Halaman

Sabtu, 29 Januari 2011

APAKAH ADA BATASAN BATASAN WAKTU TERTENTU UNTUK MASA HAID YANG PALING SEDIKIT DAN PALING LAMA ?

APAKAH ADA BATASAN BATASAN WAKTU TERTENTU UNTUK MASA HAID YANG PALING SEDIKIT DAN PALING LAMA
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya : apakah ada batasan waktu tertentu untuk masa haid tercepat dan masa haid terlama dengan hitungan hari ?
JAWABAN : Tidak ada batasan tertentu dengan jumlah hari untuk masa haid tercepat dan masa haid terlama, berdasarkan firman ALLAH-subhana wa ta’la- :
Artinya : “ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : haid itu adalah suatu kotoran. Oleh ebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka , sebelum mereka suci”. (Al-Baqarah : 222).
Dalam ayat ini terdapat larangan untuk berhubungan badan dengan wanita yang sedang haid, disisni ALLAH –subhana wata’la- tidak menyebutkan batasan masa larangan itu menurut hitungan hari, akan tetapi batasan masa larangan itu hanya di sebut sampai keadaan suci, berarti ayat ini menunjukkan bahwa alasan hukum ALLAH-subhana wa ta’la dalam hal itu adalah ada atau tidak adanya darah haid, jika darah haid itu ada maka ketetapan hukum larangan menyetubuhi wanita berlaku, dan jika wanita itu telah bercuci maka ketetapan hukum larangan mennyetubuhi wanita itu tidak berlaku lagi. Kemudian pula, tentang penetapan batasan masa haid tidak ada dalil; yang menunjukkan nya, padalah keterangan batasan masa haid ini amat penting diketahui, seandai nya batasan masa haid ini ada ketetapan waktunya maka pasti hal itu akan diterangkan dalam kitabullah dan sunnah rasuln NYA .berdasarkan ini, maka setiap kali seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh kaum wanita bahwa darah itu adalah darah haid, maka berarti wanita itu sedang dalam masa haid tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu, kecuali jika keluarnya darah itu terus menerus dan tidak ada terputus, atau berhenti sebentar satu atau dua hari dalam satu bulan, maka berarti darah yang keluar itu bukan darah haid melainkan darah istihadhah (darah karena penyakit).

CIRI-CIRI DARAH HAIDH
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita mengalami terlambat datang bulan pada bulan ramadhan kemudian setelah beberapa hari dari hari biasanya, ia mengeluarkan darah yang terputus-putus tidak seperti biasanya, lalu ia mandi, shalat dan melakukan puasa, apakah shalat dan puasanya itu sah ? dan apa yang harus dilakukan apabila shalat dan puasanya tidak sah ?
JAWABAN : Jika darah yang keluar itu adalah darah haidh yang dapat diketahui berdasarkan warna, bau, kadar kehangatan dan rasa sakitnya maka darah itu adalah darah haidh, walaupun masa berhentinya darah itu amat pendek dengan keluarnya darah haidh sebelumnya, sedangkan jika darah yang keluar itu tidak sesuai dengan cirri-ciri darah haidh maka berarti darah itu adalah darah istihadhah (darah penyakit) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat, puasa serta ibadah-ibadah lainnya. Para ulama telah menyebutkan bahwa cirri-ciri darah haidh ada tiga, yaitu:
1. Baunya busuk
2. Warnanya hitam
3. Lunak dan kental.
Kemudian orang-orang pada zaman modern ini menyebutkan ciri keempat yaitu, bahwa darah haidh itu tidak bisa beku sementara darah yang bukan darah haidh dapat membeku.


JIKA TERJADI KEJANGGALAN DATANGNYA MASA HAIDH, LEBIH CEPAT ATAU TERLAMBAT DARI BIASANYA, ATAU LEBIH LAMA ATAU KURANG DARI MASA HAIDH YANG BIASANYA
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya: jika seorang wanita mengalami kejanggalan dalam hal datangnya haidh,yaitu lebih cepat atau terlambat dari masa biasanya, atau lebih lama atau kurang dari masa haidh dari yang biasanya, apa yang harus dilakukannya ?
JAWABAN: Pendapat madzhab Hambali menyebutkan,bahwa hendaknya wanita tersebut tidak langsung menetapkan sebagai hari haidhnya sampai terulangnya masa tersebut. Pendapat ini selayaknya tidak diikuti, dan umumnya orang-orang tetap menganut pendapat yang benar yang diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Al-Inshaf, bahwa tidak ada jalan bagi kaum wanita yang tetang masa haidh dan masa datangnya haidh kecuali mengikuti pendapat ini, bahwa bila seorang wanita mengeluarkan darah maka ia harus meninggalkan shalat , puasa serta ibadah lainnya. Lalu jika darah itu telah berhenti maka ia harus segera mandi wajib( bersuci) dan melaksanakan shalat. Ketetapan itu berlakau dalam keadaan bagaimana pun, baik haidh itu datang lebih awal dari waktunya maupun terlambat dari biasanya, sebagai contoh: Jika seoarang wanita mengalami masa haidh selama 5 hari ,pada bulan lain ia mengalami masa haidh selama 7 hari, maka ia harus berhenti shalat selama 7 hari tanpa perlu menunggu kejadian haidh 7 hari itu berulang-ulang. Beginilah yang dilakukan istri-istri para sahabat serta istri-istri tabi’in setelah mereka, bahkan hingga para syaikh kami,tidak mengeluarkan fatwa tentang ini kecuali denagan pendapat ini.sementara pendapat yang mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menetapkan berpindahannya kebiasaan haidh karena kejanggalan baru kecuali kejanggalann itu telah terjadi sebanyak tigaa kali, pendapat ini adalah pendapat yang tidak berdasarkan dalil, bahkan pendapat ini bertentangan dengan dalil,juga bertentangan dengan pendapat yang benar , bahwa tidak ada batasan tentang umur wanita dalam mengal ami haidh, maka jika wanita yang masih berumur dibawah sembilann tahun atau sudah melewati umur lima puluh tahun, jika ia mengeluarkan darah haidh maka ia harus meninggalkan shalat, karena hukum asalnya memang demikian, sedangkan darah istihadhah jelas bisa dibedakan dari haidh.

BOLEHKAH BERTAYAMMUM PADA MUSIM DINGIN ?

BOLEHKAH BERTAYAMMUM PADA MUSIM DINGIN ?
Al-lajnah Ad-Da’imah lil ifta’ ditanya : ibu saya adalah seorang yang telah lanjut usia dan memiliki fisik yang lemah, sementara kami bertempat tinggal di daerah yang suhu udaranya dingin, maka dari itu iya tak sanggup berwudhu khususnya untuk melaksanakan shalat subuh, bolehkah ia bertayammum, dan bila ibu saya bertayammum ia berkeyakinan bahwa shalatnya itu tidak sempurna, maka dari itu ia mengulangi shalat itu setelah terbit matahari ?
JAWABAN : Tetap wajib menggunakan air dalam bersuci pada saat musim dingin jika seseorang mempunyai alat penghangat air dan tidak sah bertayammum dalam keadaan seperti ini.

APAKAH CRREAM MINYAK RAMBUT DAN LIPSTIK MEMBATALKAN WUDHU ?

Syaikh Muhammad Shalih al- Utsaimin ditanya: apakah wanita yang menggunakan cream minyak rambut dan lipstik dapat membatalkan wudhunya ?
JAWABAN: Wanita yang memakai minyak cream atau lainnya tidak membatalkan wudhunya, dan juga tidak membatalkan puasa, akan tetapi dalam hal puasa jika pemerah bibir itu memiliki rasa, maka sebaiknya pemerah bibir itu tidak dipakai karena dikhawatirkan rasa itu akan masuk kedalam mulut dan tertelan.

APAKAH MENYENTUH WANITA ASING MEMBATALKAN WUDHU ?

APAKAH MENYENTUH WANITA ASING MEMBATALKAN WUDHU ?
Al- Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: batalkah wudhu karena berjabat tangan dengan wanita asing, sementara telah diketahui bahwa perbuatan itu adalah haram ? Dan dalam kitab-kitab fiqih kami menemukan beberapa hadits yang menyatakan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu, dan ungkapan itu bersifat umum. Apakah ungkapan yang bersifat umum ini menjadi terikat dengan sesuatu yang membolehkan seorang pria menyentuh wanita atau tidak ?
Jawaban : yang benar menurut pendapat pata ulama adalah bahwa menyentuh wanita atau berjabat tangan dengan wanita tidaklah membatalkan wudhu, baik wanita itu orang asing atau istri, atau mahram, karena pada dasarnya seorang pria itu tetap dalam keadaan berwudhu (suci) hingga terdapat dalil syar’i yang menetapkan bahwa wudhu itu batal, sementara tidak dalam hadits shahih yang menyatakan bahwa menyentuh wanita asing membatalakan wudhu .sedangkan kata menyentuh dalam firman ALLAH-subhana wa ta’la:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (Al-Ma’idah: 6 ). Bahwa yang dimaksud dengan menyentuh disisni adalah bersetubuh, demikian pendapat yang benar diantara pendapat-pendapat para ulama.

APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHU ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin ditanya: apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ?
Jawaban: yang benar adalah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu kecuali keluar sesuatu dari kemaluannya, hal ini berdasarkan riwayat shahih dari nabi –sallallahu alaihi wa sallam- bahwasanya:
Rasulullah –sallallahu alaihi wa sallam- mencium salah seorang istrinya lalu beliau melaksanakan shalat tanpa mengulang wudhu beliau.
Karena pada dasarnya tidak ada sesuatu apapun yang membatalkan wudhu hingga terdapat dalil jelas dan shahih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu, karena si pria telah telah menyempurnakan wudhunya sesuai dengan dalil syar’i. sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i tidak bisa di bantah kecuali dengan dalil syar’i pula. Jika ditaanyakan bagaimana dengan firman ALLAH yang berbunyi:
“atau menyentuh perempuan” (An-Nisa’: 43)
Maka jawabannya adalah : yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini adalah bersetubuh, sebangai mana disebuttkan dalam riwayat shahih dari ibnu Abbas-radiallahu anhu- Paman Rasulullah –sallallahu Alaihi wa sallam .

Rabu, 26 Januari 2011

HUKUM WASILAH DA'WAH ASALNYA BOLEH

مشروعية المظاهرات: إحياء للسنة وتحقيقاً لمقاصد الشريعة

المظاهرات وسيلة لها أحكام الوسائل، والأصل في الوسائل الإباحة، وما يتلبس بوسيلة مباحة من مخالفة فالوسائل لها أحكام المقاصد، فمالذي يقصده المسلمون بهذه الوسيلة إلا إظهار الحق، ورفض الظلم، وكشف الخيانات ، وشحذ همم الناس وألسنتهم وأقلامهم وأيديهم بما يملكون فعله، كما ان في هذا صناعة وحدة في الموقف ورأي للأمة.

لقد أصبح التظاهر مقياسا من مقاييس الرأي عند الأمم مسلمها وكافرها في هذا العصر، فنحن لا نعلم رأي أمة من حكامها ولا من إعلامها الذي قد يسيطر عليه حزب أو قلة لا تخدم مصلحة الأمة ولا تحرص عليها، ولا نعلم من قال ممن لم يقل ومن وافق ومن خالف، فهذا قياس مهم لموقف الأمة واستنكارها لباطل أو مناصرتها لحق.

والتظاهر مع الحق، وضد الباطل سنة مشروعة جارية، سنها الله في إظهار الإنكار على الفساد في قوله تعالى: {وليشهد عذابهما طائفة}، وسنها في الإبتهاج بالأعياد، واستقبال الرسول صلى الله عليه وسلم، وتوديعه للغزاة حين خروجهم والإحتفال بهم حال عودتهم، وفي إظهار القوة كما فعل مع أبي سفيان فألزمه رؤية قوة المسلمين، وقطع الطريق عليه أن يفكر في إمكان مواجهة القوة الضاربة للإسلام، ومن قبل طلب الرسول صلى الله عليه وسلم من الطائفين أن يهرولوا في الطواف اظهارا لقوة وصحة أجسامهم، مما يراجع تفصيله في فقه الحج وفي السير. وإن لم نظهر موقفنا وحميتنا وصوتنا وتعاطفنا مع إخواننا المقهورين وحمانا المنتهك فما ذا بقي؟ فاظهار الحق، بكل وسيلة وغمط الباطل بكل وسيلة، في عموم ما ذكر، مما تواترت على مشروعيته الأدلة تواترا معنويا، وهي سنة في الإسلام قائمة.

:: مشروعية المظاهرات إحياء للسنة وتحقيقا لمقاصد الشريعة ::


:: يا عقلاء الأمة.. أدركوا البلاد قبل فوات الأوان ::
إلى شرفاء مصر المسلمة : آن الأوان

TATA CARA SUJUD SAHWI

SUJUD SAHWI

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Kapan wajibnya sujud
sahwi, sebelum atau sesudah salam ..?”

Jawaban:
Sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dilakukan orang shalat untuk menambal
kekurang sempurnaan shalatnya lantaran kena lupa. Sebab kelupaan ada tiga ;
kelebihan, kekurangan dan keraguan.

Kelebihan (tambah) : Jika yang shalat sengaja menambahkan berdiri, duduk,
ruku’ atau sujud, batallah shalatnya.

Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah selesai, maka ia
wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat,
hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi. Contohnya, jika ia lupa
shalat Zuhur lima raka’at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud
sahwi dan salam. Jika ingatnya itu di tengah-tengah raka’at kelima,
hendaklah langsung duduk tasyahud dan salam. setelah itu sujud sahwi dan
salam.

Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas’ud yang
menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur
lima rakaat. Lalu ditanyakan apakah ia menambahkan raka’at shalat .? Maka
setelah para sahabat menjelaskan bahwa beliau shalat lima raka’at, beliau
langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat). Riwayat lain menjelaskan
bahwa ketika itu beliau berdiri membelahkan kedua kakinya sambil menghadap
kiblat lalu sujud dua kali dan salam.

Sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dalam dua tempat :

Pertama.
Jika seseorang kekurangan dalam shalatnya, berdasarkan hadits Abdullah bin
Buhainah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud
sahwi sebelum salam ketika lupa tasyahud awal.

Kedua.
Ketika yang shalat ragu-ragu atas dua hal dan tak mampu mengambil yang lebih
diyakininya, seperti yang dijelaskan oleh hadits Abi Sa’id al-Khudri
Radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang ragu-ragu dalam shalatnya, apakah tiga
atau empat raka’at. Ketika itu, orang tersebut disuruh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam agar sujud dua kali sebelum salam. Hadits-hadits yang
barusan telah dikemukakan lafaznya dalam bahasan sebelumnya.

Sedangkan sujud sahwi sesudah salam, dilakukan dalam dua hal :

Pertama.
Ketika kelebihan sesuatu dalam shalat sebagaimana yang terdapat dalam hadits
Abdullah bin Mas’ud tentang shalat Zuhur lima raka’at yang dialami Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau sujud sahwi dua kali ketika sudah
diberitahu oleh para sahabat. Ketika itu beliau tidak menjelaskan bahwa
sujud sahwinya dilakukan setelah salam (selesai) karena beliau tidak tahu
kelebihan. Maka hal ini menunjukkan bahwa sujud sahwi karena kelebihan dalam
shalat dilaksanakan setelah salam shalat, baik kelebihannya itu diketahui
sebelum atau sesudah salam.

Contoh lain, jika orang lupa membaca salam padahal shalatnya belum sempurna,
lalu ia sadar dan menyempurnakannya, berarti ia telah menambahkan salam di
tengah-tengah shalatnya. Karena itu, ia wajib sujud sahwi setelah salam
berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur atau Ashar sebanyak dua raka’at. Maka
setelah diberitahukan, beliau menyempurnakan shalatnya dan salam. Dan
setelah itu sujud sahwi dan salam.

Kedua.
Jika ragu-ragu atas dua hal namun salah satunya diyakini. Hal ini telah
dicontohkan dalam hadits Ibnu Mas’ud sebelumnya.

Jika terjadi dua kelupaan, yang satu terjadi sebelum salam dan yang kedua
sesudah salam, maka menurut ulama yang terjadi sebelum salamlah yang
diperhatikan lalu sujud sahwi sebelum salam.

Contohnya, umpamanya seseorang shalat Zuhur lalu berdiri menuju raka’at
ketiga tanpa tasyahud awal. Kemudian pada raka’at ketiga itu ia duduk
tasyahud karena dikiranya raka’at kedua dan ketika itu ia baru ingat bahwa
ia berada pada raka’at ketiga, maka hendaklah ia bediri menambah satu rakaat
lagi, lalu sujud sahwi serta salam.

Yakni dari contoh di atas diketahui bahwa lelaki tersebut telah tertinggal
tasyahud awal dan sujud sebelum salam. Ia-pun kelebihan duduk pada raka’at
ketiga dan hendaknya sujud (sahwi) sesudah salam. Oleh sebab itu, apa yang
terjadi sebelum salam diunggulkan. Wallahu ‘alam

SHALAT TAHIYATUL MASJID

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Ketika seseorang memasuki masjid, janganlah ia duduk sehingga melaksanakan shalat dua rakaat yang disebut dengan tahiyatul masjid. Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

“Jika salah seorang kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tujuan dari pelaksanaan shalat dua rakaat ini adalah untuk menghormati masjid. Karena masjid memiliki kehormatan dan kedudukan mulia yang harus dijaga oleh orang yang memasukinya. Yaitu dengan tidak duduk sehingga melaksanakan shalat tahiyatul masjid ini. Karena pentingnya shalat ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap memerintahkan seorang sahabatnya - Sulaik al-Ghaathafani - yang langsung duduk shalat memasuki masjid untuk mendengarkan khutbah dari lisannya. Ya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak membiarkannya duduk walaupun untuk mendengarkan khutbah dari lisannya, maka selayaknya kita memperhatikan shalat ini.

Begitu juga Jabir radhiyallahu 'anhu, saat ia datang ke masjid untuk mengambil harga untanya yang dijualnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau memerintahkannya untuk shalat dua rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dari hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dia pernah masuk masjid, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya padanya, “Apakah kamu sudah shalat dua rakaat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangunlah, laksanakan dua rakaat!”

Maka berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, seluruh ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari: 2/407). Bahkan sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan berpatokan pada dzahir hadits. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunnah, berdasarkan beberapa hadits lain yang memalingkannya kepada anjuran. Di antaranya, hadits tentang shalat lima waktu, maka ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Apakah aku punya kewajiban selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali bila engkau mengerjakan yang sunnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pengarang Shahih Fiqih Sunnah menguatkan pendapat jumhur dengan menyebutkan hadits Waqid al-Laitsi, “Bahwasanya tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallamshallallahu 'alaihi wasallam, dan yang satunya pergi. Kemudian keduanya berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun salah seorang dari keduanya melihat celah di majlis itu, maka ia duduk di tempat yang kosong itu. Sedangkan yang lainnya duduk di belakang mereka. Adapun yang ketiga langsung pergi. sedang duduk di dalam masjid bersama jama’ah, tiba-tiba datanglah tiga orang. Dua orang mendatangi Rasulullah

Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari majlisnya, beliau bersabda: “Maukah aku kabarkan tentang tiga orang tadi? Adapun seorang dari mereka, ia datang menemui Allah maka Allah datang menemuinya. Adapun yang seorang tadi, ia malu maka Allah malu kepadanya. Adapun yang seorang lagi, ia berpaling maka Allah berpaling darinya”.” (Al-Bukhari)

Menurut Syaikh Abu Malik Kamal, kedua orang tersebut langsung duduk dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk shalat dua rakaat. Wallahu a’lam.

Seluruh ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari: 2/407).

Bahkan sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan berpatokan pada dzahir hadits.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunnah, berdasarkan beberapa hadits lain yang memalingkannya kepada anjuran.

Siapa yang dikecualikan dari perintah ini?

Ada beberapa orang yang dikecualikan dari perintah shalat tahiyatul masjid, yaitu:

1. Khatib Jum’at, apabila dia masuk masjid untuk khutbah Jum’at, tidak disunnahkan shalat dua rakaat. Tapi dia langsung berdiri di atas mimbar, mengucapkan salam lalu duduk untuk mendengarkan adzan, kemudian baru menyampaikan khutbah.
2. Pengurus masjid yang berulang-kali keluar masuk masjid. Kalau ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid setiap masuk masjid, maka sangat memberatkan baginya.
3. Orang yang memasuki masjid saat imam sudah mulai memimpin shalat berjama’ah atau saat iqamah dikumandangkan, maka ia bergabung bersama imam melaksanakan shalat berjama’ah. Karena shalat fardhu telah mencukupi dari melaksanakan tahiyatul masjid. (Lihat Subulus Salam, Imam al-Shan’ani: 1/320)

Sebagian ulama lainnya, tetap menganjurkan untuk melaksakan tahiyatul masjid setiap memasuki masjid, walau dia bolak-balik masuk masjid. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam al-Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan dzahir dari pendapat madzhab Hambali. (Lihat: al-Majmu’: 4/320)

Imam Syaukani dalam Naulil Authar (3/70) berpendapat bahwa tahiyatul masjid tetap disyariatkan setiap kali masuk masjid walaupun berulang kali masuk masjid berdasarkan dzahir hadits. Wallahu a’lam.

