemudian dimasyhurkan dan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari derajat hadist oleh Imam Tirmidzi dengan istilah HADIST HASAN. Jadi , Imam Tirmidzi yang PERTAMA KALI membagi derajat hadist menjadi bagian : SHAHIH , HASAN dan DHA'IF.
Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim dan para ulama lainnya.

KEDUA
Menjelaskan kesalahan mereka yang TIDAK PERNAH memenuhi syarat-syarat yang telah dibuat oleh sebagian ulama dalam mengamalkan hadist dha'if untuk fadha ilul a'mal atau targhib dan tarhib.
Ketahuilah !! Sesungguhnya ulama-ulama kita yang TELAH MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist-hadist dha'if di atas , telah membuat BEBERAPA PERSYARATAN yang SANGAT BERAT dan KETAT. Persayaratan tsb tidak akan dapat dipenuhi kecuali oleh mereka (ulama) yang membuatnya atau ulama-ulama yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam ilmu hadistnya (para muhadist).
Dibawah ini saya turunkan sejumlah persyaratan yang telah dibuat oleh para ulama kita Kemudian , saya iringi dengan beberapa keterangan yang sangat berfaedah. Insya Allahau ta'ala.

1. Syarat pertama
Hadist tersebut khusus untuk fadhailul amal atau targhib dan tarhib. Tidak boleh untuk aqidah atau ahkam (spt hukum halal, haram ,wajib, sunat , makruh) atau tafsir Qur'an. Jadi , seorang yang akan membawakan hadist-hadist dho'if , terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI mana hadist dha'if yang MASUK bagian fadha ilul a'mal dan mana hadist
dha'if yang masuk bagian aqidah atau ahkam.
Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang orang dapat mengetahui perbedaan hadist-hadist dha'if diatas kecuali mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIST.
Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA'- para penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan pertama ini.
Berapa banyak hadist-hadist dho'if tentang aqidah dan ahkam yang mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!
2. Syarat kedua
Hadist tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU' , BATIL , MUNGKAR dan Hadist-hadist yang TIDAK ADA ASALNYA.
Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadist-hadist yang ringan (kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena, untuk mengetahui suatu hadist itu derajatnya SHAHIH , HASAN, DHA'IF ringan , sangat DHA'IF , dst.
Bukanlah pekerjaan yang mudah sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini.
Pekerjaan tsb merupakan yang sangat berat sekali yang hanya dapat dikerjakan oleh para AHLI HADIST yang benar-benar ahli. Dan persyaratan kedua inipun DILANGGAR besar-besaran . Berapa banyak hadist yang batil dan mungkar , sangat dha'if , maudhu' ,dan tidakada asalnya yg mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.
Anehnya orang-orang jahil ini kalau dinasehati oleh ahli ilmu dengan cepat mereka menjawab :"Dibolehkan untuk Fadha ilul a'mal". Lihatlah betapa sempurnanya kejahilan mereka !!!
3. Syarat ketiga
Hadist tsb TIDAK BOLEH DI-I'TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebab bisa terkena ancaman beliau : yakni berdusta atas nama beliau. (Dapat dibaca tulisan saya : Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam). Persyaratan ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, yang membawakan dan mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam
4. Syarat keempat
Hadist tsb harus mempunyai dasar yang umum dari hadist yang shahih . Persyaratan yang ke-4 ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadist yang shahih untuk apalagi segala macam hadist-hadist yang dha'if.
5. Syarat ke-5
Hadist tsb TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN). Menurut Imam ibnu
Hajar rahimahulllah , apabila hadist-hadist dha'if itu dipopulerkan, niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
Lihatlah ! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan mempopulerkan hadist-hadist dha'if , sangat dha'if , bahkan maudhu' sehingga umat lebih mengenal hadist-hadist tsb daripada hadist shahih. Innalillahi wa inna ilahi rooji'un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
6. Syarat ke-6
Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadist tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak , niscaya mereka terkena kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :" Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam".
Demikian ketetapan para muhaqiq dari ahli hadist dan ulama ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (baca Tamaamul minnah : Al Bani hal :32)
Inilah hukum orang yang "diam", tidak menjelaskan hadist-hadist dha'if yang ia bawakan untuk fadhailul a'mal.
Maka bagaimana dengan orang yang "diam" terhadap riwayat-riwayat yang bathil , sangat dha'if, atau maudhu untuk fadhailul a'mal ??? Benarlah para ulama kita - rahimahumullah- bahwa mereka terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama nabi shalallahu alaihi wa sallam.
7. Syarat ke-7
Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan) seperti :"Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam BENAR-BENAR bersabda dst.
Tetapi wajib menggunakan lafadz TAMRIDH (yaitu lafadz yang TIDAK MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan) , seperti :
Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelskan oleh imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Persyaratannya yang terakhir ini , selain mereka tidak memiliki kemampuan , juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang (dimana ilmu hadist sangat gharib / asing sekali).
Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali ahli hadist) teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat membedakan antara lafadz jazm dan tamridh.
Dikutip dari risalah :
Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadist-Hadist Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A'mal , Tagrib Dan Tarhib Dan Lain-Lain