Hikmah Tahiyatul Masjid

Melaksanakan tahiyatul masjid merupakan bentuk pemuliaan terhadap masjid sebagai baitullah (rumah Allah). Kedudukannya seperti mengucapkan salam saat memasuki masjid atau seperti mengucapkan salam saat bertemu saudara seiman.

Imam Nawawi rahimahullaah berkata, “Sebagian mereka (ulama) mengungkapkannya dengan Tahiyyah Rabbil Masjid (menghormati Rabb -Tuhan yang disembah dalam- masjid), karena maksud dari shalat tersebut sebagai kegiatan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan kepada masjidnya, karena orang yang memasuki rumah raja, ia akan menghormat kepada raja bukan kepada rumahnya.” (Lihat: Hasyiyah Ibnu Qasim: 2/252)

Shalat dua rakaat saat memasuki masjid berarti menghormati dan mengagungkan Rabb yang disembah di dalamnya.

Di Akhri Zaman Tahiyatul Masjid Diremehkan

Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah menyebutkan bahwa salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat memasukinya, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku Mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ فِي الْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah seseorang melalui (masuk) masjid, namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits al Shahihah: 2/253 no. 649 dengan memberikan catatan kaki di bawahnya bahwa dalam sanadnya ada yang dhaif, tapi ia memiliki jalur lain dari Ibnu Mas’ud yang memperkuat sanadnya).

Dan dalam riwayat lain disebutkan;

أَنْ يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ فَلَا يُصَلِّي فِيْهِ

“Orang melalui masjid tapi tidak melakukan shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid: 7/329)

Dan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata,

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ المَسَاجِدُ طُرُقًا

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah masjid dijadikan sebagai jalan (tempat berlalu lalang).” (HR. Musnad al-Thayalisi dan Al-Mustadrak al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasankan redaksi serupa dalam Shahih Al-Jami’ no. 5899)

Bahkan secara jelas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang tanpa ditegakkan shalat tahiyatul masjid ketika memasukinya.

لَا تَتَّخِذُوا المَسَاجِدَ طُرُقًا ، إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ

“Janganlah kalian jadikan masjid sebagai jalan (tempat lewat), kecuali untuk berdzikir atau shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir: 12/314 dan al-Ausath: 1/14. Syaikh Al-Albani rahimahullaah mengatakan, “Sanad ini hasan, seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat (terpercaya).” Lihat: Silsilah Shahihah no. 1001)

Sedangkan maksud menjadikan masjid sebagai jalan adalah dengan menjadikannya sebagai tempat lewat atau berlalunya manusia untuk memenuhi hajat mereka. Masuk dari satu pintu masjid dan keluar dari pintu lainnya tanpa melaksanakan shalat di dalamnya. Sedangkan orang yang masuk masjid dan shalat di dalamnya tidak dikategorikan sebagai orang yang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang yang dilarang.

Al-Hasan al-Bashri ternah ditanya, “Tidakkah Anda benci kalau ada seseorang lewat di dalam masjid lalu tidak shalat di dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti (saya benci).” (Lihat al-Mushannaf milik Abdul Razaq: 3/154-158)

. . . salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat memasukinya,

Di Mana Letak Keburukannya?

Orang yang sengaja meninggalkan tahiyatul masjid saat memasukinya tanpa ada udzur telah melakukan tindakan yang tidak sesuai sunnah dan tidak mengagungkan syi’ar Allah (segala sesuatu yang dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah). Padahal yang demikian itu merupakan tanda iman dan takwa sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Kalau begitu tradisi dan budaya yang sedang menggejala di tengah-tengah umat, menjadikan masjid sebagai tempat melangsungkan akad nikah dan resepsi tanpa menghormati dan menjaga adab-adab masjid termasuk bagian yang dilarang. Para hadirin masuk tanpa melakukan tahiyatul masjid, membiarkan maksiat di dalamnya berupa ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam masjid), wanita yang berdandan ala jahiliyah, nyanyian-nyanyian dan sebagainya.

Dan bencana yang lebih besar lagi adalah dijadikannya masjid sebagai tempat rekreasi dan bersenang-senang bagi orang-orang kafir setelah sebelumnya menjadi tempat untuk berdzikir dan beribadah sebagaimana kebanyakan masjid yang berada di Negara-negara yang berada di bawah kekuasaan kafir.

Penutup

Kiranya kita sebagai umat Islam yang mengetahui keagungan masjid senantiasa menjaga adab-adabnya dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah di dalamnya dengan senantiasa menjaga dua rakaat tahiyatul masjid saat memasukinya dan tidak membuat tindakan yang menciderai kehormatan dan kemuliaan masjid dengan melakukan kemaksiatan dan pelangaran di dalamnya. Wallau Ta’ala a’lam.

Selasa, 25 Januari 2011

ABDUL KAHAR MUDZAKKAR

Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya.

“Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain, yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya.

Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”
Kira-kira begitulah watak dan kepribadian Abdul Kahar Muzakkar. Sebuah pemahaman sekaligus penyerahan diri pada nilai-nilai Islam yang ditunjukkan oleh seorang pejuang.

Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Pinrang, Sulawesi Selatan. Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan, dan
Jawa menjadi tujuannya.

Di perguruan Muhammadiyah Solo, ia memintal ilmu agama. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon.
Kisah perjuangannya dimulai sejak Jepang memasuki Sulawesi.

Tak seperti banyak pemuda, yang menganggap Jepang pembebas dari Timur, Kahar Muzakkar yang menolak menjadi Pak Turut tak mudah percaya. Pembelotan pertama yang ia jalani adalah menentang sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dengan penjajah Jepang.

Hukuman pun dijatuhkan, Kahar Muzakkar dituduh menghina kerajaan dan diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang memaksa ia pergi dari tanah kelahiran.

Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan.
Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya.
Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan.

Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya.
Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan.

Tapi, dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.

Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia.

Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.

Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno masih terus dilakukan, dan tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi.

Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.

“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”

Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya.

Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri.



SAKSI HIDUP “DI/TII KAHAR MUDZAKKAR”

15 tahun memberontak (1950-1965) membuat nama Kahar Mudzakkar melegenda hingga kini, terutama di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Padahal putra Palopo, Sulsel ini pernah mengawal Soekarno dalam rapat raksasa di lapangan Ikada, 19 September 1945. Ia juga ikut mengusir Belanda dalam Agresi Militer I (1947) dan II (1948) di Yogyakarta. Bahkan pasukannya sempat ditawan PKI dalam pemberontakan di Madiun pada 1948. Pemberontakan Kahar dipicu oleh penolakan pemerintah untuk menerima laskar-laskarnya yang tergabung dalam Brigade Hasanudin. Akhirnya pada 7 Agustus 1953 ia menyatakan diri bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo yang berpusat di Jawa Barat. Sepuluh tahun kemudian macan podium ini mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).

Berbagai operasi militer digelar untuk menumpas gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Batalyon 330 Kujang I Siliwangi berhasil memadamkan pemberontakan Andi Selle, seorang mantan anggota TNI yang yang memasok senjata kepada Kahar Mudzakkar. Puncaknya Operasi Kilat yang menewaskan Kahar pada 3 Februari 1965 di tepi sungai Lasolo. Sultra.

Medan gerilya Kahar Mudzakkar yang luas dan ganas merupakan tantangan alam bagi kedua belah pihak. Naik turun gunung, menerabas hutan lebat, melewati sungai dan rawa adalah ujian bertahan hidup. Ada anggota TNI yang akhirnya bunuh diri setelah diserang penyakit
malaria. Belum lagi logistik yang terbatas sehingga memaksa manusia makan apa adanya.
Seorang petani, Sapri Pawe, menceritakan pengalamannya sebagai korban clash TNI dengan DI/TII. Semasa bocah pada dasawarsa 1950-an ia terpaksa belajar di bawah pohon ketika mengungsi bersama ribuan orang ke gunung, Penduduk desa Belopa yang menjadi salah satu basis kekuatan Kahar Mudzakkar di kabupaten Luwu, Sulsel ini sempat menyaksikan eksekusi hukuman rajam bagi penzina dan potong tangan untuk pencuri.Istri Kahar Mudzakkar yang blasteran Belanda – Klaten, Cory, 84 tahun. masih ingat bagaimana perjuangan suaminya melawan Belanda di Yogyakarta hingga mengikhlaskan suaminya untuk menikah sampai sembilan kali. Abdullah Mudzakkar, salah satu dari 14 anak Kahar, mengisahkan pertemuan terakhirnya dengan sang ayah yang baru diketahuinya telah tiada dari selebaran pesawat TNI.
Kepala Staf Operasi Kilat, Letjen Purn. Solichin GP, mengungkap bagaimana Kahar Mudzakkar sampai tertembak. Mantan Komandan Batalyon 330 Kujang I Siliwangi, Letjen Purn. Himawan Soetanto, menjelaskan penghancuran kekuatan Andi Selle dari daerah Pinrang, Polewali, hingga Majene. Sedangkan Brigjen Purn. Andi Sose menceritakan kisah uniknya: dari rekan Kahar lalu berubah menjadi penumpas gerakannya.Kesaksian delapan figur langka ini divisualkan dengan footage film dokumenter Arsip Nasional tentang Operasi Kilat, foto-foto koleksi keluarga Kahar Mudzakkar, serta shooting tempat kelahiran dan wilayah gerilya Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan. Selain menampilkan rekaman suara pidato Kahar semasa hidup, Saksi Hidup edisi ini juga mengacu pada tiga buku tulisannya sendiri serta disertasi Van Dijk, Barbara Harvey, dan Anhar Gonggong tentang pemberontakan DII/TII. (Ramdan Malik/TV7)

Minggu, 23 Januari 2011

IMAM SYAFI'I

Imam al-Syafi’i bisa dikatakan sebagai tokoh yang paling berjasa dalam meletakkan fondasi dasar ilmu Ushul Fiqih. Bukunya, Risalah adalah buku pertama yang pernah ditulis dalam bidang ini. Fakhruddin al-Razi menyamakan Imam Syafi’i dengan Aristotle dalam logika, dan dengan al-Khalil bin Ahmad dalam prosody (ilmu persajakan). (Lihat, Fakhr al-Din al-Razi, Manaqib al-Imam al-Shafi‘i (Bayrut: Dar al-Jil, 1413/1993)).

Menurut Jamal Barut, jasa besar Imam Syafi’i sebenarnya terletak pada keberhasilannya mentransfomasikan usul fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu. (Muhammad Jamal Barut, “Al-Ijtihad bayn al-Nass wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysuni and Muhammad Jamal Barut , Al-Ijtihad: al-nass, al-waqi‘, al-maslahah (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000)).

Sementara itu Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dalam bukunya, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, memposisikan Imam Syafi’i sama seperti Descartes, ahli filsafat yang paling bertanggung jawab meletakkan dasar metodologi pemikiran Barat. Memang ada yang meragukan pendapat ini. Ahmad Hasan misalnya menulis “the claim that Shafi’i was the first legal thinker who introduced the principles of law would not seem to be correct.” (Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad, Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994). Ini berdasarkan keterangan Ibn Nadim yang menyatakan bahwa Imam Syaybani dan Abu Yusuf juga memiliki buku yang berjudul Usul Fiqh. Bahkan ada pendapat yang mengatakan Wasil bin ‘Ata’ lah orang yang pertama sekali menulis tentang usul fiqh. (Ibid).

Tapi, bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, bahwa Imam al-Syafi’i adalah tokoh dan ulama besar dalam bidang Ushul Fiqh. Jasa besarnya terletak pada keberhasilannya mensistimasikan dan selanjutnya mentransfromasikan pola pikir ini menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikenal hari ini dengan Ushul Fiqh. Seperti yang diutarakan N.J. Coulson, dalam A History of Islamic Law, teori Ushul Fiqh Syafi’i “was an innovation whose genius lay not in the introduction of any entirely original concepts, but in giving existing ideas a novel connotation and emphasis and welding them together within a systematic scheme.” Dengan nada yang sama Joseph Schacht berkomentar bahwa Risalah Syafi’i adalah “a magnificently consistent system and superior by far to the doctrines of ancients schools of law”. (Joseph Schact, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press, 1959).

Sebenarnya, Ushul Fiqh sangat erat kaitannya dengan persoalan epistemologis. Hal yang mendorong Imam Syafi’i menuliskan karya agungnya, al-Risalah, adalah juga pertimbangan epistemologis. Yakni, Imam Syafi’i ingin ‘mendamaikan’ konflik antara kubu ‘Iraq yang biasa disebut dengan ahl ra’y dan kelompok ahl Hijaz dikenal dengan ahl Hadith. Imam Syafi’i ingin mensintesakan pendekatan kedua mazhab pemikiran ini. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal. Wahyu dalam hal ini termasuk Hadith merupakan sumber otoritatif dalam hukum Islam, demikian juga akal. Tapi apa fungsi akal, kapan dia berfungsi, dan apa batasan fungsinya, inilah yang dijelaskan al-Syafi’i dalam Risalah. Oleh sebab itu, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa yang pertama sekali meletakkan dasar epistemologis pemikiran Islam itu sesungguhnya adalah Imam al-Syafi’i melalui magnum opus-nya al-Risalah. Sebab, Syafi’ilah yang pertama sekali memformulasikan teori hirarkis sumber hukum dan sekaligus sumber keilmuan dalam perspektif Islam. Dia menuliskan “wajihah al-‘ilm al-khabar fi al-kitab aw al-sunnah aw al-Ijma’ aw al-Qiyas.” Artinya: ilmu diperoleh malalui khabar; al-Qur’an atau Sunnah, kemudian Ijma’ dan Qiyas.” (Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Rislah, diedit oleh Ahmad Muhammad Syakir (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, TT)).

Bentuk hirarkis seperti ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ilmu itu berdasarkan otoritas. Maka sumber ilmu yang paling otoritatif dan reliable dalam Islam adalah al-Qur’an, kemudian Sunnah, kemudian kesepakatan ‘ulama (ijma’) dan selanjutnya akal. Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an dan demikian juga ima’ dan akal tidak mungkin betentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kalaupun dikatakan ada konflik, menurut Syafi’i itu hanya zahirnya saja. Karena pada dasarnya tidak mungkin ada konflik antara sumber-sumber ilmu ini. Untuk menjelaskan inilah, maka Imam al-Syafi’i mengembangkan teori interpretasi al-Qur’an dimana ia menjelaskan tentang teori ‘am dan khas, zahir dan batin, nasikh dan mansukh, dan seterusnya. Maka terkadang ada ayat dalam bentuk umum, tapi yang dimaksudkan yang lebih spesifik, atau bentuk umum tapi dimaksudkan kedua-duanya sekali. Demikianlah seterusnya, al-Syafi’i menjabarkan koherensi al-Quran dengan sumber-sumber ilmu yang lain.

Sebagai sosok yang pantas digelari sang “Mujaddid” Imam al-Syafii bukan saja dikenal dalam dan luas ilmuanya. Akhlak dan kepribadiannya juga sangat mengagumkan. Ibadahnya luar biasa. Imam Syafii sendiri bercerita, ia lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafii ditinggal ayahnya sejak bayi dan tumbuh sebagai anak yatim dan miskin. Pada usia 2 tahun, ia dibawa Ibunya ke Mekkah. Di Baitullah, beliau menghafal al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra Arab, termasuk syair. Selama bertahun-tahun, Syafi’i kecil belajar bahasa di tengah suku Hudzail, yang dikenal sangat fasih bahasa Arabnya.

Sang Imam sudah menghafal al-Quran saat berumur 7 tahun, dan hafal Kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik pada umur 10 tahun. Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur dan mendapatkan pengakuan yang luas. Pada umur 18 tahun, beliau sudah diminta oleh para ulama agar memberikan fatwa. Itu berarti pengakuan atas statusnya sebagai seorang mujtahid. Meskipun memiliki sejumlah perbedaan pendapat, Imam Ahmad bin Hanbal mengakui, Imam Syafii adalah seorang yang sangat memahami al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Ia tidak pernah merasa puas dalam mencari dan mengumpulkan hadits. Kata Imam Ahmad : ‘’Tidak seorang pun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada Imam Syafii.’’

Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang sangat mulia dan seorang ahli ibadah yang tekun. Di bulan Ramadhan, beliau sanggup mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali dalam shalat. Sang Imam pun dikenal ahli ibadah dan sangat sedikit tidurnya. Selama kurun waktu 16 tahun, misalnya, beliau hanya pernah makan sampai kenyang, satu kali saja, dan kemudian disesalinya, karena berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah. Kedermawanan Imam Syafii juga luar biasa. Pernah beliau sampai bangkrut tiga kali, menjual harta sampai perhiasan istrinya, hanya untuk menolong orang yang membutuhkan. Jangan ditanya, bagaimana kegigihan Imam Syafii dalam belajar dan mengajarkan ilmunya.

Inilah profil tokoh yang pantas digelari sebagai Sang Mujaddid. Dia bukan orang sembarangan, yang asal-asalan berpendapat. (***)

MENJAWAB PELECEHAN TERHADAP AL-QUR'AN

Menjawab Kritikan Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur’an
Written by Adnin Armas


Arthur Jeffery (m. 1959) adalah seorang orientalis terkemuka dalam studi sejarah al-Qur’an. Ia menghabisi hampir keseluruhan hidupnya untuk mengkaji al-Qur’an. Ia mengedit beberapa karya para ulama kita seperti Kitab al-Masahif, karya al-Sijistani, anak Abu Daud, seorang Muhaddits terkenal dan juga Muqaddimah Kitab al-Mabani dan Muqaddimah ibn Atiyyah. Selain itu, Ia menulis beberapa buku lagi dan tentunya artikel yang berkaitan dengan al-Qur’an.

Dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an yang ada sekarang ini sebenarnya telah mengalami berbagai tahrif yang dibuat ‘Uthman bin Affan, al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi dan Ibn Mujahid. Menurut Jeffery, Uthman ra tidak sepatutnya menyeragamkan berbagai mushaf yang sudah beredar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dalam pandangan Jeffery, tindakan Utham ra. tersebut, didorong oleh motivasi politik. Jadi, jika logika Jeffery diikuti, maka ‘Uthman telah melakukan tahrif pertama al-Qur’an dengan melakukan kanonisasi.

Jeffery juga menuduh bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi (m.95 H) telah membuat al-Qur’an versi baru secara menyeluruh. Jeffery juga menyalahkan Ibn Mujahid yang mengikis perbedaan qiraah dengan memprovokasi khalifah untuk menghukum Ibn Shanabudh di Baghdad (245-328). Selain itu, dalam pandangan Jeffey, al-Qur’an memuat sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. (1) Aksara gundul di dalam Mushaf ‘Uthman yang menjadi penyebab perbedaan varian bacaan. (2) Mushaf-Mushaf yang sejak awal sudah beredar adalah Mushaf-Mushaf tandingan (rival codices). Berdasarkan Mushaf-Mushaf tersebut, Jeffery berpendapat bahwa al-Fatihah bukanlah bagian dari al-Quran. Al-Fatihah adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca al-Qur’an. (3) Jeffery juga menegaskan bahwa ada ayat-ayat yang hilang di dalam al-Qur’an.

Berikut ini jawaban kepada tuduhan-tuduhan Jeffery. ‘Uthman ra. melakukan standartisasi teks bukan karena alasan politis, namun untuk menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-Qur’an. Jadi, tindakan ‘Uthman ra sangat diperlukan karena Ia mempertahankan kebenaran otentisitas al-Qur’an. Oleh sebab itu, para sahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan Uthman untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus’ab bin Sa‘d, tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu mengingkari perbuatan ‘Uthman ra. (Lihat Abu ‘Ubayd al-Qasim Ibn Sallam, Fadha’il al-Qur’an, Editor Wahbi Sulayman Ghawaji, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991, Cet. Pertama; lihat juga Abu Bakr ‘Abdullah Ibn Abu Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, Editor Muhibbuddin Abd Subhan Wa’id, Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyyah, 2002, Cet. Kedua, Jilid I ).

Jeffery dengan mengeksploitasi informasi yang ada di dalam Kitab al-Masahif, menuduh al-Hajjaj telah merubah al-Qur’an. Bagaimanapun, Jeffery tidak mengkaji lebih lanjut mengenai sanad yang ada di dalam karya tersebut. Padahal kalangan muhaddithun mengklasifikasikan ‘Abbad ibn Suhayb sebagai seorang yang ditinggalkan (ahad min al-matrukin). Ibn Hajar di dalam Lisan al-Mizan memuat berbagai pendapat para muhaddithun mengenai ‘Abbad ibn Suhayb sekaligus contoh-contoh hadits yang diriwayatkannya. Jadi, riwayat ‘Abbad bukan saja lemah, namun lebih tepat dikatakan palsu. Hampir seluruh muhaddithun, baik sebelum atau sesudah ‘Ibn Abi Dawud menolak hadits dari ‘Abbad ibn Suhayb. Riwayat dari ‘Auf ibn Abi Jamilah juga bermasalah. Sekalipun ia thiqah (terpercaya), namun punya kecenderungan syiah dan anti Umayyah. Al-Hajjaj, sebagai salah seorang tokoh Umayyah, wajar saja menjadi target ‘Auf ibn Abi Jamilah.

Argumentasi lain yang perlu juga dikemukakan sebagai berikut. Pertama, al-Hajjaj setia kepada ‘Uthman. Ia tidak akan memaafkan orang yang membunuh ‘Uthman. Ia akan membela Mushaf ‘Uthman dari segala bentuk perobahan. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Masahif ’Uthmani sudah tersebar dimana-mana dan jumlahnya sangat banyak. Al-Hajjaj adalah salah seorang saja dari Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih luas. Seandainyapun, al-Hajjaj sanggup mengubah berbagai salinan yang ada Kufah, daerah kekuasannya, tetap saja ia tidak akan sanggup mengubah ribuan atau semua salinan yang ada di Mekkah, Medinah, Syam, dan di daerah lain. Ini belum termasuk yang dihapal oleh puluhan ribu kaum Muslimin saat itu. Jelas, al-Hallaj tidak bisa merubah yang sudah dihafal oleh kaum Muslimin itu. Ketiga, seandainya al-Hajjaj mengubah Mushaf ‘Uthman, maka tentu ummat akan akan bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Umayyah, telah banyak merubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah al-Qur’an, dinasti Abbasiah akan mengeksploitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj atau Bani Umayyah. Namun, informasi seperti itu sama sekali tidak ada.

Tuduhan Jeffery kepada Ibn Mujahid juga tidak tepat karena memang bacaan Ibn Shanabudh adalah janggal (shadh). Ibn Shanabudh menyepelekan ortografi Mushaf ‘Uthmani dan isnad, padahal itu termasuk syarat yang ditetapkan oleh para ulama bahkan sebelum Ibn Mujahid. Syarat sahnya qira’ah itu adalah sesuai dengan ortografi Mushaf ‘Uthman, mengikut isnad dan sesuai dengan kaidah tata-bahasa Arab. Ini adalah Ijma‘ Ulama. Karena itu, sikap Ibn Mujahid terhadap Ibn Shanabudh didukung oleh para ulama lain. Selain Ibn Shunbudh, pemikiran Ibn Miqsam (m. 362 H) yang tidak menjadikan otentisitas isnad juga ditolak oleh para ulama yang sezaman dengan Ibn Miqsam. Akhirnya, Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kesepakatan para ulama.

Menurut al-Baqillani, perbedaan diantara para Qurra, bukan berarti mereka berijtihad dan bebas memilih sesuka hati cara baca apa saja sesuai dengan keinginan. Pendapat seperti ini sama sekali tidak ada dasarnya. Cara membaca bisa diterima jika hanya ditransmisikan dengan sanad yang otentik, yang merupakan Ijma‘ Ulama, sebagaimana praktek para salafi. Para Qurra tidak boleh membaca al-Qur’an tanpa memenuhi kesepakatan syarat-syarat riwayah. (Lihat Ahmad ‘Ali al-Imam, Variant Readings of the Quran: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998).

Jeffery juga tidak tepat ketika mengatakan bahwa aksara gundul adalah penyebab terjadinya perbedaan qiraah. Padahal perbedaan qira’ah berawal dan berasal dari Rasulullah saw sendiri. Al-Qur’an diwahyukan secara lisan dan ungkapan lisan Rasulullah saw kepada ummat berupa teks sekaligus cara mengucapkan (prononsiasi). Yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Para sahabat tidak ada yang menginovasi qira’ah. Qira’ah muncul karena sebagian Sahabat sulit untuk menggunakan dialek Quraisy. Qira’ah adalah sunnah yang harus diikuti (al-qira’ah sunnah muttaba’ah). Sekiranya pendapat Jeffery dan orientalis yang lain benar bahwa tidak adanya titik dan harakah menjadi penyebab utama perbedaan qira’ah, maka Mushaf Uthmani akan memuat mungkin jutaan masalah qira’ah, namun ini tidak terjadi. Selain itu, argumentasi Jeffery juga salah karena para Qurra’ banyak sekali yang sepakat dengan qira’ah dalam ortografi yang sama. (Lihat Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Qur’anic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments, Leicester: UK Islamic Academy, 2003).

Pendapat Jeffery yang mengatakan bahwa terdapat sejumlah Mushaf-Mushaf yang menandingi Mushaf ‘Uthmani juga tidak tepat. Mushaf-Mushaf tersebut saling berbeda antara satu dengan yang lain. Selain itu juga, terdapat sejumlah permasalahan mendasar di dalam Mushaf-Mushaf tersebut, yang sebenarnya adalah catatan pribadi para sahabat. Jadi, tidak tepat menganggap bahwa catatan tersebut sebagai al-Qur’an. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, tidak mencantumkan surah al-Fatihah, al-Nass dan al-Falaq. Dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an sebenarnya tidak memuat al-Fatihah. Pendapat ini jelas keliru. Al-Fatihah adalah surah di dalam al-Qur’an yang paling sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah. Di dalam sholat yang dapat diidengar, di baca 6 kali dalam satu hari dan 8 kali pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, di dalam al-Tafsir al-Kabir, Fakhruddin al-Razi menolak pendapat yang mengatakan bahwa ‘Abdullah ibn Mas‘ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an.

Jeffery juga berpendapat bahwa ‘Abdullah ibn Mas‘ud menganggap surah al-Nas dan al-Falaq tidak termasuk di dalam al-Qur’an. Pendapat ini tidak tepat karena yang dari murid-murid Ibn Mas‘ud, selain Zirr, semua meriwayatkan al-Qur’an dari Ibn Mas‘ud secara keseluruhan 114 surat. Menurut al-Baqillani, Ibn Mas‘ud tidak pernah menyangkal bahwa al-Fatihah dan juga surah al-mu’awwidhatain adalah bagian dari al-Qur’an. Orang lain yang salah dengan mengatasnamakan pendapat ‘Abdullah ibn Mas‘ud.

Selain itu juga, Jeffery sendiri mengakui terdapat perbedaan mengenai isi dari Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud. Versi yang dikemukakan oleh Ibn Nadim di dalam Fihrist berbeda dengan versi al-Suyuthi di dalam Itqan. Selain itu, Ibn Nadim juga menyebutkan bahwa dia sendiri telah melihat al-Fatihah di dalam Mushaf lama Ibn Mas‘ud.

Mengenai al-Nas dan al-Falaq, seandainya kedua surah tersebut tidak termasuk dari al-Qur’an, niscaya akan muncul banyak riwayat di dalam hadith yang membenarkan fakta tersebut. Karena riwayat tersebut tidak ada, maka jelaslah Mushaf Ibn Mas‘ud tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menolak kesahihan Mushaf ‘Uthman.

Mengenai Mushaf Ubay ibn Ka‘b, Jeffery mengatakan bahwa Mushaf Ubay memiliki banyak persamaan dengan Mushaf Ibn Mas‘ud dan mengandungi dua ekstra surah: al-Hafd dan al-khala‘. Padahal, Mushaf Ubay ibn Ka‘b juga banyak berbeda dengan Mushaf Ibn Mas‘ud dari segi susunan surah dan ragam bacaan. Selain itu, terdapat paling tidak dua versi yang berbeda mengenai susunan surah Mushaf Ubay. Bergsträsser sendiri, konconya Jeffery, berpendapat bahwa Mushaf Ubay kurang berpengaruh dibanding dengan Mushaf Ibn Mas‘ud. Selain itu juga, murid-murid Ubay dari generasi sahabat seperti Ibn Abbas, Abu Hurayrah, dan ‘Abdullah ibn al-Sa’ib menerima Mushaf ‘Uthman.

Mengenai riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ubay mengandung dua surah ekstra; al-HafÌ dan al-khala‘, adalah riwayat palsu karena bersumber dari Hammad ibn Salama. Hammad meninggal pada tahun 167 H dan Ubay meninggal pada tahun 30 H. Jadi, paling tidak ada gap, dua sampai tiga generasi antara meninggalnya Ubay dan Hammad. Jadi, tidak mungkin Hammad bisa meriwayatkan langsung dari Ubay.

Mengenai Mushaf Ali ibn Abi Talib, Jeffery sendiri menyebutkan adanya perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Mushaf ‘Ali disusun menurut kronologi, ada pula yang berpendapat bahwa surah-surah di dalam Mushaf ‘Ali disusun menjadi tujuh kelompok. Karena informasi mengenai bentuk dan kandungan Mushaf ‘Ali itu tidak jelas, maka sangat tidak tepat untuk menganggap sebagai rival apalagi ingin menyamakan Mushaf ‘Ali dengan Mushaf ‘Uthman. Selain itu, jika Mushaf ‘Ali dianggap berbeda maka ketika menjadi khalifah keempat, mestinya Ali ra kan merubah Mushaf ‘Uthman karena tidak sesuai dengan al-Qur’an yang sebenarnya. Namun, hal ini sama sekali tidak terjadi. Begitu juga ketika pengikut Mu‘awiyyah yang dalam keadaan terdesak saat perang Siffin, mereka mengangkat Mushaf ‘Uthman sebagai tanda genjatan senjata. Saat itu, tidak ada seorangpun dari pengikut Ali ra. yang meragui Mushaf yang diangkat Mu‘awiyyah.

Bahkan Jeffery sendiripun menyatakan, bahwa Ali juga menyetujui kanonisasi yang dilakukan Uthman. Ali mengatakan ketika ‘Uthman membakar Mushaf-Mushaf: “Seandainya Ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya (law lam yasna‘hu huwa lashana‘tuhu).

Jeffery tidak mengerti ketika mengatakan bahwa ayat-ayat di dalam al-Qur’an hilang. Masalah seperti itu sudah dibahas oleh para ulama kita secara mendetil dalam Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh. Jadi, dihapusnya ayat-ayat tersebut dari al-Qur’Én adalah kehendak dan ketentuan Allah swt. Terhapusnya ayat-ayat tersebut bukan karena kesembronoan atau kesilapan yang dilakukan oleh Rasullullah saw atau para sahabat. Jadi, ayat-ayat tersebut memang sudah tidak ada ketika Rasulullah saw masih hidup.

Ringkasnya, kaum Muslimin perlu hati-hati supaya tidak terpengaruh dengan pemikiran orientalis. Masalah yang sebenarnya sudah dalam kategori al-thabat, bisa menjadi mutaghayyirat, jika tidak hati-hati dalam membaca karya yang di tulis oleh para orientalis.

Sabtu, 15 Januari 2011

ATLANTIS BENUA YANG HILANG ADALAH INDONESIA ?

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?
Plato (427 – 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil it berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaula internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.

HUKUM BEKERJA JADI PNS

Saya mempunyai saudara akhwat yang memakai cadar, bagi saya pribadi, agamanya begitu kuat dimata saya...suatu ketika dia mengalami kecelakaan yang memaksa dia harus masuk rumah sakit dan berurusan dengan kepolisian. karena pihak saudaraku adalah yang benar, maka oleh Jasa Raharja, saudaraku mendapatkan santunan atas nama motor yang dikendarai...

Akan tetapi saudaraku dengan tegas menolaknya...dengan alasan..bahwa uang dari Jasa Raharja itu haram, bukan saja itu..dia juga mengatakan bahwa pekerjaan sebagai PNS adalah haram..

yang menjadi pertanyaan saya adalah :

1. Apakah bekerja sebagai PNS benar - benar haram?
2. Kalo emang benar haram, dan semua orang berfikir seperti itu dan tidak ada yang mau menjadi PNS, terus siapa yang akan mengurus negara ini... bukankah PNS lah yang selama ini pada dasarnya mengurus negara?

Echa
Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Echa yang dimuliakan Allah swt

Ada sebuah kaidah umum tentang bekerja ialah bahwa “Islam tidak memperbolehkan putri-putrinya mencari kekayaan dengan sekehendak hatinya dan dengan cara semaunya. Akan tetapi Islam membedakan buat mereka jalan-jalan yang dibenarkan syariat dan yang tidak dibenarkan syariat didalam mencari penghidupan dengan memperhatikan kemaslahatan umum.”

Kaidah diatas memberikan batasan kepada setiap muslim untuk memberikan penilaian terhadap suatu pekerjaan yang dia jalani, apakah ia termasuk yang dibolehkan atau sebaliknya.

Suatu pekerjaan termasuk yang diridhoi Allah swt apabila memenuhi dua persyaratan :

1. Tidak melanggar syariat.

Firman Allah swt :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisaa : 29 – 30)

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Wasilah bin al Aqsa dia berkata,”Rasulullah saw pernah keluar menemui kami para pedagang, lalu bersabda,’Wahai para pedagang, jauhkanlah dirimu dari berbuat dusta.” (HR. Ath-Thabrani)

Allah swt melarang hamba-hamba-Nya didalam mencari penghasilan dengan menggunakan cara-cara yang batil atau tidak dibenarkan oleh syariat, seperti jenis pekerjaannya bukan termasuk yang diharamkan, tidak mengandung unsur penipuan, penzhaliman, riba, atau merugikan orang lain yang berinteraksi dengannya didalam pekerjaan itu.

Hal diatas menjadi penting bagi setiap muslim didalam mencari dan melakukan pekerjaannya dikarenakan dirinya lebih mendahulukan ridho dan cinta Allah daripada ridho dan cinta manusia. Ridho dan cinta Allah terhadap dirinya itu bukanlah terletak pada besar kecilnya penghasilan yang didapat dari pekerjaannya akan tetapi pada sarana dan cara seseorang menjalani pekerjaannya.

Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi seorang muslim didalam menjalani pekerjaannya menghalalkan segala cara dan menabrak rambu-rambu halal haram yang telah digariskan oleh syariat hanya karena ingin mendapatkan penghasilan yang besar dari pekerjaannya.

2. Mengandung kemaslahatan dan tidak menimbulkan kemudharatan.

Hal lainnya adalah bahwa pekerjaan itu dapat memberikan kemaslahatan dan
tidak menimbulkan kemudharatan baik bagi dirinya maupun orang lain. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim bekerja di lembaga-lembaga yang merusak moral masyarakat, memerangi kaum muslimin, atau membantu melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Amr bin Yahya al Mazini dari ayahnya bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah saling memudharatkan.”

Semua itu dengan catatan tidak ada unsur keterpakasaan yang mendesak seseorang untuk mencari kebutuhanan pokoknya atau menjalani pekerjaan yang menimbulkan kemudharatan bagi diri maupun orang lain. Dan jika ia terpaksa bekerja di tempat seperti itu maka kerjanya diukur dengan kadar keterpaksaannya dengan disertai rasa benci terhadap pekerjaan itu sambil terus-menerus berusaha mencari pekejaan lain sehingga Allah memberikan kemudahan baginya untuk bekerja secara halal dan jauh dari dosa-dosa, sebagaimana firman Allah swt :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Artinya : “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh : 173)

Dengan demikian setiap pekerjaan yang memenuhi kedua persyaratan diatas maka dibolehkan bagi seorang muslim untuk terlibat didalamnya dan mencari penghasilan darinya, termasuk menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah.

Pada dasarnya tugas pemerintah didalam islam adalah memberikan pelayanan dan kemaslahatan sebaik-baiknya kepada seluruh rakyatnya melalui seluruh perangkat yang dimilikinya. Adapun apabila yang terjadi dilapangan justru sebaliknya, terjadi pelanggaran terhadap rambu-rambu yang telah ditetapkan syari’at atau merugikan rakyatnya maka hal ini dikembalikan kepada si pelaku kemaksiatan itu bukan kepada jenis pekerjaannya, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Wallahu A’lam

Jumat, 14 Januari 2011

IFTIRAK BUKAN IKHTILAF

Secara etimologi, iftiraq berasal dari kata al-mufaraqah (saling berpisah), dan al-mubayanah (saling berjauhan), dan al-mufashalah (saling terpisah) serta al-inqitha’ (terputus). Diambil juga dari kata al-insyi’ab (bergolong-golong) dan asy-syudzudz (menyempal dari barisan). Bisa juga bermakna memisahkan diri dari induk, keluar dari jalur dan keluar dari jama’ah.
Secara terminologi, perpecahan adalah keluar dari As-Sunnah dan Al-Jama’ah dalam masalah ushuluddin yang qath’i, baik secara total maupun parsial. Baik dalam masalah i’tiqad ataupun masalah amaliyah yang berkaitan dengan ushuluddin atau berkaitan dengan maslahat umat atau berkaitan dengan keduanya.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ اْلجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عَمِيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُوْ إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ خَرَجَ عَلىَ أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّها وَفَاجِرَهَا وَلاَ يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِي بِذِي عَهْدٍ عَهْدَهَا فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ.

“Barangsiapa keluar dari ketaatan serta memisahkan diri dari jama’ah lalu mati, maka kematiannya adalah kematian secara jahiliyah. Barangsiapa berperang di bawah panji ashabiyah, emosi karena ashabiyah serta menyeru kepadanya atau membela demi ashabiyah lalu terbunuh, maka mayatnya adalah mayat jahiliyah. Barangsiapa memisahkan diri dari umatku (kaum muslimin) lalu membunuhi mereka, baik yang shalih maupun yang fajir dan tidak menahan tangan mereka terhadap kaum mukminin serta tidak menyempurnakan perjanjian mereka kepada orang lain, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku juga bukan golongannya.” (HR. Muslim)

Menyelisihi salah satu pedoman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam aqidah terhitung perpecahan dan memisahkan diri dari jama’ah. Demikian pula melanggar ijma’, mengeluarkan diri dari jama’ah serta imam yang mereka sepakati dalam hal-hal yang berkaitan dengan maslahat umum terhitung perpecahan dan memisahkan diri dari jama’ah.

Siapa saja yang melanggar amalan sunnah yang disepakati kaum muslimin termasuk perpecahan. Sebab ia telah memisah dari jama’ah.

Semua perkara kekufuran akbar termasuk perpecahan, namun bukan setiap perpecahan tergolong kekufuran.

Maksudnya, setiap amalan ataupun keyakinan yang bisa mengeluarkan seseorang dari pokok ajaran Islam, dan dari hal yang qath’i dalam agama ini juga dari sunnah dan jama’ah, dan hal ini semua dapat menggiringnya kepada kekufuran, maka perbuatannya itu disebut iftiraq (memisahkan diri). Namun tidak semua perpecahan itu tergolong kekufuran. Yakni, mungkin saja suatu kelompok atau sekumpulan manusia atau sebuah jama’ah keluar dari Ahlus Sunnah, namun tidak dihukumi kafir. Sekalipun memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin dalam prinsip-prinsip tertentu, seperti kelompok Khawarij. Khawarij generasi pertama telah memisahkan diri dari kaum muslimin., bahkan mereka mengangkat senjata terhadap umat ini. Mereka memisahkan diri dari jama’ah serta membangkang terhadap imam kaum muslimin. Walaupun begitu, para sahabat tidak menghukumi mereka kafir, bahkan mereka berbeda pendapat dalam masalah ini. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ditanya status mereka, beliau tidak memvonis mereka kafir. Demikian pula Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu serta beberapa sahabat lainnya. Mereka juga bersedia shalat di belakang tokoh Khawarij bernama Najdah Al-Haruriy. Begitu pula Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu, beliau membalas surat seorang tokoh Khawarij bernama Nafi’ bin Al-Azraq dan mendebatnya dengan Al-Qur’an, sebagaimana hal itu lumrah dilakukan terhadap sesama kaum muslimin. (Lihat Minhajus Sunnah karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah V/247-248)

Kamis, 13 Januari 2011

NEGARA MUNAFIK( MUSUH DALAM SELIMUT)

Jurnalis Iran ungkap hubungan “intim” antara Iran dan Israel

Oleh Hanin Mazaya pada Jum'at 14 Januari 2011, 09:19 AM
Print 0 Comments

TEHERAN (Arrahmah.com) - Jurnalis Iran yang dipenjara, Nader Karimi menemukan sebuah hubungan "intim" antara Iran dan Israel dan bersumpah akan meluncurkan buku tentang informasi yang dia ketahui tentang hal tersebut ketika dia nanti dibebaskan.

Nader Karimi, seorang narapidana dari Penjara Evin di Teheran dipenjara atas tuduhan mendestabilisasi rezim yang berkuasa, mengatakan bahwa permusuhan antara Iran dan Israel tidak lebih hanya sekedar perang verbal yang dimaksudkan untuk memberikan kesan kepada dunia Muslim bahwa Iran adalah musuh setia Israel dan pelindung bangsa Palestina.

"Para pengamat, wartawan, dan analis politik terjebak dalam perang lisan mereka dan tidak mampu menggali kedalaman hubungan antara kedua negara," tulis Karimi dalam sebuah artikel yang dikirim ke AlArabiya.net.

Karimi menambahkan bahwa pemerintah Iran dan Israel telah menggunakan wartawan untuk membuat 'kebohongan' kredibel mereka dan untuk menipu dunia agar berpikir bahwa mereka adalah dua negara yang saling bermusuhan.

Karimi, yang juga ahli dalam urusan Iran-Israel, mengatakan bahwa bertahun-tahun ia menghabiskan waktu berbicara dengan diplomat Iran dan mempelajari sejarah hubungan antara Iran dan Israel membuatnya menyadari bahwa kedua negara, pada kenyataannya, telah mengambil keuntungan dari perang palsu yang disebarkan oleh media massa.

Sebelum menulis tentang sifat dari hubungan Iran-Israel, Karimi memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan perwakilan badan-badan intelijen di kedua negara itu.

"Sebagai seorang jurnalis yang diatur oleh etika jurnalisme, saya berpikir bahwa akan tidak etis untuk menulis tentang topik ini tanpa pertama kali bertemu dengan agen intelijen dari kedua negara baik Iran dan Israel untuk mempelajari kebenaran yang terjadi."

Karimi menjelaskan bahwa hal itu lebih mudah dan lebih murah untuk menemui agen dari divisi urusan Iran di Mossad daripada bertemu agen dari divisi urusan Israel di Ettelaat, badan intelijen utama di Iran.