Maraaji' :
1) Al Muhalla (1/2) Ibn Hazm
2) Al-Fash fil-milal wal-ahwaa wan-nihal (2/222) Ibn Hazm , tahqiq Doktor muhammad Ibrahim Nashr dan Doktor Abdurrahman 'Umairah.
3) Al-Majmu' Syarah Muhadz-dzab (1/101 dan 107) imam Nawawi.
4) Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (18/23-25 dan 65-66 dan 249, 1/250-252)
5) A'laamul Muwaqi'in (1/31-32) Ibnul Qayyim.
6) Al-Kifaayah fil-ilmir-riwaayah (hal: 133 dan 134) Imam Al Khatib al Bhagdadi.
7) Al-Madkhal (hal :29) Imam Hakim.
8) Muqaddimaha Ibnu Shallah (hal : 49) Imam Ibnu Shalah.
9) An-Nukat 'ala Kitabi Ibnu Shalah (2/887-888) Ibnu Hajar
10) Tadribur-raawi (1/298-299) Imam As Suyuthi
11) Al-Qaulul- Badii'fish Shalaati alal Habibisy-Syafi'I (hal : 258-260 akhir kitab) Imam As Shakhaawiy.
12) Qawwwa'idut tahdist (hal :113-121) Al Qaasimi.
13) Taujihun Nazhar ila Ushulil Aatsar (hal 297)
14) Al I'thishom (1/224-231) Imam Syaathibiy , tahqiq 'Allamah Sayyid Rasyid Ridha.
15) Ikhtishar 'Ulumul Hadist (hal : 90-92) Ibnu Katsir tahqiq Ahmad Syakir.
16) Muqoddimah al Adzkar (hal : 5-6) Imam Nawawi
17) Tamaamul Minnah (hal : 32-40) al Albani
18) Muqoddimah Shahih Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
19) Muqoddimah Dho'if Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
20) Silsilatul AhaadistAdh Dha'ifah wal Maudhu'ah (3/21-26) al Albani
21) 21. Muqaddimah Shahih Targhib , Al Albani.

Penulis : Ustadz Abdul Hakim Abdat
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
****************************************************************************************************
HUKUM MERIWAYATKAN HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAILUL A'MAL, TARGHIB DAN TARHIB
Sebagian dari kaum muslimin menyangka bahwa masalah mengamalkan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi -tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal, kenyataannya justru kebalikannya, yakni telah terjadi khilaf diantara para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab mushthalah. Dan menurut madzhab Imam Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan para imam ahli hadits lainnya, mereka semuat tidak membolehkan beramal dengan hadits dha'if secara mutlaq meskipun untuk fadhaa-ilul a'mal. Tidak syak lagi inilah madzhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Cukuplah perkataan Imam Syafi'i rahimahullahu ta'ala:
"Apabila telah shah sesuatu hadits, maka itulah madzhabku."
Adapun yang dimaksud oleh sebagian ulama bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilil amal atau tarhib dan targhib ialah apabila telah datang nash yang shahih secara tafshil yang menetapkan (itsbat) tentang sesuatu amal, baik wajib, sunat, haram atau makruh, kemudian datang hadits-hadits dhai'if (yang ringan dha'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadhaa-ilul a'mal) atau tarhib dan targhibnya dengan syarat hadits-hadits tersebut tidak sangat dha'if atau maudhu' (palsu) maka inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama: boleh beramal dengan hadits-hadits dha'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib. Akan tetapi para ulama yang membolehkan tersebut telah membuat beberapa persyaratan yang sangat berat dan ketat.
Syarat pertama: hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur-an. Jadi seseorang yang akan membawakan hadits-hadits dha'if terlebih dahulu harus mengetahui mana hadits dha'if yang masuk bagian fadhaail dan mana hadits dha'if yang masuk bagian akidah atau ahkaam.
Syarat kedua: hadits tersebut tidak sangat dha'if apalagi hadits-hadits maudhu', bathil, mungkar dan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Untuk membawakannya seseorang harus dapat membedakan derajat hadits-hadits tersebut. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang ahli dalam hadits.
Syarat ketiga: hadits tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keempat: hadits tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahih
Syarat kelima: hadits tersebut tidak boleh dimasyhurkan (diangkat ke permukaan sehingga dikenal umat). Imam Ibnu Hajar rahimahullahu ta'ala mengatakan bahwa apabila hadits-hadits dhai'if itu dimasyhurkan niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keenam: wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya.
Syarat ketujuh: dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti: 'Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda' atau 'mengerjakan sesuatu' atau 'memerintahkan dan melarang' dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: 'Telah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam' dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam muqodimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Jadi demikianlah, kita hendaklah tidak memudah-mudahkan meriwayatkan suatu hadits sampai kita yakin betul bahwa hadits tersebut benar-benar shahih dan apabila kita hendak membawakan hadits dha'if untuk fadhaa'ilul a'mal maka perhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama kita seperti telah disebutkan di atas. Wallahu a'lam.
Rujukan: Majalah As-Sunnah No.03/Th.I Rajab 1413H, hal. 5-9.
Diedit ulang : Abdul Kholiq S