"Saya pergi ke Turki dan mendekati agen Israel asal Iran," tulisnya. "Saya katakan kepada mereka saya seorang wartawan oposisi yang ingin menggulingkan rezim saat ini dan hal itu cukup untuk mendapatkan kepercayaan mereka."

Menurut apa yang Karimi dengar dari agen Mossad, kejatuhan rezim saat ini tidak menguntungkan Israel untuk sementara waktu.

"Israel lebih suka sebuah rezim yang lemah dan terisolasi di Iran karena ini membuat lebih mudah bagi mereka untuk membangkitkan perang verbal mereka dan menyebarkan teror di wilayah ini."

Karimi mengatakan bahwa keasyikan Iran dengan proyek persenjataan besar mereka sebenarnya rencana Israel dan Amerika agar rezim tersebut jatuh menjadi mangsa mereka.

Melalui pertemuan dengan agen Mossad, Karimi merasa tidak mungkin bahwa Israel akan melancarkan serangan militer terhadap Iran.

Adapun agen intelijen Iran, Karimi berpura-pura bahwa ia melakukan kesalahan besar dengan telah menghubungi agen Mossad dan ia ingin membuat pengakuan dalam upaya untuk memperoleh wawasan dari perspektif intelijen Iran.

Setelah menghabiskan 20 jam sepanjang dua minggu dengan agen Mossad, Karimi menghabiskan lebih dari 200 jam diinterogasi dan disiksa di Departemen Intelijen dan Keamanan Nasional Iran sampai akhirnya dia dipaksa untuk menulis pengakuan atas kejahatan yang dia sendiri tidak lakukan.

"Namun, saya harus mengakui bahwa lebih mudah untuk mengekstrak informasi dari agen-agen intelijen Iran selama interogasi daripada untuk mendapatkan informasi serupa dari agen-agen Israel."

Salah satu kesimpulan yang paling penting yang Karimi capai selama interaksi yang panjang dengan agen intelijen Iran adalah bahwa hal itu demi kepentingan Iran dengan melancarkan perang kata-kata melawan Israel yang setiap saat dan kemudian hari atau bahkan memulai aksi kekerasan di Daerah Pendudukan.

"Tindakan Israel memudahkan pemerintah Iran untuk melenturkan otot dan untuk menghasut opini publik Arab."

Dalam artikelnya, Karimi menunjukkan bahwa meskipun menyatakan perang antara Iran dan Israel, ternyata kedua negara memiliki hubungan dagang.

"Beberapa barang, seperti buah-buahan, diimpor dari Israel, lewat perusahaan Israel yang memiliki bisnis di Iran. Mereka berurusan dengan ekonomi di negara mereka sebut 'musuh'."

Karimi menambahkan bahwa pemerintah Iran tidak pernah membuat daftar komoditas Israel atau perusahaan yang harus dilarang dan mereka tidak mengharapkan untuk melakukannya.

Menurut Karimi, sejak perang Iran-Irak, broker Iran telah membeli senjata mahal dan peralatan dengan bantuan broker Israel.

"Gambar citra satelit yang diambil selama perang Iran-Irak mengungkapkan penggunaan peperangan elektronik, dengan radar sangat canggih dan peralatan nirkabel. Semua ini menimbulkan pertanyaan tentang klandestin kesepakatan antara Iran dan broker Israel."

Karimi menambahkan bahwa agen-agen Israel masuk dan keluar dari Iran dengan bebas dan tidak dengan paspor Israel.

"Ini terjadi tepat di bawah mata Departemen Intelijen dan Keamanan Nasional Iran."

Karimi menunjukkan bahwa pemerintah Iran mengambil keuntungan dari mahasiswa Palestina yang menerima hibah untuk belajar di Iran dan memaksa mereka untuk memata-matai sesama Palestina mereka serta di kedutaan Arab di Teheran.

"Seorang mahasiswa Palestina mengambil gelar PhD dalam sejarah Islam di Teheran direkrut oleh Departemen Intelijen dan Keamanan Nasional untuk memata-matai kedutaan Yordania dan Sudan di Teheran."

Mahasiswa ini, ia menambahkan, kemudian ditendang keluar dari Iran setelah menghabiskan 15 bulan di dalam penjara. (era/arrahmah.com)

Raih amal shalih, sebarkan informasi ini...

Source: http://arrahmah.com/index.php/news/read/10657/jurnalis-iran-ungkap-hubungan-intim-antara-iran-dan-israel#ixzz1AyUuOAqZ

MUSUH DALAM SELIMUT

Fitnah keji Setara Institute terhadap ormas Islam

Oleh Ahmad Zidan pada Kamis 13 Januari 2011, 03:23 PM
Print 5 Comments

Arrahmah.com - Senin (10/1/2011) lalu, Setara Institut menggelar Diskusi Publik “Deradikalisasi Agama untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta. Lagi, paket Proyek Deradikalisasi serang pimpinan ormas Islam yang selama ini membendung aliran sesat, pemurtadan dan mengkampanyekan tegaknya syariat Islam.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi: Inpektur Jenderal polisi Ansyad Mbai (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris), DR. Abdul Mu’ti (tokoh Muhammadiyah), Imdadun Rahmat (Wasekjen PBNU), Ismail Hasani (Peneliti Setara Institut). Setara juga mengundang istri almarhum Sinta Nuria, tokoh Ahmadiyah, para dubes asing, dan aktivis liberal lainnya.

Setara Institute adalah organisasi perhimpunan yang didirikan oleh 28 individu (termasuk Gus Dur di dalamnya) itu memiliki cita-cita mewujudkan masyarakat yang liberal, sekuler, dan plural. Salah satu perhatian utama LSM komparador ini adalah turut serta berkembangnya paham aliran sesat di Indonesia, membiarkan dan membela kemaksiatan merajalela di bumi ini. Atas nama toleransi, demokrasi dan HAM, NGO yang satu ini selalu usil dan mencari-cari celah memberi stigmatisasi kepada para ulama dan orma Islam yang selama ini berjuang membela Islam.

Setara Institute dan partnernya sesama pengasong sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) sedemikian paranoid dengan banyaknya bermunculan ormas Islam yang ingin negeri ini aman, diberkahi dan terhindar dari musibah dan bencana.

Atas nama riset dan penelitian, Setara Institut secara tendensius menyudutkan ormas Islam yang selama ini berjuang menyelamatkan akidah umat dari pemurtadan. Penelitian yang hanya dilakukan dalam tempo singkat, tiga bulan itu, tidak disertai dengan wawancara pimpinan Ormas Islam yang diteliti. Tapi mengatasnamaka riset. Pantas bila laporannya begitu ngelantur dan ngawur. Seperti anak SD yang sedang belajar mengarang.

Dalam sebuah laporan “bodong” berjudul : Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat – Implikasinya terhadap Jaminan Kebebebasan Beragama/Berkeyakinan, Setara Institute mengolok-olok para ulama dan pimpinan ormas Islam, seperti FPI, FUI, FUI Cirebon, Garis, DDII dan sebagainya.

Ada lima bab yang dilaporkan dalam penelitian setebal 181 halaman itu, meliputi: Bab I (Pendahuluan), Bab II (Genealogi Islam Radikal), Bab III (Potret Radikalisme di Perkotaan), Bab IV (Ragam Wajah Satu Cita-cita), Bab V (Wajah Para Pembel Islam), Bab VI (Masa Depan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan).

Dalam Bab II misalnya, Setara Institute menjabarkan Masyumi dan Darul Islam, Dari DDII ke Islam Transnasional dan Islam Radikal Lokal; Gelombang Radikalisasi Islam; Konteks Radikalisasi Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Pada Bab IV, juga dipaparkan ihwal Aktor, Basis Massa, Rekruitmen Anggota, Dana, Aliran dan Doktrin Ajaran, Agenda Aksi, Strategi Dan Taktik, Dinamika Perpecahan.

Setara Institut dengan bernafsunya juga menelanjangi ormas Islam dan para pimpinannya yang selama ini giat membela Islam. Ormas Islam yang dibidik itu antara lain: FUI (Forum Umat Islam), FPI (Front Pembela Islam), GARIS (Gerakan Reformis Islam), FAPB (Front Anti Pemurtadan Bekasi), FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) Cirebon, THOLIBAN. Termasuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

“Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukanm oleh Negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Kami juga merekomendasi penelitian ini, agar Negara dapat menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi dan melakukan deradikalisasi pandangan, prilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi,” kata Peneliti Setara Institut Ismail Hasani sewot.

Penelitian ngawur

Dalam pengantarnya, Hendardi (Ketua Pengurus Setara Institute) sesumbar, dalam tiga tahun terakhir ini (2007-2010), negeri ini dalam kondisi memperihatinkan. Tahun 2007, Setara mencatat terdapat 185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di 265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291 tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa.

Dengan omongan kosongnya, Hendardi menebar fitnah, sebagian besar peristiwa pelanggaran, berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Setara institute pun memilih dua wilayah: Jadebotabek dan Jawa Barat untuk “meriset” tentang radikalisasi.

“Penelitian di kedua wilayah ini merupakan barometer politik Indonesia. Temuan riset secara umum, menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dua wilayah ini cukup tinggi, karena banyak faktor. Namun yang utama, justru, bukan dari faktor agama itu sendiri. Keberadaan organisasi Islam radikal yang selama ini gemar melakukan aksi kekerasan, hanyalah sebagai katalisator dan incubator bagi menguatnya radikalisme di tengah masyarakat, ”tandas Hendardi.

Penyebab radikalisme, lanjut Hendardi, selain disebabkan geneologi gerakan masa lalu, juga disebabkan kondisi mental masyarakat yang frustasi, tak terkecuali kesejahteraan yang tidak merata. Setara Institut telah merekomendasi 8 langkah yang bisa ditempuh oleh berbagai institusi negara yang relevan, dalam rangka deradikalisasi masyarakat. Secara khusus, rekomendasi menunjukkan betapa pentingnya membuat kanal-kanal politik dan ekonomi, untuk deradikalisasi yang ada di tengah masyarakat.

“Sebelum dialog ini berlangsung, Setara Institut mengaku sudah menemui institusi Negara. Acara ini sekaligus, kami peruntukkan untuk mengenang satu tahun wafatnya Abdurrahman Wahid selaku pendiri Setara Institut,” ujar Hendardi

Sementara itu Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, memaparkan, bahwa pemilihan wilayah Jawa Barat dan Jadebtabek, bukan tanpa dasar. Menurutnya, wilayah tersebut sudah menjadi pemantauan LSM ini selama empat tahun terakhir, dimana di Jadebotabek dan Jawa Barat telah menempati rangking pertama atas tindakannya melakukan diskriminasi terhadap jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

“Publik bertanya, kenapa Jadebotabek dan Jawa Barat selalu berada di rangking pertama yang banyak melakukan pelanggaran. Karena itu kita turun ke lapangan untuk mendeteksi secara lebih mendalam, kenapa bisa terjadi pelanggaran,” kata Ismail Hasani.

Setara Institute mencatat, organisasi radikal ini semakin intensif. Nyaris semua pelanggaran, selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Karena itu pihaknya ingin mengecek seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap organisasi ini. “Tujuan studi ini awalnya semata-mata untuk mengenali profil organisasi-organsiasi Islam. Karena perannya selama ini dianggap mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Setelah mengenali, kami menakar implikasinya. Kami yang selama ini mengusung pluralisme, ingin mengukur apakah organisasi ini mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan? Karena itu kita lakukan penelitian ini.”

Ada empat pertanyaan yang diajukan dalam penelitian tersebut. Pertama, bagaimana pandangan masyarakat terhadap organisasi Islam radikal? Setara melihat, akhir November 2010 lalu, media massa memberitakan, bahwa masyarakat di Jabotabek memiliki tingkat intoleranasi yang tinggi.

“Kami tegaskan dalam forum ini, bahwa intoleransi yang terkait dengan hubungan sosial, boleh dikatakan cukup tinggi. Mengenai kehidupan keberagamaan yang lebih privat, ada temuan yang mengejutkan. Misalnya, masyarakat dejabotabek tidak senang/tidak setuju ketika di sekelilingnya atau lingkungannya terdapat tempat ibadah agama lain. Sekalipun angkanya tidak mayoritas, tapi sebagai sebuah bangsa yang plural dan memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, temuan ini menjadi serius,” papar Ismail.

Tapi ketika ditanya soal kekerasan yang dilakukan terhadap organisasi Islam, di atas 80% masyarakat kita menolak kekerasan. Inilah model sosial kita. Karena itu, kata Ismail, yang perlu dikembangkan adalah dengan melakukan deradikalisasi.

Lebih jauh Ismail membagi intoleransi, yakni: aktif dan pasif. Adapun intoleransi Pasif adalah ketika intoleranasi tidak memanifestasi menjadi kekerasan. Pandangan ini masih dianggap sah-sah saja. Sedangkan intoleransi aktif, jika sudah memanifestasi kekerasan, termasuk dalam bentuk verbal.

“Pernyataan publik yang memprovokasi kekerasan, jelas berbahaya. Deradikalisai menjadi penting dilakukan. Biasanya, tahapan setelah intoleransi aktif, maka akan menjadi radikal, lalu jika katalisator dan inkubatornya bekerja dengan baik, bisa saja menjadi terorisme.

Maka dari itu Setara menyakini, bahwa terorisme adalah puncak dari tindakan intoleransi. Sebaliknya, intolerasi adalah titik awal terjadinya terorisme.”

Sedangkan Abdul Mu’ti (tokoh muda Muhammadiyah berpaham liberal, mengolok-olok kelompok Islam dan ulama yang selama ini berjuang untuk Islam. Kata Mu’ti, ulama dan pimpinan ormas Islam termotivasi dengan uang.

“Radikalisme itu seperti perusahaan. Kalau tidak berhasil, akan membentuk organisasi lain.

Saya menduga, jangan-jangan radikalisasi tidak punya akar ideologi, tapi akar pragmatisasi atau dorongan mencari rezeki. Karena itu, kaitan dengan sumber dana yang diperolehnya harus dilacak lebih jauh,” kata penulis buku Kristen Muhammadiyah ini cengengesan.

Mu'ti berpandangan, bermunculannya banyak organisasi Islam adalah konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. Apa yang disebut freedom of speech, bahwa semua orang bisa bicara apa saja.

Ketika semua ideologi muncul, tidak ada satupun yg menyembunyikan identitasnya. Ya itulah konsekuaensi demokrasi. Freedom ekpresion. “Bercadar sebaiknya juga jangan dilarang, itu konsekusi demokrasi. Media pun bebas bicara, selama melakukan coverbothside: kedua pihak diberi ruang untuk bicara,” kata Mu’ti.

Ketika dimintai tanggapannya tentang hasil penelitian yang dilakukan Setara Institut yang didalam salah satu laporannya memuat pernyataan yang menyerang FUI, Sekjen FUI KH. Muhammad al Khaththath menanggapinya dengan enteng sambil tersenyum lebar.

“Laporan yang disampaikan Setara Institute bukanlah penelitian ilmiah. Penelitian itu tak lebih laporan bodong, kacangan, dan tidak berdasar. Lha, saya sendiri tidak pernah diwawancarai oleh pihak Setara. Bagaimana mungkin disebut riset penelitian, jika saya yang disebut-sebut dalam laporan itu tidak pernah dikonfirmasi. Gitu aja kok repot,” kata Ustadz Al Khaththath.

Pernyataan sikap Forum Jurnalis Muslim (ForJIM) : kontribusi Setara Institute cs menghancurkan moral bangsa

Cap radikal yang diberikan oleh Setara Institut terhadap ulama dan pimpinan ormas Islam adalah makar dan pemutarbalikkan fakta. Bukan hanya itu, LSM pengasong sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism) tersebut telah mencemarkan nama baik ulama dan pimpinan ormas Islam.

Patut digarisbawahi, selama ini, keberadaan ormas Islam berfungsi sebagai benteng penjaga moral dan akidah umat dari kemaksiatan, penyimpangan, dan kesesatan. Pekerjaan dakwah ini seharusnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Negara.

Tapi apa yang terjadi, LSM-LSM komparador seperti Setara Institute justru membiarkan aliran sesat marak dimana-mana, mendukung kemaksiatan merajalela, dan menjadi pembela para peleceh Islam, dan satu hal lagi, anti dengan syariat Islam. Setara Institute dan konco-konconya juga menjadi agen Barat (terutama AS), dan mensupport sistem ekonomi neo-liberal (neolib). Ini menunjukkan LSM yang didirikan Abdurrahman Wahid ini turut berkontribusi menghancurkan moral bangsa. Setara Instutute cs tidak peduli dengan dekadensi moral umat yang kian memperihatinkan.

Setara Institute jelas-jelas ingin memperkeruh suasana dengan mengadopsi strategi kolonial: melancarkan politik devide et impera (Politik adu domba) antar ormas Islam yang satu dengan ormas Islam lainnya. Termasuk mengompori para pimpinan ormas Islam. Jelas sekali, Setara Institute dan teman sejenisnya menjadi Tukang Kompor alias Provokator radikal. Tanpa disadari, HTI dijadikan narasumber oleh Setara Institute untuk menelanjangi FUI. Tujuannya bisa dipastikan untuk membenturkan sesame ormas Islsam. Islamphobi telah melekat pada diri aktivis Setara dan parternnya.

Dengan mengatasnamakan riset, Setara Institute melakukan penelitian berjudul “Radikalisme Agama di Jabotabek & Jawa Barat” – Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Riset yang dikarang-klarang itu berkisah tentang rasikalisme agama di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jadebotabek) serta Jawa Barat. Tujuannya, ingin menyajikan wajah-wajah organisasi Islam yang menurutnya, dianggap mengganggu jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

Berbagai peristiwa yang dibeberkan Setara Institut dengan menggunakan bahasa “Kekerasan” sangat tidak tepat dan cenderung tendensius. Gelombang protes yang dilakukan masyarakat terhadap bermunculan aliran sesat, kemaksiatan, pelanggaran tempat ibadah non Muslim, sesungguhnya adalah telah tertanamnya tauhid dan akidah umat yang kuat. Di sisi lain, merupakan keberhasilan dakwah yang disampaikan para ulama dan peran serta Ormas Islam.

Bersamaan dengan itu, kesadaran beragama umat tumbuh dan berkembang.Harus diakui Pemerintah belum maksimal dalam menegakkan supremasi hukum. Sudah jelas aturan tentang SKB Tiga Menteri tentang rumah ibadah, namun pemerintah tidak bisa menindak para pelanggar yang menjadi rumah dan ruko sebagai tempat ibadah illegal. Siapa sesungguhnya yang melakukan pelanggaran? Jelas mereka dan para pendukungnya. (Ahmad Zidan/arrahmah.com)

Source: http://arrahmah.com/index.php/news/read/10654/fitnah-keji-setara-institute-terhadap-ormas-islam#ixzz1AyUFo5rD

Selasa, 11 Januari 2011

THORIKATUNNAJAH: MENANGKAL SERANGAN TETANGGA DEKAT

THORIKATUNNAJAH: MENANGKAL SERANGAN TETANGGA DEKAT

MENANGKAL SERANGAN TETANGGA DEKAT

SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU'AT JILID 2

Menjawab Syubhat Bagian II

Segala puji bagi Allah Ta'ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas qudwah kita, Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para shahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.

Ikhwah fillah, alhamdulillah, ternyata di tengah tumpukan tugas dakwah, taklim, dan kesibukan lainnya, rampung pula "jawaban syubuhat" Silsilah Pembelaan II ini hingga dapat segera kami persembahkan di hadapan pembaca sekalian kendati agak telat. Kajian kali ini (baca: jawaban syubhat) berkaitan dengan pernyataan Sofyan Khalid, bahwa WI membela tokoh-tokoh sesat yang karenanya pantas dieliminasi dari shaf Ahlu Sunnah. Semoga paparan ini memberi pencerahan bagi kita hakikat persoalan sebenarnya, hingga nampak sifat inshof dalam diri sebagai bagian dari seruan syari'at. Oh ya, tidak lupa kami haturkan permohonan maaf atas keterlambatan ini. Sebab yang namanya pekerjaan manusia, ia tidak lepas dari sifat-sifat manusia itu sendiri. Penuh kekurangan dan keterbatasan.

Pada edisi ini, secara khusus kami mohon ma'af ke hadapan pembaca, sebab barangkali bahasannya agak terbuka, dan terselip sedikit ibarat "keras". Hal ini kami lakukan karena melihat adanya mashlahat padanya. Karena hakikat persoalannya, seperti pernyataan Imam Ibnul Wazir rahimahullah: "Sesungguhnya obat untuk melembutkan tabi'at keras adalah memukulkannya dengan besi dingin".[1] Atau sebagaimana perkataan Imam al-Baghawi rahimahullah: "Pengobatan terakhir adalah dengan kay [yakni, dengan menempelkan besi panas di tempat sakit]".[2]

Pembaca budiman, sebetulnya syubhat membela tokoh dan kelompok menyimpang sudah disinggung Sofyan Khalid dalam artikelnya "Mengapa Saya Keluar Dari Wahdah Islamiyah". Dan kami pun telah menyanggah kendati belum memadai. Olehnya, dalam edisi ini akan dikupas tentang sikap kami terhadap tokoh-tokoh yang di"sesat"kan oleh Sofyan dalam "Jawaban Ilmiyah"-nya. Sebab ternyata, setelah ditelisik lebih jauh dapat disimpulkan, tokoh-tokoh inilah yang menjadi simpul al-wala' wa al-bara' bagi dunia Islam dewasa ini. Sikap kaum muslimin terhadap tokoh-tokoh inilah yang kemudian menjadi salah satu standar ke”salafi"an seseorang. Artinya, tokoh-tokoh "sesat" ini telah menjelma sebagai batu ujian bagi keahlussunahan seseorang. Siapa yang "berbaikan" dan tidak serampangan mentahdzir mereka, akan dituding sebagai pembela tokoh sesat, dan pantas disejajarkan. Sebaliknya, yang berani mengeluarkan tahdzir atas mereka (baca: merusak harga diri dan kehormatan), maka dia-lah Ahlu Sunnah plus "salafy" sejati!?

Jujur, sebenarnya manhaj macam inilah yang banyak disorot para ulama Ahlus Sunah. Dulu hingga hari ini. Karya-karya mereka sarat akan kritik atas metode tersebut. Berikut kami nukil sebagian pernyataan mereka sebagai bukti ucapan kami.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وليس لأحد أن ينصب للأمة شخصا يدعو الى طريقته ويوالي ويعادي عليها غير النبى ولا ينصب لهم كلاما يوالي عليه يعادي غير كلام الله ورسوله وما اجتمعت عليه الأمة بل هذا من فعل أهل البدع الذين ينصبون لهم شخصا أو كلاما يفرقون به بين الأمة يوالون به على ذلك الكلام أو تلك النسبة ويعادون

"Tidak diperkenankan bagi seseorang mengangkat seorang tokoh untuk umat, lalu mengajak kepada thariqah-nya [manhaj] dan membangun manhaj al-wala' wal bara' di atasnya selain perkataan Allah dan Rasulnya serta Ijma' umat. Bahkan ini merupakan perbuatan ahlul bid'ah, yang "memaksa" umat kepada [pendapat] seseorang atau perkataan yang memecah belah umat, kemudian membangun di atas perkataan ataupun nisbah tersebut manhaj al-wala' wal bara'.[3]

Beliau rahimahullah menyatakan pula: "Demikian pula memecah belah umat dan menguji mereka (imtihanun naas) pada apa yang tidak diperintahkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, seperti jika dikatakan pada seseorang: Engkau Syakiiliy atau Qarfandiy; sungguh semua ini adalah nama-nama batil yang tidak pernah Allah Ta'ala turunkan ilmunya".[4]

Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan :

الدعاء بدعوى الجاهلية والتعزي بعزائهم كالدعاء إلى القبائل والعصبية لها وللأنساب ومثله التعصب للمذاهب والطرائق والمشايخ وتفضيل بعضها على بعض بالهوى والعصبية وكونه منتسبا إليه فيدعو إلى ذلك ويوالي عليه ويعادي عليه ويزن الناس به كل هذا من دعوى الجاهلية

"Menyeru dengan panggilan (seruan) jahiliyah, seperti menyeru kepada kabilah dan fanatisme dan [juga] menyeru kepada nasab, termasuk diantaranya ta'asshub kepada mazhab, kelompok, masyaikh dan mengutamakan sebagian di atas sebagian lainnya berdasarkan hawa nafsu dan ta'asshub, dan keadaannya ber-intisab kepadanya kemudian menyeru orang, memberi wala' padanya serta mengarahkan bara' (permusuhan) atasnya pula, serta menakar manusia dengannya (apa yang ada pada dirinya), maka semua ini termasuk dalam kategori seruan jahiliyyah".[5]

Perhatikan pula teguran Fadhilatus Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad hafidzahullah terhadap manhaj ini dalam buku beliau "al-Hattsu 'Alal Ittiba'". Tegas beliau menyatakan, bahwa metode model ini adalah manhaj bid'ah yang mungkar:

و من البدع المنكرة ما حدث في هذا الزمان من امتحان بعض من أهل السنَّة بعضا بأشخاص، سواء كان الباعث على الامتحان الجفاء في شخص يُمتحن به، أو كان الباعث عليه الإطراء لشخص آخر

"Diantara bentuk bid'ah yang mungkar, apa yang terjadi di zaman ini berupa menguji sebagian ahlus sunnah dengan tokoh tertentu, baik disebabkan karena kebencian terhadap orang yang diuji dengannya, ataupun faktor kecintaan [yang berlebih-lebihan] kepada tokoh tertentu.[6]

Beliau hafidzahullah juga menyatakan: "Seandainya menguji manusia dengan seseorang [baca: tokoh] diperbolehkan di zaman ini, guna mengetahui siapa yang ahlus sunah atau selainnya, maka yang paling berhak melakukan hal itu adalah Syaikhul Islam dan mufti ad- dunya serta Imam ahlus sunah di zamannya, Syaikh kami Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.[7]

Hingga pada perkataannya: "Dan diantaranya [bid'ah yang mungkar] adalah terjadinya tahdzir menghadiri durus [pelajaran-pelajaran] seseorang, lantaran orang tersebut tidak mencela si fulan yang Fulani atau jama'ah fulaniyah.[8]

Al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan :

لا يجوز أن يُنصَب شخص للأمة يُدعى إلى طريقته، ويُوالي ويُعادى عليها، سوى نبينا ورسولنا محمد صلى الله عليه وسلم؛ فمن نصب سواه على ذلك فهو ضال مبتدع.

"Dilarang mengangkat seorang tokoh bagi umat, dan diajak kepada thariqah-nya, lalu menegakkan loyalitas serta permusuhan di atasnya, kecuali nabi kita Muhammad shallalahu alaihi wasallam, maka barangsiapa yang mengangkat tokoh selain beliau [dan menjadi ukuran al-wala wal bara] maka dia adalah seorang yang sesat dan ahlul bid'ah".[9]

Beliau rahimahullah juga mengatakan: "Inilah keadaan kebanyakan jama'ah-jama'ah dan partai Islam dewasa ini. Yaitu mereka melantik tokoh-tokoh sebagai pemimpin mereka, lalu mencintai orang yang dekat dengan mereka [tokoh tersebut] dan memusuhi musuh mereka [tokoh], disamping tunduk pada fatwa-fatwa mereka tanpa meruju' pada al-Qur'an dan sunnah, dan tanpa bertanya perihal dalil fatwa-fatwa tersebut".[10]

Dari pernyataan para ulama di atas, muncul banyak pertanyaan. Siapa gerangan penyimpul buhul al-wala' wal bara' ber-asas pada tokoh tertentu? Siapa gerangan yang serampangan menjatuhkan vonis sesat atas kaum muslimin hanya lantaran tidak tegas [baca: tahdzir] atas tokoh tertentu? Siapa yang begitu getol memvonis sesat hanya lantaran ta'awun dengan kelompok-kelompok tertentu? Siapa yang biasa menguji manusia dengan tokoh-tokoh tertentu? Siapa gerangan yang mendepak seseorang dari barisan Ahlus Sunah lantaran menukil perkataan tokoh tertentu? Dan siapa gerangan yang begitu mudah menvonis orang-orang yang tidak mengikuti fatwa-fatwa tokoh mereka terutama dalam hal menuduh dan mencela? Pembaca sekalian, bagaimana kelompok "salafy" akan menta'wil nukilan perkataan-perkataan ini seperti takwil mereka terhadap pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah agar tuduhan-tuduhan itu tidak berebutan menampar wajah mereka?[11]

Adapun sikap kami terhadap kaum muslimin dan tokoh-tokohnya secara khusus, utamanya yang jatuh dalam penyimpangan, disamping jasa dan andil dalam perjuangan da'wah Islam, alhamdulillah seperti sikap para ulama Ahlu Sunnah, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau pernah mengatakan :

وليعلم أن المؤمن تجب موالاته وإن ظلمك واعتدى عليك والكافر تجب معاداته وإن أعطاك وأحسن إليك فإن الله سبحانه بعث الرسل وأنزل الكتب ليكون الدين كله لله فيكون الحب لأوليائه والبغض لأعدائه والاكرام لأوليائه والإهانة لأعدائه والثواب لأوليائه والعقاب لأعدائه

"Hendaklah diketahui, bahwa seorang mukmin wajib engkau cintai, meskipun berbuat zhalim atasmu. Orang kafir harus engkau benci, kendati menghadiahkan sesuatu dan berbuat baik padamu. Karena sesungguhnya Allah -Ta’ala- mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab agar agama ini seluruhnya hanya diikhlaskan untuk Allah Ta’ala, sehingga kecintaan itu kepada wali-wali-Nya dan kebencian atas musuh-musuh-Nya”.

Beliau juga berkata: "Jika berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, ketaatan dan ma'siyat, sunah dan bid'ah, maka dia berhak mendapatkan al-wala' [loyalitas] sesuai kebaikannya, dan berhak mendapatkan al-bara' [permusuhan] sesuai keburukannya, maka berkumpul pada satu orang konsekwensi sikap pemuliaaan dan penghinaan".[12]

Juga pernyataan beliau rahimahullah: "Adapun pujian dan celaan, cinta dan benci, loyalitas dan permusuhan, maka harus dibangun atas landasan kitab Allah Ta'ala. Siapa saja yang mukmin, wajib diberikan al-wala' apapun jenisnya, dan siapa saja yang kafir, maka wajib diarahkan permusuhan apapun jenis".[13]

Beliau juga mengatakan di halaman yang sama: "Barang siapa berkumpul padanya iman dan kekejian, maka diberi al-wala' sesuai keimanannya, dan diarahkan kebencian sesuai dengan kekejiannya, tidak keluar dari iman secara keseluruhan hanya dikarenakan dosa dan maksiat.

Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan:

فإذا قلنا : إنه لا يخرج من الإيمان فهل نحبه على سبيل الإطلاق ؟؟ نقول : لا هذا ولا هذا, نحبه بما معه من الإيمان ونكرهه بما معه من المعاصي.

"Jika kita katakan, sesungguhnya dia tidak keluar dari iman, maka apakah kita mencintainya secara mutlak? kita katakan: Bukan ini ataupun itu, kita mencintai sesuai kadar keimanannya, dan kita membencinya menurut kadar maksiatnya".[14]

Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidhahullah mengatakan:

القسم الثالث : من يُحَبُ من وجهٍ ويُبغَضُ منْ وجهٍ: فتجتمعُ فيه المحبةُ والعداوةُ وهمْ عصاةُ المؤمنينَ . يُحَبونَ لِمَا فيهمْ منْ الإيمانِ ويُبْغَضونَ لما فيهم منْ المعصيةِ التي هي دونَ الكفرِ والشركِ.

"Bagian ke-3: Seseorang yang berhak dicintai di satu sisi dan berhak dibenci pada sisi lain, hingga berkumpul padanya kecintaan dan permusuhan. Mereka itu adalah kaum mukmin yang berbuat maksiat. Mereka, dicintai atas kadar keimanannya dan dibenci sesuai kadar maksiyat selain dosa kufur dan syirik".[15]

Demikian pernyataan para ulama Ahlus Sunah, berkaitan dengan manhaj al-wala wal bara. Setiap muslim wajib mengokohkan pijakannya atas manhaj ini. Disamping tidak menampik mentah-mentah, dengan asumsi bahwa ia membawa angin segar bagi para pengusung manhaj al-muwazanah?![16]. Olehnya, kami ulangi, manhaj kami terhadap kaum muslimin, khususnya tokoh-tokoh yang terjatuh dalam kesalahan, adalah sebagaimana sikap para ulama di atas. Yakni, menetapkan al-wala dan al-bara' sesuai kadar dan ukuran semestinya. Memberi loyalitas menurut kadar iman dan kebaikan seseorang serta menempatkan kebencian sejalan dengan kadar penyimpangan dan bid'ahnya.

Uniknya kelompok "salafy" memiliki manhaj sendiri dalam urusan al-wala' wal bara'. Yakni al-wala sempurna atau al-bara' sempurna pula. Dengan kata lain, memberi cinta seutuhnya atau mengarahkan permusuhan seutuhnya [khususnya terhadap sesama du'at]. Kenyataannya, jika mereka mencintai seseorang, maka pujian untuknya membumbung tinggi menghiasi angkasa. Namun jika sebaliknya, kendati pernah mendapat tempat terpuji di sisi mereka, atau telah divonis sesat, maka celaan, tudingan dan julukan buruk yang kental aroma permusuhan begitu amat tercium. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

"Cintailah orang yang engkau cintai seadanya, bisa jadi suatu saat ia akan menjadi musuhmu. Dan bencilah orang yang kamu benci seadanya pula, bisa jadi suatu saat dia akan menjadi orang yang kamu cintai".[17]

Demikianlah, sementara lisan mereka fasih menukil perkataan para ulama tentang manhaj [baca: al-wala' wal bara']. Namun pada sisi aplikasinya, hasilnya –maaf- jauh panggang dari api. Indikasi yang amat nyata, penolakan serampangan terhadap manhaj al-muwazanah dan menudingnya sebagai manhaj bid'ah. Bahkan, mereka menegakkan pilar-pilar loyalitas dan permusuhan di atas sikap terhadap manhaj ini. Disamping memancang dinding permusuhan terhadap organisasi-organisasi Islam yang jatuh dalam kesalahan. Makanya, tatkala kaum muslimin di belahan dunia bangkit menggerakkan solidaritas terhadap kaum muslimin di Palestina, mereka justru sibuk menyoal akidah dan manhaj mereka. Padahal saat itu mereka meregang nyawa di ujung moncong senjata zionis, kehormatan kaum muslimah dipertaruhkan, dan bayi-bayi tak berdosa bersimbah darah di atas trotoar berdebu, di sudut-sudut jalan kota Palestina..!? Adapun aroma perpecahan dan permusuhan yang sengaja dihembuskan dalam barisan du'at Ahlus Sunah sebagai implikasi rusaknya pengejawantahan manhaj ini, maka haddits walaa haraj, bumi pertiwi menjadi saksi bisu. Bahwa perpecahan dan perselisihan banyak dibidani dan dipraktekkan oleh tangan-tangan kelompok ini, wallahul musta'an.

Jika dikatakan: bukankan diantara konsekwensi kecintaan kepada sesama muslim adalah menasehati, menyeru kepada yang ma'ruf serta mencegahnya dari kemungkaran?

Maka kami jawab, ucapan ini benar. Namun ia bukan alasan untuk mencela, menuduh dan memvonis orang yang menyelisihi kita. Sebab realita membuktikan, ternyata yang terjadi bukan lagi saling menasehati antarsesama, tapi ia telah menjelma menjadi tajassus [menguntit kesalahan], tashayyudul zallaat [mengendus kesalahan], tasyhiirul zallaat [menyebarkan kesalahan], lalu diakhiri palu vonis, bahwa fulan atau jama'ah fulaniyah bukan lagi termasuk dalam jajaran Ahlu Sunnah. Celakanya, tak jarang sikap ini dibarengi perasaan puas dan gembira atas kesalahan yang dilakukan saudara muslimnya, lalu menjadi alasan mengerek bendera permusuhan.

Sofyan Khalid mengatakan :

Adapun perkataan WI bahwa asatidzah salafiyin “men-tahdzir umat dari ulama dan kelompok selain mereka”, maka saya katakan, “Kalau yang Anda maksudkan dengan “ulama” adalah Sayid Quthub, Salman al-‘Audah, ‘Aidh al-Qarni, Safar al-Hawali dan yang semisal mereka diantara idola-idola kalian, maka ketahuilah, kami bukan yang pertama men-tahdzir para “ulama” (menurut versi WI) tersebut, bahkan kami hanyalah menyampaikan nasihat dan peringatan Ulama Sunnah tentang bahaya pemikiran dan manhaj “ulama” yang kalian maksudkan.

Tanggapan :

Tokoh-tokoh "sesat" versi kelompok "salafy" yang diuraikan di atas, bukan nama-nama asing bagi dunia dakwah Islam. Dan lantaran WI memiliki sikap lebih toleran terhadap mereka, maka lahirlah tahdzir dan tuduhan dari kelompok "salafy" bahwa WI membela Ahlul Bid'ah, atau bermesraan dengan tokoh sesat!? Karena demikianlah adanya. Bahwa ulama-ulama yang namanya kami garis bawahi itu telah menjadi batu ujian bagi ke-salafiy-an seseorang. Hingga menjadi sebuah kaidah, bahwa "salafi" sejati itu ditentukan oleh keberaniannya mentahdzir (baca: mencela) tokoh-tokoh ini. Dan tidak boleh ada sebarang toleransi bagi mereka. Olehnya, kendati seseorang memiliki aqidah yang lurus, jauh dari penyimpangan dan bid'ah, namun "lembek" terhadap tokoh-tokoh ini, maka –oleh kelompok "salafy"- otomatis tercap di dahi mereka sebagai Surury, Quthby, Ikhwany Banna-iy dan selainnya.

Makanya, dalam poin ini kami ketengahkan nukilan pernyataan para ulama Ahlu Sunnah tentang mereka, agar kita mendapat bashirah akan sikap para ulama terhadap tokoh-tokoh di atas. Kami yakin, sebagian besar ikhwah-ikhwah "salafy" tidak mengetahui dengan pasti sikap para ulama Ahlu Sunnah, melainkan hanya sebatas apa yang dicekoki oleh ustadz-ustadz mereka berupa "penyimpangan" dan segala keburukan yang ada pada mereka. Sayangnya, jika mereka ingin konfirmasi banding antara informasi yang dibeberkan para asatidzah-nya dengan sumber-sumber lain yang lebih valid, segera mereka memasang perangkap tahdzir, bahwa seluruh informasi-informasi tersebut adalah syubhat yang harus dijauhi.

Khusus tiga nama terakhir, yakni al-Allamah Syaikh Dr. Salman bin Fahd al-Audah, Syaikh Dr. Safar al-Hawali dan Syaikh Dr. 'Aid al-Qarny, maka penjelasan kami tentang mereka sudah lebih dari cukup pada artikel-artikel sebelumnya, yakni dalam Silsilah Pembelaan kami terhadap para Ulama dan Du'at jilid I. Karenanya, mungkin kami lebih fokus pada pernyataan ulama terhadap al-Ustadz Sayyid Quthub rahimahullah, disamping keterangan tambahan terkait ketiga ulama tersebut. Maka dengan memohon taufiq dari Allah Ta'ala kami katakan :

* Perkataan para ulama terkait pribadi al-Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah.

Syaikh Muhadditsul 'Ashr Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan dalam sesi tanya jawab seputar manhaj Sayyid Quthb tentang al-Qur-an:

"Kami -wahai saudaraku- telah sering membahas masalah ini. Bahwa Sayyid Quthub bukan seorang ulama, tapi beliau seorang sastrawan dan penulis, dan dia tidak mahir dalam mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah islamiyah, terkhusus 'aqidah salafiyah. Karena itu, tidak patut bagi kita untuk sering membahas seputar ungkapan-ungkapannya, karena bukan seorang ulama dengan ma'na yang kita inginkan, yaitu ulama al-qur'an dan sunnah di atas pemahaman salafus sholih.

Dalam banyak ungkapannya, ia sering menggunakan ungkapan insya' dan balaghah, dan bukan dengan ungkapan ilmiyah, khususnya ungkapan-ungkapan salafiyah, tidak masuk dalam bab ini secara mutlak.

Dan kami tidak segan mengingkari ungkapan-ungkapan dan tasybiih seperti ini. Vonis minimal terhadap kalimat seperti ini, bahwa dia tidak memaksudkan al-Qur'an adalah firman Allah secara hakikat, sebagaimana manhaj Ahlus Sunnah, atau dia adalah firman Allah secara majaz sebagaimana perkataan mu'tazilah adalah perkataan syi'rii.

Akan tetapi saya tidak berpendapat untuk membahas panjang lebar terhadap perkataan seperti itu, kecuali menjelaskan, bahwa perkataan tersebut tidak sesuai syariat, dan tidak mewakili Aqidah sang penulis tentang al-Quran, apakah dia firman Allah secara hakikat atau tidak? Ini yang saya yakini.

Beliau rahimahullah juga menyatakan: "Sayyid Quthub seorang penulis, dan sangat bersemangat untuk islam yang dia pahami. Namun dia bukan seorang ulama, dan bukunya [al-'adalah al-ijtima'yah] adalah karya perdananya. Kala menulisnya, beliau adalah sastrawan tulen. Baru setelah hidup di penjara, dia banyak berkembang, dan menulis banyak buku seakan-akan dia seorang salafi. Akan tetapi saya yakin penjara bisa membina sebagian jiwa, dan membangkitkan sebagian jiwa yang terdalam dan kemudian menulis, ya'ni cukup temanya yang berbunyi "Laa ilaha illallah manhajul hayah".

Beliau juga mengatakan: "Akan tetapi jika dia tidak bisa membedakan tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, hal ini tidak berarti dia tidak memahami hakikat tauhid Rububiyah dan Uluhiyah, lalu dijadikan kedua dalam satu bagian. Ini menunjukan bahwa dia bukan seorang Faqih, dan bukan seorang alim. Demikian pula menunjukan ketidakmahirannya dalam mengungkapkan ma'na-ma'na syar'ii yang datang dari al-Qur'an dan sunnah. Sebab memang dikarenakan dia bukan seorang alim.