********************************************************************************************

HUKUM MERIWAYATKAN HADIST MAUDLU'/PALSU

Oleh
Abdul Hakim bin Amir Abdat
________________________________________

"Man haddatsaa 'annii (wafii riwaayatin : man rawaa 'annii) bihadiitsiy-yura (wafii lafdzin : yara) annahu kadzibbin, fahuwa ahadul-kadzibiina
(wafii lafdzin :al-kadzibayini)"

"Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat yang lain : meriwayatkan dariku) satu hadist yang ia sangka (dalam satu lafadz : yang ia telah mengetahui) sesugguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz : dua pendusta)"
TAKHRIJUL HADITS
Hadits ini derajadnya SHAHIH dan MASYHUR sebagaimana diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya (1/7).

Dan telah diriwayatkan oleh beberapa shahabat :

1. Samuroh bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya (Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar" (1/75), Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam Kabir" (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya "Tarikh Baghdad" 4/161).

2. Mughirah bin Syu'bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad 94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di "Musykil" (1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya "Adl-Dlua'afaa" (1/7).

3. Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya "Musykilul Atsar").

Lafadz hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan riwayat yang kedua (man rawa 'anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi : Hadist Hasan Shahih.

LUGHOTUL HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.

1. Dengan lafadz "yura" didlomma huruf "ya" nya, maknanya "zhan" atinya : Ia sangka.
"Yakni : Hadits tersebut baru ia "sangka-sangka" saja sebagai hadits palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia termasuk kedalam ancaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas".
2. Dengan lafadz "yara" di fat-ha "ya" nya, yang maknanya "yu'lamu", artinya : Ia telah mengetahui.
"Yakni : Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya, baik ia mengetahuinya sendiri sebagi ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya tanpa memberikan bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam kelompok pendusta hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".
Demikian juga lafadz "alkadzibiina" terdapat dua riwayat yang shahih :
1. Dengan lafadz "alkadzibiina" hurup "ba" nya di kasro yakni dengan bentuk jamak. Artinya : Para pendusta.
2. Dengan lafadz "alkadzibayina" hurup "ba" nya di fat-ha yakni dengan bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta. [Syarah Muslim : 1/64-65 Imam Nawawi]
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja), yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam (hukum-hukum), aqidah, tafsir Qur'an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a'mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru "zhan" tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya.

Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7-8) : "Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta".

Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: "Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits tersebut dusta". Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu'kan (sandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), shahih atau tidak shahih, masuk kedalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini". (baca kembali keterangan Nawawi di Masalah ke 2).

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berkata : Hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
1. Berdasarkan hadits shahih di atas dan hadist-hadits yang telah lalu dalam Masalah ke-2, maka Ulama-Ulama kita telah IJMA' tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu' apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya.Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi' fish-shalati 'Alal Habibisy Syafi'(hal : 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa'idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
2. Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy diantara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya "Musykilul Atsar" (1/176) : "Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". (baca kembali hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
3. Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi SAW telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya.
4. Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
5. Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu'/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dlo'if dalam membela dan membersihakn nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
6. Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukan derajad-derajad hadits mana yang sah dan tidak.
7. Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah SAW kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
8. Menunujukan juga bahwa meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukanlah perkara yang "ringan", tetapi sesuatu yang "sangat berat" sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam : " Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat ". (shahih riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut pemeriksaan ahli hadits.
9. Dalam hadits ini (dan hadits yang lain banyak sekali) ada dalil bahwa lafadz "hadits" dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sabda beliau :"Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu HADITS....yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang dinamakan hadits atau sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".
10. Menunjukan juga bahwa hadits apabila telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik hadits mutawatir atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah dalam aqidah dan ahkam (hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul bid'ah yang dahulu dan sekarang. Adapun ahlul bid'ah yang dahulu mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan ahkam kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?. Demikian paham yang sesat dari sekelompok kecil Mu'tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid'ah zaman sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini kecuali dari hadits-hadits mutawatir.
Kalau ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits (walaupun kita tidak menutup kemungkinannya), tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khotib, majelis-majelis dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un !
Mudah-mudahan hadits di atas dan hadits-hadits di Masalah ke 2 dapat memberikan peringatan dan pelajaran bagi kita supaya berhati-hati dalam menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aamiin ..!