Syaikh al-Albani rahimahullah juga menjawab sebuah pertanyaan tentang apakah boleh membantah Sayyid Quthub, dan mengatakan :

نعم يُرد عليه، ولكن بهدوء وليس بحماس..يُرد عليه، وهذا واجب.. ليس الرد على المخطئ محصوراً بشخص أو أشخاص.. كل من أخطأ في توجيه الإسلام بمفاهيم مبتدَعة، وحديثة ولا أصول لها في الكتاب ولا في السنة، ولا في سلفنا الصالح، والأئمة الأربعة المتبَعين؛ فهذا ينبغي أن يُرد عليه.. لكن هذا لا يعني أن نعاديه.. وأن ننسى أن له شيئاً من الحسنات !! يكفي أنه رجل مسلم، ورجل كاتب إسلامي- على حسب مفهومه للإسلام كما قلتُ أولاً-، وأنه قُتل في سبيل دعوته للإسلام، والذين قتلوه هم أعداء الإسلام..

"Ya, dia harus dibantah, akan tetapi dibantah dengan tenang bukan dengan serampangan, dan ini wajib. Membantah kesalahan tidak terkhusus kepada individu tertentu, namun semua yang terjatuh dalam kesalahan ketika menjelaskan Islam sesuai dengan pemahaman ahlul bid'ah atau yang tidak ada dasarnya dalam kitab, sunnah dan salafus sholih, dan ulama madzhab yang empat, maka yang seperti ini harus disanggah. Akan tetapi bukan berarti kita memusuhinya dan melupakan kebaikannya. Cukuplah dia seorang muslim, dan penulis islam –menurut perspektif yang dia pahami dari islam- dan bahwa dia terbunuh di jalan dakwah, disamping yang membunuhnya adalah musuh-musuh Islam".[18]

Fadhilatus Syaikh al-Allamah al-Faqih Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin –rahimahullah- kibarul ulama terpandang di Saudi Arabiyah mengatakan :

ثم أقول إن سيد قطب وحسن البنا من علماء المسلمين ومن أهل الدعوة وقد نصر الله بهما وهدى بدعوتهما خلقا كثيراً ولهما جهود لا تنكر ولأجل ذلك شفع الشيخ عبد العزيز بن باز في سيد قطب عندما قرر عليه القتل وتلطف في الشفاعة فلم يقبل شفاعته الرئيس جمال ـ عليه من الله ما يستـحق ـ ولما قتل كل منهما أطلق على كل واحد أنه شهيد لأنه قتل ظلما ، وشهد بذلك الخاص والعام ونشر ذلك في الصحف والكتب بدون إنكار ثم تلقى العلماء كتبهم، ونفع الله بهما ولم يطعن أحد فيهما منذ أكثر من عشرين.

"Kemudian saya katakan, sesungguhnya Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna adalah ulama kaum muslimin dan termasuk du'at. Sungguh Allah telah memberikan pertolongan dan hidayah-Nya kepada orang banyak lewat perantara keduanya. Mereka berdua memiliki juhud [usaha] yang besar. Karenanya, Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz meminta syafaat kepada presiden Jamal terkait vonis hukuman mati bagi Sayyid Quthb ketika diputuskan hukuman mati atasnya, namun tidak dikabulkan. Ketika mereka berdua [Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna] terbunuh, maka manusia menggelari mereka sebagai as-Syahid, lantaran keduanya terbunuh secara dhalim. Dan semua orang sepakat [dengan gelar tersebut] baik orang umum ataupun yang khusus, bahkan tersebar di koran dan majalah. Dan hal ini berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada yang mengingkari. Manusia banyak mengambil manfaat dari keduanya, dan tidak ada yang mencela mereka berdua sejak dua puluh tahun yang lalu.[19]

* Pernyataan para ulama terkait karya-karya al-Ustadz Sayyid Quthub rahimahullah.

Samahatus Syaikh Mufti ad-Dunya Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan saat menjawab pertanyaan tentang buku-buku al-Maududi, Sayyid Quthub, Abu Hasan an-Nadawi :

كلها كتب مفيدة ، كتب هؤلاء الثلاث (غير واضح) كلها كتب مفيدة فيها خير كثير ولا تخلو من بعض الأغلاط كل يؤخذ (غير واضح) من قوله ويترك ، ليسوا معصومين ، وطالب العلم إذا تأملها عرف مافيها من الأخطاء ومافيها من الحق (غير واضح) وهم رحمهم الله قد اجتهدوا في الخير ودعوا إلى الخير وصبروا على المشقة في ذلك

"Semuanya adalah buku-buku bermanfaat. Buku-buku mereka bertiga [kalimat tidak jelas] semuanya bermanfaat, di dalamnya banyak tersimpan kebaikan meskipun tidak luput dari kesalahan. Semua orang [kalimat tidak jelas] diterima atau ditolak perkataannya, mereka tidak ma'shum. Seorang penuntut Ilmu jika membaca buku-buku tersebut dengan cermat, maka akan mengetahui kesalahan-kesalahan dalam buku tersebut sebagaimana akan mengetahui kebenaran-kebenaran [kalimat yang tidak jelas], mereka –rahimahumullah- telah ber-ijtihad dalam kebaikan dan berdakwah kepada kebaikan serta bersabar dalam menghadapi kesusahan di dalamnya".[20]

As-Syaikh Muhadditsul 'Ashr Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan :

ثم إن في كلام سيد قطب رحمه الله وفي بعض تصانيفه مما يشعر الباحث أنه كان قد أصابه شيء من التـحمس الزائد للإسلام في سبيل توضيـحه للناس ، ولعل عذره في ذلك أنه كان يكتب بلغة أدبية ، ففي بعض المسائل الفقهية كحديثه عن حق العمال في كتابه : ( العدالة الاجتماعية ) أخذ يكتب بالتوحيد وبعبارات قوية تـحيي في نفوس المؤمنين الثقة بدينهم وإيمانهم ، فهو من هذه الخلفية في الواقع قد جدد دعوة الإسلام في قلوب الشباب وإن كنا نلمس أحياناً أن له بعض الكلمات تدل على أنه لم يساعده وقته على أن يـحرر فكره من بعض المسائل التي كان يكتب حولها أو يتـحدث فيها

"Sungguh dalam perkataan Sayyid Quthub dan pada sebagian karangannya, ada yang mengisyaratkan bahwa dia disetir semangat luar biasa pada Islam ketika menjelaskannya kepada manusia. Dan mungkin udzurnya adalah lantaran dia menulis dengan bahasa sastra, dalam beberapa masalah seperti pembahasannya tentang hak pekerja dalam bukunya [al-'Adalah al-Ijtima'iyah] dia mulai menulis tentang tauhid dengan bahasa yang sangat kuat hingga menghidupkan dalam jiwa kaum muslimin kepercayaan kepada agamanya. Dan dari sini, secara realita dia telah mentajdid [memperbaharui] dakwah Islam dalam dada pemuda-pemuda, kendati kami mendapatkan sebagian ungkapan yang menunjukan, bahwa waktunya sangat sempit untuk menganalisa [kembali] pendapat-pendapatnya pada sebagian masalah yang dia tulis atau dia jelaskan.[21]

Fatwa Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz Aalu Syaikh hafidzahullah –Mufti 'Aam Saudi Arabiyah- dalam sebuah sesi Tanya jawab tentang Fi Dhilalil Qur-an karya Sayyid Quthub :

والكتاب له أسلوب عالٍ في السياق ، أسلوب عال ، هذا الأسلوب الذي كتب به السيد كتابه قد يظن بعض الناس بادئ بدء من بعض العبارات أن فيها شركاً أو أن فيها قدحاً في الأنبياء أو أن وأن ..، ولو أعاد النظر في العبارة لوجدها أسلوبا أدبيا راقيا عاليا لكن لا يفهم هذا الأسلوب إلا من تمرس في قراءة كتابه ، والكتاب [كلمة غير واضحة] لا يخلو من ملاحظات كغيره لا يخلو من ملاحظات ولا يخلو من أخطاء لكن في الجملة أن الكاتب كتبه منطلق غيرة وحمية للإسلام ، والرجل هو صاحب تربية وعلوم ثقافية عامة وما حصل منه من هذا التفسير يعتبر شيئا كثير فيؤخذ منه بعض المقاطع النافعة والمواقف الجيدة والأشياء التي أخطأ فيها يعلى [كلمة غير واضحة] عذره قلة العلم وأنه ليس من أهل التفسير لكنه صاحب ثقافة عامة وعباراته أحياناً يفهم منها البعض خطأ لأن أسلوبه فوق أسلوب من يقرأه.

"Dan buku ini [Fii Dhilal al-Qur'an] mengandung gramatika bahasa dan nilai satra yang tinggi serta metodologi yang tinggi pula. Karena metodologi inilah, maka sebagian manusia menyangka, bahwa pada sebagian redaksi kalimat ada yang mengandung kesyirikan atau celaan untuk para nabi dan lainnya. Seandainya mau menilik kembali redaksi kalimat-kalimat tersebut, niscaya dia akan mendapatkan bahwa kalimat tersebut mengandung nilai sastra tinggi. Namun tidak akan memahami dengan baik kalimat-kalimat tersebut kecuali orang yang terbiasa membaca kitab itu. Dan kitab tersebut [kalimat tidak jelas] tidak lepas dari kesalahan-kesalahan sebagaimana kitab yang lain. Akan tetapi, secara global pemicu penulisan kitab tersebut adalah semangat membela Islam. Dan penulis adalah orang yang memiliki perhatian terhadap tarbiyah [pembinaan] dan memiliki wawasan umum. Karyanya ini [Fii Dlilal al-Qur'an] merupakan warisan yang besar, maka diterima darinya sebagian hal yang membawa manfaat, adapun kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya, hendaknya ditinggalkan [kalimat yang tidak jelas]. Udzurnya adalah minimnya ilmu dan dia bukan termasuk ahli tafsir. Tapi dia memiliki wawasan umum, dan sebagian ungkapannya terkadang disalahpahami, karena gramatika bahasanya melampaui gramatika yang membaca karyanya".[22]

Dan jangan lupa pula, al-Khithab ad-Dzahabi tulisan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah yang telah kami terjemahkan dan posting di situs ini.[23] Dengan jiwa ksatria dan tanpa peduli celaan orang-orang yang suka mencela, beliau membela kehormatan Sayyid Quthub rahimahullah, serta menepis tudingan keji yang sengaja dibidikkan padanya. Dan al-Khitab inilah yang kemudian membuat kelompok salafy uring-uringan, lantaran padanya terkandung ungkapan dan kalimat-kalimat pedas atas kelancangan mereka yang doyan mendiskreditkan Sayyid Quthub, hingga spontan lahir sanggahan yang tak kalah pedas dari kelompok ini. Bahkan, segera tersebar di situs-situs mereka keraguan akan keontentikan sumber risalah tersebut dari beliau. Hingga sampai pada penyataan bahwa beliau (Syaikh Bakr) tidak ridha jika al-Khitabnya itu disebarluaskan!? Bagi kami ada beberapa perkara yang perlu dicermati:

· al-Khithab ad-Dzahabi telah tersebar luas ke seantero jagad sejak Syaikh Bakr Abu Zaid masih hidup. Dan sepanjang pengetahuan kami –wallahu a'lam- tidak ada pernyataan resmi dari sang empu-nya risalah tentang bara'ah (berlepas diri) dan ketidakridhaannya terhadap al-Khithab tersebut.

· Gramatika bahasa arab yang menghiasi al-Khithab Ad-Dzahabi adalah gramatika kualitas tinggi. Tentunya, hal ini mengisyaratkan bahwa sang penulis adalah seorang mumpuni dalam dalam hal bahasa arab dan gramatikanya. Dan untuk abad terakhir ini, kami yakin bukan suatu hal yang berlebihan jika semua pandangan mata mengarah kepada satu sosok, yaitu Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah.

· Adanya isyarat dari fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah terkait keberadaan khithab tersebut. Beliau mengatakan dalam sebuah sesi Tanya jawab :

وقد قرأتُ ما كتبه الشيخ ربيع المدخلي في الرد على سيد قطب ورأيته جعل العناوين لما ليس بحقيقة ، فرد عليه الشيخ بكر أبو زيد ـ حفظه الله-.

"Sungguh saya telah membaca apa yang ditulis oleh Syaikh Rabi' al-Madkhalii terkait bantahannya terhadap Sayyid Quthb, dan saya dapatkan dia membawa beberapa tema tidak sesuai dengan hakikatnya. Makanya, Syaikh Bakr Abu Zaid -hafidhahullah- pun membantahnya".[24]

· Hadirnya buku al-Haddul Fashil Bainal Haqqi Wal Bathil karya Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhalii –hafidhahullah-, yang merupakan bantahan terhadap Syaikh Bakr Abu zaid, juga menjadi bukti keotentikan al-Khitab tersebut. Dan bahwasanya buku ini lahir setahun setelah keluarnya al-Khitab al-Dzahabi, saat tidak adanya respon dari Syaikh Bakr Abu Zaid terhadap surat yang dikirim oleh Syaikh Rabi' kepadanya yang menyatakan keberatan dan meminta untuk klarifikasi serta menariknya kembali.

· Terbitnya buku "Fikr Sayyid Quthb rahimahullah Baina Ra'yain", karya Sa'ad al-Hushain hafidhahullah. Di dalamnya penulis buku kecil (kutaib) ini mencoba memberi analisa ilmiyah seputar perselisihan antara Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Rabi' Bin Hadi al-Madkhaliy. Lalu kemudian kemudian diakhiri dengan pujian atas kedua syaikh tersebut. Buah yang bisa dipetik dari buku ini, bahwa pembelaan Syaikh Bakr Abu Zaid terhadap –kehormatan- al-Ustadz Sayyid Quthb tidaklah mengeluarkan beliau (Syaikh Bakr) dari lingkaran Ahlus Sunnah. Dan ini berbeda dengan sikap kelompok "salafiy", yang tegas menyatakan bahwa Syaikh Bakr Abu Zaid bahkan Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin –rahimahumallah- telah keluar dari lingkaran Ahlus Sunnah. Buktinya, Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuuri [penerus Syaikh Muqbil bin Hadiy rahimahullah di Dammaj, Yaman] bahkan memvonis Syaikh Bakr Abu Zaid dengan label "Quthbiy"!? juga Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin dengan label "Ikhwaniy'"!?[25], Wailallahil Musytaka.

Pembaca budiman, ini hanya sebagian perkataan para ulama Ahlus Sunnah tentang al-Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah. Tidak ada perselisihan, bahwa pendapat yang kami nukil ini berasal dari para ulama panutan, bahkan mercusuar bagi dakwah Ahlus Sunnah. Duhai, merekalah contoh dan qudwah kita dalam beragama dan bermanhaj. Sebab mereka adalah pewaris para nabi. Satu hal yang menjadi perhatian, bahwa dari penyataan mereka tersebut, tersirat kekuatan takwa dan wara', serta penghormatan terhadap jasa para tokoh Islam. Mereka tidak menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang ada pada manusia, kendati terjerembab dalam jurang kekeliruan. Namun tentunya tegak di atas nasehat dan peringatan bagi umat terhadap ketergelinciran mereka tersebut.

Dari nukilan pernyataan di atas, lahir pertanyaan bagi kelompok "salafiy". Salahkah bila para asatidzah WI menyatakan bahwa Sayyid Quthub termasuk salah seorang tokoh Islam dan penggerak semangat dakwah di Mesir dan dunia Islam secara umum, kendati terjatuh dalam kesalahan lantaran kapasitasnya sebagai manusia? Bukankah ini merupakan inti nukilan perkataan para ulama Ahlus Sunnah di atas? Atas dasar apakah lisan zalim mereka mengatakan, bahwa para astidzah WI membela tokoh sesat? Lalu mengapa tuduhan yang sama tidak mereka ketengahkan secara sharahah terhadap para ulama qudwah kami tersebut? Bukankah sebagian ulama di atas bahkan memuji al-Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah melebihi pujian sebagian asatidzah WI?? Ajiibuu ayyuhal ikhwah!

Dan sebagai tambahan, sikap kami terhadap Sayyid Qutb ini sama dengan sikap terhadap Syaikh Hasan al-Banna' rahimahumallah. Dan hal ini-pun telah dilakukan oleh Muhadditsul 'Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, kala beliau memuji Syaikh Hasan al-Banna': "… kemudian kita selalu membicarakan tentang Hasan al-Banna, maka saya katakan di hadapan saudara-saudaraku sekalian, saudara-saudara salafiyyin, dan di hadapan seluruh kaum muslimin, seandainya Syaikh Hasan al-Banna tidak memiliki jasa dan keutamaan terhadap para pemuda muslim selain bahwa beliau menjadi sebab yang mengeluarkan mereka dari tempat-tempat hiburan, bioskop dan kafe-kafe melalaikan, lalu mengumpulkan dan mengajak mereka di atas dakwah yang satu, yakni dakwah Islam, -seandainya beliau tidak memiliki lagi keutamaan kecuali hanya perkara ini-, maka ia sudah cukup sebagai satu keutamaan dan kemuliaan. Ini saya katakan bersumber dari sebuah keyakinan, dan bukan untuk mencari muka dan tidak pula sekadar basa-basi".[26]

Dalam artikel ini, sengaja kami tidak nukil pernyataan ulama tentang Hasan al-Banna, lantaran Sofyan Khalid tidak menyebutkannya secara khusus dalam artikelnya. Olehnya, kami-pun mencukupkan dengan sedikit isyarat agar pembaca sekalian mendapat tambahan faidah akan sikap kami terhadap para tokoh yang telah berjasa terhadap perjuangan Islam kendati pada sisi lain mereka terjerembab dalam kekeliruan.

Dan perlu kami tegaskan di hadapan pembaca sekalian, pembelaan kami terhadap Sayyid Quthub hanyalah pembelaan terhadap kehormatan beliau dan menepis tuduhan tidak benar yang dinisbatkan kepadanya, sebagaimana yang dilakukan para ulama di atas. Dan ini merupakan manhaj para ulama Ahlus Sunnah, alhamdulillah. Perhatikan sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kala membela harga diri al-Hallaj dan menafikan perkataan-perkataan batil yang dinisbatkan padanya. Dan semua kita tentu mengenal siapa al-Hallaj tersebut. Beliau rahimahullah berkata: "Perkataan ini –wallahu a'lam- apakah ia shahih dari al-Hallaj atau tidak? sungguh dalam sanad (tersebut) ada orang orang (rawi) yang tidak diketahui keadaannya. Aku telah menyaksikan banyak sekali yang dinisbatkan pada al-Hallaj, baik dalam buku-buku, perkataan serta risalah, merupakan kedustaan atasnya, tidak ada keraguan padanya…".[27]. Subhanallah, inilah sikap inshof Ibnu Taimiyah yang tetap memberikan hak bagi al-Hallaj. Kendati beliau tahu, bahwa al-Hallaj berhak mendapat berbagai celaan terkait keyakinan dan ajarannya yang sampai pada derajat kufur (ajaran Wihdatul Wujud). Namun sekali lagi, lantaran tuduhan dan celaan terhadap beliau telah keluar dari koridor sikap adil dan kejujuran, maka beliau pun menjelaskan kebenaran tersebut.

Demikian pula pengingkaran al-Hafidz adz-Dzahabi rahimahullah terhadap Yahya bin 'Ammar al-Sijistaniy, lantaran melampaui batas dalam mencela (baca: Ahli Bid'ah): "Sungguh ia terlampau keras terhadap Ahli Bid'ah dan Jahmiyah, hingga menyebabkan beliau melampaui jalan (manhaj) salaf, padahal Allah Ta'ala menjadikan segala sesuatu menurut ukurannya. Namun diakui beliau memiliki kemuliaan yang mengagungkan di Harat, pengikut serta para pendukung".[28]

Dan kami berlepas diri dari penyimpangan Sayyid Quthub –jika memang benar nisbat kesalahan tersebut pada beliau- berupa celaan terhadap Nabi Musa dan para sahabat, atau kesalahan lainnya. Disamping kami tetap berhusnud dzon terhadapnya, jika memang zahir dari ungkapan-ungkapan beliau berindikasi kepada makna tersebut, boleh jadi –dan ini pula yang dikatakan oleh para ulama yang membela beliau- hal itu disebabkan oleh gaya bahasa beliau yang tinggi disamping kemampuan kita yang terbatas dalam mencerna ungkapan-ungkapan tersebut. Demikian pula, merupakan sebuah tanaqudhaat (pertentangan) yang jauh dari akal sehat, bahwa di satu sisi beliau mempersembahkan nyawanya dalam rangka membela agama dan aqidah, namun di sisi lain beliau sengaja membatalkan keislaman dan aqidahnya melalui celaan terhadap nabi Allah dan para sahabat!?[29]

Demikian pula, pembelaan kami terhadap Sayyid Quthub bukan berarti mengangkatnya sebagai panutan utama, menjadikan buku-bukunya referensi utama dalam kajian-kajian ilmiah, meletakkan fatwa-fatwanya sebagai ukuran kebenaran dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab ataupun manhaj, serta menguji manusia dengannya pula, kallaa (sekali-kali tidak)…!! Sikap kami terhadap beliau sama dengan sikap kami terhadap buku-buku karya Imam al-Ghozali, as-Suyuthi, Ibnu HHHpHHajar, an-Nawawi, al-Juwaini, dan sebagainya rahimahumullah. Apa yang sesuai kebenaran, kami ikuti. Adapun jika tidak, maka kami tidak segan meninggalkan. Makanya, dalam Dewan Syariah WI, yang dikemukakan adalah fatwa-fatwa ulama kibar, jika ada naazilah di hadapan kami. Bukan buku-buku karya Sayyid Quthub rahimahullah. Prinsip kami untuk Sayyid Quthb adalah "'alaihi akhto-uhu wa lana hasanaatuhu wa ghafarallahu lana wa lahu" (atasnya kesalahan–kesalahannya dan bagi kami kebaikan yang dia tinggalkan dan semoga Allah mengampuni kami dan mengampuninya ).

* Teruntuk al-Allamah Syaikh Dr. Salman bin Fahd al-Audah, Fadhilatus Syaikh Dr. Safar bin Abdirrahman al-Hawali, Dr. Aidh bin Abdillah al-Qarni –hafidhahumullah-.

Ikhwah fillah, berkaitan dengan pernyataan dan tazkiyah para ulama untuk tokoh-tokoh yang kami sebutkan di atas, silahkan simak pada artikel-artikel Silsilah kami sebelumnya, dan telah lebih dari cukup insyaAllah.

Tokoh-tokoh ini mulai masyhur dalam dua dekade terakhir ini. Persisnya sejak meletus perang teluk babak pertama tahun 1991 M. Ketiga Ulama tersebut mengeluarkan pernyataan yang berseberangan dengan sikap para Masyayaikh kibar di Saudi Arabiyah terkait terbitnya fatwa kebolehan ber-isti'anah [meminta bantuan] kepada kaum kuffar untuk menggempur Negara Iraq. Mereka cenderung vokal terhadap fatwa tersebut, hingga sebagian masyarakat terpengaruh dengan ceramah-ceramah mereka, lalu kemudian berakhir dengan dicebloskannya mereka ke dalam penjara demi tercapainya maslahat dan lenyapnya mudharat. Celakanya, persoalan khilaf (perbedaan) pendapat yang masing-masing tegak di atas hujjah dan dalil, justru oleh kelompok "salafiy" dijadikan sebagai dalih mentahdzir, bahkan mendepak mereka dari lingkup Ahlus Sunah plus label-an khawarij. Padahal sekali lagi, persoalannya hanya berkisar pada perbedaan pendapat, apakah boleh ber-isti'anah dengan kaum kuffar atau tidak. Itu saja. Yang aneh, justru para ulama yang menjadi seteru ketiga tokoh tersebut, sedikit-pun tidak menaruh permusuhan, bahkan menghormati pendapat mereka, namun mereka yang berada "di luar wilayah khilaf" yang entah datang dari mana tiba-tiba ribut dan gencar menyerang ketiga tokoh tersebut. Makanya, para ulama pun bingung dan serba salah. Satu sisi berusaha menegakkan hujjah guna menguatkan argumen mereka, dan di sisi lain bekerja ekstra menenangkan (baca: meredam) gejolak kelompok yang tiba-tiba muncul dan arogan menyerang dengan tuduhan dan celaan.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, kebenaran dan keikhlasan niat pun tersibak. Memang ternyata permasalahan yang terjadi murni merupakan khilaf ilmiyah yang dibangun atas dalil dan hujjah. Bukan sebagaimana tudingan kelompok "salafiy" yang begitu getol mendiskreditkan mereka, bahwa mereka dapat menumbuhkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah!? Buktinya, semakin hari hubungan mereka dengan pemerintah, para ulama dan masyarakat semakin erat dan baik. Aktivitas dakwah dan kajian-kajian ilmiyah telah lama mereka jalankan kembali tanpa sebarang penghalang.[30] Bahkan, beberapa bulan lalu al-Allamah Syaikh Dr. Salman bin Fahd al-Audah dianugerahi kehormatan oleh pemerintah untuk menyampaikan muhadharah 'aam (ceramah umum) di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah yang merupakan mercusuar dakwah Ahlus Sunah di dunia Islam.[31] Dan perlu pembaca sekalian tahu, bahwa birokrasi pemerintah untuk dapat memberi ceramah umum di Universitas Islam Madinah tersebut begitu amat sulit dan ketat, hingga tidak sembarang ulama bisa memberi muhadharah di sana. Dan ini juga merupakan bukti akan kukuhnya jalinan kerjasama antara pemerintah dan para ulama yang dituduh sebagai khawarij oleh Sofyan dan kelompoknya.

Ketahuilah, masalah yang terjadi antara ketiga tokoh ini dengan para masyaikh merupakan masalah yang amat pelik. Wajar jika terjadi perselisihan di antara mereka. Sebab, ia berkaitan erat dengan serangan atas sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Ditambah negara yang dimintai bantuan oleh kerajaan Saudi Arabiyah notabene adalah negara kafir yang senantiasa mengendus kesempatan menghancurkan kaum muslimin. Kenyataan ini berpotensi jatuhnya banyak korban jiwa dari kalangan muslim, bahkan dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Olehnya, dalam hal seperti ini berlaku ungkapan yang masyhur: "Pendapat kami benar akan tetapi berpotensi untuk salah, dan pendapat orang yang menyelisihi kami salah akan tetapi berpotensi untuk benar".

Sekali lagi, ini merupakan perbedaan ijtihad yang kesalahan padanya akan terampuni, sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

ولا ريب أن الخطأ فى دقيق العلم مغفور للأمة وإن كان ذلك في المسائل العلمية ولولا ذلك لهلك أكثر فضلاء الأمة وإذا كان الله يغفر لمن جهل تحريم الخمر لكونه نشأ بأرض جهل مع كونه لم يطلب العلم فالفاضل المجتهد فى طلب العلم بحسب ما أدركه في زمانه ومكانه إذا كان مقصوده متابعة الرسول بحسب إمكانه هو أحق بأن يتقبل الله حسناته ويثيبه على اجتهاداته ولا يؤاخذه بما أخطأ.

"Tidak diragukan, bahwa kesalahan dalam masalah ilmu yang pelik terampuni bagi ummat, kendati dalam masalah ilmiyah. Jika tidak demikian, niscaya akan binasa sebagian besar orang yang mulia. Jika Allah mengampuni bagi orang yang jahil tentang keharaman khamer, karena dia berkembang di daerah kebodohan padahal dia belum menuntut ilmu, maka orang mulia yang ber-ijtihad dalam mencari ilmu sesuai yang dia dapatkan di zaman dan di tempatnya, jika tujuannya mengikuti Rasul sesuai kemampuannya, maka dia berhak diterima kebaikannya oleh Allah dan diberi pahala atas ijtihad-nya serta tidak menghukum kesalahannya.[32]

Editor artikel Sofyan Khalid, yakni Ust. Abdul Qadir mengatakan dalam footnote no. 9:

Ketika salafiyyun men-tahdzir Sayyid Quthb, maka orang-orang WI marah dan berang serta memberikan pembelaan. Namun ketika Sayyid Quthb mencela Nabi Musa, dan sebagian sahabat, maka tak ada suara pembelaan dari mereka. Inikah ashobiyyah yang tercela??! Jawabnya, terserah pembaca.

Tanggapan :

Pertama: Perkataan editor bahwa orang-orang WI marah dan berang ketika "Salafiyun" men-tahdzir Sayyid Quthub adalah ungkapan berlebihan khas "salafiy". Dan ini merupakan satu bukti pernyataan kami pada edisi I Silsilah pembelaan Jilid II, tentang kebiasaan mereka mendramatisir masalah. Padahal, yang kami ingkari dari mereka adalah vonis serampangan atas kehormatan kami dan yang lainnya, bahwa kami telah keluar dari Ahlus Sunah lantaran beberapa sebab diantaranya, sikap inshof kepada al-Ustadz Sayyid Quthub dan tokoh lainnya.

Kedua: Klaim bahwa al-Ustadz Sayyid Quthub mencela Nabi Musa alaihis salam perlu ditinjau ulang. Sebab kesimpulan ini, oleh Ust. Abdul Qadir hanya merupakan jiplakan dari kesimpulan kajian Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaliy terhadap buku-buku al-Ustadz Sayyid Quthub. Akan tetapi, kesimpulan ini tidak lantas di-amini begitu saja tanpa mengkaji ulang pijakan hujjah yang digunakan. Sebab ia merupakan masalah khathirah yang berkaitan dengan akidah dan keislaman seseorang. Makanya lahir pengingkaran terhadap kesimpulan tersebut dari sebagian Ulama Ahlus Sunnah, diantaranya al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid, al-Allamah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin rahimahumallah, demikian pula al-Allamah Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidhahullah, dan selain mereka. wallahu a'lam.

Ketiga: Pembaca budiman, jika menilik pernyataan Ust. Abdul Qadir di atas, maka pada hakikatnya ada satu kesimpulan yang hendak disamarkan, yakni tidak adanya kecemburuan WI terhadap kehormatan para Nabi dan Rasul alaihimus salam. Hal ini disebabkan sikap inshof WI terhadap al-Ustadz Sayyid Quthub. Dan ini tentunya kedustaan atas kami. Dan kami berlepas diri dari sikap demikian. Disamping memandang –berdasar qarinah berupa sikap dan buku-buku beliau (Sayyid Quthb) dalam membela Islam dan aqidah- bahwa jika memang benar beliau terjatuh dalam kekeliruan tersebut, maka ia tidak dibangun di atas kesengajaan.

Keempat: Dari sini, maka kami akan ajukan satu pertanyaan kepada sang editor Ust. Abdul Qadir, jika seandainya kesalahan yang sama, atau bahkan lebih fatal terjadi pada ulama panutan "salafiy", maka bagaimana sikap antum? Apakah antum akan menyikapinya sebagaimana sikap antum terhadap Sayyid Quthub?

Pembaca budiman, sungguh amat sangat berat kami ungkapkan di hadapan pembaca akan hal ini. Sebab bukan manhaj kami mencari-cari kegelinciran ulama dan du'at. Namun untuk satu mashlahat, utamanya bagi ikhwah-ikhwah yang telah teracuni akal dan hati mereka oleh dogma-dogma bahwa kelompoknya-lah yang paling Ahlu Sunnah, paling benar, paling lurus manhaj-nya dan paling-paling yang lain, maka kami akan paparkan sedikit –insyaAllah hanya sedikit- kekeliruan yang sama diperbuat oleh Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhaliy, yakni kesalahan dalam masalah akidah, namun terkesan didiamkan oleh kelompok "salafiy". Hanyasaja, jika kesalahan yang sama dibuat oleh selain kalangan mereka, serentak mereka bangkit dan mengumbar kesalahan-kesalahan tersebut di hadapan penduduk bumi ini. Disamping agar menjadi bahan renungan bagi kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan bebas dari kesalahan, hingga kita dapat menegakkan timbangan adil dan inshof…

· Perkataan tidak pantas dari Syaikh Rabi' al-Madkhaliy untuk Allah Ta'ala.

1. Dalam kaset muhadharahnya yang berjudul "al-Jalsah ats-Tsalitsah Minal Mukhayyam ar-Rabi'i" side A, ketika menyifati syaikh Bin Baz –rahimahullah-, dan ditanya tentang Syaikh bin Baz, apakah Syaikh Bin baz tidak mengetahui waqi' [realita], Syaikh Rabi' menjawab:

الشيخ يفقه الواقع, لكن لا يفقه الواقع كله مثل الله

"Syaikh Bin Baz memahami waqi', akan tetapi tidak memahami waqi' [realita] semuanya seperti Allah".

Pertanyaannya, pantaskah kita mengatakan ungkapan seperti ini pada hak Allah Ta'ala? Kami yakin, seorang penuntut ilmu yang memahami hakikat pengagungan kepada Allah Ta'ala tidak akan mengucapkan perkataan seperti ini. Apalagi seorang ulama.

2. Dalam kaset-nya "Marhaban Ya Tholibal 'Ilmi I", side A, beliau menyatakan :

الآن الذي لا يناطح الحكام عميل!! ليه ربنا ما يناطح الحكام ؟؟ ولماذا كان رسول الله ما كان يناطح هذه المناطحات ؟؟ أ هؤلاء أهدى من الله؟؟ وأهدى من رسول الله صلى الله عليه وسلم؟؟

"Sekarang yang tidak memberontak kepada pemerintah adalah pengangguran, kenapa Rabb kita tidak memberontak kepada para pemerintah ?!, dan kenapa Rasulullah tidak memberontak kepada para pemerintah?! Apakah mereka lebih benar daripada Allah??, dan apakah mereka lebih benar daripada Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam??.

Pertanyaannya, bolehkah kita menyifati Allah dan Rasul-Nya dengan sifat-sifat di atas?

* Perkataan tidak layak Syaikh Rabi al-Madkhaliy kepada Nabi

` Dalam kaset "al-Ilm wad Difa' 'an Syaikh Jamilir Rahman side A", beliau membantah orang yang ekstrim terhadap Fiqhul Waqi', hingga kemudian menjadikan para pemuda Islam menuduh Ulama Kibar tidak memahami Waqiul Ummah [realita umat]. Beliau membantah mereka dengan baik. Akan tetapi ada sebagian kalimat tidak layak diarahkan kepada Nabi Sulaiman alaihis salam, diantaranya:

طير عرف الواقع, ونبي الله ما عرف الواقع, هل يصير الطير أفضل من نبي الله سليمان

"Burung mengetahui waqi', sedangkan Nabi Sulaiman tidak mengetahui Waqi', apakah burung lebih mulia daripada nabi Sulaiman??".

Beliau juga mengatakan pada kaset yang sama :

شف, العصفور عرف الواقع أكثر منه, هل ينقصه ؟؟

"Coba perhatikan!! Seekor burung mengetahui realita lebih banyak darinya [nabi Sulaiman alaihis salam-], apakah ini mengurangi kemuliannya??

Dalam risalahnya yang berjudul "I'anatu Abil Hasan" hal. 9, beliau seakan menyanggah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dimana risalah tersebut ditujukan untuk membantah Syaikh Abu Hasan al-Ma'aribi, yang berpendapat bolehnya memenuhi undangan seorang hizbii atau mubtadi' –jika ada maslahat syar'i-, dan beliau (Abul Hasan) berhujjah dengan hadits tentang pemenuhan Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap undangan seorang wanita Yahudi. Lalu Syaikh Rabi' menyanggah pendapat ini seraya mengatakan: "Ya benar, Nabi memenuhi undangannya, karena Allah menghalalkan makanan ahlul kitab, akan tetapi kemudian lihatlah yang dilakukan wanita Yahudi yang keji kepada Nabi, dan terkadang ahlul bid'ah dan sesat melakukan hal yang lebih parah dari hal itu kepada ahlus sunnah".

Perhatikan poin yang kami garisbawahi. Seakan merupakan istidrak pada perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Seolah-olah Syaikh Rabi' mengatakan, bahwa tidaklah wanita Yahudi tersebut mampu melakukan perbuatan keji atas Nabi shallallahu alaihi wasallam melainkan lantaran Nabi memenuhi undangan Wanita Yahudi tadi. Jadi, sikap yang benar adalah tidak usah memenuhi undangan wanita Yahudi tersebut, karena dia akan mendatangkan bahaya bagi beliau, wallahu a'lam.

* Celaan Syaikh Rabi' al-Madkhaliy terhadap para sahabat -radhiallahu anhum-.

1. Syaikh Rabi' berkata tentang Khalid bin al-Walid radhiallahu anhu dalam kaset ceramahnya "al-Ilm wa ad-Difa' 'an as-Syaikh Jamil" side A:

(خالد يصلح للقيادة، ما يصلح للسياسة، وأحيانًا يلخبط)

"Khalid pantas untuk memegang kepemimpinan. Namun tidak layak mengurus masalah politik. Dan terkadang ia bertindak serampangan".

Untuk perkataan beliau "Dan terkadang ia bertindak serampangan", alhamdulillah, beliau telah menyatakan taubatnya dan ruju'. Akan tetapi pernyataannya bahwa Khalid bin al-Walid tidak pantas mengurus masalah politik, belum ada pernyataan ruju'. Bahkan zahir ucapan beliau dalam risalahnya "al-Karr 'ala al-Khiyanah wa al-Makr", hal. 5, bahwa beliau belum ruju'. Sebab padanya beliau hanya menyebutkan kemampuan Khalid dalam hal memimpin dan tidak menyinggung sedikit pun kesanggupan beliau dalam hal pengaturan politik syar'iyyah.

2. Perkataan Syaikh Rabi' dalam kaset yang sama, "al-Ilm wa ad-Difa' 'an as-Syaikh Jamil", side B:

كان عبدالله وأبي بن كعب وزيد بن ثابت وابن مسعود، وغيرهم وغيرهم، من فقهاء الصحابة وعلمائهم؛ ما يصلحون للسياسة، معاوية ما هو عالم،..... ويصلح أن يحكم الدنيا كلها، وأثبت جدارته وكفاءته، المغيرة بن شعبة مستعد يلعب بالشعوب على إصبعه دهاءً، ما يدخل في مأزق؛ إلا ويخرج منه، عمرو بن العاص أدهى منه...) اهـ .

"Adalah Abdullah, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud dan selain mereka, termasuk dalam jajaran fuqaha' dan ulama sahabat. Akan tetapi mereka tidak layak untuk urusan politik (Islam), (juga) Mu'awiyah, ia bukanlah seorang yang 'alim … dan ia pantas untuk mengatur dunia seluruhnya, dan telah tetap kelayakan dan kemampuannya. Al-Mughirah bin Syu'bah di atas jarinya telah siap memainkan rakyat melalui kecerdikannya. Tidaklah beliau masuk dalam kesempitan, melainkan pasti ia sanggup keluar darinya. Sedangkan Amr bin al-Ash lebih cerdik dari beliau…".

Dari pernyataan beliau ini maka dapat kami katakan:

Pertama, ini merupakan pernyataan mutlak dari Syaikh Rabi' tanpa ada muqayyad-nya, yakni para sahabat yang beliau sebutkan satu persatu namanya dan selain mereka (tanpa ada batas), bahwa mereka tidak layak dan tidak pantas untuk urusan politik Islam. Wallahu a'lam, sepanjang pengetahuan kami tidak ada ulama salaf sebelum beliau yang mengetengahkan pernyataan semisal ini.

Kedua, ungkapan bahwa Mu'awiyah bukan seorang yang alim membutuhkan dalil dan hujjah. Jika tidak, sungguh ia telah menyelisihi hakikat sebenarnya sebagaimana yang dinyatakan oleh para sahabat sendiri. Imam Bukhari rahimahullah mengetengahkan sanadnya sampai pada Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Mu'awiyah pernah mengerjakan shalat witir satu raka'at setelah isya', sementara di sisinya ada maula Ibnu Abbas. Lalu ia (sang maula) datang menemui Ibnu Abbas dan bertanya (perihal tersebut). Maka beliau berkata: "Biarkan ia, sesungguhnya ia telah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam".[33]

Dalam sanad yang lain, juga dari Ibnu Abi Mulaikah: Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pernah ditanya: "Apakah anda punya komentar tentang Amirul Mukminin Mu'awiyah, sungguh ia tidak mengerjakan witir melainkan hanya satu raka'at". Maka beliau (Ibnu Abbas) menjawab: "Sesungguhnya ia seorang yang faqih"[34], dan hal ini dikuatkan pula oleh atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat-nya dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya dari jalan yang sama dengan sanad yang shahih dari Ayub as-Sakhtiyani bahwa Ibnu Abbas mengatakan:”Sesungguhnya Amirul Mu'minin seorang yang 'alim, yaitu Amirul Mu'minin Mu'awiyah bin Abi Sufyan.[35]

Ini merupakan persaksian habrul ummah dan turjumanul Qur'an, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwa Mu'awiyah radhiallahu anhu seorang yang alim dan faqih. Dimana beliau mengetahui sunnah-sunnah yang tidak diketahui oleh selainnya. Dan hal ini tentunya tidak terwujud melainkan setelah mengorbankan waktu dan tenaga dalam mengkaji fiqh serta mulazamah Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Ketiga, pernyataan bahwa "Al-Mughirah bin Syu'bah di atas jarinya telah siap memainkan rakyat melalui kecerdikannya. Tidaklah beliau masuk dalam kesempitan, melainkan pasti ia sanggup keluar darinya". Apakah ungkapan ini layak diarahkan pada hak seorang sahabat yang mulia?! Apakah ini merupakan uslub para ulama salaf terdahulu kala menyebut tentang al-Mughirah bin Syu'bah?!. Kalau memang benar ada, maka sungguh kata "ad-Daha'", yakni cerdik mengandung makna pujian dan celaan. Olehnya, mengapa tidak kemudian kita arahkan makna ad-Daha' (cerdik) pada makna terpuji, misalnya dengan mengatakan bahwa beliau menggunakan kecerdikannya untuk menolong agama Allah dan selainnya?! Sebab, ibarat dan ungkapan yang Syaikh Rabi' ketengahkan ini, siapa pun yang membaca akan lahir padanya sangka buruk terhadap sahabat yang mulia ini.

Keempat, kalimat "Sedangkan Amr bin al-Ash lebih cerdik dari beliau…", jika makna cerdik pada hak al-Mughirah bin Syu'bah bisa mengarah pada pengertian celaan, maka sungguh pada diri Amr bin al-Ash bisa lebih buruk lagi. Wallahul musta'an.

Pembaca budiman, sebenarnya masih banyak yang ingin kami singkap di sini. Namun lantaran kebutuhan dan halaman artikel terbatas, maka kami cukupkan pernyataan-pernyataan beliau yang mengarah pada celaan terhadap para sahabat.

* Tafsir Syaikh Rabi' terhadap kalimat Laa Ilaha Illallah yang keliru

Dalam kaset "Munadharah 'an Afganistan side A", beliau mengatakan :

لا إله إلاّ الله, اشرحها له, دخّل فيها الحاكمية دخل فيها الولاء والبراء, وأوّل ما يدخل فيها : لا معبود إلاّ الله.

"[Kalimat] Laa ilaha Illallah, jelaskan kepadanya ma'nanya, masukkan ke dalamnya hakimiyah, masukkan ke dalamnya al-wala' wal bara', dan hal yang pertama masuk dalam ma'nanya adalah : tidak ada yang disembah kecuali Allah".

Ini merupakan makna yang salah. Adapun makna yang benar adalah Laa Ma'buda bihaqqin illallah atau tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

* Mengeluarkan orang yang meninggalkan jihad yang hukumnya Fardhu 'Ain dari Ahlus Sunnah

Syaikh Rabi' –hafidhahullah- mengatakan dalam bukunya "Ahlul Hadits Hum Tha'ifah Al-Manshurah Annaajiyah" hal. 133 :

وإذا كان في مجتمع تعينت فيه الفرقة الناجية المنصورة، وقد رفعت راية الجهاد، فلم يشارك في هذا الجهاد بمال ولا مقال ينفع المجاهدين، ولم يرفع رأساً بآيات الجهاد ولا بقول رسول الله : (( جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم ؛ فهذا لا يمكن أن يقال : إن صحيح العقيدة نقي السريرة

"Apabila dalam sebuah masyarakat yang banyak ahlus sunahnya, dan telah ditegakkan bendera jihad [yang hukumnya fardhu ain] lalu ada yang tidak berpartisipasi dalam jihad ini baik dengan harta atau perkataan yang bermanfaat bagi mujahidin, dan tidak mengangkat kepalanya untuk ayat jihad, ataupun sabda Rasulullah : "jihadilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian", maka tidak mungkin dia memiliki aqidah yang benar dan kesucian hati".

Masih pada halaman yang sama, beliau juga menyatakan: "Dan tidak boleh menganggap mereka masuk dalam barisan al-firqoh an-najiyah sama sekali, kecuali jika kita hidup di alam khayalan".

Padahal, yang benar dalam masalah ini adalah adanya tafshil [perincian]. Jika meninggalkan jihad yang hukumnya fardhu 'ain dengan istihlal [menghalalkan hal itu], sementara dia mengetahui hukumnya, atau meninggalkan karena mendustakan dan melecehkan urusan jihad, maka ini hukumnya kufur. Adapun jika meninggalkan jihad yang hukumnya fardhu ain lantaran syahwat, atau karena lemahnya iman dan lainnya, maka ini termasuk dosa besar dan tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, bahkan tidak mengeluarkan seseorang dari cakupan Ahlus Sunnah wal Jamaah, wallahu a'lam.

Kutipan-kutipan di atas hanya secuil contoh dari kekeliruan Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali hafidhahullah yang berserakan dalam kaset-kaset ceramah dan pada sebagian bukunya. Yang mengherankan, kesalahan seperti ini bisa luput dari sorotan situs yang paling beringas mengkritik dan mengumbar celaan, yakni "as-Sahab" dan saudara kandungnya "Tuk Pencari al-Haq". Sebab, biasanya, kedua situs inilah yang paling semangat mengerik setiap kesalahan para ulama dan du'at Ahlu Sunnah lalu membeberkan di hadapan khalayak penduduk bumi, agar dinikmati dan disaksikan. Duhai, apakah ini termasuk ashobiyah yang tercela?! Terserah pembaca yang menilai..!

Dan tak lupa kami selipkan sebuah pertanyaan, khusus untuk sang editor guna menggugah kecemburuannya kepada agama yang mulia ini, madza antum qo-iluun 'an Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali?? Bukankah kesalahan di atas termasuk kesalahan dalam hal aqidah? Apakah sikap antum terhadap beliau sama seperti sikap terhadap al-Ustadz Sayyid Quthub? Atau antum akan mencarikan beliau udzur dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa yang rentan jatuh dalam kesalahan? Atau, antum akan memajang tazkiyah para ulama untuk beliau, yang menurut Sofyan Khalid adalah salah satu ciri khas hizbiyah dan diamini oleh antum sendiri?! Kalau demikian, mengapa sikap yang sama tidak antum aplikasikan dalam menyikapi kesalahan al-Ustadz Sayyid Quthub dan para ulama yang antum tuding sesat?

Mungkin saja antum dan "salafiy" lainnya akan mengatakan, bahwa sebagian penyimpangan di atas muhtamal atau sabqul lisan [kesalahan yang tidak disengaja]. Maka kami katakan:

1. Benar, sebagian penyimpangan di atas sifatnya muhtamal atau sabqul lisan. Dan ia-pun terjadi pada selain Syaikh Rabi' al-Madkhaliy. Dan jika kita menerima alasan muhtamal dan sabqul lisan dari Syaikh Rabi', maka mengapa tidak kita terapkan pada selain beliau? Kenyataannya –dan ini pula yang dipraktekkan oleh Syaikh Rabi' kala membongkar "penyimpangan" al-Ustadz Sayyid Quthub- jika kesalahan terjadi pada kelompok "salafiy", segera dicarikan beragam takwil dan tafsir agar kesalahan tersebut tidak menjadikan pelakunya keluar dari Ahlu Sunnah. Namun jika kesalahan yang sama lahir pada diri selain kelompok mereka, segera ditelan mentah-mentah tanpa memberi alasan dan udzur padanya. Dan ini sangat jelas merupakan manhaj zalim, serta keluar dari koridor muwazanah dan inshof. Dan perlu kami tegaskan agar pembaca tidak salah persepsi, bahwa sikap kami terhadap kesalahan Syaikh Rabi' tersebut sama dengan sikap kami terhadap kekeliruan al-Ustadz Sayyid Quthub dan ulama serta du'at Ahlu Sunnah lainnya, walhamdulillah.

2. Kalau demikian keadaannya, maka kami katakan bahwa sebagian kesalahan yang mereka bantah dari asatidzah WI juga sifatnya muhtamal. Jadi apakah halal bagi antum dan haram bagi kami untuk melakukan hal itu? Sungguh, jika manhaj telah rusak, maka segala yang lahir dari manhaj tersebut akan rusak dan busuk pula.

Sofyan Khalid mengatakan :

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah telah menulis sebuah buku yang menjelaskan bahwa membantah seorang yang menyimpang adalah termasuk pokok Islam, bukanlah perbuatan memusuhi sesama muslim dan mengacuhkan sekulerisme. Buku tersebut beliau beri judul, “Ar-Raddu ‘alal Mukhalif min Ushulil Islam” (membantah orang yang menyimpang termasuk pokok Islam).

Tanggapan :

1. Istidlal [pengambilan dalil] kelompok "salafiy" melalui perkataan al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah perlu ditinjau ulang. Bukankah mereka telah memvonis Syaikh Bakr Abu Zaid sebagai Quthby?, artinya, menurut kelompok "salafiy", beliau telah keluar dari khittah manhaj salaf? Bukankah menukil perkataan ahlul bid'ah [yang telah keluar dari manhaj salaf] sama artinya men-tarwij [menjajakan] manhaj ahlul bid'ah, yang ber-implikasi syubhat bagi umat ini?

2. Label Quthby untuk al-Allamah Syaikh Bakr Abu Zaid dari kelompok "salafiy" menujukkan ketidaksepahaman manhaj beliau dengan kelompok "salafiy", terkhusus dalam hal jarh wat ta'dil. Seandainya beliau sepakat dengan kelompok ini dalam hal tersebut, niscaya tidak akan ada cap dan label buruk bagi beliau.

3. Kalau mau jujur, sebenarnya banyak perkataan al-Allamh Syaikh Bakr Abu Zaid yang justru mengarah pada hidung kelompok "salafiy", utamanya dalam masalah vonis dan celaan terhadap ulama dan tokoh Islam yang mereka klaim sebagai ar-Raddu 'Alal Mukhalif [Membantah orang menyimpang], contohnya perkataan beliau :

وفي عصرنا الحاضر يأخذ الدور في هذه الفتنة دورته في مسلاخ من المنتسبين إلى السنة متلفّعين بمرط ينسبنه إلى السلفية – ظلما لها – فنصبوا أنفسهم لرمي الدعاة بالتهم الفاجرة, المبنية على الحجج الواهية, واشتغلوا بضلالة التصنيف.

"Di zaman sekarang, yang mengambil peran besar dalam penyebaran fitnah ini (fitnatut tashnif) adalah sebagian orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan nenutupi dirinya dengan jubah salafiyah –sebagai bentuk kedhaliman terhadap manhaj tersebut– lalu mereka mencela para du'at dengan tuduhan-tuduhan keji, berdasarkan hujjah yang lemah, dan menyibukkan diri dengan kesesatan tashnif (menggolong-golongkan manusia).[36]

Atau perkataan beliau rahimahullah dalam buku yang sama: "Namun, ini adalah cobaan dan fitnah yang Allah Ta'ala memelihara dari keburukannya ketika fitnah itu muncul pada zaman kita ini. Fenomena menghasut yang dilakukan oleh orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada as-Sunnah dan mengaku sebagai penolongnya. Mereka mengambil jalan mengelompokkan manusia dan mencela sebagai agama dan kebiasaan. Lalu berkomplot memusuhi saudara-saudara mereka dari kalangan Ahlus Sunnah, menyerang para pemimpin mereka, menyematkan sifat-sifat tercela pada mereka, dan memberi julukan-julukan hina dan keji. Hingga mencapai satu keadaan, dimana mereka berbicara tentang saudara-saudara mereka yang seakidah, dan bersama memegangi as-Sunnah dan atsar, bahwa "mereka itu lebih berbahaya daripada kaum Yahudi dan Nashrani", dan "si Fulan itu adalah orang zindiq". Mereka pura-pura buta terhadap kaum yang menyerang negeri-negeri kaum muslimin dan menjajah wilayah mereka, orang-orang kafir, musyrik, zindiq dan atheis, orang-orang yang membuka jalan-jalan kerusakan dan orang-orang yang mengirim hasutan, penyakit syahwat dan syubhat di setiap pagi dan petang, yang dapat mengakibatkan umat ini menjadi kafir dan fasik serta melahirkan generasi baru yang lepas dari agama dan akhlak"[37].

4. Silahkan baca pula dalam buku beliau "ar-Roddu 'Ala al-Mukholif Min Ushulil Islam", dimana beliau meletakan kriteria dan adab dalam pelaksanaan ar-Raddu 'ala al-Mukhalif. Dan diantara adab tersebut adalah :

المردود عليه بين الوصف والتعيين: الأصل هو الستر والعمل على دفع دواعي الفرقة والوحشة وعدم الموافقة, فالرد ينصب على علي المقالة المخالفة المذمومة لا على قائلها …

"Yang dibantah antara perbuatan dan individu: Hukum asal adalah menutupi aib dan berusaha untuk menjauhi pemicu perpecahan dan perselisihan, maka bantahan di arahkan kepada perkataan yang menyelisihi bukan kepada yang mengatakan".[38]

Sofyan Khalid mengatakan :

Sehingga keluarlah ucapan sebagian mereka yang sangat keji, "Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara kami dan kalian, yang ada hanya beda pendapatan ".

Tanggapan :

1. Kami tidak tahu –wallahu a'lam-, jika ternyata lahir kalimat tersebut. Dan jika ternyata benar adanya, kami yakin, bahwa ia hanya sebatas gurauan dan plesetan kata. Dan tidak ada indikasinya pada manhaj dan akidah, yang karenanya pengucapnya harus dikeluarkan dari barisan Ahlu Sunnah.

2. Namun jika kelompok "salafiy" ngeyel, bahwa kalimat "keji" tersebut merupakan ucapan serius, maka kami katakan, barangkali ungkapan ini punya asbabul wurud, yaitu dari kelompok "salafiy" sendiri. Perhatikan ucapan tokoh mereka dari Makassar : "Kalau mengaku boleh saja mereka mengaku, dan perlu saya beritahu, pengakuannya kalau mereka mengatakan salafy itu ujung-ujungnya adalah duit". Juga pernyataannya pada tempat lain: "Na’am, kemudian mendatangkan ulama-ulama dari Saudi, tapi kalau berbicara di kaset membicarakan pemerintahan Saudi dengan pembicaraan yang sangat keji dan tidak pantas. Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan".

Simak pula perkataan tokoh mereka di Balikpapan: "Disusul oleh Ainur Rofiq, Ainur Rofiq ini orang yang tahunya pokoknya terima bantuan darimana saja pokoknya kaya, yang penting fulusnya banyak, bil fulus kullu syai'in tembus, ya khan ??!! dengan fulus semuanya tembus, bil fulus mulus, weeh.. dari mana-mana sumbangan itu, ambil sana-sini".[39]

Inilah sebagian perkataan-perkataan tidak ilmiyah asatidzah "salafiyin" ketika mentahdzir du'at Ahlus Sunah, sehingga dengan perkataan tersebut, muncul stigma buruk di tengah medan dakwah, "Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara kami dan kalian, yang ada hanya beda pendapatan". Olehnya, bukan kesalahan WI jika kemudian muncul stigma tersebut. Akan tetapi stigma tersebut merupakan dhohir perkataan asatidzah "salafiyin" sendiri.

3. Setelah nukilan ini, kami ajukan satu pertanyaan untuk Sofyan Khalid, mana yang lebih keji perkataan "Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara kami dan kalian, yang ada hanya beda pendapatan" ataukah tudingan dari asatidzah "salafiyin" yang kami nukil di atas? Cermatilah, perkataan asatidzah "salafiyin" di atas, seakan berangkat dari hasil telisik terhadap hati-hati astidzah yang dicela, sehingga mereka begitu berani memasuki wilayah niat-niat orang lain, guna mencela ke-ikhlasan para asatidzah tersebut dalam menegakkan dakwah Ahli Sunnah . Allahu Musta'an.

Demikian paparan ilmiah ini, semoga menjadi pengingat bagi kita sekalian, betapa tinggi dan mulianya sikap inshof terutama pada diri para ulama dan du'at yang berjasa bagi perjuangan Islam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas qudwah kita, nabi besar Muhammad, keluarga, sahabat dan segenap pengikutnya hingga akhi zaman kelak. Dan akhir dari seruan kami, segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Bersambung insya Allah.


[1] . Lihat: al-'Awashim Wa al-Qawashim, I/224.

[2] . Lihat: Syarh as- Sunnah, VI/120, al-Maktabah asy-Syamilah.

[3] . Majmu' al-Fatawa, XX/164

[4] . Majmu' al-Fatawa, III/451-453. Program al-Maktabah al-Syamilah

[5] .Zaad al-Ma'ad, II/428. al-Maktabah al-Syamilah

[6]. al-Hattsu 'ala al-Ittiba', hal. 58.

[7] . al-Hattsu 'ala al-Ittiba', hal. 59.

[8] . al-Hattsu 'ala al-Ittiba', hal. 64.

[9] . Hukmul Intima' Ila al-Firaq Wa al-Ahzab Wa al-Jama'at Islamiyah, hal. 96.

[10] . Hukmul Intima' Ila al-Firaq Wa al-Ahzab Wa al-Jama'at Islamiyah, hal. 97.

[11] . Simak takwil mereka terhadap perkataan Syaikh al-Utsaimin dalam artikel Ust. Abdul Qadir yang berjudul, "Siapa Bilang Nisbah pada as-Salafiy dan al-Atsariy terlarang?".

[12] . Majmu'ul Fatawa, XXVIII/209

[13] . Majmu'ul Fatawa, XXVIII/208

[14] . Syarh al-'Aqidah al-Wasithiyah, II/647

[15] . al-Wala' wa al-Bara' fil Islam, hal 13, Program al-Maktabah al-Syamilah

[16] . Hal ini sebagaimana terjadi pada Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali, dimana beliau mengingkari perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah berkaitan dengan manhaj al-wala wal bara' yang berbunyi:

"إن المسلم يُحَبُّ ويُبْغَض ويُمْدَحُ ويذمّ على حسب ما فيه من خير وشر، وطاعة ومعصية، وسنة وبدعة"

"Sesungguhnya seorang muslim itu dicintai dan dibenci, dipuji dan dicela sesuai dengan kebaikan dan keburukan, ketaatan dan maksiat serta sunnah dan bid'ah, yang ada pada dirinya".

Lalu Syaikh Robi' mengatakan "ini adalah kaedah Ikhwanul Muslimin!?". Kala diingatkan bahwa yang mengatakan hal ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, serentak beliau mengatakan "Semoga Allah mengampuni Ibnu Taimiyah, dia telah membuka pintu untuk manhaj muwazanah !!??", atau kalimat yang semakna dengan ini. (Lihat: ad-Difa' 'an Ahlil Ittiba', Syaikh Abul Hasan al-Ma'ribiy, II/195).

[17] . HR Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah, at-Thabrani dan dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

[18] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=136

[19] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=109

[20] . Silahkan simak di : http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=161

[21] . Lihat: Hayatul Albani Wa Aatsaruhu Wa Tsana-A 'Ulama Alaihi, jilid I.

[22]. http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=155. Ini adalah fatwa beliau dalam sebuah sesi Tanya Jawab pada tanggal 24-6-1426 H bertepatan 2-8-2005 M

[23] . Lihat artikel di situs ini: "Nasehat Berharga Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid terhadap Syaikh Rabi' bin Hadiy al-Madkhaliy tentang Sayyid Quthb".

[24] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=109

[25] .Lihat: al-Anba' bi Ru'uusi Ahlil Ahwa'. Pembaca budiman, makanya jangan heran jika lisan mereka begitu tajam terhadap kehormatan kaum muslimin. Jangankan kaum muslimin yang biasa-biasa saja, kehormatan para kibarul Ulama terpandang pun tidak selamat dari sayatan lisan mereka. Perhatikan ungkapan celaan tokoh-tokoh mereka terhadap Kibarul Ulama: Tentang Syaikh bin Baz: "(Dia) mencela salafiyah dengan celaan yang keji". Tentang Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani: "Kesalafian kami lebih kuat daripada kesalafiannya". Tentang Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Jibrin: "Mubtadi' (Ahli Bid'ah). Tentang Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iriy [pengarang Minhajul Muslim, Aisirut Tafaasir & pengajar di Masjid Nabawi]: "Tabliighi". Tentang Syaikh Ibnu Qu'uud [Anggota Hai'ah Kibaril Ulama]: "Ikhwani Banna'iy (pengikut Hasan al-Banna')". Tentang Syaikh Nashr bin Abdil Karim al-'Aql: "Tokoh Sururi". Tentang Syaikh Muhammad Mukhtar as-Syinqithii [Anggota Hai'ah Kibaril Ulama]: "Shuufi". Tentang Syaikh Su'ud Syuraim [Imam Masjidil Haram Makkah]: "Sururiy". (Lihat: ad-Difa' 'an Ahlil Ittiba', hal. 460-461 dan al-Anba' bi Ru'uusi Ahlil Ahwa', penulis buku ini adalah as-Syaikh Abul Hasan al-Ma'ribiy, seorang ulama yang pernah menjadi orang dekat sekaligus kepercayaan Syaikh Rabi' bin Hadiy al-Madkhaliy, yang kemudian keluar dari jama'ah beliau, lalu terjadi polemik ilmiyah antara keduanya seputar manhaj. Wallahul musta'an).

[26] . http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=116

[27] . Lihat: al-Istiqamah, I/119.

[28] . Lihat: Siyar al-A'lam an-Nubala', XII/481.

[29] . Pembaca budiman, sebagai penguat keterangan kami, perhatikan persaksian sipir penjara yang kemudian mendapat hidayah Allah lantaran menyaksikan akhlak dan tsabat (kekokohan) aqidah Sayyid Quthub kala berkata: "Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah terhadap kezaliman". Juga ucapan beliau kala menolak tanda tangan penyataan bahwa ia bersalah dan tunduk pada kezaliman: “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang abadi.” Saat dikabarkan akan dekatnya waktu eksekusi beliau berkata: “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!”. (Lihat: al-'Aaiduna Ilallah, Muhammad bin Abdul Aziz al-Musnid, II/4. al-Maktabah al-Syamilah).

[30] . Saat Fadhilatus Syaikh Dr. Safar al-Hawaliy terserang stroke, maka salah seorang amir menyatakan secara resmi, bahwa pemerintah yang akan menanggung segala apa yang beliau butuhkan untuk pengobatan beliau. Demikian pula, tatkala Syaikh Dr. Aidh al-Qarni akan menyatakan pensiun dari muhadharah-muhadharah di stasiun televisi, maka berjubel surat dan pernyataan-pernyataan dari masyarakat yang menyatakan keberatan, dan lain sebagainya.

[31] . InsyaAllah akan kami posting video ceramah beliau agar faidah yang terkandung padanya dapat dinikmati oleh segenap kaum muslimin.

[32] .Majmu-ul Fatawa, XX/165.

[33] . Fath al-Bari, VII/103-104, no. 3764. Program al-Maktabah al-Syamilah.

[34] . Ibid, no. 3765.

[35]. At-Thabaqat 1/126 dan Tarikh 59/165

[36] . Lihat: ar-Ruduud, h. 401-402. [buku ini adalah kumpulan karya Syaikh al-'Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah yang terdiri dari ar-Raddu 'alal Mukhaalif, Tashniif an-Naas, Hukmul Intima', dll.

[37] . ar-Rudud h. 410

[38] . ar-Rudud, h. 63.

[39] . Kami punya audionya, dan akan diposting jika diperlukan.